Kisah Ninja di Tapal Kuda: Sebuah Teror dan Ketakutan yang Direka
Bagaimana ketika cerita tentang ninja yang sempat membawa teror dan ketakutan itu muncul lagi di hari ini. Bukan melalui cerita lisan yang dulu sering kita...
Penikmat kajian seni dan budaya. Aktif di Pesantren Budaya Kaliopak dan langgar.co. Dan sekarang mengembangkan homeles media Skenu. Sambil tetap mencari teman dalam beberapa festival literasi di Yogyakarta. Ia Bisa disapa via Twiter @doelrohim961 Ig: Doel_96
Bagaimana ketika cerita tentang ninja yang sempat membawa teror dan ketakutan itu muncul lagi di hari ini. Bukan melalui cerita lisan yang dulu sering kita dengar, atau ulasan curasel media sosial, atau bahkan video dokumenter yang tersedia di ponsel kalian. Namun Ninja dengan segenap cerita gelapnya itu, dihadirkan kembali dalam seni pertunjukan kontemporer, teater.
Seni pertunjukan atau bentuk seni lainnya barangkali memang medium untuk menyampaikan pesan. Namun pesan yang seperti apa, yang sering kali menjadi pertanyaan. Tak jarang, pesan itu hanya berupa letupan bahkan hanya buih dari realitas yang tidak beraturan. Bagaimanapun itu pesan tetaplah pesan, di mana di balik setiap pesan pasti ada makna yang tersimpan. Dalam konteks inilah kerja-kerja artististik diperlukan untuk membongkar makna yang mungkin disembunyikan di balik tragedi dan peristiwa.
Kisah ninja yang meretas panjang di ingatan banyak orang di daerah Tapal Kuda Jawa Timur mungkin salah satu objek yang perlu dibongkar. Sebuah tragedi pembunuhan “dukun santet” yang menyelinap di balik topeng ninja. Yang sialnya hari ini tak banyak orang sadar bahwa ninja dengan segala tragedi di belakangnya adalah pola. Di mana pola yang diciptakan sewaktu-waktu bisa terulang.
Dari hal itulah pertunjukan yang digawangi oleh Rokateater, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Kasihan, Bantul (19/07/2005), menjadi relevan untuk diceritakan. Melalui medium pertunjukan dengan pilihan dramaturgi, yang ingin saya sebut seperti esai sejarah, kisah itu direka ulang. Shohifur Ridho’i sutradara pada malam itu berupaya mendekonstruksi cerita yang mungkin hinggap di kepalanya. Sebagai orang yang tumbuh besar di Madura, yang tak asing dengan kisah ninja dan kisah pilunya itu, ia tampak ingin bersuara dengan lantang. Bahwa ninja adalah jelmaan dari otoritas yang gemar menciptakan ketakutan.
Meminjam ingatan seorang anak generasi milenial. Enam aktor muda dihadirkan di atas panggung. Bentuk artistik dengan layar tonil Ludruk Jawa Timuran dengan berbagai gambar yang silih berganti, kisah di atas panggung itu dijahit dengan lincah oleh sang sutradara. Pilihan artistik semacam itu menunjukan, bahwa pertunjukan ini tidak ingin melepas akarnya. Bagaimana seni tradisi dengan sentuhan estetika vernakular menjadi identitas di mana cerita itu mereka artikulasikan. Bentuk pengeras suara TOA dengan suara yang khas menjadi menarik ketika dihadirkan. Medium yang sempat menjadi primadona di era 90-an itu, tampak menjadi instrumen penting untuk mengarahkan adegan pertunjukan.
Saat Ninja Masuk di Kampungnya
Adegan pertama, para aktor tampak sibuk dengan perabotan rumah tangga. Mereka hilir mudik. Sebuah gambaran kehidupan yang biasa bagi orang Madura. Namun dentuman teror itu datang. Lampu sorot panggung tampak redup. Para aktor terdiam, mereka bergegas menyelinap dalam kebingungan. Lalu kabar dari Toa itu datang. Ternyata ninja telah mengepung kampung mereka. Kabar itu disebarluaskan. Dan salah satu aktor berdiri di depan menceritakan; ketika ninja datang di kampungnya, ia masih di perut ibunya.
Teror memang selalu berkorelasi dengan trauma. Keduanya seperti sulit dipisahkan. Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu. Alih-alih melupakan peristiwa berdarah itu. Mereka generasi transisi milenium 2000-an, justru merasa penting untuk lebih tahu banyak apa yang sebenarnya terjadi pada masa kelam itu. Pada sebuah masa di mana gejolak sosial politik Indonesia lagi panas-panasnya, bukan tidak mungkin kondisi panas itu dapat terulang kembali. Dan melalui gagasan itulah, patahan-patahan kisah dalam panggung itu ramu.
Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu.
Pada bagian ini, seorang aktor masih setia dengan gaya monolog untuk menceritakan masa kecilnya. Gaya bahasanya yang runtut, lebih mirip seperti umpatan berdialek sastra memaksa saya atau mungkin penonton lainnya untuk konsentrasi memperhatikan setiap larik kalimat yang diucapkan. Kata, “maksudnya” sering kali terselip pada setiap kalimat yang diucapkan sang aktor. Mungkin itu upaya untuk mempertebal tujuan agar pesan lebih mudah diterima penonton, tetapi apapun maksudnya, hal itu cukup memberi sentuhan yang berbeda kalau tidak malah mengganjal di telinga.
Dari ninja yang membawa teror menuju ninja yang muncul di televisinya. Tahun 90-an televisi masih barang langka di rumah-rumah warga. Tidak setiap keluarga memilikinya, biasanya dalam satu kampung hanya ada satu atau dua orang memiliki barang tersebut. Biasanya hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) orang yang mampu membeli barang semacam itu. Kalian tahu, zaman itu cita-cita tertinggi orang tua di kampung adalah menjadikan anaknya berseragam coklat tua. Aktor dalam pertunjukan itu masih bercerita. Ia mengenal ninja yang berbeda dari televisi tetangganya yang menjadi PNS di kampungnya. Dalam cerita, PNS dari Jawa itu, memiliki anak. Saat ia berusia tujuh tahun itulah ia menjadi teman anak PNS tersebut. Persinggungan semacam itu memungkin orang Madura terbiasa berdialog dengan bahasa Indonesia. Dari persahabatan itu juga, ia mengenal serial film kartun Ninja Hattori yang selalu muncul di hari Minggu.
Perwujudan ninja dalam serial film “Ninja Hattori” yang populer di layar TV pada waktu itu memang berbeda dengan cerita ninja mereka kenal di kampungnya. Ninja Hattori adalah sosok kecil memakai kostum berwarna biru, dengan karakter suka menolong, cerdik, dan lucu. Hal itu tampak kontras dengan karakter ninja yang anak-anak tahu di zaman itu. Bahwa ninja adalah penculik dan pembunuh guru ngaji dan para dukun santet di kampung-kampung daerah Tapal Kuda. Itulah cerita lain yang terpaksa mereka terima.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori. Namun di sisi yang lain, hal itu menunjukan kejelian Ridho’i dalam memotret fenomena budaya yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial politik yang mengitarinya. Karena dengan nada curiga adanya film Ninja Hattori yang menghiasi layar tv adalah strategi budaya untuk mengaburkan makna dari ninja yang menebar ketakutan tersebut.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori.
Barangkali pertunjukan ini memang ditujukan untuk melihat sisi paling privat dari peristiwa besar yang terjadi pada waktu itu. Sehingga simbol-simbol ringan seperti peralatan rumah tangga menjadi medium artistik untuk menunjukan bahwa cerita-cerita teror itu terekam dalam setiap sudut paling personal orang-orang di sana. Anak-anak yang bercerita, menunjukan kepolosan narasi sejarah yang mereka terima melalui bangku sekolah yang tidak benar-benar mampu menjawab siapa ninja sesungguhnya. Dari sisi gelap sejarah itulah, pertunjukan ini disusun. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh para aktor, penonton seperti diajak untuk menjawab bersama. Siapakah sebenarnya ninja yang pernah mengitari masa kecilmu itu?
Laporan-Laporan di Balik Operasi Berdarah
Tahun 1998 bulan Februari, pembunuhan seorang yang diduga “dukun santet” di Banyuwangi terjadi. Hampir 100 orang lebih korban terbunuh. Peristiwa itu kemudian menyebar luas sampai Situbondo, Pasuruan, Malang hingga Pulau Madura. Peristiwa itu dalam catatan Komnas HAM mencapai korban hingga 160-an orang. Tidak ada keterangan resmi dari negara siapa pelakunya. Namun masyarakat mengenal “ninja” lah yang menjadi dalang utama.
Istilah ninja muncul ketika pola pembunuhan yang terjadi hampir sama. Mereka menutup kepala, menggunakan senjata tajam seperti samurai dan mereka bergerak cepat, lincah, dan dalam beberapa kejadian mereka bisa menghilang. Tidak hanya itu, mereka juga meninggalkan jejak dengan tanda silang menggunakan senjata tajam di rumah para korban. Namun, tidak ada kepastian benarkah pelakunya adalah para ninja yang sering kita lihat di layar tv dari negeri samurai itu. Karena ninja sebenarnya adalah bahasa yang disematkan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi para pelaku. Dalam suatu kejadian ada salah satu pelaku pembunuhan itu tertangkap, ketika dimasukan ke dalam sel saat mau diintrogasi pelaku itu menghilang. Mungkin karena itulah nama ninja disematkan kepada pelaku.
Kemudian para korban dilabeli “dukun santet”. Entah dari mana label itu muncul. Padahal faktanya dari pengakuan keluarga korban, Edy Sumardi (52) anak seorang korban dalam liputan BBC (22, Mei, 2023), menceritakan bahwa ayahnya adalah orang biasa, bahkan ayahnya adalah orang yang sering berangkat ke masjid dan taat beragama. Maka ketika ayahnya dikatakan sebagai dukun santet, ia tidak terima, karena faktanya tidak begitu. Lambatnya penangan dari pihak keamanan, membuat masyarakat mengambil inisiatif untuk berjaga dan mengambil tindakan ekstrem sendiri. Bahkan beberapa kejadian, ada ODGJ yang tak lepas dari amukan massa. Mereka terbakar amarah, membabat orang-orang yang mencurigakan di kampungnya.
Tidak hanya orang yang dilabeli dukun santet, para guru ngaji dan kiai kemudian juga banyak menjadi korban. Konflik horizontal kemudian terjadi di antara masyarakat. Mereka terbelah, saling curiga satu dengan lainnya. Wacana siapa dalang pembunuhan menjadi liar di tengah masyarakat. Identitas di antara keduanya mengental, benturan di antara kaum santri dan abangan terulang. Lagi-lagi sebuah pola lama terjadi, seperti membangkitkan luka lama yang lama tersimpan, konflik di antara mereka seperti diharapkan oleh pihak yang punya kepentingan. Kalian mesti ingat bagaimana peristiwa 65 yang menjatuhkan ribuah orang terbunuh itu. Tampaknya pola itu direplikasi kembali dalam peristiwa ninja untuk menciptakan kerusuhan yang akhirnya sulit dikendalikan.
Praktik itu sebenarnya sudah lama dilakukan sejak zaman kolonial, pemisahan antara agama dan budaya merupakan strategi untuk menggembosi perlawanan rakyat pada waktu itu. Dengan berbagai pendekatan klasterisasi yang dilakukan para orientalis berhasil membuat kedua identitas itu semakin mengental. Hingga kita mengenal golongan abangan-putihan (santri). Berbagai penelitian dilakukan untuk menjarakkan kedua identitas itu. Hingga puncaknya penelitian Clifford Geertz yang mengkategorikan masyarakat jawa menjadi tiga bagian. Santri, abangan, dan priyayi. Berdasarkan pemilahan itulah negara dengan alat kekuasaanya membuat segregasi sosial untuk melakukan taktik pecah belah untuk melemahkan kekuatan masyarakat sipil.
Akibat pembunuhan berantai tersebut, kondisi sosial di daerah Tapal Kuda menjadi mencekam. Menurut tim pencari fakta dari NU Banyuwangi dalam laporan yang diterbitkan LAKPESDAM PBNU menyebutkan peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik nasional pada saat itu. Masa transisi yang bergejolak, di tengah kencangnya tuntutan turunnya Soeharto sebagai Presiden RI yang sudah 32 tahun. Negara seperti bersiasat agar kekuasaan Soeharto tetap bisa dipertahankan. Maka banyak kerusuhan terjadi, seperti di Bondowoso dan Tasikmalaya yang notabennya menjadi basis terkuat NU sebagai barisan politik Islam tradisional di bawah komando KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjadi lawan terkuat Soeharto.
Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua PBNU memang menjadi aktor politik penting dan menjadi lawan politik utama Orde baru pada saat itu. Di tengah represi dan intimidasi yang dilakukan oleh negara dengan berbagai kerusuhan di pusat-pusat kekuatan politik NU pada waktu itu. Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu). Langkah itu cukup efektif untuk meredam dan menghindari benturan di kalangan masyarakat, karena mereka tahu siapa dalang di balik peristiwa berdarah itu.
Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu).
Semua ulasan fakta tragedi yang disebutkan di atas terekam baik dalam sekuel adegan yang berjudul laporan-laporan dalam pertunjukan. Walaupun tidak dijelaskan detail, namun praktik repertoar yang dijalankan dengan membaca laporan penelitian itu cukup membuat penonton paham konteks peristiwa yang menjadi objek dari pertunjukan. Sehingga saat kamu memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepalamu akan penuh.
Tiga Babak Terakhir dan Upaya Mencari Jalan Ninja
Sejarah memang milik penguasa, begitu diktum yang sering kita dengar. Sehingga tampak sulit kita berharap kisah ninja dapat tercatat dalam dokumen sejarah yang diterbitkan oleh kementerian pendidikan apalagi kementerian kebudayaan. Justru kabarnya kementerian yang baru dibentuk itu, akan merevisi sejarah yang selama ini remang-remang kita kenal itu. Yang lebih menghebohkan lagi, sang menteri akan menghapuskan cerita gelap kerusuhan 98 yang mana kisah ninja ada di dalamnya. Entahlah kita memang tidak bisa berharap kepada negara untuk mendapat sejarah versi kita.
Maka kerja kesenian tampaknya jalan lain yang mesti ditempuh untuk mengartikulasikan sejarah kita sendiri. Karena kerja kesenian memungkinkan untuk memuat narasi-narasi yang terpinggirkan dan teks akademik yang biasanya bias kepentingan. Melalui kerja kesenian kita bisa membongkar sekat-sekat yang diciptakan oleh sejarah sekaligus membuka fragmen-fragmen ingatan untuk dibincangkan. Kemudian bentuk artistik yang direncanakan dengan matang dapat menjadi pesan bahwa kejadian kelam tidak untuk diulang. Begitulah pesan yang saya tangkap ketika pertunjukan memasuki babak ketiga.
Bagian terakhir dari pertunjukan ini tampaknya ingin mempertegas posisi strategis kesenian dalam upaya meretas peristiwa kelam yang selama ini ditutup-tutupi. Hal ini terlihat jelas dari sekuel cerita di beberapa adegan pada tiga babak terakhir ini. Lagi-lagi, meminjam suara aktor yang lahir pasca kerusuhan yang mengakibatkan ketakutan kolektif itu. Aktor itu mencoba membagikan pengetahuannya tentang ninja dari pazel sejarah yang selama ini ia cari tahu. Mulai sekuel cerita anime Ninja Hattori hingga game Basara di PS2 dan pelajaran IPS di waktu SMP. Disebutkan juga bahwa Ninja Hattori Hanzo adalah abdi dari daimyo Tokugawa Ieyasu yang nantinya akan mengakhiri Era Sengoku dengan mengalahkan Keshogunan Toyotomi Hideyoshi. Sebuah cerita peralihan kekuasaan Jepang di Era Sengoku (1467-1603). Kekuasaan Tokugawa bertahan selama dua setengah abad, hingga nantinya dilengserkan oleh Restorasi Meiji tahun 1868.
Menariknya praktik spekulatif dilakukan lagi dalam sekuel ini. Dalam narasinya ia mencoba menyandingkan peristiwa Restorasi Meiji 1868 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan Reformasi 1998. Mereka mengibaratkan Tokugawa Ieyasu sebagai Soeharto, maka kejatuhan rezim tersebut membuka jalan untuk restrukturisasi kekuasaan di masa itu. Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Sebagai penikmat sejarah saya tentu ragu dengan argumen yang dilontarkan yang cenderung otak-atik itu. Namun dalam pertunjukan dijelaskan bahwa inspirasi itu didasari oleh pengalaman Indonesia ketika dijajah pemerintah Jepang. Ketika negeri Tirai Bambu itu masuk Indonesia tahun 1942, mereka memang membawa janji kemerdekaan. Maka dibentuklah badan persiapan kemerdekaan dengan nama Jepang yang tentu tidak asing ditelinga kita Dokuritsu Junbi Cosakai dan Inkai. Bahkan untuk menyongsong peristiwa penting itu para pimpinan politik kita juga diinkubasi melalui Dai Nippon. Tidak hanya itu cikal bakal tentara nasional juga disiapkan melalui PETA (Pembela “sukarela” Tanah Air). Nama seperti Soekarno, Soedirman, Soeharto hingga Ahmad Yani adalah didikan PETA. Setelah kemerdekaan dominasi lulusan PETA semakin menguat dengan dipilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar. Kita tahu pasca kemerdekaan juga militer nasional kita terbagi menjadi dua blok besar antara PETA dan KNIL yang warisan Belanda itu. Mereka bersaing hingga akhirnya Soeharto menjadi penguasa selanjutnya. Sebenarnya dalam pertunjukan masih banyak ulasan tentang bagaimana ideologi Jepang meresap dalam sistem militer Indonesia. Tetapi tampaknya saya cukupkan di sini saja.
Tetapi yang jelas, melalui narasi yang berlarat-larat itu kita menjadi tahu korelasi kenapa istilah ninja dengan segenap resonansi peristiwa di belakangnya dapat kita lihat dengan cara yang berbeda melalui pertunjukan ini. Suguhan data-data yang dibaca bak laporan penelitian seperti membawa penonton dicekoki materi kuliah sejarah 6 SKS sekaligus. Kepala terasa penuh dan hebatnya saya cukup menikmatinya. Ketertarikan pada sejarah mungkin membuat saya bertahan untuk saksama memperhatikan setiap repertoar yang sedang dibacakan. Tetapi saya tidak bisa membayangkan jika ada penonton yang mengharapkan hal lain seperti apa yang dipaparkan dalam pertunjukan.
Lalu kehadiran tarian jamet yang cukup tiba-tiba di sela-sela laporan yang padat dibayangkan bisa memberi ruang jeda. Tarian yang lagi booming di media sosial yang menjadi identitas baru anak Muda Madura itu terasa seperti pelarian dari kegetiran peristiwa yang sedang dibacakan. Sekilas kehadiran tarian itu terkesan seperti dipaksakan. Apalagi kehadiran dua penari aslinya seperti tidak nyambung dari 6 aktor yang sudah ada sebelumnya. Tetapi apapun itu, kehadiran tarian Jamet ini telah menunjukan bagaimana generasi Madura hari ini telah berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahwa di tengah tarian ada tubuh yang merekam peristiwa kelam di masa sebelumnya.
Akhirnya, pertunjukan ini telah berhasil membongkar sejarah yang selama ini jarang dibicarakan. “Curriculum Vitae” sebagai judul pertunjukan, yang membuat saya bertanya sebelumnya, tentang apa hubunganya dengan peristiwa ninja akhirnya terjawab juga. Bahwa identitas personal tidak lain adalah upaya negara untuk mengontrol rakyatnya. Dalam kasus ninja di Tapal Kuda, identitas itu justru digunakan oleh “negara” untuk membasmi lawan politiknya. Selain itu pertunjukan ini seperti memberi warning kepada kita semua; bahwa teror dan ketakutan adalah instrumen paling efektif untuk mengatur rakyat. Karena politik ketakutan mampu menjangkau ruang-ruang paling privat dalam diri kita. Melalui hal ini rakyat dididik untuk tunduk dan bungkam karena mereka selalu dalam pengawasan. Dari hal ini kita bisa belajar, bahwa pola ini selalu digunakan oleh elit militer kita sekalipun Soeharto telah lama tiada. Namun mantan menantunya sekarang berkuasa. Apakah pola ini akan digunakan juga. Wallahualam bishowab.