Rinduku Pada Umbu; Mungkin Hanya Angin, Daun, dan Debu

Pertama menemuinya, perhatian saya tercuri oleh tato kecil di tangannya: kuda. Saya tak tahu maknanya, dan tak pernah berusaha menanyakannya. Bodo amat. Menit demi menit berlalu, yang saya tahu waktu itu: tubuhnya kisut, tangannya penuh kerut-merut.

Tua. Seluruh tubuhnya sudah tua, begitulah saya meyakininya. Kecuali sepasang mata yang warnanya bagai matahari, hangat dan cerah. Saya tak pernah bisa melupakan hari saat kami duduk di beranda, bercakap-cakap tentang Malioboro, tempat ia keluyuran dan menuliskan  hampir seluruh sajaknya. Juga tentang sajak “Apa Ada Angin di Jakarta?”. Juga tahun-tahun yang dilaluinya di Pulau Dewata.

Lelaki tua itulah, lelaki yang selalu bisa mempertahankan ketegarannya dengan topi usang di kepala, yang dahulu mengajari Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, dan banyak lainnya, untuk menulis sajak. Tapi dalam beberapa hal masih tampak gagah. Matanya seolah bisa menghanyutkan berbagai benda bercahaya.

Kebesaran namanya itu yang membuat saya kikuk. Saya sangsi bisa menulis sosoknya dengan benar. Meski saya telah mendengar, cerita tentangnya dari orang lain dan buku-buku, saya tak terlalu yakin itu akan banyak membantu.

Tapi saya memberanikan diri. Kisah ini adalah tentang Umbu Landu Paranggi. Tepatnya Umbu dan saya. Tapi selalu dengan pusat perhatian pada Umbu, lelaki tua berambut panjang dengan sajak-sajak Sumbanya –muasalnya, tanah dan lazuardi biru, keindahan yang bersahaja, lunak dan kelabu.

***

Waktu itu…

Waktu matahari sudah lebih tinggi, di tanah Humba, di batu-batu Maramba, kuda-kuda rebah, seorang “melupa hidup gelisah” membisik talkin purba. Angin, jirat aku pergi. Sisipkan aku ke liang duka. Burung, angkat aku tinggi. Terbangkan aku hingga Ruaka. Dan…

sunyi

      bekerjalah kau

bagi

      imanku risau

(Umbu Landu Paranggi, Doa Alit)

 

Tapi sudah lama ia tinggalkan tempat kelahirannya itu. Terbang bagai awan lalu, dekat dengan cahaya, melintas hutan-hutan dan pelabuhan, dibakar terik dan kesepian.

Kini, di usianya yang tambah tua tambah sunyi, jalannya jauh lebih pelahan, ia telah mencapai kedalaman yang semestinya. Ia telah menyusuri daratan-daratan masa mudanya –Yogyakarta, tempat ia menatap langit jernih, kota di mana ia menemukan cinta pertamanya; Bali, tempat ia mendengar suara dayung-dayung tercelup, membelah air, berubah menjadi mantra.

Saya kutip salah satu sajaknya “Dari Pos Plawangan, Kepada Yogya” yang berbicara tentang cintanya. Yogyakarta…

Adalah kenangan

dan gelisah itu

Berpuluh dan berpuluh seperti sayup mimpi, di sini

di mana sukma cinta tak pernah menyerah

Begitulah.

Saya selalu berpikir ia adalah seorang pengembara, dan tak ada lagi perbatasan yang masih tersisa untuk diseberanginya. Samudera terdengar mengabur di belakangnya. Dan ia sudah habis-habisan dengan diri sendiri dan memenangkannya.

Memang pribadi seperti dia mempunyai gaya yang khas: romantik. Penampilannya selalu menarik. Umbu: demikian orang memanggilnya. Penuh gairah hidup bebas. Itulah batas, batas yang membedakannya.

Ia tak pernah bercerita pada kita tentang rang tuang karang. Tapi kita tahu dari mana ia datang.

Sumba –nirwana seorang gembala kuda, istana para rato, tempat doa-doa rungkut, suara kuda merendah, lembut, basah oleh kabut.

Tentu saya bukan satu-satunya orang yang terpukau “keliaran” itu. Kuda yang turun di kaki bukit-bukit yang jauh. Hijau palem dan cokelat batu. Matahari yang menembus pori-pori, padang-padang yang dibasuh hujan sehari. Getar-getar suara tambur. Ombak yang datar, dan membentur-bentur. Dan burung-burung yang menukik ke dalam air, tercebur.

***

Saya tak punya kata-kata untuk menyangkal semua itu.

Juga bunyi bau padang Sumba. Tanah rumput ringik kuda. Jangkrik yang terdiam dalam terik. Keluhan kadal pendek-pendek, halus, dan menisik. Teriak gembala. Laki-laki Sumba. Ia akan selalu di sana. Duduk di atas punggung kuda. Di jaga seribu Marapu, ditemani satu atau dua anjing bermata sayu.

Ia akan berkuda, melintas sabana. Dan Umbu, yang mengalir darah Sumba dalam tubuhnya. Terseret dari sabana ke sabana. Saya kutipkan sajaknya yang bagus, dan akan diingat terus, Sabana.

memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang

sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda

sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu

lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala

Umbu, ya Umbu Landu, singkatnya, saya mengenalnya sebagai pohon rindang yang teduh. Seorang gembala berpacu. Lelaki yang berani membakar langit dan membikin rumput jadi hijau. Adalah angin yang menggelombangkan bukit-bukit biru.

Umbu dan Sumba tak bertepi. Abadi.

Kita tahu: di Sumba, di Tana Humba, pada batu lengas, pada langit kapas, di sepanjang pantai timur, antara semak dan batu kapur. Gembala kuda bukan buckaroo yang memberi isyarat pada kuda dengan taji-taji di sepatu. Tak ada topi taco atau sehelai bandana buat menghalau panas dan debu. Juga aksesori perak berkilau. Juga pelana lengkung dan celana pipa panjang.

***

Apa yang dipakai, seutas tali, langit warna ganih, itulah harta yang dimiliki orang Sumba dan Umbu Landu Paranggi.

Sumba, pulau yang memiliki sedikit tajuk, yang dikelilingi tanjung dan teluk, selama satu-dua hari antara Februari dan Maret menjadi tempat paling tergesa. Orang dengan ikat merah, para rato perkasa, datang memacu kuda, sebagian lagi turun dari mobil-mobil yang disewa.

Di sana, di bawah matahari Sumba, sepanjang palung sungai Wanokaka, di dataran Lamboya, lepas dari teluk dan cahayanya yang gemetar, yang berkobar. Keberanian tegak kembali. Kita akan menarik nafas waktu seorang tersungkur, darah mengucur, lembing menancap di tubuh dan tanah, dari nganga luka.

Tapi tak ada darah yang sia-sia. Sebab darah yang menetes memberkati. Mungkin ini yang dimaksud Georges Dumezil: le festin d’immortalite. Atau “Karnaval” kata Mikhail Bakhtin.

Yang menakjubkan: jika Giosue Carducci, ketika menyebut Italia dalam sajak-sajaknya, terus menyeru kemegahan singa dan gladiator. Maka kuda dan gembala, tiap jengkal tanah keramat, Sumba, yang tumpat-pedat dalam sajak-sajak Umbu segalanya, ialah gemetar jemari dan bisik rindunya. Seperti bunyi sajaknya ini, Kenangan-Kananggar

Ringkik kuda

menggugah rindu

gairah cinta petani

tertanam di tanah ini

 

Ringkik kuda

di bukit-bukit berbatu

angin kemarau

mengusap sabana

 

Warga gembala

di padang terbuka

di lembah-lembah sunyi

berjaga petani

Dan rinduku pada Umbu, mungkin hanya angin, daun, dan debu. Ke laut, laut, ‘kuhanyut, hanyut. Jam-jam pasir di waktu air, di pukul air waktu pasir. Umbu…

Dalam detak detik, dalam genggaman usia

Mengombak suaramu jauh bergema

(Umbu Landu Paranggi, Solitude).

Salam hangat,

A.R.

Agus Rois
Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.