DONASI

Di Hadapan Masjid; Puisi Yohan Mataubana

Di Hadapan Masjid Di hadapan pintu Masjid Agung Demak kami hanya segelintir rahasia iman yang sedang  menatap awan berharap hujan tak semudahnya menjatuhkan diri dan...

LEMBAR | TUESDAY, 14 DECEMBER 2021 | 19:37 WIB

Di Hadapan Masjid

Di hadapan pintu Masjid Agung Demak
kami hanya segelintir rahasia iman
yang sedang  menatap awan
berharap hujan tak semudahnya menjatuhkan diri
dan memberikan petaka petir atau tanah lumpur
untuk kami yang masih belia memahami rasa syukur.

 

Setelah shalat, kami memohon berkat pada Ustaz Muhammad
semoga kegelisahan kami hanya sebongkah batu
yang bisa dipecahkan iman
di pintu Masjid tahun 1388 saka.

 

Kami duduk di pintu itu
membayang para wali duduk menatap
kota Demak penuh harapan
sambil menikmati hujan
hujan rinduku mencium aroma
masakan mama di hari Lebaran
dan tatapan doa menyayat semesta
semoga kita bisa membongkar pahala
dalam tiang-tiang rusuk masjid
yang sahaja ini
Nogo Mulat Sarira Wani.
2021

 

Di Kadilangu

Di Kadilangu
kita bersemadi
menatap sunyi
makam Wali
main wayang
kenang Kalijaga
sambil berjaga.
Minang Pinang.
Jumat pon.
Kliwon.
2021

 

Pusara Syekh Mudzakkir

Badai menghantam tubuh mereka
ketika berita alam tak terbaca oleh
doa dan air mata anak-anak sunan
di Tamkbaksari.

 

Kubayangkan tanah lumpur
buah jambu tumbuh bahagia
tetapi banjir menghapus
kebahagiaan kami
dengan segelas keikhlasan
dan segelintir ketakutan.

 

Oh. Tapi tidakkah mukjizat
datang seperti badai
yang tak bisa disangka?
Syekh Mudzakkir
mengapa kau ada di sini?
Tidakkah kau pergi juga
dengan nenek moyang kami?
Sore itu. Ketika burung gagak
berkaok di pohon jambu
sementara pertanyaanku
belum sempat terjawab.
Di pusara itu
kutatap doa melambungkan syukur
berharap ada tanda-tanda
surga jatuh di pusara ini.
2021

 

Menghapus Seseorang Bernama Luka

Kau berjalan  menyusuri pantai
di bawah terik matahari
ombak menepikan banyak kesedihan
dan pasir-pasir menyimpan
segala duka masa lalu.

 

Kau menatap air pantai
dengan hati tercabik
sebab kau melihat dada lapang
seseorang di masa lampau
sedang membentang pelukan
yang kuat merawat air matamu.
2021

 

Air Matamu

Air matamu, badai yang terbuat dari bumbu ibu
dan aku debar yang selalu ingin dipetik
kala pohon jambu berbuah
sementara jagung masih sebuah kemungkinan
untuk dilahap bersama. Kamu hanya kata sunyi
yang dibaca dari pondok tua menuju ladang
dan ladang menuju pusara.

 

Hujan deras menebas keringatmu
dan pondok kita hanya duri yang menikam
usia
sedalam inikah ibu?
kepergian air mata membawa rohmu
ke dalam doa yang tak bisa diucapkan tanah
kepada dua belas bakul janji di ladang ini
di lapang dada yang belum kelar kau sebut bahagia.
2021

 


Ilustrator; Bdallah Zhang Hai Dong

782

Yohan Mataubana

Yohan Mataubana, lahir di Kupang 24 Juni. Ia Bergiat di Komunitas Teater Aletheia, Kelompok Menulis di Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero, Kelas Puisi Bekasi dan Kelas Puisi Alit. Buku puisinya dalam persiapan terbit, Berakhir Pekan di Matamu.

Comments are closed.