Kau tahu? Tanah itu suci. Sumber kehidupan terlahir dari dalamnya. Manusia, tumbuhan, hewan-hewan dapat melanjutkan hidup dari apa yang tersimpan di sana. Semua yang mati pun akan lebur menyatu dengannya. Kau pun bisa membawa kehidupan untuk orang lain dari tanah itu. Jadilah seperti bapakmu ini, jadilah seperti kakekmu. Bekerjalah mengolah tanah, membalik lapisan atasnya dan tanamlah apa saja yang bisa menjadi sumber kehidupan untuk orang banyak. Uruslah tanah yang menjadi sawah ini dengan baik. Tanamlah padi, kelak kau akan mendapat berkat dari Dewi Sri, lantaran kau membaktikan hidupmu untuk orang lain lewat bulir-bulir padi.
Ucapan itu dia dengar pertama kali bahkan ketika umurnya belum genap sepuluh tahun. Di atas tanah leluhurnya yang berupa persawahan luas itu, ayahnya kerap kali mengucapkan kalimat panjang tersebut saban kali mereka bertandang ke sawah. Tanah leluhur yang menjadi penghidupan banyak orang. Jutaan bulir padi terlahir dari tanah luas yang digarapnya selama berpuluh tahun. Kalimat itu tak ubahnya mantra baginya. Kalimat yang menjadi pegangannya selama hidup di atas dunia.
Di atas tanah leluhur itu pula kini dia berdiri. Meski dia tak tahu, sudah berapa lamakah dia berdiri di sana. Tanah yang selalu sesak dengan tangkai-tangkai padi itu, kini meranggas. Tanah yang biasanya basah, kini sekarat lantaran dihajar kemarau berkepanjangan. Tanah-tanah pecah, membentuk semacam pulau-pulau kecil di tengah tanah lapang. Dari tempatnya berdiri, dia melihat bongkahan-bongkahan tanah itu dengan ngeri. Seolah dia merasa, dari balik tanah-tanah itu akan muncul setan-setan yang bisa membuat orang-orang kelaparan. Neraka seolah ada di bawah lapisan tanah yang sekarat.
Senja kala kemerahan. Muram di tengah terik yang masih terasa membuat kering kerongkongan. Kemarau kali ini memang luar biasa menyedihkan, mata air di belik mati, sungai-sungai tak mengalirkan air hanya meninggalkan delta-delta yang tercetak di sepanjang alirannya. Sudah beberapa kali lahan gambut di gunung sebelah selatan terbakar. Panas matahari memanggang punggung gunung saban hari.
Dari kejauhan dia memandang orang-orang berduyun-duyun berjalan di tengah pematang sawah. Bagai orang-orang yang sedang melakukan perjalanan suci, mereka berjalan dengan khidmat, seolah suara mereka lenyap. Enam orang yang berjalan paling depan memanggul peti mati berwarna cokelat mengkilap. Selebihnya wajah-wajah penuh duka mengiringi upacara kematian sore itu. Dia hanya memandangi semua itu di tengah bongkahan sawah miliknya, tanpa bernafsu untuk turut bergabung. Diamati saja orang-orang itu sampai menghilang di balik grumbul bambu untuk melanjutkan ke pemakaman di balik bukit.
***
Menjadi petani adalah nasib yang seolah digariskan di telapak tangannya. Sejak kecil hingga masa tua, mengolah sawah, membajak tanah dan melakukan tandur adalah kewajiban yang dia panggul. Tanah leluhur itu haruslah dia yang merawat, sejak ayahnya meninggal tiba-tiba di pagi buta di penghujung musim panen saat usianya baru genap dua puluh tahun.
Tanah leluhur itu tak sekadar sawah belaka, ada kesakralan yang tersimpan di baliknya. Setidaknya begitulah yang diyakini keluarganya. Bulir-bulir padi yang selalu bertumbuh di sana tak hanya sekadar dari kemurahan Dewi Sri, melainkan lantaran ada campur tangan telapak-telapak kaki kerbau yang turut menyuburkan tanah. Kerbau itulah yang harus membajak sawah.
“Kau tak boleh meninggalkan kerbau untuk membantumu mengolah sawah. Garu bajak itu harus bekerja sama dengan kerbau. Kelak jika ada alat-alat modern yang jauh lebih baik dalam membalik tanah dan jauh lebih cepat menggemburkan tanah, kau tak perlu peduli dengan itu,” ucap ayahnya ketika di satu petang mereka membersihkan garu bajak yang dipenuhi lumpur.
“Jika ada bajak yang lebih baik lagi, mengapa tak boleh kita pakai. Garu bajak ini sudah tua, dan lagipula kerbau itu pun sudah lama kita pakai juga. Jika kerbau itu mati, tentulah tak ada kerbau lagi.” Dia mencoba menyangkal ucapan ayahnya.
“Kau tahu, garu bajak ini tak sekadar garu bajak biasa. Ada kesakralan di sana. Tanah itu subur dan bisa melahirkan bulir padi yang baik karena kemampuan bajak ini!”
Mendengar ucapan ayahnya, dia tertawa. Adakah hal semacam itu? Sebuah garu bajak tua menyimpan kesakralan yang tak bisa dipikirkan akal. Lagipula hal-hal semacam itu tak perlu terlalu diyakini.
“Kau mungkin tak terlalu percaya. Tapi jika kau meninggalkan garu bajak ini dan melupakan kerbau untuk membantumu mengolah sawah kita, nantinya akan ada bala datang. Bala yang membuat keluarga kita menderita. Bahkan bala yang akan membuat orang banyak terlunta-lunta.”
Kali ini dia tertegun. Ucapan ayahnya itu tak ingin dia pikirkan, namun semalaman dia tak bisa memicingkan mata. Perihal bala yang akan datang jika dia meninggalkan garu bajak dan kerbau itu selalu terngiang di telinganya. Setelahnya, dia turut mengamini masalah garu bajak dan kerbau. Keduanya tak pernah dia tinggalkan. Garu bajak warisan keluarga selalu dia pergunakan ketika membajak sawah. Kerbau yang turut membantu membajak sawah dia rawat baik-baik.
Kerbau yang lama mati, maka secepatnya akan digantikan kerbau baru. Tanah itu subur, padi-padi yang ditanam selalu berlimpah ketika panen. Berkat dari Dewi Sri itu seakan memang benar adanya. Garu bajak dan kerbau tak pernah dia tinggalkan. Tanah leluhur itu adalah berkat bagi banyak orang. Para pekerja mendapatkan berkah setiap kali musim tandur dan panen. Orang-orang di desa kerap merasakan betapa nikmatnya beras yang pulen dengan harga murah. Bulir padi yang berlimpah adalah berkat bagi banyak orang.
Tapi tak semua orang berkeinginan bekerja membalik tanah menggunakan garu bajak. Tak semua orang berkehendak menjadi seorang petani. Bulir padi bukan segala-galanya bagi sebagian orang. Waktu yang seakan berlari mengubah pekerjaan petani bukanlah profesi yang bisa diandalkan. Ada kalanya menjadi petani adalah pekerjaan yang kampungan, ndesit, dan ketinggalan jaman. Seperti kedua anaknya, tak ada satu pun dari mereka yang tertarik menjadi petani seperti dirinya. Kedua anaknya itu lebih tertarik menjadi seorang ahli mesin dan insinyur pembangunan.
“Aku sama sekali tak tertarik menjadi petani, Ayah. Menjadi seorang ahli mesin adalah cita-citaku sejak kanak,” ucap si Sulung tatkala ia menanyakan apakah anaknya itu berkeinginan menjadi seperti dirinya.
Mendengar jawaban anaknya, seketika dia kecewa.
“Kau bisa menjadi ahli mesin yang sekalian mengolah sawah. Tanah itu tentu saja menginginkan campur tangan darimu juga,” sangkalnya cepat.
“Tidak mau, Ayah. Mana bisa menjadi seorang ahli mesin tapi juga menjadi seorang petani. Nantinya jika menjadi petani akan seperti ayah ini. Terkungkung di dunia tandur dan memanen. Tak ada kegiatan lain. Menjadi petani bukan pekerjaan yang cocok denganku.”
Lalu dia memilih diam selepas mendengar ucapan putranya. Baginya tak ada gunanya lagi berdebat dengan putra sulungnya. Dia mungkin kecewa, tapi setidaknya ada harapan kepada putra keduanya. Mungkin dia tertarik meneruskan tanah leluhur itu. Mungkin putranya yang selalu patuh itu akan bersedia bekerja membajak sawah.
“Kau tahu, tanah leluhur berupa persawahan itu haruslah dirawat pemiliknya sendiri. Tentu saja setelah ayah setua ini haruslah ada penggantinya. Abangmu menolak meneruskan mengolah tanah leluhur itu. Tentu saja jika dia tak mau, kaulah yang harus menggantikannya,” dia mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati, khawatir jika dia akan menerima jawaban yang tak kalah mengecewakannya.
“Apakah harus kita sendiri yang mengurus tanah itu? Mengapa tidak kita serahkan saja tanah itu agar diurus orang lain. Kita tambah pekerja yang selama ini membantu mengolah sawah itu,”
“Tidak bisa seperti itu. Tanah itu harus dirawat langsung oleh tangan keturunan keluarga ini. Meski kita memiliki pekerja yang membantu mengolah sawah.”
Wajah putra keduanya seakan sedang berpikir. Dahinya berkerut, matanya terpejam. Setelahnya dia memandangi ayahnya dengan ragu.
“Aku sama sekali tak tertarik menjadi seorang petani, Ayah. Entah, setelah melihat Pak Ali Bey tersambar petir bertahun lalu, menjadi petani bukan pilihan hidupku lagi,”
“Alah, kematian Ali Bey yang tersambar petir kan hanya kebetulan saja. Banyak orang yang mati tersambar petir meski dia bukan petani. Abangmu menolak menjadi petani, jadi ayah berharap kepadamu.” Dia mengucapkan itu dengan kalimat sedikit memelas. Jika putra bungsunya menolak, putus sudah rantai keluarga dalam mengolah tanah.
“Tidak, Ayah. Saya tak ingin menjadi seorang petani. Saya ingin menjadi insinyur. Saya akan membangun jembatan-jembatan dan jalan. Saya benar-benar tak bisa menjadi seorang petani.”
Kekecewaan itu seketika menyergap hatinya. Tapi dibanding kecewa, dia jauh lebih ketakutan. Bagaimana jika tak ada yang meneruskan mengolah tanah leluhurnya. Lalu bagaimanakah jadinya tanah itu selepas kematiannya nanti.
***
Hujan baru saja reda, ketika putra bungsunya tergopoh-gopoh menemuinya yang sedang membersihkan garu bajak dari lumpur. Kini, seperti kakaknya, putra bungsunya itu menjadi seorang ahli dalam membangun jembatan dan jalan. Proyek-proyek besar sering dia kerjakan. Karirnya sebagai seorang insinyur melesat. Putra bungsunya itu semakin jauh dari gambaran seorang petani.
“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan. Penting sekali,”
“Kau bahkan belum menaruh pantatmu di kursi, tapi sudah berbicara seolah ada hal begitu pentingnya,”
“Memang penting sekali, Ayah. Menyoal proyek jembatan yang sedang aku bangun di kota sebelah itu, ayah tahu kan?”
Dia mengangguk. Bagaimana bisa tak tahu tentang proyek anaknya itu. Di manapun anaknya itu bekerja membangun jembatan atau jalan, dia selalu tahu.
“Penunggu tanah itu tak menghendaki dibangun jembatan, Ayah. Dia meminta penebus jika kami ingin meneruskan membangun jembatan itu,” ujar bungsunya itu dengan hati-hati.
“Kau percaya dengan hal semacam itu?” Dia tersenyum simpul mendengar ucapan anaknya. Dia mengira bahwa anaknya yang pandai dan modern itu tak akan memercayai hal-hal yang menyangkut masalah hal-hal gaib.
“Awalnya aku tak percaya, Ayah. Tapi setelah satu pekerja proyek tiba-tiba terjatuh dan terluka parah, mau tak mau aku harus percaya. Terlebih setelah kami memanggil seorang tua untuk menerawang apa yang sebenarnya terjadi,” jawab putra bungsunya itu dengan hati-hati.
“Lantas?” Dia bertanya meski sebenarnya dia tak terlalu tertarik dengan masalah yang sedang dihadapi putranya itu.
“Dia menginginkan kepala manusia untuk persembahan. Sebagai ganti kami membangun jembatan di rumahnya.”
Kali ini dia terbahak. Ada kengerian ketika mendengar itu, tapi lebih menggelikan kedengarannya di telinganya masalah persembahan itu.
“Kau akan memberikan kepala manusia untuk penunggu itu?”
“Tentu tidak, Ayah. Orang pintar itu sudah berhasil merayu penunggu itu. Kami berhasil mengganti persembahan itu. Dari kepala manusia menjadi kepala seekor kerbau. Aku ingin membeli kerbau milik ayah itu, untuk menjadi persembahan di proyekku.”
Seketika dia berdiri dari duduknya. Keterkejutan itu tak bisa disembuyikannya. Bagaimana bisa putra bungsunya itu meminta kerbau yang selama ini membajak sawah milik mereka.
“Kau tahu? Kerbau itu tak sekadar hewan yang bekerja menarik garu bajak semata. Tapi lebih dari itu, tanah yang subur di persawahan kita itu ada campur tangan dari telapak kaki-kakinya. Sejak buyutmu, kerbau itu harus dipekerjakan. Jika kau butuh seekor kerbau, pergilah ke pasar hewan. Belilah kerbau baru di sana, jangan kau ambil kerbau milikku!” Suaranya terdengar meninggi.
“Tapi di pasar hewan kami tak menemukan kerbau yang seperti dikehendaki penunggu itu, Ayah. Dia meminta kerbau yang seperti milik ayah itu,” sahut putra bungsunya dengan memelas.
“Tidak bisa!”
“Tolonglah aku, Ayah. Akan kuganti dengan traktor mesin paling baru atau kerbau baru jika ayah tak ingin kuganti dengan traktor mesin.”
Perdebatan menyoal kerbau itu sedikit berkepanjangan. Sebisa mungkin dia menolak permintaan anaknya. Tapi meski dia menolak sekuat tenaga, rasa sayang kepada putra bungsunya membuat mengalah. Kerbau bernama Legi itu dituntun putranya menjauhi kandang. Dari tempatnya duduk, dia hanya memandangi kepergian Legi dengan pandangan masygul.
Kerbau baru tak didapat, akhirnya traktor mesin untuk membajak keluaran terbaru yang menggantikan Legi. Dia ragu tatkala melihat traktor baru itu. Tapi tak ada pilihan, musim tandur akan segera tiba. Dia secepatnya harus menggemburkan tanah.
Suara traktor yang berisik mengganggu pendengarannya, tapi dia tak bisa berhenti. Di atas mesin itu dia terus bekerja membalik tanah. Garu bajak yang selalu dipakai turun temurun dalam mengolah tanah leluhur miliknya terlupa. Teronggok begitu saja di samping kandang Legi yang kosong tanpa penghuni.
***
Kemarau datang lebih cepat dari yang seharusnya. Padi-padi yang baru melahirkan bulir-bulir muda dengan cepat meranggas. Air-air di belik turut mati. Dia tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Musim seharusnya masih penghujan, tapi tiba-tiba saja langit yang seharusnya kelabu berubah benderang. Terik matahari memanggang punggung-punggung bukit. Panen gagal. Sawah yang basah mengering, meninggalkan bongkahan-bongkahan tanah yang pecah.
Dia tak ingin meyakini, mungkinkah perkataan mendiang ayahnya dulu itu benar. Garu bajak dan kerbau tak dipakainya dalam mengolah tanah, kini ucapan itu terjadi. Kesengsaraan itu benar adanya. Melihat keadaan yang demikian mengerikan itu, dia jatuh sakit. Selama berminggu-minggu dia hanya tergolek di atas tilam. Kakinya tak bisa digerakkan, dia seakan lumpuh, tak bisa berjalan ke mana-mana. Kecuali sore itu, entah bagaimana mulanya, dia sudah berdiri di atas tanah leluhurnya. Berdiam diri di sana, melihat orang-orang yang berbondong-bondong memanggul sebuah peti mati menuju pemakaman di balik bukit.
Orang-orang yang seolah sedang melakukan perjalanan suci sudah lama menghilang, tapi dia tak ingin beranjak dari atas sawahnya yang mengering dengan menyedihkan. Matanya terpejam, sebelum dia mendengar ada suara yang berjalan mendekatinya. Perlahan matanya terbuka, dia melihat Legi menarik garu bajak yang selama ini teronggok di samping kandang miliknya. Perlahan kerbau itu mendekat. Gurat kemerahan semacam sisa leher yang terputus bagai kalung di leher Legi. Perlahan dia menepuk kepala kerbau miliknya itu.
“Kau sengaja ingin menjemputku kan? Marilah kita pergi kalau begitu, hari juga sudah sedemikian sore.” Ucapnya perlahan sembari menarik Legi meninggalkan sawah yang mengering.
Perlahan dia mengajak Legi berjalan ke arah bukit di sebelah selatan. Di balik bukit itu ada persemayaman baru miliknya. Legi dan garu bajak yang dulu mengolah tanah leluhurnya harus melihat upacara persemayam dirinya sebelum mereka terlambat. Perlahan dia dan Legi meninggalkan tanah leluhurnya, yang kini sedang meranggas lantaran sekarat diterkam kemarau yang berkepanjangan.[]