Suasana sendu menghiasi hari terakhir di Pondok Pesantren Kaliopak. Idealnya saya harus mengikuti pentas budaya bersama teman-teman peserta Ngaji Posonan 2025. Tapi apalah daya, saya harus segera “mancal” ke Semarang untuk persiapan tirakatan Lailatul Qadar di Alas Purwo—tepat di malam ganjil 23 Ramadan 1446 atau 22 Maret 2025.
Sebenarnya ada pergolakan batin di sana. Apakah saya harus stay di Kaliopak atau melanjutkan rencana awal ke Alas Purwo. Di mana saya mengikuti segala macam rangkaian kegiatan di Kaliopak, lalu lanjut ke Alas Purwo. Akhirnya saya putuskan untuk sesuai rencana awal saja. Mengingat materinya yang tak biasa, hehe.
Menurut salah seorang teman, setiap tirakatan Lailatul Qadar berbeda setiap tahunnya. Jadi saya pikir, saya tak mau ketinggalan materi penting di malam yang istimewa di bulan ramadan kemarin. Lantas mengapa mencari Lailatul Qadar di Alas Purwo? Apa yang didapatkan? Demit? Atau apa?
Pelajaran Penting di Bus
Start dari kediaman Sang Guru EISQ (Waliyullah) menuju Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Saya dan rombongan naik bus. Tepat di momen inilah saya mendapat pencerahan tentang bagaimana perbedaan mendasar antara manusia dan binatang. Sang Guru bertanya satu hal penting:
“Dalam keseharian kita, setiap keputusan kita, lebih dominan mana antara pikiran dan perasaan?” Tanya Sang Guru.
“Kang Ridwan, pikiran atau perasaan?” lanjutnya.
“Pikiran.”
“Bu Ruqoyah, pikiran atau perasaan?”
“Perasaan”
Satu per satu rombongan ditanya. Ada yang menjawab pikiran, dan ada juga yang perasaan. Meski tak semua mantap akan jawaban mereka sendiri. Termasuk saya yang sebenarnya kurang mantap memilih jawaban “pikiran”. Namun alam bawah sadar saya lebih condong terhadap jawaban tersebut.
Setelah semua peserta tirakatan ditanyai, Sang Guru melanjutkan pembahasannya. Bahwasanya yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah bagaimana cara mengambil keputusan. Manusia idealnya melakukan sesuatu dipengaruhi oleh pikirannya. Kalau manusia lebih dominan perasaan daripada pikirannya, berarti ia binatang.
Ya, sangat logis. Dengan pikiran, manusia memahami ilmu agama. Dengan pikiran, manusia bisa berpikir secara rasional. Tindakannya jadi terarah dan sesuai hukum-hukum yang berlaku di mana pun dirinya berada. Keputusannya tidak didasarkan pada apa yang dirasakan, tetapi apa yang dipikirkan. Tentu lewat pertanyaan filosofis fundamental untuk mengetahui apa alasan kita semua melakukan sesuatu.
“Mas U’ud perasaan? Berarti Kewan,” ujar Sang Guru.
Maka akal pikiran yang aktif sangatlah penting bagi manusia. Sebab ia yang akan menuntun jalan hidup seseorang sesuai dengan karakter dan minat bakatnya. Tak heran jika Presiden BJ Habibie mengatakan bahwa guru sejati yang paling ia percayai adalah otak. Penggerak yang menginspirasi mantan presiden keempat Indonesia itu merancang pesawat.
Selain itu, pikiran bisa mencegah seseorang tersesat oleh perasaanya sendiri. Ketiadaan nalar dalam beragama sangat membahayakan. Seperti yang dialami mendiang Lia Eden yang mengaku melihat seberkas cahaya kuning saat duduk di teras bersama saudaranya. Ia menganggap cahaya yang datang dan merasuk ke dalam dirinya itu adalah Jibril.
Selain itu, pikiran bisa mencegah seseorang tersesat oleh perasaanya sendiri. Ketiadaan nalar dalam beragama sangat membahayakan.
Entah itu apa, seharusnya tidak demikian cara menyikapinya. Mungkin saja itu halusinasi yang diciptakan iblis untuk menyesatkan orang agamis. Sebab belakangan diketahui bahwa Lia Eden ternyata sering melaksanakan shalat tahajjud di malam hari. Lalu terjadilah peristiwa di atas.
Saya jadi teringat dengan kisah klasik yang menceritakan bagaimana perjalanan ruhani Syeihk Abdul Qodir Al-Jaelani. Beliau ketika sholat tahajjud sempat didatangi sesosok mahluk yang mengenakan jubah putih—yang ternyata sosok itu adalah iblis yang berusaha menyesatkan Syeikh. Maka Syeikh Abdul Qodir pun mengusir sosok yang ada di depannya.
Syeikh Abdul Qodir dengan logika pikirannya yang kuat, terhindar dari halusinasi.
Itulah mengapa pentingnya memanfaatkan pikiran yang sudah dianugrahkan oleh Tuhan. Maka sudah selayaknya apapun tindakan yang dilakukan dengan mesti napak sejak dalam pikiran. Bila tak, berarti dia gagal menjadi manusia seutuhnya.
Istimewanya Alas Purwo
Akhirnya setelah perjalanan selama 10 jam lebih, sampailah ke tempat tujuan Taman Nasional Alas Purwo. Sayang sekali, kami semua tak bisa masuk hutan karena sedang ada badai. Bila memaksa masuk, khawatir ada pohon tumbang. Daripada resiko tertimpa pohon tumbang, warga sekitar menutup jalan masuk ke hutan yang konon katanya jadi sarang jin itu.
Secara metafisika, Alas Purwo menyimpan energi super negatif. Hal ini karena taman nasional ini sudah dimitoskan sebagai tempat sakral. Bahkan mungkin bukan orang Jawa saja yang memitoskannya. Wajar bila energi mitosnya sangat besar dan berskala nasional.
Alasan itulah mengapa Sang Guru memilih tempat ini sebagai tirakat edisi ramadan 2025. Sang guru bercerita bahwa dulu ada seorang dalang yang tirakat di Alas Purwo ini. Kalau tidak salah ingat, si dalang tirakat selama tujuh hari tujuh malam. Selepas menjalani tirakat, si dalang itu pulang. Anda bisa menebak apa yang terjadi: job manggung ramai dan namanya naik daun.
Menurut Sang Guru, orang yang menyimpan energi negative (-), maka dia akan memperoleh jalan kemudahan hidup di dunia. Entah produk yang dijual tiba-tiba ramai yang beli. Kalau yang bergelut di bidang jasa, tiba-tiba banyak orang yang membutuhkannya. Inilah mengapa orang-orang memanfaatkan Alas Purwo sebagai “pesugihan”.
Benturan Energi Super Negatif dan Super Positif
Saya sangat beruntung mempunyai teman yang mau menjelaskan kenapa merayakan Lailatul Qadar di Alas Purwo? Kenapa tidak di masjid agung Semarang saja? Masjid Agung Demak? Atau Masjid Jogokarian Yogyakarta. Akhirnya rasa bingung itu terjawab. Terutama soal apa makna sebenarnya perjalanan saya ke Alas Purwo.
“Kamu tahu nggak kenapa kita Lailatul Qadar kok di Alas Purwo?”
“Belum tahu.”
“Alas Purwo itu karena kuatnya mitos di masyarakat, energi super negatifnya jadi besar.”
“Terus apa hubungannya dengan Lailatul Qadar?”
“Lailatul Qadar adalah simbol energi super positif dalam kepercayaan agama Islam. Ya, kamu tahu sendirilah betapa berkahnya malam Lailatul Qadar. Nah, dari sinilah antara energi super negative (-) dan super positif (+) dibenturkan. Hasilnya netral.”
Saya mengangguk setuju. Mencoba mencerna dan menerima pengetahuan baru ini di dalam otak saya. Dan, akhirnya saya mampu memahaminya. Hal ini besar kemungkinan dipengaruhi oleh latar jurusan saya ketika duduk di SMA. Ya, kami berdua punya background jurusan IPA.
Jadi di jurusan IPA ada pelajaran yang namanya Fisika. Salah satu yang paling mudah dipahami adalah soal sumbu positif dan negatif. Bila keduanya bertemu maka terjadi netral. Sementara secara magnetik, dua unsur ini akan saling tarik menarik dan melebur jadi satu.
Itulah tujuan utama Lailatul Qadar di Alas Purwo.
Membuat Rajah Merah
Angin yang tadinya bergerak sangat kencang, akhirnya reda juga. Hanya sepoi-sepoi yang membuat malam Lailatul Qadar makin syahdu. Saya dan semua yang ikut mendapat materi tentang merajah. Kertas putih, garam, bolpoint tinta merah dan bolpoint tinta hitam sudah siap.
Kami semua diminta menuliskan lafadz Allah sebanyak 11 lapis. Memutar. Sebelum ditulis, bagian tengah ditulis lafadz Allah dengan huruf hijaiyah secara terpisah (Alif, Lam, Lam Ha’). Dengan kombinasi bismi yang membentuk simbol plus. Setelah selesai, lafadz bismillah ditulis dengan bolpoint tinta hitam di atasnya seperti pada gambar berikut.

Pembuatan rajah dominan warna merah ini untuk menyimpan hasil benturan energi tadi. Lalu dibuat bandul kalung di ulu hati. Efek yang dihasilkan bisa melemahkan orang-orang yang punya kesaktian. Orang-orang yang punya pangkat.
Terakhir, kata Sang Guru, sanad rajah lafadz Allah 11 lapis itu ia peroleh langsung dari qorin Syeikh Subakir. Tokoh ulama dari Persia yang ditugasi menyebarkan agama Islam di Jawa. Bukan sekali pertemuan langsung dapat. Tapi selama enam bulan, tahap demi tahap.