Laiknya matahari, Jawa sedang mendekati ujung hari. Sebagai entitas budaya, agaknya Jawa berupa cahaya bagi manusia. Cahaya yang memberi arah bagi gerak, memberi terang untuk hidup. Namun kita tahu, tak selamanya matahari menyinari hari. Ada kalanya ia tenggelam untuk menutup petang. Barangkali karena itu budaya Jawa, kata Heru Wahyu Kismoyo (2018), sedang dalam pertarungan ruang dan waktu—dan mengalami perubahan.[1] Perubahan yang membuat Jawa sedang tenggelam, membuat hari hampir sepenuhnya gelap.
Jawa dalam senja kala, cahayanya temaram. Kendati begitu, tidak berarti ia telah usai. Agaknya pandangan Suyanto & Gunawan (2005, hal. 207) benar. Bahwa, sejak kerajaan Mataram I, nilai hasil sinkretisme dalam Jawa masih dipertahankan hingga sekarang. Hadirnya ide ‘Barat’, bagi mereka, tidak menghilangkan nilai tersebut. Pada titik ini perlu saya tegaskan: tidak hilang, tetapi tergerogoti oleh gelap. Kegelapan dalam wujudnya sebagai pendidikan formal dan politik modern beserta ideologinya yang menggeliat di atas tanah Jawa.
Koentjaraningrat dalam Kebudayaaan Jawa (1994) telah menyadari kegelapan tersebut sebagai perubahan dalam diri orang Jawa. Saya rangkum, setidaknya terdapat empat geliat perubahan. Pertama, globalisasi yang kian lantang. Globalisasi, kata Kismoyo (2018), ialah suatu usaha untuk menyatukan peradaban manusia dalam satu genggaman. Dalam usaha tersebut, hadir resistensi dialektis, yang memungkinkan naiknya Kebudayaan lokal (glokalisasi). Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan. Misalnya, orientasi nilai hormat cenderung berkurang, khususnya di luar lingkungan keluarga.[2] Menurut Koentjaraningrat, sejak tahun 1950-an, generasi muda bersikap lebih kritis terhadap orang penting baik di desa maupun di kota. Orang Jawa pada masa itu bermigrasi secara musiman demi pekerjaan, tidak lagi menggantungkan diri pada atasan. Kendati demikian, masyarakat Jawa secara makro masih bersifat hierarkis. Artinya, pengelolaan dari atas ke bawah, pusat ke daerah, dan keputusan dari atas masih signifikan.
Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan.
Kedua, penjajahan kolonial. Sebagaimana Hildred Geertz (1983, hal. 3) yang melihat bahwa hadirnya pemerintah kolonial memberi bekas terhadap masyarakat Jawa. Melalui penjajahan, orang Belanda membawa nilai budaya “Eropa Barat”. Dari segi ekonomi, mengakibatkan bergesernya peradaban agraris ke peradaban industri. Sistem ekonomi yang tidak lagi bersifat tradisional terbagi menjadi dua: sebagian yang sangat terkapitalisasi, berkiblat pada ekspor dan dikuasai kapital dan ‘manajemen Barat’, sebagian sisanya ialah lapisan petani kecil penghasil tanaman perdagangan yang dirundung kemiskinan. Selain itu, mulai digunakan pembayaran upah secara tunai kepada sesama warga desa, disertai dengan sistem kredit yang ruwet.
Dari segi sosial, melalui kebijakan ekonomis dan administratif, mengikuti Suseno (1984, hal. 19), perkembangan desa Jawa menjadi kacau. Banyak penduduk dipaksa berpindah tempat dari tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadi pergeseran pada sikap hidup penduduk mengikuti perpindahan tersebut: menjadi lebih aktif dan tidak hanya bergantung pada nasib. Dengan kata lain,keberhasilan atas karya mereka dianggap sebagai yang utama. Dari segi politik, sistem politik menjadi lebih modern. Ditandai dengan hadirnya birokrasi, pemilu, partai politik, dan kesadaran politik yang menguat bahkan sejak pemberontakan politik terhadap penjajah.
Ketiga, hadirnya negara mengkampanyekan keluarga berencana dengan sangat intensif. Akibatnya, orang Jawa lebih mengutamakan kesejahteraan keluarga mereka masing-masing. Hidup dimaknai dengan lebih rasional dan terperinci. Artinya, orientasi hidup tidak lagi ke masa lalu, tetapi ke masa depan, atau bahkan masa sekarang. Selain itu, terjadi pergeseran dalam proses sosialisasi dan enkulturasi keluarga Jawa. Anak dituntut menjadi lebih individual: berdiri sendiri dan bertanggung jawab atasi dirinya.[3] Sifat individual tersebut menjadi tanda dari menipisnya nilai gotong royong, meski di lain sisi terdapat Pancasila yang mengedepankan kegotong-royongan.
Keempat, pendidikan formal. Sebagaimana Suseno (1984, hal. 1-2) melihat pendidikan formal sebagai bahaya keterasingan orang Jawa terhadap nilai budayanya. Hal tersebut sejalan dengan Kismoyo (2018) yang menganggap pendidikan formal mendekonstruksi kejawaan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Irfan Afifi (2019), pendidikan formal sebagai produk sains (ilmu pengetahuan) menjadi pranata sosial yang mencerabuti diri orang Jawa.[4] Pendidikan yang hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia[5] dengan struktur formal yang berkiblat pada pemikiran ‘Barat’. Dominannya bahasa Indonesia yang menggunakan huruf Latin tersebut, membuat kemahiran membaca dan menulis huruf Jawa berkurang (Koentjaraningrat, 1994, hal. 20).[6] Agaknya dominasi dari bahasa Indonesia disebabkan oleh keeratannya dengan rasa nasionalistis sebagai orang Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut merebak dalam produk media massa, seperti koran, majalah, radio, bioskop, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia juga digunakan oleh mereka dengan kepentingan dalam pemerintahan atau bisnis. Sedemikian dominannya, bahkan melek huruf erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia.[7] Kendati bahasa Indonesia semakin hidup dalam masyarakat Jawa, ia tidak menggantikan sepenuhnya bahasa Jawa (Geertz C. , 2013, hal. 368-372). Selain bahasa, rahasia alam dibongkar dengan pendekatan saintifik. Akibatnya, orientasi tradisional terhadap alam berubah. Dasar budaya Jawa berubah. Sikap dan pandangan hidup bergeser dari aspek batiniah ke aspek rasional. Hadirnya ilmu pengetahuan yang fungsional menggeser pandangan simbol yang mistis-magis. Artinya, rasionalitas menjadi tolak ukur dalam hubungan manusia. Ungkapan metafisis dari leluhur diabaikan oleh ilmu pengetahuan yang mengedepankan segala sesuatu yang konkret (Herusatoto, 1991, hal. 125-126). Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam.
Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam
Keempat faktor yang telah dijelaskan merupakan kesadaran atas perubahan yang sedang berlangsung sebelum tahun 2000, atau setidaknya bagi Koentjaraningrat—barangkali pula masih berlangsung hingga kini. Hingga esai ini ditulis, Jawa telah berada pada tahun 2020. Kurun waktu yang cukup lama tersebut, menurut saya membawa perubahan lebih, jika bukan berbeda, dibandingkan faktor-faktor sebelumnya. Maka, mari kita lanjutkan pembahasan terhadap geliat perubahan dalam kebudayaan Jawa.
Kelima, menguatnya Islam. Maksudnya, dalam hal kepercayaan, semakin banyak penganut agama Islam. Heddy Shri Ahimsa Putra (2019) memberi penggambaran di kampus Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan pengamatannya, islamisasi kampus kian masif. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya Masjid Kampus UGM dan tiap fakultas memiliki masjidnya masing-masing. Baginya, kegiatan beribadah seperti salat, dulu dilakukan hanya oleh segelintir orang di kampus tersebut.[8] Sekarang sebaliknya, kegiatan beribadah makin banyak diikuti dan mudah untuk diamati.
Keenam, perkembangan teknologi. Ini juga akibat lebih lanjut dari globalisasi manakala terdapat semacam standar dalam penggunaan teknologi. Sebagai contoh dalam hal komunikasi dengan menggunakan telepon. Standar tersebut juga membawa suatu tuntutan terhadap masyarakat Jawa: keberaksaraan. Dengan demikian berakibat pada semakin banyaknya orang Jawa yang dapat membaca dan menulis. Akibat lain ialah mulainya bergeser sikap orang Jawa menjadi lebih terbuka. Terbuka dalam arti blak-blakan. Komunikasi melalui telepon meniadakan prasyarat untuk bertatap muka sehingga kepekaan sosial menjadi berkurang. Pada titik ini, hierarki atau strata sosial agaknya menjadi kabur (Putra, 2019).
Ketujuh, subkultur Jawa dan variannya. Subkultur Jawa mengalami perubahan masing-masing (Putra, 2019).[9] Dalam subkultur Yogyakarta, setidaknya terdapat tiga varian: Jawa Priyayi, Jawa Wong Cilik, dan Wong Jawa Kotagede. Varian tersebut bertambah menjadi lebih banyak seiring waktu berjalan. Menurut Putra (2019), varian yang paling dominan secara kuantitas ialah varian Jawa Islam Modern. Varian yang memiliki gaya berpikir modern, dan oleh karenanya, mengikuti gaya hidup modern.
Faktor-faktor yang telah saya jelaskan di atas dapat diletakan di bawah satu payung besar bernama modernitas. Payung yang membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa, yang tradisional itu, sedang diperkosa oleh modernitas. Keluarga Jawa sebagai cerminan masyarakat Jawa niscaya mendapat hal serupa. Kismoyo (2018) melihat ada satu hal yang hilang dari keluarga Jawa, yaitu budaya Jawa itu sendiri. Artinya, fungsi utama keluarga sebagai pewaris nilai budaya Jawa cenderung berkurang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebudayaan Jawa telah tercerabut dari akarnya. Apa yang membuatnya demikian? Tidak lain disebabkan oleh modernitas itu sendiri. Sebagaimana kehadiran pendidikan formal berpengaruh pada keluarga yang juga sebagai cerminan masyarakat (Afifi, 2019). Jika kita sempitkan, orang Jawa sedang mengalami pertentangan antara modernisme dan tradisionalisme dalam dirinya. Ini juga membuktikan bahwa dalam keluarga Jawa bukan hanya tradisi yang menuntun seseorang untuk hidup, bahwa orang Jawa sudah menjadi warga dunia. Artinya, pengaruh yang berasal dari luar tradisi Jawa ikut berkontribusi pada kehidupan orang Jawa tersebut. Dengan demikian, orang Jawa juga cenderung memiliki orientasi hidup yang serba duniawi, bahkan hedonistik (Kismoyo, 2018). Hadirnya orientasi tersebut ditopang sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dan dominan. Meminjam alur dari Afifi (2019), modernitas membawa rasionalitas yang kemudian berwujud sains dan ilmu ekonomi menjadi bagian dari dalamnya, yang kemudian ‘membenarkan’ kapitalisme.[10] Suatu sistem ekonomi yang berkelindan dalam modernitas, yang dilahirkan bersama penaklukan atas realitas sehingga menampikkan pandangan dunia Jawa sebelumnya—dan berusaha menenggelamkannya dalam gelap.
Jawa Dalam Bayangan Kedepan
Setelah membahas kegelapan, mari kita beralih ke cahaya temaram Jawa yang masih tampak. Cahaya dimaksud ialah apa yang tetap dari masyarakat Jawa. Setidaknya, saya melihat tersisa empat sumber cahaya. Pertama, masyarakat Jawa masih bersifat hierarkis. Mengikuti Joko Suryo (2018), terdapat distingsi antara rakyat biasa dan elit.[11] Hubungan yang dilandaskan status sosial dan umur masih terasa. Dengan demikian, etiket Jawa yang mengatur hubungan orang Jawa dengan sesamanya masih dapat dengan mudah diamati.
Kedua, sistem pertalian atau kekerabatan keluarga Jawa. Morgan melihat bahwa keluarga mewakili suatu prinsip yang aktif (Engels, 2004, hal. 32). Artinya, selalu berubah. Dari bentuk yang rendah ke bentuk yang lebih tinggi, sebagaimana masyarakat. Kendati begitu, bagi saya, ia tidak begitu menjelaskan bagaimana indikator tinggi-rendah tersebut. Saya memaknai ‘tinggi’ sebagai tanda kesekarangan, dan ‘rendah’ merupakan tanda awal mula. Sebatas itu. Berbanding terbalik dengan keluarga, sistem pertalian darah secara pasif merekam kemajuan yang dibuat oleh keluarga dalam waktu yang panjang dan hanya berubah secara radikal ketika keluarga tersebut berubah secara radikal. Hal ini sejalan dengan Putra (2019), yang melihat bahwa sistem pertalian keluarga Jawa yang bilateral sulit sekali berubah. Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.
Ketiga, bahasa Jawa. Kendati semakin berkurang penuturnya sejak masa pemerintahan kolonial, dalam hal grammar (tata bahasa) bahasa Jawa tidak berubah (Putra, 2019). Keempat, pandangan dunia orang Jawa tidak berubah (Afifi, 2019). Perlu ditekankan, secara konseptual pandangan dunia tersebut tidak mengalami perkembangan dalam hal esensi. Ia konstan, jika bukan final, kendati pendidikan formal—beserta perangkat modernitas lain seperti negara—menggeser cara pandang dunia orang Jawa. Dari penjelasan tersebut, tidak berlebihan jika kita melihat manusia seolah-olah menjadi wadah untuk suatu pandangan tertentu.
Pada akhirnya, kita perlu menjawab satu tanya: apa yang bisa dilakukan manusia di hadapan senja kala budaya Jawa? Barangkali meng-harap. Bahwa senja akan berakhir dan gelap segera pergi. Seperti Kismoyo (2018) yang melihat bahwa kebudayaan Jawa laiknya gelombang. Satu waktu berada di atas dan terang benderang, satu waktu lain meredup sebagaimana sekarang. Ia masih percaya bahwa hari tidak akan pernah selamanya gelap. Sebagai contoh dalam teknologi digital, Jawa menghadirkan dirinya dalam bentuk seperti Primbon daring atau kursus bahasa Jawa daring. Contoh lain dalam upacara seperti pernikahan atau perayaan tertentu. Kita masih dapat merasakan kehadiran Jawa melaluinya. Kedua contoh tersebut menjadi penggambaran resistensi dari budaya Jawa—bahwa Jawa belum sepenuhnya usai. Bahwa Jawa kini menjadi suatu kerinduan. Orang Jawa yang jemu dengan modernitas beserta tetek bengeknya barangkali akan kembali kepada budaya Jawa, dalam upayanya mencari ketenangan. Dari sini, agaknya kita dibolehkan berharap. Barangkali esok pagi akan datang lagi. Membawa kembali cahaya yang telah pergi.
[1] Pandangan Heru Wahyu Kismoyo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 7 Februari 2018.
[2] Contoh lain ialah dalam ritual pernikahan. Pernikahan yang terjadi belakangan ini, kata Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), lebih tampak sebagai perpaduan gaya Jawa-Eropa.
[3] Kendati demikian, Koentjaraningrat menekankan bahwa sifat tersebut agaknya diabaikan pada keluarga yang mampu—yang dapat menikmati hidup dengan mudah.
[4] Pandangan Irfan Afifi tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ifada Initiatives pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 20.00-22.00. Kata Irfan Afifi, alih-alih sains, masyarakat Jawa memiliki unit pendidikannya sendiri berupa pesantren yang berbasis tradisional.
[5] Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu orang Jawa. Menurut Suseno (1984, hal. 9-10), bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional merupakan perkembangan dari bahasa Melayu.
[6] Sebenarnya, menurut Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), terdapat upaya pelestarian melalu media seperti televisi, koran, dan radio. Namun, sepertinya tidak terlalu signifikan.
[7] Bagi saya, ini bermasalah. Penghakiman atas suatu masyarakat adalah belum melek atau buta huruf agaknya terlalu sembrono. Penghakiman tersebut biasanya berasal dari bahasa yang dominan. Misal, orang Jawa dianggap buta huruf oleh pemerintah Indonesia, karena tidak dapat membaca dan menulis. Padahal, orang Jawa mempunyai bahasa dan tulisannya sendiri. Bahasa dan aksara Jawa. Dengan kata lain, orang tersebut punya kemampuan lisan dan tulisannya sendiri. Hal ini yang bagi saya jarang mendapat perhatian. Hanya karena rasa nasionalis, lokalitas disingkirkan.
[8] Pandangan Heddy Shri Ahimsa Putra tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ruang Sekre Gedung Senat FIB UGM pada tanggal 30 Januari 2019 pukul 14.00-15.30.
[9] Perlu saya pertegas, agaknya perubahan yang berbeda-beda tersebut merupakan ekspresi resistensi terhadap gelombang perubahan.
[10] Ifan Afifi menekankan bahwa sains membawa perubahan secara signifkan.
[11] Pandangan Joko Suryo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Sekip C9 Perumahan Dosen UGM pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 09.00-12.00.
Refrences
Afifi, I. (2019, Februari 24). Jawa dan Modernitas. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Engels, F. (2004). Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.
Geertz, C. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. (A. Mahasin, & B. Rasuanto, Penerj.) Jakarta: Komunitas Bambu.
Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta Pusat: Grafiti Pers.
Herusatoto, B. (1991). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Kismoyo, H. W. (2018, September 7). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, H. S. (2019, Januari 30). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suryo, J. (2018, Agustus 17). Keluarga Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Suyanto, I., & Gunawan. (2005). Paham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elite Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Antropologi Indonesia, 29, 207-218.