Nagari Ulakan adalah sebuah kawasan pesisir yang terletak di wilayah Padang Pariaman Sumatera Barat. Daerah ini merupakan tempat pertama dan pusat penyebaran Islam serta tarekat Syattariyah yang dipimpin oleh Syekh Burhanuddin. Salah satu tradisi unik di Nagari Ulakan adalah Basapa. Tradisi ini biasanya dilakukan pada 10 Shafar atau Rabu ke-2 dan ke-3 bulan Shafar. Masyarakat melakukan kegiatan ini sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Syekh Burhanuddin atas perannya dalam menyebarkan ajaran Islam di Minangkabau.
Ada beberapa kegiatan Basapa yang dilakukan oleh peziarah, yaitu pertama ziarah; kedua, shalat di makam Syekh Burhanuddin Ulakan, baik shalat wajib maupun sunnah; ketiga, zikir (Fathurahman, 2008: 131). Zikir merupakan salah satu ajaran utama dari tarekat Syattariyah. Amalan dzikir oleh para pengikut tarekat Syattariyah dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu mubtadi yang berarti tingkat awal, mutawāsītah yang berarti tingkat tengah dan muntahī yang artinya tingkat akhir (Bakry, 2000: 55).
Dikatakan bahwa pada tahap terakhir yaitu muntahī dapat dilakukan oleh orang yang dapat melakukan dua makrifat yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah niat kepada Allah tidak dapat disamakan dengan apapun. Dalam makrifat ini, segala sesuatu dilihat dari segi batin dan hakikat. Makrifat tasybiyyah adalah mengetahui keyakinan bahwa Allah SWT. Maha Melihat dan Maha Mendengar. Dalam makrifat ini, segala sesuatu terlihat dari aspek luarnya (Rosyid, 2019: 97).
Ajaran dzikir dalam tarekat Syattariyah disebut tujuh jenis dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk memasuki tarekat Syattariyah, dzikir muqaddimah disesuaikan dengan tujuh jenis nafsu manusia. Ketujuh jenis hafalan ini diajarkan agar seorang hamba untuk mengingat dan kembali dengan selamat kepada Allah dengan mengendalikan tujuh nafsu tersebut. Ketujuh jenis zikir tersebut adalah zikir thawaf, zikir nafi itsbat, zikir itsbat faqat, zikir ismu zat, zikir taraqqi, zikir tanazul, dan zikir isim ghaib.
Setiap dzikir memiliki jalan dan ciri pengucapannya masing-masing (Fathurahman, 2008: 132). Sejarah kegiatan Basapa tidak terlepas dari Syekh Burhanuddin di Nagari/Kabupaten Ulakan, yang menyebarkan agama Islam ke seluruh Minangkabau pada periode Hijriah 1056-1104/1646-1692. Syekh Burhanuddin belajar Islam di Aceh yaitu di Singkel selama 2 tahun dan di Banda Aceh selama 28 tahun dengan Syekh Abdurrauf.
Selama kurang lebih 30 tahun menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman, lebih tepatnya ke Ulakan untuk mengembangkan ajaran Islam (Samad, 2003: 19-20). Tidak hanya itu, Syekh Burhanuddin juga membangun pusat keagamaan Islam dengan bantuan 4 muridnya yang juga ahli di bidangnya masing-masing. Keempat murid tersebut adalah Tuanku Bayang (ahli syaraf), Tuanku Kubung Tigobaleh (ahli nahwu), Tuanku Padang Ganting (ahli fiqh) dan Tuanku Batu Hampa (ahli tafsir dan al-Qur’an).
Syekh Burhanuddin secara rutin mengumpulkan empat muridnya untuk membahas berbagai masalah yang mereka hadapi. Pertemuan itu sengaja diadakan pada tanggal 11 Syafar, saat bulan sedang terbit, sehingga pada malam hari mendapat cahaya bulan. Dan kebetulan Syekh Burhanuddin meninggal pada 10 Syafar di hari Arba’a. Tahun wafatnya Syekh Burhanuddin memiliki dua versi, ada yang mengatakan tahun wafatnya adalah 1104 H, ada pula yang menyebutkan 1111 H.
Syekh Burhanuddin secara rutin mengumpulkan empat muridnya untuk membahas berbagai masalah yang mereka hadapi. Pertemuan itu sengaja diadakan pada tanggal 11 Syafar, saat bulan sedang terbit, sehingga pada malam hari mendapat cahaya bulan.
Sejak wafatnya Syekh Burhanuddin, para pengikutnya menunaikan ziarah sebagai ungkapan rasa hormat dan cinta yang besar sebagai beliau telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam. Ziarah dilakukan setiap hari, jumlah pengikut Syekh Burhanuddin dan dengan pertumbuhan Islam, para peziarah datang lebih banyak. Melihat kondisi tersebut, Idris Dt. Majo Lelo dan Syekh Abdul Rahman serta murid lainnya ingin mengatur kedatangan para peziarah, agar semuanya berjalan lancar.
Namun, pada saat itu tidak tercapai kesepakatan. Setelah 70 tahun wafatnya Syekh Burhanuddin, dua kiai yang mewarisi ajaran Syekh Burhanuddin, yaitu Syekh Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku Kataping Tujuh Koto di Kalampayan Ampalu Tinggi berkonsultasi dengan beberapa ulama Syattariyah lainnya untuk membangun dan mengatur waktu ziarah bersama ke makam Syekh Burhanuddin tersebut (Raudhatul Hikmah, 1993: 40).
Dalam pertemuan yang berlangsung di Ulakan, Syekh Koto Pauh Kambar menjelaskan, jika ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Tapakis bisa dilakukan sekaligus, banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk pembahasan berbagai persoalan keagamaan, antara tarekat Syattariyah, seperti penentuan awal Ramadhan dan hari Idul Fitri. Akhirnya, dalam rapat itu diputuskan bahwa ziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan akan dilakukan secara rutin setiap hari Rabu.
Maka dimulailah ziarah bersama ke makam Syekh Burhanuddin untuk pertama kalinya pada 16 Safar 1316 H Arba, yang disebut Basapa Safar. Basapa ini terbagi menjadi dua, pertama Sapa Gadang dilaksanakan pada hari Rabu minggu kedua bulan Safar dan Sapa Ketek dilaksanakan pada hari Rabu minggu ketiga (Yayasan Raudhatul Hikmah, 1993: 40).
Disebut Sapa Gadang karena kesempatan ini untuk orang-orang dari daerah Darek. Sapa Ketek berlangsung pada minggu kedua setelah Sapa Gadang. Bahkan, Basapa dilakukan secara individu atau kelompok. Pelaksanaan Sapa yang bersifat individual dilakukan di tanah sekitar makam dan di dalam Masjid Syekh Burhanuddin. Sedangkan Safar yang dilakukan secara berkelompok dilakukan di lapangan dalam komplek makam yang diberi tenda ataupun tidak dan di surau-surau (langgar) yang telah ada di sekeliling makam.
Rombongan peziarah lainnya juga melakukan perjalanan di luar kompleks pemakaman, menggunakan rumah-rumah penduduk dan ruang terbuka di Pantai Ulakan. Secara umum, peziarah yang datang Basapa adalah karena kewajiban berziarah, melepas nazar, demi mendapatkan kesehatan dan ketenangan. Tradisi ini sangat menarik perhatian pemerintah Kabupaten Padang Pariaman karena jika dilihat setiap tahunnya, ribuan orang selalu bertambah untuk mengunjungi tradisi Basapa.
Hal ini membuat Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman menjadikan Basapa sebagai wisata ziarah. Puluhan ribu peziarah datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat seperti Batusangkar, Sawahlunto, Bukittinggi, Sijunjung dan lain-lain akan mengunjungi Ulakan setiap kali Basapa tiba. Tak hanya dari Sumatera Barat, bahkan dari luar Sumatera Barat pun ada, seperti Teluk Kuantan dan Riau juga turut memeriahkan acara tersebut.
Namun, kebenaran ajaran tarekat Syattariyah dilihat dari sudut syariat seringkali menarik perhatian sebagian pengamat. Satu pihak menganggap tarekat ini sebagai ajaran sesat, pihak lain menganggapnya sebagai aliran menurut hukum Islam. Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut dimungkinkan karena dua hal, Pertama, mereka kelompok dari aliran tersebut sehingga penilaiannya bersifat subjektif.
Kedua, ulama yang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar, tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain. Dan diperkuat dengan adanya legitimasi resmi oleh penguasa Nagari, Syattariyah Sumatera Barat diidentikkan dengan kaum tradisional atau kaum tua dan bahkan diintegrasikan ke dalam identitas sosial-keagamaan masyarakat Muslim di Sumatera Barat (Fathurahman, 2008: 129).
Saat ini wisatawan lebih banyak datang ke Sapa Gadang, karena biasanya pengunjung Sapa Gadang juga melakukan ziarah kedua. Meskipun Basapa dalam Tarekat Syattariyah sudah ada sejak lama, namun ajaran dan tradisinya masih hidup dan disesuaikan dengan konteks saat ini. Bahkan Basapa yang sebelumnya hanya dikenal sebagai urusan ibadah dan ziarah (spiritual), atau bahkan hanya bagi orang-orang terdekat yang mengikutinya, kini mengalami perkembangan yang signifikan.
Khususnya untuk membuka peluang wisata ziarah dan diikuti oleh orang tua dan muda, tentunya akan berdampak pada penguatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dan pemerintah daerah. Termasuk melestarikan ajaran dan tradisinya serta memperkuat ukhuwah silahturrahim antar generasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, tujuan utama dari tradisi Basapa adalah sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Minangkabau kepada Syekh Burhanuddin karena telah membawa dan menyebarkan agama Islam ke Minangkabau. Seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut berubah menjadi sebuah bentuk ibadah amaliyah, sarana pengobatan ruhaniah, dan penolong di akhirat.
Daftar Bacaan:
Bakry, Nazar. Tarekat Syattariyah di Padang Pariaman: Tinjauan dari Segi Dakwah, Laporan Penelitian. Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang. 2000.
Fathurahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group. 2008. 131.
Rosyid, Moh. “Daya Perekat Menjadi Jamaah Tarekat Syattariyah di Kudus”. Jurnal Esoterik. Vol. 5, No. 1. 2019.
Samad, Duski. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta: The Minangkabau Foundation. 2003.
Yayasan Raudhatul Hikmah. Petunjuk Ziarah ke Maqam Syekh Burhanuddin. Jakarta: Licah Stope. 1993.
Leave a Reply