Kurang lebih satu dasawarsa terakhir, Indonesia seperti sedang dilanda badai prahara yang luar biasa dan cukup mencengangkan. Yang paling menyedot perhatian dan membuat bulu kudu merinding adalah semakin mudahnya orang “mengutuk” orang lain hanya karena beda sudut pandang. Apesnya, perbedaan cara pandang itu didominasi oleh politik dan agama.
Anda bisa dengan mudah mengecek kembali di Google apa saja isu besar sepanjang dasawarsa terakhir mulai dari politik dan agama. Taruhlah munculnya istilah hoaks dalam perkembangan media sosial mutakhir. Hoaks atau berita palsu adalah fenomena baru yang muncul beriringan dengan meningkatnya aktivitas di dunia maya. Kalau Anda berkenan sedikit meluangkan waktu untuk berselancar dengan mengetik keyword “isu hoaks terbanyak” maka isu politiklah yang menduduki nomor wahid. Kemudian disusul isu agama. Kenapa bisa demikian?
Karena semenjak kontestasi Pilpres 2014-2019 isu agama menjadi jualan laris, terutama di dunia maya. Tiba-tiba semakin banyak orang seolah menjadi panitia hisab yang berhak menentukan benar dan salah. Bahkan mendadak mengambil alih otoritas Tuhan dengan mengatakan ‘dia’ sesat dan ‘mereka’ pantas dapat laknat. Perdebatannya berputar-putar pada perkara hitam-putih semata bukan substansi atau perihal yang hakiki. Maka saling tuding pun tak bisa dihindari. Di satu sisi, ada kelompok yang menampilkan agama dengan wajah yang garang. Sedangkan di sisi lain, menampilkan sebaliknya: teduh dan mendamaikan.
Pemerintah dalam hal ini juga ikut andil dalam memperkeruh keadaaan dengan terus menarasikan istilah ‘radikal.’ Bahkan mencampuradukkan istilah itu dengan ‘ekstremis’ dan ‘teroris.’
Padahal dalam tradisi filsafat, radikal itu berarti berpikir kritis dan mendalam. Lantas kenapa istilah itu kemudian direduksi maknanya menjadi sesuatu yang menakutkan? Padahal antara ‘radikalis,’ ‘fundamentalis,’ ‘ekstremis,’ ‘teroris,’ ‘jihadis’ bisa dijelentrehkan satu per satu.
Seandainya mau jujur, sesungguhnya Indonesia adalah tempat yang paling ramah terhadap ke(be)ragam(a)an ketimbang negara lain yang mayoritas Muslim. Secara historis, Islam bukanlah agama asli (indigenous religion) di Nusantara. Ia hadir pertama kali bersama para saudagar dari Arab pada abad ke-7 Masehi. Baru kemudian disusul oleh komunitas Muslim dari Persia dan Cina. Singkat cerita, dari merekalah kelak lahir embrio juru dakwah yang dikenal di kalangan NU sebagai Walisongo.
Namun tidak ada bukti sejarah kuat yang menyebutkan bahwa telah terjadi peperangan akbar antara juru dakwah Islam dengan penduduk asli selama proses islamisasi terjadi di antara rentan waktu delapan abad sejak kedatangan awal Islam sampai pertengahan abad ke-15 pada era Walisongo. Bahkan di tengah proses islamisasi, mereka para kaum sufi juru dakwah yang oleh Agus Sunyoto—penulis buku Atlas Walisongo itu—disebut memiliki karomah adikodrati tidak serta merta membabat habis segala bentuk tradisi, budaya dan ke(be)ragam(a)an yang lebih dulu ada. Makanya kita mengenal term ‘asimilasi’ atau yang oleh beberapa sarjana Barat disebut ‘sinkretisme’ itu.
Dalam hal ini, Kuntowijoyo (2017:15) juga menyebut bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain karena masuk ke Nusantara dengan cara yang elastis. Ia mencontohkan dengan peninggalan masjid-masjid di Nusantara yang bentuknya menyerupai arsitektur lokal, warisan dari Hindu. Dengan kata lain, Islam masuk ke Nusantara tidak mengimpor sekaligus budayanya. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah masjid Timur-Tengah diadopsi.
Maka jika mengingat kembali premis Ibnu Khaldun tentang vis a vis suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat halus bertipe menetap, sesungguhnya tak sepenuhnya benar. Mereka digambarkan dalam suatu relasi yang kontras dalam dinamika sejarah peralihan suatu peradaban. Jadi peradaban alih-alih abadi justru silih berganti. Mereka yang berperadaban halus akan ditaklukan oleh orang-orang nomaden yang kuat, keras dan bersolidaritas sosial tinggi. Pun pada akhirnya para penakluk itu juga akan meniru hal serupa dan siklus terulang kembali (D. Paul Johnson, 1986: 14-15).
Sebab dalam kasus Nusantara sampai Indonesia modern, siklus yang terjadi bukanlah penaklukan, melainkan peleburan. Artinya, di antara peradaban-peradaban itu hingga saat ini masih terus ada dan berkembang, bukan saling menegasikan secara total.
Hal itu terjadi salah satunya karena mereka lebih mengedepankan keberlangsungan bukan perdebatan. Sebab perdebatan seringkali terjebak pada sudut pandang subyektivitas manusia. Apalagi perihal agama. Kata ‘hijrah’ misalnya. Dalam terminologi klasik, kata itu diartikan sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan merujuk pada kisah hijrah Kanjeng Nabi dari Makkah ke Madinah.
Namun seiring perkembangan zaman dan beragamnya cara pandang umat Islam, khususnya di Indonesia, kata hijrah menjadi sesuatu yang berselimut ideologi. Ia akan merujuk pada sebuah fenomena dimana orang mengalami ‘gairah spiritual’ dengan mengadopsi hampir sebagian besar tradisi pada zaman Kanjeng Nabi, termasuk cara berpakaian dan berpenampilan. Fenomena ini marak terjadi di kalangan selebritis Indonesia. Dan sebagian kelompok menyebut mereka lekat dengan purifikasi.
Perbedaan sudut pandang itu sesungguhnya biasa saja selagi masing-masing kelompok tak memaksakan kehendaknya pada kelompok lain. Namun menjadi lain persoalannya jika kelompok yang satu menganggap pemahamannya sebagai kebenaran tunggal dan menyalahkan pemahaman kelompok lain. Padahal yang sampai pada manusia hanyalah tafsir. Sedangkan tafsir adalah produk manusia yang tetap terbuka untuk ditelaah. Jadi seharusnya term hijrah, rihlah maupun uzlah menjadi biasa saja senyampang itu merujuk pada transformasi diri ke arah yang lebih baik dan bukan sekadar perubahan cara berpenampilan belaka.
Maka sudut pandang adalah kacamata. Selayaknya kacamata, ia hanya bisa melihat yang kasat mata. Sehingga sudut pandang seringkali terjebak pada siapa memandang siapa dan perihal apa, bukan tentang mengapa dan bagaimana. Seperti dawuh-nya Gus Miek: gunakan kacamata Syariat untuk memandang diri sendiri sehingga ketat dalam beribadah, namun gunakan kacamata hakikat dalam memandang orang lain agar tak mudah menuduhnya Sesat. []