Menu

Budaya Jawa di Bawah Bayang-bayang Modernitas

 

Laiknya matahari, Jawa sedang mendekati ujung hari. Sebagai entitas budaya, agaknya Jawa berupa cahaya bagi manusia. Cahaya yang memberi arah bagi gerak, memberi terang untuk hidup. Namun kita tahu, tak selamanya matahari menyinari hari. Ada kalanya ia tenggelam untuk menutup petang. Barangkali karena itu budaya Jawa, kata Heru Wahyu Kismoyo (2018), sedang dalam pertarungan ruang dan waktu—dan mengalami perubahan.[1] Perubahan yang membuat Jawa sedang tenggelam, membuat hari hampir sepenuhnya gelap.

Jawa dalam senja kala, cahayanya temaram. Kendati begitu, tidak berarti ia telah usai. Agaknya pandangan Suyanto & Gunawan (2005, hal. 207) benar. Bahwa, sejak kerajaan Mataram I, nilai hasil sinkretisme dalam Jawa masih dipertahankan hingga sekarang. Hadirnya ide ‘Barat’, bagi mereka, tidak menghilangkan nilai tersebut. Pada titik ini perlu saya tegaskan: tidak hilang, tetapi tergerogoti oleh gelap. Kegelapan dalam wujudnya sebagai pendidikan formal dan politik modern beserta ideologinya yang menggeliat di atas tanah Jawa.

Koentjaraningrat dalam Kebudayaaan Jawa (1994) telah menyadari kegelapan tersebut sebagai perubahan dalam diri orang Jawa. Saya rangkum, setidaknya terdapat empat geliat perubahan. Pertama, globalisasi yang kian lantang. Globalisasi, kata Kismoyo (2018), ialah suatu usaha untuk menyatukan peradaban manusia dalam satu genggaman. Dalam usaha tersebut, hadir resistensi dialektis, yang memungkinkan naiknya Kebudayaan lokal (glokalisasi). Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan. Misalnya, orientasi nilai hormat cenderung berkurang, khususnya di luar lingkungan keluarga.[2] Menurut Koentjaraningrat, sejak tahun 1950-an, generasi muda bersikap lebih kritis terhadap orang penting baik di desa maupun di kota. Orang Jawa pada masa itu bermigrasi secara musiman demi pekerjaan, tidak lagi menggantungkan diri pada atasan. Kendati demikian, masyarakat Jawa secara makro masih bersifat hierarkis. Artinya, pengelolaan dari atas ke bawah, pusat ke daerah, dan keputusan dari atas masih signifikan.

Dengan demikian, globalisasi yang membawa hubungan dengan dunia luar, membuat desa-desa terpencil di Jawa berkurang. Akibatnya, nilai tradisional dari desa-desa tersebut mendapat keraguan—antara menjadi budaya di permukaan atau malah tersingkirkan.

Kedua, penjajahan kolonial. Sebagaimana Hildred Geertz (1983, hal. 3) yang melihat bahwa hadirnya pemerintah kolonial memberi bekas terhadap masyarakat Jawa. Melalui penjajahan, orang Belanda membawa nilai budaya “Eropa Barat”. Dari segi ekonomi, mengakibatkan bergesernya peradaban agraris ke peradaban industri. Sistem ekonomi yang tidak lagi bersifat tradisional terbagi menjadi dua: sebagian yang sangat terkapitalisasi, berkiblat pada ekspor dan dikuasai kapital dan ‘manajemen Barat’, sebagian sisanya ialah lapisan petani kecil penghasil tanaman perdagangan yang dirundung kemiskinan. Selain itu, mulai digunakan pembayaran upah secara tunai kepada sesama warga desa, disertai dengan sistem kredit yang ruwet.

Dari segi sosial, melalui kebijakan ekonomis dan administratif, mengikuti Suseno (1984, hal. 19), perkembangan desa Jawa menjadi kacau. Banyak penduduk dipaksa berpindah tempat dari tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadi pergeseran pada sikap hidup penduduk mengikuti perpindahan tersebut: menjadi lebih aktif dan tidak hanya bergantung pada nasib. Dengan kata lain,keberhasilan atas karya mereka dianggap sebagai yang utama. Dari segi politik, sistem politik menjadi lebih modern. Ditandai dengan hadirnya birokrasi, pemilu, partai politik, dan kesadaran politik yang menguat bahkan sejak pemberontakan politik terhadap penjajah.

Ketiga, hadirnya negara mengkampanyekan keluarga berencana dengan sangat intensif. Akibatnya, orang Jawa lebih mengutamakan kesejahteraan keluarga mereka masing-masing. Hidup dimaknai dengan lebih rasional dan terperinci. Artinya, orientasi hidup tidak lagi ke masa lalu, tetapi ke masa depan, atau bahkan masa sekarang. Selain itu, terjadi pergeseran dalam proses sosialisasi dan enkulturasi keluarga Jawa. Anak dituntut menjadi lebih individual: berdiri sendiri dan bertanggung jawab atasi dirinya.[3] Sifat individual tersebut menjadi tanda dari menipisnya nilai gotong royong, meski di lain sisi terdapat Pancasila yang mengedepankan kegotong-royongan.

Keempat, pendidikan formal. Sebagaimana Suseno (1984, hal. 1-2) melihat pendidikan formal sebagai bahaya keterasingan orang Jawa terhadap nilai budayanya. Hal tersebut sejalan dengan Kismoyo (2018) yang menganggap pendidikan formal mendekonstruksi kejawaan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Irfan Afifi (2019), pendidikan formal sebagai produk sains (ilmu pengetahuan) menjadi pranata sosial yang mencerabuti diri orang Jawa.[4] Pendidikan yang hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia[5] dengan struktur formal yang berkiblat pada pemikiran ‘Barat’. Dominannya bahasa Indonesia yang menggunakan huruf Latin tersebut, membuat kemahiran membaca dan menulis huruf Jawa berkurang (Koentjaraningrat, 1994, hal. 20).[6] Agaknya dominasi dari bahasa Indonesia disebabkan oleh keeratannya dengan rasa nasionalistis sebagai orang Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut merebak dalam produk media massa, seperti koran, majalah, radio, bioskop, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia juga digunakan oleh mereka dengan kepentingan dalam pemerintahan atau bisnis. Sedemikian dominannya, bahkan melek huruf erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia.[7] Kendati bahasa Indonesia semakin hidup dalam masyarakat Jawa, ia tidak menggantikan sepenuhnya bahasa Jawa (Geertz C. , 2013, hal. 368-372). Selain bahasa, rahasia alam dibongkar dengan pendekatan saintifik. Akibatnya, orientasi tradisional terhadap alam berubah. Dasar budaya Jawa berubah. Sikap dan pandangan hidup bergeser dari aspek batiniah ke aspek rasional. Hadirnya ilmu pengetahuan yang fungsional menggeser pandangan simbol yang mistis-magis. Artinya, rasionalitas menjadi tolak ukur dalam hubungan manusia. Ungkapan metafisis dari leluhur diabaikan oleh ilmu pengetahuan yang mengedepankan segala sesuatu yang konkret (Herusatoto, 1991, hal. 125-126). Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam.

Melalui pendidikan pula, seseorang menghendaki pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri atau sesuatu yang berseragam lainnya. Suatu golongan yang menggantikan kelas priyayi. Golongan yang menghargai secara berlebihan mereka yang berseragam. Agaknya karena trauma masa lalu, perasaan takut kepada mereka yang memiliki kekuatan fisik, yang cenderung berseragam

Keempat faktor yang telah dijelaskan merupakan kesadaran atas perubahan yang sedang berlangsung sebelum tahun 2000, atau setidaknya bagi Koentjaraningrat—barangkali pula masih berlangsung hingga kini. Hingga esai ini ditulis, Jawa telah berada pada tahun 2020. Kurun waktu yang cukup lama tersebut, menurut saya membawa perubahan lebih, jika bukan berbeda, dibandingkan faktor-faktor sebelumnya. Maka, mari kita lanjutkan pembahasan terhadap geliat perubahan dalam kebudayaan Jawa.

Kelima, menguatnya Islam. Maksudnya, dalam hal kepercayaan, semakin banyak penganut agama Islam. Heddy Shri Ahimsa Putra (2019) memberi penggambaran di kampus Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan pengamatannya, islamisasi kampus kian masif. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya Masjid Kampus UGM dan tiap fakultas memiliki masjidnya masing-masing. Baginya, kegiatan beribadah seperti salat, dulu dilakukan hanya oleh segelintir orang di kampus tersebut.[8] Sekarang sebaliknya, kegiatan beribadah makin banyak diikuti dan mudah untuk diamati.

Keenam, perkembangan teknologi. Ini juga akibat lebih lanjut dari globalisasi manakala terdapat semacam standar dalam penggunaan teknologi. Sebagai contoh dalam hal komunikasi dengan menggunakan telepon. Standar tersebut juga membawa suatu tuntutan terhadap masyarakat Jawa: keberaksaraan. Dengan demikian berakibat pada semakin banyaknya orang Jawa yang dapat membaca dan menulis. Akibat lain ialah mulainya bergeser sikap orang Jawa menjadi lebih terbuka. Terbuka dalam arti blak-blakan. Komunikasi melalui telepon meniadakan prasyarat untuk bertatap muka sehingga kepekaan sosial menjadi berkurang. Pada titik ini, hierarki atau strata sosial agaknya menjadi kabur (Putra, 2019).

Ketujuh, subkultur Jawa dan variannya. Subkultur Jawa mengalami perubahan masing-masing (Putra, 2019).[9] Dalam subkultur Yogyakarta, setidaknya terdapat tiga varian: Jawa Priyayi, Jawa Wong Cilik, dan Wong Jawa Kotagede. Varian tersebut bertambah menjadi lebih banyak seiring waktu berjalan. Menurut Putra (2019), varian yang paling dominan secara kuantitas ialah varian Jawa Islam Modern. Varian yang memiliki gaya berpikir modern, dan oleh karenanya, mengikuti gaya hidup modern.

Faktor-faktor yang telah saya jelaskan di atas dapat diletakan di bawah satu payung besar bernama modernitas. Payung yang membuat kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa, yang tradisional itu, sedang diperkosa oleh modernitas. Keluarga Jawa sebagai cerminan masyarakat Jawa niscaya mendapat hal serupa. Kismoyo (2018) melihat ada satu hal yang hilang dari keluarga Jawa, yaitu budaya Jawa itu sendiri. Artinya, fungsi utama keluarga sebagai pewaris nilai budaya Jawa cenderung berkurang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebudayaan Jawa telah tercerabut dari akarnya. Apa yang membuatnya demikian? Tidak lain disebabkan oleh modernitas itu sendiri. Sebagaimana kehadiran pendidikan formal berpengaruh pada keluarga yang juga sebagai cerminan masyarakat (Afifi, 2019). Jika kita sempitkan, orang Jawa sedang mengalami pertentangan antara modernisme dan tradisionalisme dalam dirinya. Ini juga membuktikan bahwa dalam keluarga Jawa bukan hanya tradisi yang menuntun seseorang untuk hidup, bahwa orang Jawa sudah menjadi warga dunia. Artinya, pengaruh yang berasal dari luar tradisi Jawa ikut berkontribusi pada kehidupan orang Jawa tersebut. Dengan demikian, orang Jawa juga cenderung memiliki orientasi hidup yang serba duniawi, bahkan hedonistik (Kismoyo, 2018). Hadirnya orientasi tersebut ditopang sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dan dominan. Meminjam alur dari Afifi (2019), modernitas membawa rasionalitas yang kemudian berwujud sains dan ilmu ekonomi menjadi bagian dari dalamnya, yang kemudian ‘membenarkan’ kapitalisme.[10] Suatu sistem ekonomi yang berkelindan dalam modernitas, yang dilahirkan bersama penaklukan atas realitas sehingga menampikkan pandangan dunia Jawa sebelumnya—dan berusaha menenggelamkannya dalam gelap.

Jawa Dalam Bayangan Kedepan

Setelah membahas kegelapan, mari kita beralih ke cahaya temaram Jawa yang masih tampak. Cahaya dimaksud ialah apa yang tetap dari masyarakat Jawa. Setidaknya, saya melihat tersisa empat sumber cahaya. Pertama, masyarakat Jawa masih bersifat hierarkis. Mengikuti Joko Suryo (2018), terdapat distingsi antara rakyat biasa dan elit.[11] Hubungan yang dilandaskan status sosial dan umur masih terasa. Dengan demikian, etiket Jawa yang mengatur hubungan orang Jawa dengan sesamanya masih dapat dengan mudah diamati.

Kedua, sistem pertalian atau kekerabatan keluarga Jawa. Morgan melihat bahwa keluarga mewakili suatu prinsip yang aktif (Engels, 2004, hal. 32). Artinya, selalu berubah. Dari bentuk yang rendah ke bentuk yang lebih tinggi, sebagaimana masyarakat. Kendati begitu, bagi saya, ia tidak begitu menjelaskan bagaimana indikator tinggi-rendah tersebut. Saya memaknai ‘tinggi’ sebagai tanda kesekarangan, dan ‘rendah’ merupakan tanda awal mula. Sebatas itu. Berbanding terbalik dengan keluarga, sistem pertalian darah secara pasif merekam kemajuan yang dibuat oleh keluarga dalam waktu yang panjang dan hanya berubah secara radikal ketika keluarga tersebut berubah secara radikal. Hal ini sejalan dengan Putra (2019), yang melihat bahwa sistem pertalian keluarga Jawa yang bilateral sulit sekali berubah. Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.

Kendati sistemnya tidak berubah, tetapi kata Afifi (2019), orang Jawa dalam berinteraksi satu sama lain semakin berkurang. Baginya, kekerabatan semakin menyempit. Dulu, satu desa merupakan satu keluarga. Kedekatan begitu terasa. Namun, karena perubahan jarak dan mobilisasi sosial, kedekatan tersebut mulai berkurang.

Ketiga, bahasa Jawa. Kendati semakin berkurang penuturnya sejak masa pemerintahan kolonial, dalam hal grammar (tata bahasa) bahasa Jawa tidak berubah (Putra, 2019). Keempat, pandangan dunia orang Jawa tidak berubah (Afifi, 2019). Perlu ditekankan, secara konseptual pandangan dunia tersebut tidak mengalami perkembangan dalam hal esensi. Ia konstan, jika bukan final, kendati pendidikan formal—beserta perangkat modernitas lain seperti negara—menggeser cara pandang dunia orang Jawa. Dari penjelasan tersebut, tidak berlebihan jika kita melihat manusia seolah-olah menjadi wadah untuk suatu pandangan tertentu.

Pada akhirnya, kita perlu menjawab satu tanya: apa yang bisa dilakukan manusia di hadapan senja kala budaya Jawa? Barangkali meng-harap. Bahwa senja akan berakhir dan gelap segera pergi. Seperti Kismoyo (2018) yang melihat bahwa kebudayaan Jawa laiknya gelombang. Satu waktu berada di atas dan terang benderang, satu waktu lain meredup sebagaimana sekarang. Ia masih percaya bahwa hari tidak akan pernah selamanya gelap. Sebagai contoh dalam teknologi digital, Jawa menghadirkan dirinya dalam bentuk seperti Primbon daring atau kursus bahasa Jawa daring. Contoh lain dalam upacara seperti pernikahan atau perayaan tertentu. Kita masih dapat merasakan kehadiran Jawa melaluinya. Kedua contoh tersebut menjadi penggambaran resistensi dari budaya Jawa—bahwa Jawa belum sepenuhnya usai. Bahwa Jawa kini menjadi suatu kerinduan. Orang Jawa yang jemu dengan modernitas beserta tetek bengeknya barangkali akan kembali kepada budaya Jawa, dalam upayanya mencari ketenangan. Dari sini, agaknya kita dibolehkan berharap. Barangkali esok pagi akan datang lagi. Membawa kembali cahaya yang telah pergi.

 


[1] Pandangan Heru Wahyu Kismoyo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 7 Februari 2018.

[2] Contoh lain ialah dalam ritual pernikahan. Pernikahan yang terjadi belakangan ini, kata Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), lebih tampak sebagai perpaduan gaya Jawa-Eropa.

[3] Kendati demikian, Koentjaraningrat menekankan bahwa sifat tersebut agaknya diabaikan pada keluarga yang mampu—yang dapat menikmati hidup dengan mudah.

[4] Pandangan Irfan Afifi tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ifada Initiatives pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 20.00-22.00. Kata Irfan Afifi, alih-alih sains, masyarakat Jawa memiliki unit pendidikannya sendiri berupa pesantren yang berbasis tradisional.

[5] Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu orang Jawa. Menurut Suseno (1984, hal. 9-10), bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional merupakan perkembangan dari bahasa Melayu.

[6] Sebenarnya, menurut Heddy Shri Ahimsa Putra (2019), terdapat upaya pelestarian melalu media seperti televisi, koran, dan radio. Namun, sepertinya tidak terlalu signifikan.

[7] Bagi saya, ini bermasalah. Penghakiman atas suatu masyarakat adalah belum melek atau buta huruf agaknya terlalu sembrono. Penghakiman tersebut biasanya berasal dari bahasa yang dominan. Misal, orang Jawa dianggap buta huruf oleh pemerintah Indonesia, karena tidak dapat membaca dan menulis. Padahal, orang Jawa mempunyai bahasa dan tulisannya sendiri. Bahasa dan aksara Jawa. Dengan kata lain, orang tersebut punya kemampuan lisan dan tulisannya sendiri. Hal ini yang bagi saya jarang mendapat perhatian. Hanya karena rasa nasionalis, lokalitas disingkirkan.

[8]  Pandangan Heddy Shri Ahimsa Putra tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Ruang Sekre Gedung Senat FIB UGM pada tanggal 30 Januari 2019 pukul 14.00-15.30.

[9] Perlu saya pertegas, agaknya perubahan yang berbeda-beda tersebut merupakan ekspresi resistensi terhadap gelombang perubahan.

[10] Ifan Afifi menekankan bahwa sains membawa perubahan secara signifkan.

[11] Pandangan Joko Suryo tersebut diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di Sekip C9 Perumahan Dosen UGM pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 09.00-12.00.

Refrences

Afifi, I. (2019, Februari 24). Jawa dan Modernitas. (R. E. Nugraha, Pewawancara)

Engels, F. (2004). Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.

Geertz, C. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. (A. Mahasin, & B. Rasuanto, Penerj.) Jakarta: Komunitas Bambu.

Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta Pusat: Grafiti Pers.

Herusatoto, B. (1991). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Kismoyo, H. W. (2018, September 7). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Putra, H. S. (2019, Januari 30). Perubahan Budaya Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)

Suryo, J. (2018, Agustus 17). Keluarga Jawa. (R. E. Nugraha, Pewawancara)

Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Suyanto, I., & Gunawan. (2005). Paham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elite Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Antropologi Indonesia, 29, 207-218.

 

0
242
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.