Saya menulis, supaya hidup yang saya jalani tidak berlalu ‘datar-datar’ saja, membuih bersama rutinitas, dan tiba-tiba datang kematian. Saya mendapatkan makna dan daya energi hidup ketika menulis.
Ada teman, menyebut penulis sebagai “penjahit bahasa”, saya lebih suka menyebut mereka “penyaksi resmi” kehidupan. Penulis menyaksikan peristiwa-peristiwa, baik di luar atau di dalam (batin) dirinya, lalu meresmikan kesaksiannya itu melalui tulisan. Tentu saja tidak semua tulisan seperti itu. Hanya saja, itulah tulisan bagi saya.
Jika sedemikian prestisiusnya sebuah tulisan, maka jelas saya belumlah layak disebut sebagai seorang penulis. Tetapi saya tidak bisa mengelak untuk menulis. Ada dorongan kuat—meskipun saya tahan berulang kali—yang menggerakkan diri untuk menulis. Menulis menjadi satu saksi bahwa rutinitas butuh dijeda dengan pemaknaan, supaya angin waktu tak menggulungnya menjadi sirna. Dalam aliran itu, saya terus mengasah diri melalui tulisan-tulisan saya.
Sebelum dan Sesudah Bersua
Perkenalan saya dengan buku relatif telat, bahkan bisa dikatakan sangat terlambat. Saya tidak memiliki bapak yang membacakan puisi setiap akhir pekan seperti masa kecil Annemarie Schimmel. Buku bagi saya adalah sesuatu yang benar-benar di luar habitus kultural keluarga. Selepas SD, setelah tinggal di pesantren, setelah tidak dibolehkan menonton televisi, barulah buku-buku memperkenalkan diri.
Buku bagi saya adalah sesuatu yang benar-benar di luar habitus kultural keluarga. Selepas SD, setelah tinggal di pesantren, setelah tidak dibolehkan menonton televisi, barulah buku-buku memperkenalkan diri.
Saya adalah generasi asuhan televisi. Waktu kecil, saya menikmati seluruh tayangan televisi kecuali sinetron cinta-cintaan. Hari Minggu tak ubahnya hari raya bagi saya saat kecil. Waktu saya kecil, televisilah bacaan saya. Bukan buku.
Saya tidak seberuntung Jean Paul Sartre yang hidup di keluarga penuh koleksi buku. Ia sudah memiliki akses perpustakaan sejak dari kanak-kanak. Ibunya mengapresiasi tulisan-tulisannya sejak masih bocah (Jean Paul Sartre, 2000). Di keluarga seperti ini, kita jadi maklum kenapa Sartre menjadi begitu besar, begitu lancar menuliskan pikirannya.
Saya membagi masa bacaan saya ke dalam dua fase: pra dan pasca Yogyakarta. Di masa-masa pra Yogya, asupan bacaan sebatas ‘buku seadanya ’. Belum ada niatan kuat untuk membeli dan mengoleksi buku. Di lingkungan dan lingkaran pergaulan saya, seorang pembaca buku mirip seperti Andy Dufresne dalam The Shawshank Redemption (1999). Mereka adalah orang-orang yang membaur, namun memiliki ruang renung sendiri yang tiris.
Setelah memasuki Yogyakarta, perlahan saya mengenali minat bacaan saya. Akses toko buku dan perpustakaan relatif mudah. Mulai dari sini, kepekaan dan rasa penasaran kepada “menulis” semakin hari semakin tak tertahan.
Menulis tidak lepas dari lingkaran desa-kala-patra atau ruang-waktu-momentum. Keinginan untuk menulis sebenarnya telah dulu-dulu ada, tetapi momentum yang mendukung terselesaikannya sebuah ‘tulisan jadi’ tidak ada. Waktu kuliah, saya tidak punya kamar kosan sendiri, tinggal dengan teman sekamar dan patungan biaya sewa. Teman sekamar dan teman-teman tongkrongan saya bukan penulis dan penyuka tulisan. Menulis adalah perilaku aneh di lingkaran kami. Dan saya tidak cukup mental dianggap sebagai yang nganeh-nganehi. Jangankan menulis esai atau semacamnya, skripsi saja tak rampung-rampung sampai di ujung 14 semester.
Menulis adalah perilaku aneh di lingkaran kami. Dan saya tidak cukup mental dianggap sebagai yang nganeh-nganehi. Jangankan menulis esai atau semacamnya, skripsi saja tak rampung-rampung sampai di ujung 14 semester.
Saya mengoleksi buku-buku, sering nongkrong di depan koran dan perpustakaan, tetapi tidak punya laptop, tidak punya tempat tinggal sendiri, setidaknya sampai saya menikah. Saya menikah, ketika belum lulus kuliah. Setelah menikah, saya tinggal bersama istri di desa, tertiris dari pergaulan. Dengan uang anggaran belanja keluarga, kami membeli laptop. Niat awalnya supaya skripsi saya segera rampung. Istri saya seorang guru honorer, sedikit banyak juga butuh laptop. Sejak ada laptop, tempat tinggal, dan suasana inilah desa-kala-patra kepenulisan saya perlahan berproses.
Menuliskan Proses dan Nama-Nama
Bukan mitos bila seorang penulis adalah seorang pembaca. Sebuah tulisan yang matang, lahir dari cakrawala bacaan penulisnya. Sebuah tulisan menunjukkan ‘jalan baca’ penulisnya.
Membaca merupakan sebuah upaya membebasan diri dari keterbatasan pengetahuan dan kultus pikiran. Dengan melahapi buku satu demi satu, pembaca melangkahkan pandangannya menerobos batasan budaya, agama, serta sistem pemikiran dirinya.
Saya merasa begitu kecil dan udik saat membaca tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Penulis Catatan Pinggir itu memiliki kemampuan ‘pamer’ koleksi bacaan dan istilah yang sampai kini saya belum menemukan padanannya. Goenawan Mohamad terasa begitu tak asing dengan buku-buku asing. Ia mampu menjahit khazanah sastra, filsafat, dan cita rasa satir secara apik. Tulisannya kebanyakan memang dibiarkan ‘mengambang’. Tetapi kemampuan menaikkan wacana ke batas ambang—tanpa bumi tanpa langit—inilah yang menjadi tipikalnya. Ia tak ingin pembaca mendapatkan fiksasi usai membaca.
Ada juga tulisan-tulisan ringan semanak, bertipikal cerita (story telling). Tulisan semacam ini terasa lebih ngemong dan nguwongke. Prie GS, tokoh yang kemarin baru saja berpulang itu (1965 – 2021) yang saya maksudkan. Pak dhe Prie, lebih sering menulis tentang realitas keseharian. Ia sangat luwes melihat sisi lain dari rutinitas. Tema-tema tulisan pak dhe Prie ini mengangkat topik jajan di pinggir jalan, berkebun, memasak, kerja bakti RT, dan rutinitas-rutinitas lain yang tak jauh-jauh dari keseharian. Akhir-akhir ini, nama Agus Mulyadi (penulis Mojok.co) nampak meneruskan gaya menulis semacam itu.
Ada banyak dinding-dinding nama, yang melingkungi jalan kepenulisan. Selain dua sosok (Goenawan dan Prie GS) tadi, masih menjulang berbagai nama kokoh dengan aura masing-masing. Membaca Zen Rs, saya bergolak dengan diksi-diksinya yang seperti tarian. Membaca Radhar Panca Dahana (1965-2021), saya tercenung dengan kedalaman kata per kata yang baku namun tak beku.
Satu nama tidak kalah penting, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Tokoh yang terakhir ini, bagi saya begitu unik. Tulisan-tulisan esainya meloncati pakem penjudulan dan penarasian lumprah. Bacaan seorang penulis, awalnya memang berangkat dari buku-buku dan tulisan penulis lain. Tetapi kemampuan dan kecakapan berbahasa, lebih dibentuk oleh pengalaman hidup penulisnya sendiri. Tulisan-tulisan Cak Nun lebih memperlihatkan pengalaman ‘membaca kehidupan’ daripada membaca tulisan.
Menulis berbeda dengan membaca, namun sebenarnya merupakan kelanjutan episode dari perjalanan yang sama. Melalui upaya menyusun tulisan, seseorang melakukan ‘pembatasan’ atas seluruh pengetahuan dan pengalaman yang tertampung-terhayati. Seorang penulis, pada masa-masa awal (hampir) pasti mengalami kesulitan menentukan batasan topik dan diksi. Penulis butuh presisi komposisi seimbang dari ragam diksi, aliran kalimat, sampai penguncian gagasan. Tanpa jam terbang dan ketekunan mencatat pola, sebuah tulisan selamanya hanya akan jadi “catatan” untuk dibaca sendiri.
Menulis berbeda dengan membaca, namun sebenarnya merupakan kelanjutan episode dari perjalanan yang sama. Melalui upaya menyusun tulisan, seseorang melakukan ‘pembatasan’ atas seluruh pengetahuan dan pengalaman yang tertampung-terhayati.
Saya lebih nyaman menulis esai, daripada jenis tulisan lain. Esai bagi saya adalah sejenis tulisan paling bebas. Saya menyadari hal ini setelah rutin membaca opini dan kolom di berbagai media. Beberapa penulis tertentu memikat saya, dan saya menandai mereka. Tulisan-tulisan dari penulis “tertandai”, pasti saya baca ketika menemukan tulisan mereka.
Selain nama-nama yang sudah saya sebut sebelumnya, Syafi’i Ma’arif yang cukup sering nongol di Kompas dan Republika sulit terlewatkan. Buya Syafi’i, memiliki kepekaan daya kritik lugas namun dikemas dengan “gebukan diksi” halus. Eka Kurniawan—seringnya—di Jawa Pos, begitu memikat dengan pola menjerat pikiran melalui cerita. Porsi cerita di tulisan Eka sangat banyak, tetapi kuncian penutupnya jitu. Nama lain adalah AS Laksana. Penulis ini tidak pernah mengobral teori, ia bisa mengudari satu teori dengan ringan dan halus. Tulisannya mengalir seperti bercerita, mirip Eka, tetapi sudut pandangnya berbeda. Belakangan saya menjalin selidik dengan Bandung Mawardi. Penulis terakhir ini bisa tahan menghindari penggunaan kata “yang” di sekujur tulisannya. Karakter tulisan dari setiap penulis mapan dan matang, tidak pernah saya lewatkan. Mereka adalah kurator tak langsung dari setiap cita rasa menulis saya.
Sampai saat ini saya merasa masih belum menemukan bentuk mapan dari ‘gaya menulis’. Berseiring dengan proses membentuk atau mengasah karakter tulisan yang sudah jadi, saya menikmatinya seperti mengasuh anak sendiri.
Saya bukan tipikal penulis ‘cepat jadi’. Tulisan saya “Pandemi, Vaksin dan Jimat Perang” (Detikcom, 27/01/2021) lahir dari catatan pikiran hampir dua bulan. Saya menampung semua kesan dan temuan di sekitar, tentang gejolak emosional tetangga-tetangga saya selepas pandemi menghantam. Kasak-kusuk dan simpang siur validitas informasi seputar pandemi saya redam dengan kosep “jimat perang” milik Ki Ageng Suryomentaram. Kebetulan klik, dan jadilah itu tulisan perdana saya di kanal Detikcom.
Berbeda dengan itu, “Puasa dan Bulan Madu Kesunyian” (Detikcom, 30/04/2021) terselesaikan hanya sekira tiga hari. Tiga hari bagi saya sangat singkat untuk ukuran sebuah tulisan. Di tulisan ini saya lebih cenderung bermain diksi manis. Tidak ada teori apapun di sini. Murni refleksi.
Selain esai, saya menulis biografi dan resensi. Untuk dua jenis tulisan ini, saya lebih terdorong oleh ‘sentimen’ personal. Saya tidak tertarik, dan merasa berat mengulas tokoh dan buku yang tidak memiliki klik dengan pandangan batin dan pergulatan pemikiran saya.
Ketika mengulas tokoh, saya tidak alang tanggung. Gaya tulisan, saya persis-persiskan dengan karakter tokoh terulas. Dalam tulisan “Mengenang Mbah Dullah Salam Kajen: Model Dakwah Nyeleneh Khas Kiai Wali” (Alif.id, 04/09/2020), saya habis-habisan bercerita. Saya tidak banyak bermain interpretasi. Sosok Mbah Dullah saya tampilkan sealami mungkin, supaya pembaca menyarikan sendiri rasa bahasa dari tulisan itu.
Model tulisan saya yang lain, berubah ketika membincang Gus Dur. Keberadaan tokoh ini yang sudah kadung dipahami dengan berbagai perpektif, mendorong saya untuk merumuskan perspektif saya sendiri. Isi tulisan sudah terbaca sejak judul: “Genealogi Kesantrian Humanis Gus Dur: Menasabkan Humanisme Pada Pesantren” (arrahim.id, 08/12/2020). Untuk tulisan ini saya melakukan riset cukup serius, walaupun dalam waktu singkat, dengan menjajar buku-buku. Alhasil, gaya tulisan ini lebih bertipikal esai ilmiah.
Kepala saya begitu nyut-nyutan ketika salah satu teman saya meminta saya mengulas Radhar Panca Dahana. Saya belum cukup mengenal sosok ini selain cuma sebatas “nama”. Permintaan ini bukan proyek pesanan berbayar. Teman saya begitu menghormati sosok Radhar, dan dia memberikan saya satu buku karya Radhar: Ekonomi Cukup (2015). Buku ini merupakan kumpulan esai tentang kebudayaan. Saya menerima buku itu, dan mulai membacanya. Gila. Sosok ini ternyata pemikir pilih tanding. Dan gagasan pentingnya untuk menyadarkan bangsa Indonesia kepada nilai keluhuran warisan budaya sendiri, daripada latah terhadap pandangan dunia Barat, sealir dengan arah pemikiran saya. Jadilah “Mengenang Radhar Panca Dahana: Mengeraskan Tulang Budaya dan Ekonomi Bangsa” dimuat di langgar.co. Sekali lagi terjadi perubahan bentuk gaya tulisan di sini.
Saya merasa begitu bebas dengan keseriusan tinggi ketika menulis “Mbah Mutamakkin: Laku Jalan Kesalehan Eksistensial” (langgar.co, 2021). Sosok ini telah menjadi tokoh mitos. Tetapi saya tidak ingin mitos-mitos yang sudah kadung tersebar semakin membesar sebagai rerasan liar. Saya merasa perlu menampilkan sosok Mbah Mutamakkin dalam versi rasional. Rasionalitas yang saya gunakan bukan sebagai negasi atas ruang mitisnya, melainkan lebih pada ‘cara baca’ tokoh dengan masih melekatkan sisi manusiawi seorang manusia.
Buku-buku tertentu yang bagi saya penting, saya kunci menjadi resensi. Dalam meresensi saya lebih tersedot oleh nuansa ‘pertanggung jawaban’ sebuah bacaan daripada motivasi lain. Tidak banyak buku yang berhasil menarik minat saya untuk meresensinya. Buku-buku yang benar-benar meninggalkan kesan, entah sejarah mendapatkannya atau memang isinya sungguh menghentak, baru menarik diulas. Resensi bagi saya adalah kerja perasaan. “Menengok Kembali Hubungan Agama dan Budaya” (Detikcom, 16/10/2021) misalnya saya tulis karena buku ini datang secara gratisan—sebagai apresiasi pemuatan tulisan—di saat sebelumnya saya urung membelinya karena ketebalan harganya.
Anak Pernikahan
Menikah menjadi periode penting dalam kepenulisan saya. Selepas menikah, saya baru mulai bernyali mengirimkan esai dan resensi untuk dimuat di media. Saya mengamati kanal media daring, mencatat karakter tulisan-tulisan yang dimuat di sana. Seluruh teknik dan gaya menulis, saya pelajari sendiri. Saya mengumpulkan tulisan-tulisan di media, saya teliti jumlah kata dan gaya tulisan setiap paragraf. Saya mulai melihat kekuatan dan kelemahan gaya menulis saya sendiri. Beberapa koleksi buku yang saya kumpulkan sepanjang kuliah, banyak membantu.
Menulis adalah tentang kepekaan berbahasa. Dengan penyampaian bahasa yang baik, ide seaneh dan bahkan sekonyol apapun bisa diterima. Minimal dipahami sebagai “ada lho, yang seperti itu”. Berlaku kebalikan. Saat satu ide begitu brilian, penting, bahkan di level mendesak sekalipun, tanpa disertai kecakapan bahasa hasilnya akan mudah ditebak: dipandang sebelah mata, didengar sebelah telinga, alias tak digubris.
Dari pengamatan atau lebih tepatnya pengalaman itu, menulis penting bagi saya. Gerak membaca dan menulis serupa aliran air. Di saat salah satu dari keduanya macet, terhenti, maka air mampat. Membaca saja tanpa menuliskan sesuatu, sama halnya membebani pikiran dengan timbunan air ingatan dan kesan yang mampat. Tentu, keran ingatan-kesan itu tak melulu harus dialirkan melalui ‘tulisan’, tetapi dengan ‘menulis’ gerak aliran itu hidup dan berkesinambungan. Pembaca yang sekaligus penulis, memiliki sungai kesadaran yang terus bergerak terus menerus.
Menulis adalah jodoh kedua saya setelah istri yang sekarang jadi ibu anak saya. Dan tulisan-tulisan saya adalah anak yang lahir dari jodoh itu. Ketika tiba saatnya, saya ingin membisiki anak saya, “nak, temui saudaramu yang lain di tulisan bapakmu”.
Saya harus mengapresiasi istri saya. Mungkin ketahanan mentalnya jauh lebih besar daripada saya sendiri dalam menopang proses kepenulisan saya. Bagi saya yang telah jatuh hati kepada buku dan literasi, tentu menulis menjadi semacam panggilan hati: terasa ringan walau harus berkerut kening dan berlarut-larut memeram gagasan. Tetapi, bagi istri saya yang asing dan tak cukup punya hati dengan literasi, tentu bukan perkara mudah ketika harus “bersabar” melihat suaminya berkerut kening dan sering bergadang mengetik. Ia sedang mengasuh saya saat saya sedang mengasah diri.
Tetapi, bagi istri saya yang asing dan tak cukup punya hati dengan literasi, tentu bukan perkara mudah ketika harus “bersabar” melihat suaminya berkerut kening dan sering bergadang mengetik. Ia sedang mengasuh saya saat saya sedang mengasah diri.
Saya menulis sambil mengasuh anak. Tentu menjadi sebuah kebahagiaan puncak bagi penulis ketika memiliki “ruang hening” sendiri untuk menulis. Walaupun tidak harus seekstrim Dalton Trumbo (1905-1976) yang biasa mengunci diri di bak mandi dari dalam ketika sedang menulis, minimal ada tempat dan waktu khusus untuk menulis bagi saya sudah cukup. Tetapi, jangankan waktu dan ruang khusus, anak saya tidak minta jatah Youtube di laptop saja, saya sudah sangat terbantu. Saya sering menulis di sela bangun dini hari. Atau kalau semua sudut rumah tak ada lagi, kadang saya menyempatkan keluar mencari kedai kopi.
Saya serius dengan kepengasuhan anak. Saya meninggalkan pekerjaan di luar rumah untuk fokus mengasuh. Kendati demikian, saya juga ingin terus bertumbuh dan berproses sembari mengasuh. Ketika menyoal anak, saya perlu mengutipkan Putu Wijaya. Dalam Ngeh (1997) ia menulis, “tak jarang orang tua menganggap dirinya sendiri telah selesai, karena semuanya sudah dioper kepada anak. Anak adalah segala-galanya. Kata mereka, kalau perlu nyawa pun diberikan. Kehadiran anak jadi semacam ‘pembunuhan massal’ pada orang tua”. Saya tidak ingin kami sekeluarga saling membunuh kepribadian dan potensi masing-masing dengan tidak menyempatkan energi untuk terus bertumbuh dengan kesadaran terdalam masing-masing.
Untuk istri, anak dan nama-nama penting di hidup saya, saya ingin mengutipkan bait penutup Hai Ma (Rendra, 1992):
hehehe wahh.. aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa
Sudah ya, Ma..
Hai Ma, adalah salah satu puisi milik Rendra. Puisi ini, berisi hampir seluruh perasan kegelisahan dan gerak kreatif seorang penulis. Menulis bukan semata profesi, tetapi lebih kepada pemenuhan “fitrah diri”. Sebagai manusia penulis memanggul fitrah mengejawantahkan pikiran dan kegelisahannya supaya terbaca. ‘Ombak rasa’ yang disaksikan Rendra dalam alam batinnya, ditata saji menjadi puisi. Saya ingin bergerak di jalur yang sama meniti jalur esai. Seperti itulah kira-kira. []