(Sebuah Tanggapan untuk P Dr Alexander Jebadu, SVD)
“MEREKA datang dengan Alkitab dan agama mereka. Mereka merampas tanah kami dan menghancurkan semangat kami, dan sekarang mereka mengatakan kepada kami bahwa kami harus bersyukur kepada ‘Tuhan’ karena telah diselamatkan.”
Kata-kata terkenal Chief Pontiac (1714-1769) tentang kemunafikan para penjajah Eropa yang membawa agama Kristiani ke benua Amerika sembari mengambil tanah dan mengeksploitasi penduduk asli itu kiranya cukup relevan pada hari-hari ini ketika Gereja Katolik Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD (Societas Verbi Domini/ Serikat Sabda Allah)—kongregasi imam terbesar di Flores—melalui PT Kristus Raja Semesta Alam Maumere (PT Krisrama) menggusur rumah umatnya yang disebut penyerobot tanah negara yang telah mereka kantongi HGU (Hak Guna Usaha)-nya.
Alhasil kecaman pun datang dari berbagai penjuru Tanah Air, tumpah ruah di media sosial. Gereja Katolik, utamanya Keuskupan Maumere, beserta para imam Katolik yang hadir di lapangan selama penggusuran dinilai arogan, sewenang-wenang, tidak manusiawi, dan bertindak brutal. Pemberitaan tentang penggusuran itu terus meluas di berbagai media massa, lokal maupun nasional, dalam maupun luar negeri.
Dan seperti yang telah bisa diduga, kemudian bermunculanlah sederet pembelaan diri, terutama oleh para imam, yang intinya adalah membangun narasi bahwa umat yang digusur tersebut justru merupakan para perampas tanah (land grabber).
Namun yang paling membuat orang-orang kaget adalah opini Pater Dr Alexander Jebadu, SVD berjudul “Uskup Maumere Tidak Rampas Tanah Umatnya (Tanggapan Berita Miring dari UCA News)” yang dipublikasikan di Media Indonesia (12/02/2025). Bagaimana tidak, dalam tulisannya itu Pater Jebadu bukan hanya sekadar menegaskan betapa sahnya sertifikat HGU yang dimiliki oleh PT Krisrama sehingga tak bisa diganggu gugat, tetapi juga menyampaikan pemikirannya yang sangat orientalis, paternalistik, dan cenderung rasis dalam upayanya menjelaskan sejarah Tanah Nangahale secara berpanjang-lebar setelah sebelumnya dengan arogan melemparkan pertanyaan yang lebih mirip tantangan kepada publik:
Tanah Nangahale yang dikisruhkan ini adalah tanah HGU. Nah, apa itu tanah HGU? Mengapa tanah ini disebut tanah HGU? Mengapa tanah ini menjadi tanah HGU? Bagaimana prosesnya dan apa konteks sejarah Indonesia sampai tanah ini menjadi tanah HGU? Siapa pemilik tanah yang disebut tanah HGU menurut hukum di Indonesia?
Kalau Anda tidak tahu atau menjawab pertanyaan ini secara tidak benar dan tidak paham sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia, maka Anda tanpa sadar akan berkubang di dalam kekeliruan. Anda bisa menjadi penyesat warga masyarakat dan melakukan tuduhan palsu alias tidak benar. Anda menampar orang yang tidak bersalah. Itu sebuah kejahatan (crime) dan Anda harus dihukum.
Dari sinilah, ia yang merasa memahami betul sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia kemudian dengan penuh keyakinan mulai mengemukakan pandangannya yang sangat khas kolonialis kulit putih seraya pada saat yang sama secara tak langsung memperlakukan para pengkritik Gereja Katolik Keuskupan Maumere sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa itu tanah HGU dan tidak paham sejarah Indonesia.
Kendati bagi orang-orang yang mengerti sejarah dan wacana pascakolonialisme, pernyataan-pernyataan dalam opininya itu dengan jelas menunjukkan bahwa dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero inilah yang justru tidak memahami sejarah bangsanya sendiri, sejarah kekristenan Barat dan sejarah Gerejanya sendiri (bahkan secara umum!) dan apa itu kolonialisme.
Dari Prasasti sampai Catatan Biksu China
SAYA kira tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum terkait kepemilikan sertifikat HGU Tanah Nagahale dan Patiahu oleh PT Krisrama dengan Pater Jebadu maupun pihak Keuskupan Maumere lainnya melalui tulisan di media massa maupun media sosial. Perdebatan soal itu lebih tepat dibawa ke meja persidangan yang menghadapkan PT Krisrama dengan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Meskipun sudah jadi rahasia umum jika hukum di Indonesia kerapkali tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Dan kita tahu, dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi dari Sabang sampai Merauke, amatlah jarang rakyat miskin—orang-orang kampung sederhana—bisa menang melawan orang-orang yang punya uang dan kuasa maupun perusahaan. Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.
Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.
Ini perlu saya ingatkan kepada Pater Jebadu seperti halnya ia merasa perlu mengingatkan publik yang dipandangnya buta sejarah bahwa “Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara baru lahir tahun 1945”, seolah-olah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta itu merupakan sebuah momen yang cuma diketahui oleh segelintir orang Indonesia termasuk dirinya.
Karena itu, lebih jauh ia pun tanpa ragu mengemukakan klaim-klaimnya yang bukan saja ngawur dan tidak bertanggungjawab secara historiografis tetapi juga sungguh merendahkan dan menggelikan! Coba perhatikan kutipan berikut:
Sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana. Mereka sangat primitif alias sangat terbelakang. Belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar. Mereka tak tahu baca dan tulis. Belum ada bahasa pemersatu untuk bersoal-jawab pertahankan hak atas sumber-sumber hidup termasuk tanah ulayat.
Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa umum), tapi hanya terbatas segelintir suku pedagang pesisir pantai yang menguasainya. Suku-suku terpencil di pedalaman yang jumlahnya mayoritas sebagai masyarakat petani belum menguasai Bahasa Melayu.
Suku-suku Kepuluan Nusantara yang masih primitif ini hidup terpencar-pencar di tiap pulau, menurut suku dan budayanya masing-masing. Dalam kondisi keterbelakangan demikian, bangsa-bangsa Eropa mulai satu persatu datang menunjukkan batang hidungnya. Mula-mula mereka datang berdagang beli rempah pala, lada, cengkeh dan sebagainya. Kemudian perlahan-lahan mereka kuasai, jajah dan rampok.
Dari mana atau atas dasar referensi apa pastor ini bisa sampai menyimpulkan bahwa sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif alias sangat terbelakang? Apa metodologi ilmu sejarah yang ia pergunakan?
Apakah ia tak pernah belajar sejarah atau memang sengaja hendak mengaburkan sejarah (dan mengelabuhi pembaca) demi kepentingannya membela marwah Gereja dan ordonya yang tercoreng oleh pemberitaan dan kecaman? Lagipula, yang dimaksudnya suku-suku di Kepulauan Nusantara itu suku mana saja? Tolong sebutkan dengan jelas dong, Pater: Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Kaili, Dayak, dan suku-suku apa saja?
Padahal jika ia mau membaca sejarah Nusantara (the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula) secara lebih holistik dan komprehensif, tentu ia akan tahu bahwa jauh sebelum armada Portugis (Malaka, 1511; Maluku, 1512) dan Belanda (Banten, 1596) tiba, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kerajaan Kutai (sejak abad ke-4 M), Kerajaan Tarumanegera (sekitar abad ke-4 dan ke-5 M), Kerajaan Sriwijaya (671-1025), Kerajaan Singosari (1222-1292), dan Kerajaan Majapahit (1293-1527).
Bahkan pada puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389)—menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV—wilayah kekuasaan Majapahit amatlah luas, meliputi sebagian besar pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Malaku, Papua, Tumasik, dan sebagian kepulauan Filipina. Apakah Pater Jebadu tak pernah mendengar atau membaca tentang Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang terkenal itu? Apakah Majapahit adalah sebuah kerajaan yang primitif dan terbelakang sebelum ditaklukkan oleh pasukan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak pada tahun 1527?
Atau tahukah Pater Jebadu bagaimana Kerajaan/Kesultanan Banten (abad 10-17) yang disebut Bantam itu, dengan segala kekayaan dan kegemilangan raja dan utusannya serta keramahan penduduknya, telah menjadi rujukan karya sastra dari banyak pengarang Eropa? Sebutlah Ben Jonson dalam The Alcemist (1610), Aphra Behn (The Court of the King of Bantam, 1683), Madeleine de Gomez (La Princesse de Java (1739), dan seterusnya (Claude Guillot, 2008: 385).
Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904. Itu pun setelah pemerintah kolonial memakai siasat licik, yakni menyusupkan seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) alias Abdul Ghaffar—yang berpura-pura menjadi mualaf di Mekah untuk mempelajari Islam—ke Aceh sebagai mata-mata. Di mana ia kemudian mempergunakan pengetahuan tentang adat-istiadat dan kebudayaan Aceh yang dipelajarinya itu untuk merancang strategi mematahkan perjuangan jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Apakah menurut Pater Jebadu, orang Aceh merupakan suku yang sangat primitif alias sangat terbelakang, sehingga untuk menguasai wilayah Aceh, Belanda harus berperang selama 31 tahun (1873-1904) dengan mengorbankan demikian banyak tentara dan biaya yang begitu besar?
Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904.
Karena telah (sengaja) melupakan keberadaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara yang tersebut di atas, tentu saja bisa dipastikan bahwa Pater Jebadu juga lupa bahwa di tanah Jawa, Sumatera, dan wilayah lainnya pada era kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Siwa dan Buddha pendidikan yang berbasis keagamaan telah terselenggara secara luas untuk seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya adalah sistem pendidikan yang dikenal sebagai “Kadewaguruan” pada era Singosari (bahkan sebelumnya), Majapahit, hingga Mataram Kuno. Cukup banyak naskah Jawa Kuno yang menyinggung keberadaan Kadewaguruan ini, di antaranya Bhomakawya, Sumana-santaka, Sutasoma, Rajapatigundala, Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, dan Pararaton, yang menyatakan bahwa Mandala Kadewaguruan merupakan sebuah wanasrama (asrama di tengah hutan) yang dihuni dan ditempati oleh kaum resi dan pertapa beserta murid-muridnya (Santiko, 2005; Munandar, 1990).
Situs Candi Panataran di lereng barat daya Gunung Kelud, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah salah satu bukti keberadaan Kadewaguruan ini secara arkeologis pada masa masa Kadiri (1052) hingga Majapahit (1486). Situs-situs lainnya adalah Candi Cetho, Candi Kethek, Candi Menggung, Candi Planggatan, dan Candi Sukuh. Sedangkan Candi Morangan di Argomulyo, Cangkringan, Sleman merupakan situs Kadewaguruan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kadewaguruan inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Jawa ketika ajaran Islam berkembang semakin pesat di bawah peran dakwah Walisongo sejak abad ke-15 dan kian meluas pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Sementara itu dari catatan-catatan perjalanan dan pengalaman biksu Buddha Tiongkok termashyur, I-Ching/ I-Tsing [Mandarin: 義淨 – Yijing] (635-713) selama tinggal di Sriwijaya (sekitar 671-695) yang berjudul 南海寄归内法传 (Nanhai Ji Gui Nei Fa Chuan) atau A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Seas dan 大唐西域求法高僧传 (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Chuan) atau Biography of Eminent Monks Who Went to the Western Regions in Search of the Dharma during the Great Tang Dynasty, kita bukan hanya menemukangambaran tentang Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penting bagi studi dan praktik Buddha, tetapi juga posisi Candi Muaro Jambi (kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara) sebagai tempat para biksu dari berbagai negeri datang untuk mempelajari teks-teks Buddha sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Nalanda/India. Kedua karya ini merupakan sumber penting untuk memahami peran Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Ini lima abad sebelum Oxford University didirikan di Inggris.
Kerajaan-kerajaan di Aceh pun sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya sebelum Kesultanan Aceh Darussalam ditaklukkan oleh Belanda. Pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan telah berkembang luas di meunasah, rangkang (semacam balai-balai), dan dayah (zawiyah). Di setiap kampung di Aceh setidaknya terdapat satu meunasah tempat diadakannya pendidikan dasar berbasis Islam bagi anak laki-laki. Perbedaan antara meunasah dan dayah adalah jika meunasah merupakan bangunan tradisional yang lebih fokus pada fungsi sosial dan keagamaan (sebagai tempat ibadah, belajar mengaji, dan bermusyawarah), dayah memiliki peran yang lebih luas dalam pendidikan dan pengembangan intelektual. Sebagai lembaga pendidikan, dayah boleh dikatakan telah mengakar sejak Islam menapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Bahkan Dayah Cot Kala di Aceh Timur yang didirikan pada tahun 889 pada masa Kerajaan Perlak (Peureulak) tercatat sebagai Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara.
Para peneliti juga menemukan bahwa sistem pendidikan Nusantara pada zaman klasik ini, baik Kadewaguruan, tempat-tempat studi Buddhisme, dayah, maupun pesantren tak hanya mengajarkan agama saja tetapi juga semua ilmu pengetahuan yang ada pada masanya seperti pengetahuan umum, politik, filsafat timur, sejarah, bahasa, matematika, medis, astronomi, dan teknologi selain berbagai ilmu praktis untuk kehidupan sehari-hari seperti pertanian, tataboga, dan tenun.
Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan muda Asisi Suhariyanto dalam kanal youtubeAsisi Channel(“Indonesian Education System Since Ancient Times”), salah satu sifat dari Kadewaguruan adalah pendidikannya yang merata untuk semua kalangan, baik anak bangsawan maupun rakyat jelata. Hal ini, menurutnya, selain bisa kita ketahui dari kisah Ken Angrok (Ken Arok) dalam Pararaton, juga dari pendirian-pendirian prasasti misalnya prasasti penempatan sima (daerah otonom) yang dibuat untuk dibaca oleh publik.
Catatan para pedagang Tiongkok pada era Dinasti Tang (618-907) dan Dinasti Song (960-1279) menyebutkan pula bahwa pada tahun 640 terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang penduduknya memiliki kemampuan dalam baca-tulis dan astronomi (Suwandono, 2013). Ho-Ling adalah nama Cina untuk Kerajaan Hindu Kalingga di pantai utara Jawa Tengah (antara Pekalongan dan Jepara).
Lalu bagaimana seorang dosen bergelar doktor seperti Pater Jebadu bisa menyimpulkan bahwa suku-suku di Nusantara itu sangat primitis alias sangat terbelakang?
Apakah penemuan-penemuan prasasti tertulis, berbagai catatan lontar, dan kitab kuno belum cukup terang bagi dirinya untuk melihat bahwa masyarakat Nusantara sesungguhnya bukanlah masyarakat yang buta huruf sama sekali sebelum kedatangan bangsa Eropa, tetapi telah banyak menguasai baca-tulis dalam aksara Pallawa (bahasa Sanskrit), aksara Jawa Kuno (Kawi), aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda Buhun, dan aksara Jawi (dikenal juga sebagai aksara Arab-Melayu atau Arab Gundul) yang dipergunakan secara luas untuk menulis surat-menyurat, dokumen-dokumen resmi, catatan sejarah, tembang dan karya kesusastraan?
Jawabannya, seperti yang telah saya singgung di atas, ada dua kemungkinan. Kalau bukan karena ia memang buta sejarah bangsanya sendiri, berarti ia sengaja hendak mengaburkan sejarah. Dan untuk yang kedua, selain hal ini ia lakukan untuk membela marwah Gerejanya dalam kasus penggusuran PT Krisrama, boleh jadi memang merupakan pandangan pribadinya yang autentik kaum orientalis Barat—yang selalu memandang dan memperlakukan masyarakat pribumi jajahan sebagai subjek inferior demi menguatkan posisi superioritasnya sebagai penjajah. Sehingga di sini ukuran melek huruf buat Pater Jebadu tampaknya hanya terbatas pada baca-tulis huruf Latin (Alphabet) saja.
Ah, sampai di sini saya pun jadi terkenang pada kisah Tom Hong, ayah sang narator dalam novel memoar Maxine Hong Kingston China Men (1981) yang notabene adalah seorang sarjana Dinasti Qing, tatkala ia pertama kali tiba di Amerika Serikat dan menjalani pemeriksaan oleh petugas imigrasi kulit putih di Angel Island, San Fransisco:
“Can you read and write?” the white demon asked in English and the Chinese American asked in Cantonese.
“Yes,” said the legal father.
But the secretary demon was already writing No since he obviously couldn’t, needing a translator. (Kingston, 1981: 60)
Berakhirnya kolonialisme fisik secara formal dengan kemerdekaan negara-bangsa bekas jajahan, bukan berarti berakhir pula pandangan orientalisme seperti ini. Sebab, di samping—seperti yang pernah diungkapkan Katrin Bandel dalam “Sastra Pascakolonial di Indonesia”—relasi kekuasaan global tetaplah sejalan dengan apa yang telah dimulai pada era kolonial dengan negara-negara Eropa dan superpower baru (utamanya Amerika Serikat) tetap dominan secara ekonomis dan budaya (neo-kolonialisme), keterjajahan juga masih terus berlangsung hingga kini terutama dalam bentuk produksi ilmu pengetahuan maupun dalam pola pikir, selera, dan moralitas akibat warisan pendidikan dan hukum ala kolonial.
Pandangan Orientalisme Seorang Imam Katolik
APA itu orientalisme? Orientalisme dapat diartikan sebagai cara Barat mendefinisikan dan memahami dunia Timur menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang Eropa. Di mana ia dijadikan sistem pengetahuan yang bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur. Dengan begitu, orientalisme—mengutip kata-kata Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978)—lebih kepada “tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.”
Menurut Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception: The Concealed History of Freemasonry (2004), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa/negeri, yaitu: 1) Kaburkan sejarahnya, 2) Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu agar tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya, 3) Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Ketiga hal inilah yang coba dilakukan oleh bangsa Eropa ketika menancapkan kolonialismenya di tanah Asia-Afrika. Di mana untuk menguasai penduduk pribumi dan mempertahankan tanah jajahannya, kaum kolonialis ini tidak hanya membutuhkan kekuatan senjata dan beragam strategi tetapi juga memproduksi apa yang diperkenalkan oleh Said sebagai wacana kolonial atau “colonial discourse”.
Di sinilah, kolonialisme kemudian dibangun di atas “colonial imagination” yang menghasilkan pengetahuan kolonial tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah secara bias dan manipulatif—sebuah fabrikasi kebohongan dan mitos, percampuran antara fakta dan fisik—yang ditulis semata-mata untuk melayani kepentingan sang penjajah. Sehingga tak heran jika dalam mendeskripsikan masyarakat jajahan, kaum kolonial seolah-olah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Mereka menamakan, mencirikan, mengkaji masyarakat terjajah tersebut dalam kerangka kerja bahasa dan aturan-aturan kolonial.
Akibatnya, dalam kajian-kajian para orientalis, perbedaan Barat dan Timur ini ditegaskan sedemikian rupa secara ontologis dan epistemologis, dengan menempatkan Barat pada posisi superior atas Timur yang direpresentasikan sebagai subyek inferior yang terbelakang dan barbar, tidak rasional, penuh takhayul, dan tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri.
Penciptaan mitos “pribumi malas”, “orang Asia pembohong”, “otak orang kulit hitam kurang berkembang”, termasuk dalam hal ini “suku-suku Nusantara sangat primitif alias sangat terbelakang” yang dikemukakan oleh Pater Jabadu, adalah contoh dari wacana kolonial yang diikuti oleh serangkaian diskursus moral misi pemberadaban (civilising mission) yang direpresentasikan sebagai tanggungjawab kemanusiaan bahkan tugas suci bangsa Eropa.
Seperti yang pernah saya tulis dalam esai “Memeriksa Kembali Max Havelaar” (tengara.id, 31/12/2022), salah satu peristiwa tekstual monumental yang menunjukkan orientalisme dalam praktiknya yang paling khas, antara lain bisa kita temukan dalam novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, terutama peristiwa pertemuan Crusoe dengan seorang penduduk pribumi di pulau terpencil di luar Eropa tempatnya terdampar. Karena itulah, sebagai sosok Eropa yang menganggap dirinya lebih beradab, Crusoe perlu mengajari Friday cara makan yang benar (sesuai dengan cara Eropa), cara berbicara yang benar (menggunakan bahasa Inggris/Eropa), dan mengenalkannya kepada Tuhan yang benar (Tuhan agama Kristen), sembari pada saat yang bersamaan merasa berhak mengklaim pulau “kosong” (tapi berpenghuni) tempatnya terdampar itu sebagai penemuan dan miliknya.
Di samping dapat dikatakan sebagai awal pertemuan sang colonizer dengan the colonized, peristiwa ini juga menjadi repetisi genesis; dan karena itu Crusoe pun memperoleh kekuasaan atas Friday dan otoritas untuk menyertakan peristiwa itu dalam keseluruhan kisah yang menjadi “miliknya”, termasuk kisah tentang hubungannya dengan Friday. Dengan begitu, muncullah asumsi bahwa sebelum adanya kesaksian dari sosok Eropa yang diwakili oleh Tuan Crusoe, keberadaan Friday pra-pertemuan awal itu diabaikan. Bahkan lebih jauh lagi, karena ia dibahasakan dalam sistem wacana yang diberi otoritas maka apapun yang terjadi sebelum peristiwa itu dianggap tidak ada atau dihapuskan!
Keunggulan Crusoe (penjajah Barat) atas Friday (pribumi) yang ditunjukkan oleh Defoe seperti hendak menyatakan kepada kita bahwa struktur kekuasaan kolonial bukan saja dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik bagi tanah jajahan, tetapi juga disusun kembali menjadi hubungan guru dan murid. Di mana penduduk pribumi membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari ras Eropa yang superior agar dapat hidup lebih baik. Sehingga dengan begitu kolonialisme pun dimaknai sebagai “pembebasan” bagi kaum terjajah. Hal ini persis dengan apa yang diungkapkan karakter Pendeta Wawelaar lewat narasi tokoh narator Batavus Droogstoppel dalam novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker):
“Demikianlah para Kekasihku, panggilan tugas kaum Israil yang mulia, (maksudnya membinasakan penduduk Kanaan), dan demikian pula panggilan tugas negeri Belanda! Tidak, orang tidak akan mengatakan bahwa terang yang menyinari kita, kita tutup dengan takaran gandum, bahwa kita pelit dalam membagikan rezeki kehidupan yang kekal. Pandanglah pulau-pulau di Samudera Hindia, yang didiami oleh berjuta-juta cucu dari putera nabi Nuh yang dibuang, dan memang sepantasnya dia dibuang—sedangkan nabi Nuh yang mulia itu berkenan kepada Tuhan. (Max Havelaar, 140)
Tak bisa dipungkiri bahwa selama berabad-abad dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misi penyebaran agama Kristiani ini (baik oleh Zending maupun Katolik) telah menjadi salah satu pembenaran praktik kolonialisme. Bahkan boleh dibilang sebagai salah satu dari tiga semboyan pendorong penjelajahan samudera bangsa Eropa termashyur yang “memunculkan” praktik kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory, dan Gospel.
Itu sebabnya dalam khotbah-khobat Pendeta Wawelaar, diyakini betul bahwa bangsa Belanda yang beradab dan makmur karena kekristenannya memikul tugas suci dari Tuhan untuk membawa peradaban, pengetahuan, dan agama kepada orang Jawa yang tersesat lewat praktik kolonialisme:
Tapi, para Kekasih, Pendeta Wawelaar meneruskan, Tuhan adalah Tuhan cinta kasih. Ia tidak mau orang berdosa jadi binasa, tapi supaya ia bahagia dengan anugerah, di dalam Kristus, oleh kepercayaan! Karena itulah negeri Belanda terpilih untuk menyelamatkan apa-apa yang dapat diselamatkan dari orang-orang yang celaka itu. Untuk itu Ia, dalam kebijaksanaanNya yang tidak dapat diduga, memberikan kekuasaan kepada sebuah negeri yang kecil, tapi besar dan kuat karena pengetahuannya akan Tuhan, untuk menguasai penduduk daerah-daerah itu, supaya mereka dapat diselamatkan dari azab neraka oleh Injil yang suci dan mulia. Kapal-kapal negeri Belanda melayari samudera luas, dan membawa peradaban, kekristenan, kepada orang Jawa yang tersesat.
Tidak, negeri Belanda yang bahagia, tidak menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri; kita juga ingin membaginya kepada orang-orang yang celaka di pantai-pantai yang jauh, orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, tahyul, dan kecabulan. (Max Havelaar, hlm. 141-142)
Bahkan Multatuli sendiri dengan congkak memperbandingkan dirinya dengan Kristus ketika ia berpidato sebagai tokoh Max Havelaar di depan para pembesar bumiputera dalam “Pidato Lebak”, di mana ia bukan saja yakin dirinya telah diutus untuk menjadi penguasa yang adil dan rendah hati, tetapi juga untuk menjadi seorang “saudara yang lebih tua”.
Lantas, apakah lahirnya kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) di bumi Hindia Belanda pada 17 September 1901 sebagai respons terhadap meningkatnya kritik dan tekanan para politikus Partai Liberal Belanda (utamanya Conrad Theodor van Deventer lewat artikelnya “Een Eereschuld”/“Hutang Budi”) kepada pemerintah kolonial Belanda terkait kondisi sosial-ekonomi yang semakin buruk di daerah koloni baik akibat efek pelaksanaan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sebelumnya maupun penerapan ekonomi kapitalisme liberal Undang-Undang Agraria 1870 memang sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan penduduk tanah jajahan?
***
DI bidang pendidikan, politik balas budi ala kolonial Belanda barangtentu hanyalah balas budi setengah hati. Sebab pemerintah kolonial yang mengerti betul pentingnya pendidikan dalam mencerdaskan dan membangkitkan kesadaran sebuah bangsa tetap mengontrol penyelenggaraan pendidikannya secara ketat.
Setelah beratus-ratus tahun melarang masyarakat jajahan untuk “bersekolah” dan menghancurkan semua tatanan masa klasiknya yang menjadi penyebab keterputusan budaya, di masa penerapan Politik Etis ini mereka hanya mengijinkan segelintir kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan ala Eropa yaitu orang-orang dari golongan bangsawan dan anak-anak pejabat bumiputera. Itu pun dengan tujuan khusus yakni menciptakan sebuah golongan elite terdidik pribumi untuk dijadikan pegawai kolonial, yakni sebuah kelas perantara/penerjemah antara kekuasaan kolonial dan masyarakat jajahan yang dibodoh-bodohkan. Jean Paul Sartre menyebut golongan ini sebagai Kinglet, dan Homi K. Bhaba dalam bukunya The Location of Culture (1994) membahasakannya sebagai “a subject of a difference that is almost the same but not quite”.
Karena itu tak heran jika menurut berbagai data sejarah, sampai tahun 1930 diperkirakan hanya sekitar 2-3% saja anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan formal ala Belanda di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), dan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sementara anak-anak dari golongan Tionghoa sama sekali tidak diperhitungkan. Sehingga pada 1900, orang-orang Tionghoa pun mendirikan organisasi pendidikan pertama yang sepenuhnya mandiri, yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, yang secara politik berorientasi ke China Daratan. Seperti dikatakan Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Muntok Pepper (1992), karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. THHK meluaskan cabang-cabangnya ke berbagai wilayah Hindia Belanda dengan cepat. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda yang takut kehilangan kawulanya dari golongan Tionghoa dan khawatir pengaruh politik Tiongkok bakal mengancam kekuasaan mereka di Hindia pun terburu-buru mendirikan HCS (Hollandsche Chineesche School) pada tahun 1908 sebagai tandingan.
Meskipun harus kita akui bahwa pendidikan Politik Etis tersebut ikut berandil melahirkan para founding father kita, tetapi bangsa penjajah yang menyelenggarakan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah imperialis Jepang. Dalam propaganda politiknya sebagai saudara tua bangsa Asia itu, selain menginstruksikan pengajaran bahasa Jepang hingga ke desa-desa, pemerintah pendudukan Jepang yang melarang penggunaan bahasa Belanda juga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam administrasi, pendidikan, media massa, dan hukum.
Tentu di luar sekolah-sekolah pemerintah kolonial dan sekolah swasta Tionghoa, juga terdapat sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah (1911) dan Perguruan Taman Siswa (1922) serta sekolah-sekolah yang didirikan untuk kepentingan misi Zending dan Katolik, di mana Pater Jebadu merupakan salah satu produknya jauh di kemudian hari.
Sekolah Zending pertama di Hindia Belanda didirikan oleh Joseph Kam dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada 1831 di Minahasa, Sulawesi Utara dengan tujuan menyebarkan ajaran Protestan sekaligus memberikan pendidikan dasar kepada penduduk lokal. Sedangkan dua sekolah misi Katolik pertama adalah sekolah-sekolah guru Normaalschool-Kweekschool (1900/1904) yang didirikan Romo van Lith, SJ di Muntilan, Magelang dengan tujuan mencetak para katekis untuk kebutuhan misi dan Sekolah Santa Ursula di Weltevreden (Jalan Pos, Jakarta Pusat) pada 1906 dengan nama HBS Princess Juliana di bawah asuhan suster-suster Ordo Santa Ursula (OSU).
Saya kira di sini saya tak perlu mengungkapkan tentang sejarah hubungan pasang-surut antara Gereja Katolik dengan Pemerintah Belanda. Tetapi yang jelas, setelah Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Nota der Punten pada 1847, vikaris dan para imam boleh dibilang digaji dan dibiayai perjalanannya oleh pemerintah. Mereka juga mendapatkan tunjangan tahunan dari Kerajaan Belanda. Sehingga dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri sekaligus misionaris dan mendapat perlakuan yang sama seperti para pendeta Protestan.
Bukankah STFK Ledalero almamater Pater Jebadu sendiri didirikan oleh para misionaris SVD pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1937?
Sehingga pernyataan Pater Jebadu bahwa sebelum tahun 1945 suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif, dan tak tahu baca-tulis karena belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar juga terbantahkan dengan fakta ini. Kendati, seperti yang telah saya utarakan di atas, baik sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial maupun sekolah misi bukanlah lembaga edukasi yang menyelenggarakan pendidikan secara luas dan merata tetapi hanya terbatas untuk segelintir masyarakat tertentu saja—utamanya sebelum 1930.
Namun berbeda dengan para founding father kita yang menggunakan bekal pendidikan kolonial mereka untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsanya atau para sastrawan dari bekas tanah jajahan seperti Chinua Achebe, Ngugi wa Thiong’o, dan Salman Rushdie yang melakukan “writing back to the empires” utuk merebut kembali suara, identitas, dan sejarah mereka yang didistorsi oleh kekuasaan kolonial, dalam opininya “Uskup Maumere tidak Rampas Tanah Umatnya” itu Pater Jebadu justru menggunakan kacamata kaum kolonial yang rasial dalam memandang bangsanya sendiri.
Bahkan lebih lanjut ia juga tak segan-segan menunjukkan sikap rasialnya terhadap ciri fisik bangsanya, di mana dengan terang benderang disebutkannya bahwa orang-orang Belanda adalah orang-orang yang berperadaban tinggi dan putih, sementara suku-suku bangsa Indonesia itu primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf. Seolah-olah peradaban ras kulit putih memang ditakdirkan lebih unggul dari ras kulit berwarna karena perkara warna kulitnya. Simaklah kutipan dalam paragraf ini:
Salah satu hal yang umum terjadi adalah perampasan dan perampokan tanah. Orang-orang Belanda, yang berperadaban tinggi, putih, celana panjang, sepatu bengkap dan bersenjata lengkap ini, rampok tanah suku-suku bangsa Indonesia yang masih primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf.
Tentu siapa pun tahu kalau Belanda (juga para penjajah Barat lainnya) merampok tanah suku-suku di Asia-Afrika. Kalau tidak, bukan kolonialisme namanya. Masa’ yang begini saja harus “diomongkan” oleh Pater Jebadu? Tetapi apakah para penjajah kulit putih itu bisa berhasil menguasai berbagai wilayah tanah jajahan mereka karena kulit mereka yang putih, karena mereka bisa baca-tulis aksara Latin (Alphabet), dan karena peradaban mereka lebih tinggi? Dalam hal inilah tampak bagi kita betapa parahnya “mentalitas inlander” Pater Jebadu sebagai anak pribumi dari bekas tanah jajahan.
Apa itu mentalitas inlander? Istilah ini merujuk pada pola pikir atau sikap mental penduduk pribumi di suatu wilayah, khususnya dalam konteks sejarah kolonial, yang terbentuk akibat penjajahan, seperti rasa inferior, ketergantungan, atau kurangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri. Hal ini sering dianggap sebagai warisan kolonial yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat pascakolonial.
Karena itu sebagai seorang pastor “black skin, white masks” (meminjam bahasaFranz Fanon) didikan sekolah misionaris yang didirikan pada era kolonial, lumrah saja kalau Pater Jebadu seakan lupa bahwa Belanda—sejak era para pedagang culas VOC tiba—dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengendalikan sumber daya alam dan manusia Nusantara, dan akhirnya menguasai daerah jajahan yang begitu luas tak lain karena mereka memakai strategi-siasat licik yang dikenal dengan istilah devide et impera alias politik adu domba! Yang dengan picik memanfaatkan persaingan antar raja atau perang saudara di kerajaan-kerajaan Nusantara dan memanipulasi dinamika politik lokal sedemikian rupa untuk mencaplok maupun mempertahankan daerah kekuasaan mereka.
Dalam politik devide et impera, selain memainkan peran sebagai teman dan menciptakan musuh bersama (make friends and create common enemy) di tengah konflik antar kerajaan atau di dalam lingkungan sebuah kerajaan, mereka juga menjalankan strategi manajemen isu dengan menyebarkan propaganda atau desas-desus di lingkungan politik dan sosial, serta memberikan pengakuan-pengakuan atas nama kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah, hingga mengatur perang saudara. Perang Padri di Sumatera Barat adalah satu satu contohnya.
Negara-negara Eropa pada masa itu memang lebih unggul dalam hal teknologi berkat revolusi industri. Tetapi ingat, Belanda hanyalah sebuah negeri mungil dengan populasi kecil. Tanpa penggunaan siasat licik tidaklah mungkin bagi mereka untuk menguasai wilayah Nusantara yang begitu luas, yang kemudian mereka namakan Nederlandsch-Indie. Sehingga pada masa pemerintahan sipil, mereka pun menciptakan administrasi kolonial yang mengontrol penduduk Hindia melalui para pembesar bumiputera. Atau dengan kata yang lebih sederhana, Belanda menjajah penduduk Nusantara dengan cara menguasai kerajaan-kerajaannya.
Kalau Belanda memang demikian hebat secara militer, tak perlu bagi mereka untuk membentuk legiun asing maupun merekrut sekian banyak tenaga pribumi untuk mereka jadikan sebagai serdadu-serdadu kolonial seperti KNIL yang dikenal masyarakat Jawa sebagai londo ireng itu!
Sejarah Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Jawa (1825-1830) harusnya bisa menunjukkan kepada Pater Jebadu betapa lemahnya kekuatan militer Belanda, lantaran hanya bisa mereka menangkan dengan susah payah menggunakan ragam strategi culas seperti membayar para pengkhianat/pembelot dan merancang perundingan palsu. Bahkan untuk memadamkan pemberontakan para kuli tambang Tionghoa yang dipimpin Liu Ngie di Pulau Bangka (1899-1900) saja, residen Bangka harus mendatangkan 500 serdadu dari Batavia.
Pater Jebadu tentunya tidak paham bahwa salah satu alasan mengapa kerajaan-kerajaan di Nusantara ini begitu mudah dipecah-belah adalah karena pada masa kedatangan VOC wilayah Nusantara terdiri dari banyak kerajaan kecil yang saling bersaing. Di samping wilayah ini memang merupakan wilayah dengan penduduk majemuk yang terdiri dari berbagai suku-etnis. Makanya bangsa Eropa tak pernah berhasil memecah-belah negeri-negeri yang penduduknya cenderung homogen seperti China dan Jepang.
Karena itu, nasionalisme China dan Jepang yang tak pernah dijajah secara fisik oleh bangsa Eropa pun coraknya sangat berbeda dengan nasionalisme di sekian banyak negara Asia-Afrika bekas koloni Barat termasuk Indonesia yang memperoleh kemerdekaannya pasca Perang Dunia II, yang lahir dari “perasaan (tertindas) senasib sepenanggungan”. Itulah sebabnya Ben Anderson menyebut negara-negara baru ini sebagai imagined community (komunitas yang dibayangkan), yang didirikan berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama sehingga mereka pun lekat dengan “kebangkitan” nasional.
Lagipula, jika Pater Jebadu memang berkenan membaca sejarah bangsanya (bukan asal menyerocos seolah-olah ia paham sejarah padahal tidak), ia pasti bakal mengetahui bahwa konflik-konflik agraria di berbagai daerah di Nusantara juga merupakan salah satu penggerak kebangkitan nasional yang meletuskan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di mana sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak Flying Dutchman belum menjadi legenda kapal hantu hingga Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada 1949, perlawanan suku-suku Nusantara untuk merebut kembali hak tanah ulayat dan hutan keramatnya yang dirampas, dipatok, dan dilegitimasi lewat surat-surat ini tidaklah pernah berhenti. Termasuk di sini tanah Nangahale, Maumere, yang dirampas oleh Amsterdam Soenda Compagnie dari masyarakat pribumi untuk penanaman kapas dan kelapa pada tahun 1912.
Membeli tanah rampasan penjajah Belanda
BUKANKAH Pater Jebadu sendiri mengakui bahwa Gereja (Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil) yang dinakodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman telah membeli tanah rampasan penjajah ini dari perusahaan Belanda pada tahun 1926 dengan 22.500 Gulden? Bahkan bukti pembelian tersebut—menurutnya—masih tersimpan baik di Kantor Provinsialat SVD Ende dan di Ndoa-Keuskupan Agung Ende.
Hanya saja Pater Jebadu tampak mencoba menghindari sejarah konflik agraria yang berkait-kelindan dengan tanah tersebut, seakan-akan ia tak tahu-menahu kenapa perusahaan kapas penjajah Belanda bisa menjual tanah seluas 1.438 hektar ini kepada Gereja. “Entah apa alasannya,” demikian ia menulis.
Padahal seperti yang disampaikan oleh John Bala, anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka kepada CNN, alasan Amsterdam Soenda Compagnie menjual tanah itu kepada Apostolisch Vicariaat van der Kleine Soenda Eilanden adalah karena perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat. Yang mana di sini berarti perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah tersebut memang telah terjadi sejak awal dan terus-menerus berlangsung sampai sekarang.
Namun Pater Jebadu yang tak (mau) tahu perkara ini kemudian berbicara tentang nasionalisasi perusahaan Belanda setelah kemerdekaan Indonesia dan Gereja yang harus mengamankan tanah usahanya atas nama Tuhan Katolik yang solider kepada penderitaan umat manusia itu agar para calon wakil Tuhan di muka bumi tidaklah kekurangan biaya makan-minum. Simak baik-baik kata-kata sang pastor dalam “bahasa khotbah”-nya berikut ini:
Para calon pastor yang diberi makan oleh Rahim tanah Nangahale dan Patiahu berkarya melayani keselamatan jiwa dari umat Katolik sendiri, mulai dari Flores maupun di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan kini di seluruh dunia.
Dengan demikian, tanah Nangahale dan tanah Patiahu tidak dikelola oleh Gereja Katolik untuk bisnis dalam arti biasa untuk mendulang keuntungan pribadi. Kedua tanah ini dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.
Terang sudah untuk kita bahwa dalam perspektif seorang imam Katolik seperti Pater Jebadu, makan-minum para calon pastor yang bekerja melayani “keselamatan jiwa” umat Katolik sungguh jauh lebih penting ketimbang ratusan keluarga umat Katolik yang butuh tempat bernaung dan butuh makan itu sendiri. Sebab baginya “keselamatan jiwa” jelas berada di atas keselamatan badaniah. Untunglah, dalam opininya itu ia tidak sampai mengeluarkan istilah “santapan rohani” segala!
Sehingga kita pun tak perlu heran ketika Pater Jebadu—yang seyogianya pernah kuliah filsafat itu—meminta umatnya (yang tampak ‘awam banget’ di matanya) untuk mengerti bahwa nama PT Kristus Raja Semesta Alam memang nama yang amat tepat untuk sebuah badan usaha yang dikelola oleh Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD. Sebab PT itu menurutnya adalah “bisnis suci atas nama Tuhan Yesus pemilik alam semesta, termasuk pemilik tertinggi atas tanah Nangahale dan Patiahu”. Karena itu ia pun dengan santai mengintimidasi umatnya dengan ancaman konyol yang mungkin baginya teramat filosofis tetapi kontra rasionalitas: “Yang lawan PT Krisrama sama dengan lawan Yesus sendiri”!
Tampaknya pastor ini sudah lupa pula ia hidup di zaman apa. Barangkali dikiranya ia hidup pada Abad Pertengahan di Eropa, di mana para biarawan pengkhotbah biasa berkeliling untuk menakut-nakuti umatnya yang saleh dengan lukisan neraka sembari menjual surat pengampunan dosa.
Bahkan tak cukup hanya mencatut nama Tuhannya sebagai ancaman, Pater Jebadu juga terkesan seperti hendak membenturkan umatnya dengan negara dalam kasus ini setelah dengan panjang-lebar ia membeberkan pengetahuannya yang bias tentang nasionalisasi pada era Soekarno. Padahal nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset negara yang wajar dari bekas penjajah di negara pascakolonial mana pun, walau dalam praktiknya pemerintah sering bertindak sewenang-wenang mengabaikan rakyat.
Dalam kasus penambangan timah di Bangka contohnya, setelah Banka Tin Winning dinasionalisasi pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia justru meneruskan kebijakan eksploitatif Tin Reglement Belanda pada 1819 dalam memonopoli penambangan timah. Sehingga orang Bangka boleh dibilang tak pernah benar-benar menikmati hasil buminya sejak orang-orang Johor melakukan penambangan pertama kali di Sungai Olin, Toboali pada akhir abad ke-17. Bahkan selama masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang, menyimpan timah walau satu kilogram, apalagi menjualnya. Penjara, bahkan penyiksaan, kerapkali menjadi bagian dari kisah legam timah di masa ini.
Di pulau Mentawai, lebih ngeri lagi. Para penduduk asli dipindahkan secara paksa dari habitatnya di tengah rimba ke barasi-barasi dengan konsep resettlement atau PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing), sementara hutan-hutan adat tempat tinggal dan sumber penghidupan-spiritualitas mereka dijadikan sebagai ladang penghasil uang bagi perusahaan HPH dan HTI. Akibatnya, konflik pertanahan pun kerap tak terhindari. Bahkan mereka juga dipaksa untuk meninggalkan agama tradisional mereka Arat Sabulungan—yang dalam Rapat Tiga Agama (Protestan, Islam dan Sistem Kepercayaan Tradisional) 1954 dianggap sebagai keyakinan yang tak cocok bagi masyarakat modern—dan sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi (yang dalam praktiknya cuma Islam, Protestan, dan Katolik saja) dalam waktu tiga bulan setelah pertemuan.
Di sinilah pencaplokan tanah ulayat dan hutan adat kerap dilakukan secara semena-mena oleh negara—apalagi semasa Orde Baru—dengan dalih pembangunan seraya pada saat yang sama berlindung di balik pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Apakah Pater Jebadu memiliki pengetahuan tentang semua perkara ini? Saya tidak bisa menyimpulkan. Dalam kasus di Maumere ia hanya mengajak orang-orang untuk menyadari bahwa tanah Nangahale dan Patiahu di Pulau Flores adalah tanah milik negara yang diberi HGU, bukan tanah ulayat milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Lantaran menurutnya pemerintah RI masa Soekarno telah memutuskan untuk menjadikan semua tanah bekas perusahaan Belanda, tanah-tanah rampasan era kolonial itu, sebagai milik negara atas nama seluruh rakyat Indonesia dan dikelola melalui mekanisme HGU.
Karena itu pula menurutnya Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat atau menerimanya begitu saja sebagai hadiah dari penjajah Belanda. Tetapi Gereja membeli tanah rampasan tersebut dari perusahaan Belanda.
Wajar apabila kemudian ia tak mau tahu bahwa tidaklah semua orang—apalagi orang-orang miskin—punya cukup uang untuk membayar pajak setiap tahun kepada negara sebagai sewa atas pengelolaan tanah. Ia juga sepenuhnya mengabaikan bahwa dalam penerapan UU No.5 Tahun 1960 seringkali terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, tumpang-tindih hak atas tanah akibat kurangnya koordinasi antar instansi terkait, serta belum optimalnya sistem pendaftaran tanah, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan mereka yang punya uang dan kekuasaan.
“Dengan adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN maka PT. Krisrama (di dalamnya ada Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero) diberi hak resmi oleh negara untuk mengelola tanah itu dengan konsekuensi membayar pajak setiap tahun (pajaknya bukan sedikit),” tulis pastor lain, Pater Yosef Kusi SVD, seperti dikutip oleh www.kpksigap.com. “Para penyerobot tinggal di wilayah itu tapi kita yang membayar pajak. Kalau ikut apa yang dikatakan oleh pemerintah, mestinya mereka sudah punya tanah dengan sertifikat. Tapi kelihatannya mereka justru mau mengatur pemerintah/negara,” tambahnya sembari mengungkapkan bahwa nyawanya pernah terancam oleh ‘para pemukim liar’ itu ketika ia melaporkan pencurian pohon-pohon kelapa ke polisi.
. Dan senada dengan Pater Jebadu, Pater Kusi pun mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak tahu persis, tanpa data sedikit pun, dan tanpa ikut terlibat dalam urusan penyelesaian tanah itu, untuk tidak asal omong.
“Uskup Katolik mana di dunia ini yang tidak mencintai umatnya, yang tidak ada cinta kasih dan menggusur umatnya sendiri secara tidak manusiawi, serta merampas tanah mereka?” demikian tanya Pater Jebadu. Bahkan secara tidak langsung menurutnya, ada pihak-pihak tertentu—termasuk sekelompok orang internal Gereja Katolik sendiri, berjubah—yang merasa diri sangat pintar dan tahu segala sesuatu, yang bermain dalam kasus ini. Merekalah yang telah menyuapkan semua tuduhan ke banyak wartawan media online, tak terkecuali koran besar Kompas, Majalah Tempo, dan UCA News yang berkantor pusat di luar negeri. Bahkan khusus untuk penulis berita di UCA News online, ia mesti menekankan bahwa penulisnya dalah seorang putra Flores yang sudah lama tinggal jauh di Negeri Kanguru-Australia.
“Tindakan ini jelas merupakan blunder besar dan harus dituntut balik. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum dan didenda, siapapun mereka, termasuk yang berjubah sekalipun, demi keadilan hukum,” begitulah Pater Jebadu mengakhiri tulisannya.
Seperti yang telah saya katakan di atas, tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum dalam kasus ini dengan Pater Jebadu dan pihak Keuskupan Maumere lainnya. Namun siapa pun, yang memahami sejarah dan pascakolonialisme, saya kira pasti dapat melihat dengan terang betapa rasis dan orientalisnya pandangan Pater Jebadu dalam opininya tersebut.
“Saya tidak hanya heran mengapa Media Indonesia mau memublikasikan tulisan buruk dengan pandangan buruk seperti ini, tetapi saya juga heran bagaimana bisa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK) yang saya hormati, punya dosen dan doktor yang tulisan, argumentasi, dan pandangannya terhadap sejarah dan masyarakat Nusantara sangat buruk,” tulis Felix Nesi di Facebook. Ah, tentunya saya pun turut heran, Bung![]
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
Gambar 1: Sita dan Johan sedang membersihkan lukisan kain latar studio foto. Sumber: https://www.indonesianfilmcenter.com/filminfo/detail/839/the-photograph Gambar 2: Johan dan Sita sedang menggantung pigura-pigura foto di tembok tepi jalan tempat Johan mangkal sebagai tukang foto. Sumber: https://youtu.be/9MY_Nno2BRo?si=Jk0CNIKT4TdrOWb9
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Di sinilah, kata “mengabadikan” dalam fotografi—menurut Seno Gumira Ajidarma—boleh kita tafsirkan berasal dari kecemasan manusia akan ketakutannya pada kematian, pada akhir dari segala sesuatu.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
“Habis kamu! Biar seluruh kampung tahu, pelacur macam apa ibunya si Yani itu! Nenek kamu mati kena serangan jantung, kalau dia tahu kamu melakukan apa saja di kota!”
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platformNetflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2]Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.
“Because a hero isn’t someone who lives above us, keeping us safe. A hero is not a god or an idea. A hero lives here… on the street, among us, with us. Always here but rarely recognized. Look in the mirror and see yourself for what you truly are.”
(Karakter Karen Page dalam “DareDevil”, season 2, Marvel Television – Netflix, 2016)
KARAKTER Sancaka dalam film Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (Bumilangit Studios, Screenplay Films, dll., 2019) besutan Joko Anwar adalah sekuriti perusahaan percetakan surat kabar, bukan lagi seorang insinyur kimia seperti dalam kisah orisinalnya pada komik karya Hasmi (Harya Suraminata). Peristiwa yang melatari asal usul kekuatan supernya pun tak lagi sama.
Apabila dalam versi aslinya di komik (1969) kekuatan super Sancaka bersumber pada sebuah kalung liontin ajaib pemberian Kaisar Crons (atau Kronz)[1] dari Kerajaan Petir yang menculik dan mengangkatnya menjadi Panglima Tentara Kerajaan Petir, Sancaka versi Joko Anwar adalah seorang yang selalu diincar oleh sambaran petir sejak kanak-kanak.
Karena itu Sancaka pun digambarkan kerap ketakutan setiapkali turun hujan, apalagi jika hujan itu disertai dengan gemuruh geledek. Ia akan bergegas lari mencari tempat perlindungan begitu mendengar suara guntur lalu meringkuk panik sambil menutupi kedua telinganya rapat-rapat. Rasa takut Sancaka pada petir ini terbawa hingga ia dewasa.
Sampai suatu hari ia terlibat perkelahian dengan dua preman pasar lantaran membela sesama penghuni rusun tempat tinggalnya, yaitu Sedha Esti Wulan (cikal bakal karakter Merpati) dan adiknya Teddy[2], yang mendapatkan intimidasi verbal maupun fisik. Kedua preman bersenjata tajam itu dengan mudah dikalahkan oleh Sancaka, namun persoalan tentu tak selesai sampai di situ. Seperti umumnya cerita film, alurnya dengan mudah sudah dapat ditebak: Kedua preman itu kemudian membawa kawan-kawannya mencari Sancaka ke percetakan untuk “membuat perhitungan”. Sancaka mencoba melakukan perlawanan tetapi akhirnya ia kewalahan menghadapi keroyokan rombongan preman itu sendirian.
Di sinilah, setelah Sancaka yang dalam keadaan babak belur dan pingsan dilemparkan oleh para preman dari atap gedung, diperlihatkan kepada kita bagaimana petir menyambar tubuhnya yang tergeletak tak berdaya di atas jalanan basah dan membuatnya tersentak bangun. Sambaran petir itu seakan datang sebagai penyelamat, yang bukan saja menyadarkannya dari pingsan tetapi juga menyembuhkan luka-lukanya dengan cepat dan memberinya kekuatan melebihi manusia normal. Itulah sebabnya Sancaka kemudian bisa mengalahkan 30 orang preman di pasar, sesuatu yang sulit dipercayai oleh orang-orang maupun dirinya sendiri.
“Kalau normal nggak mungkin saya bisa melawan 30 orang, Pak!” demikian kata Sancaka kepada Pak Agung, temannya sesama sekuriti percetakan. Ia baru menyadari jika petir bisa memberinya kekuatan (termasuk kemampuan melepaskan energi petir dari kedua belah telapak tangannya) saat mendengar kata-kata Wulan kepada Teddy bahwa, “Nggak ada yang perlu ditakuti dari petir.” Karena itu ia pun melangkah ke tengah guyuran hujan deras dan membiarkan petir menyambar tubuhnya.
Sementara dalam komik karya Hasmi, kendati diceritakan bahwa Sancaka disambar secara beruntun oleh petir yang dikirim oleh Kaisar Crons, petir itu tidaklah memberinya kekuatan tetapi hanyalah berfungsi untuk melontarkan tubuhnya menuju Kerajaan Petir yang terletak di atas awan.
Tak ada penjelasan dalam film yang menjadi pembuka waralaba Jagat Sinema Bumilangit ini bagaimana sambaran petir itu bisa menyalurkan kekuatan super kepada Sancaka atau kenapa petir senantiasa mengincar dirinya. Juga, apakah Sancaka memang selalu membutuhkan sambaran petir untuk mengisi tubuhnya dengan kekuatan? Karena sebagaimana terlihat dalam beberapa adegan, kekuatan super yang diperoleh Sancaka dari sambaran petir itu tampaknya tidaklah bersifat permanen, tetapi harus terus-menerus diisi ulang seperti baterai cas. Berbeda dengan The Flash, superhero DC, yang mendapatkan kekuatan supernya hanya melalui satu kali sambaran petir saja.[3]
Ini tampak kentara dari adegan di mana Sancaka begitu mudahnya jatuh pingsan ketika dipukul (diuji) oleh Nemo,[4] temannya Wulan, menggunakan sebatang balok kayu. Begitu pula ketika ia pertama kali menghadang para penjarah toko. Pada adegan ini ia bukan saja kembali kewalahan melawan orang banyak, namun juga dengan gampangnya ditusuk oleh seorang pesuruh Ghazul yang hendak mengambil darahnya. Perhatikan kata-kata Pak Agung berikut ini kepada Sancaka yang luka tusuknya sedang diobati oleh Wulan:
“Sancaka, jangan kuatir. Katanya malam ini turun hujan. Jadi kamu tidak harus babak belur seperti itu.”
Adakah penjelasan soal ini baru akan kita peroleh pada film-film Jagat Sinema Bumilangit berikutnya, terutama sekuel film Gundala yang konon akan dibuat dengan judul Gundala Putra Petir? Kita belum tahu. Meskipun pada sebuah adegan lain di bagian awal film, yakni ketika Sancaka kecil meraung marah sambil memegangi perisai polisi di hadapan bapaknya yang terkapar tewas akibat ditusuk oleh seorang pembokong, kita seolah-olah hendak diberitahu bahwa sejak Sancaka masih kecil sesungguhnya kekuatan petir telah bersemayam dalam tubuhnya. Dalam adegan dramatis ini, digambarkan bagaimana kilatan petir memancar keluar dari tubuh Sancaka yang berteriak keras hingga meretakkan perisai yang dipegangnya disusul perisai-perisai lain di tangan para polisi. Setelah itu barulah datang sebuah sambaran kilat dari langit yang membuat tubuh Sancaka terpental.
Selain dapat berfungsi sebagai alasan untuk menerangkan kenapa sebagai manusia Sancaka tidak mati disambar petir (hanya merasa amat kesakitan saja), peristiwa ini sekaligus menjadi semacam petunjuk dari Joko Anwar mengenai “resonansi guruh”[5] bagi adegan di akhir film yakni ketika Sancaka memakai kekuatan petirnya untuk menghancurkan botol-botol obat penawar yang sebetulnya adalah racun perusak janin.
Tentu saja cerita masa kanak-kanak Sancaka sebagai anak buruh pabrik maupun anak jalanan ini tak bakal kita temukan dalam komik klasiknya. Ini adalah bagian dari upaya Joko Anwar menambal rumpang alur dalam komik Hasmi.
Kehadiran Sancaka kecil ini selain merupakan sebuah usaha dalam pengembangan karakter, seyogianya juga bertujuan untuk membuat cerita menjadi lebih kekinian, rasional, dan realistis (dalam realitas fiksinya). Contohnya, dari kehidupan Sancaka kecil di jalanan kita jadi tahu bahwa kepandaiannya bertarung bukanlah keahlian yang ada begitu saja, melainkan berasal dari jerih-payahnya berlatih silat di bawah bimbingan Awang kecil (kelak bakal menjadi Godam) yang menyelamatkannya dari pengeroyokan oleh sesama anak jalanan. Hal ini pun ingatkan kita pada karakter Bruce Wayne dalam Batman Begins (Warner Bros. Pictures & DC Comics, 2005)—origin movie dari The Dark Knight Trilogy arahan Christopher Nolan—yang terlebih dahulu mesti berguru kepada supervillain Ra’s al Ghul sebelum ia menjadi vigilanteberkostum kelelawar di kota Gotham. Di bawah bimbingan pemimpin League of Shadows (versi komik DC: League of Assassins) inilah, selain berlatih beladiri Ninjitsu, Bruce juga belajar melawan ketakutan dan trauma masa kecilnya.
Ya, cergam Gundala Putra Petir karya Hasmi memang bukanlah sebuah karya yang didasarkan pada logika pengkisahan dan alur cerita yang dapat disebut matang, malah Gundala bisa dibilang sebagai karakter yang diciptakan rada asal-asalan tanpa dukungan riset memadai.[6] Bahkan dibandingkan dengan karakter dan kisah Godam karya rekannya Wid NS[7], alur maupun logika cerita Gundala tampak lebih kedodoran, terlebih pada kisah asal-usul ke-superhero-annya yang mencoba mengajak pembaca memasuki kisah fiksi-ilmiah tanpa sedikit pun referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara teori saintifik, seraya pada saat yang sama juga menghadirkan dongeng negeri antahberantah.
Karena itu, di luar perkara besarnya budget yang bakal dibutuhkan untuk menggarap tema fiksi-ilmiah (seperti banyaknya penerapan Computer-Generated Imagery [CGI]) maupun alasan yang terkesan sarat dengan nasionalisme,[8]pilihan reboot yang dilakukan oleh Joko Anwar terhadap origin story Gundala ini saya kira sudah tepat. Sebab berbagai kerancuan unsur fiksi-ilmiah yang kita temukan dalam komik karya Hasmi itu sendiri memang akan sulit untuk dirasionalkan. Coba perhatikan narasi dalam balon pikiran Sancaka ketika ia sedang meneliti serum anoda anti petir di laboratoriumnya pada halaman komik Gundala Putra Petir: Asal Usul Gundala yang saya sertakan di bawah ini:
Gambar 1: Halaman komik Gundala Putra Petir karya Hasmi. (Jakarta: Penerbit Bumi Langit, 2005; remaster), hlm 4-5.
Ketika menggarap tema sci-fi dalam film-film mereka seperti teori big-bang, teori relativitas umum dan mekanika quantum, perjalanan waktu, nano-technology, atau teori multiverse (yang belakangan ini jadi tema populer di dunia perfilman pasca Spider-Man: No Way Home [2021] dan Doctor Strange: The Multiverse of Madness [2002]), para sineas Marvel Cinematic Universe (MCU) didukung oleh banyak pendalaman terhadap teori-teori sains yang melibatkan kaum scientist. Mereka juga tak segan-segan melakukan perluasan dan pengembangan terhadap origin story komik apabila asal usul para karakter dinilai kurang logis dan realistis untuk penonton muktahir.
Contoh dalam hal ini antara lain asal usul karakter Hulk. Jika dalam origin story-nya di komik Marvel, Dr. Bruce Banner berubah menjadi raksasa hijau semata-mata akibat radiasi gamma yang disebabkan oleh kecelakaan dalam eksperimental bom gamma yang ia lakukan; tetapi dalam film-film Hulk produksi Marvel belakangan, pengaruh radiasi gamma pada tubuh Banner ini dibuat lebih logis dengan ditambahkannya unsur ujicoba DNA terhadap Bruce kecil oleh ayahnya David Banner (Hulk, Universal Pictures & Marvel Enterprises, 2003) dan penelitian terhadap serum super soldier yang dilakukan Banner dan Betty Ross di Universitas Culver, Virginia (The Incredible Hulk, Marvel Studios, 2008).
Namun bagaimana caranya merasionalkan pseudo-science dalam cerita asal usul Gundala di komik Hasmi, misalnya penelitian Insinyur Sancaka terhadap serum anti petir?
Pada era akhir 60an hingga awal 80an, pseudo-science seperti ini tampaknya memang tak begitu dipersoalkan oleh para pembaca komik maupun penonton filmnya, karena kala itu kisah superhero (termasuk dalam komik DC maupun Marvel serta film-film produksi studio-studio Hollywood) masih dianggap sebagai cerita anak-anak. Tetapi tidak begitu halnya dengan pembaca maupun penonton masa kini yang jauh lebih kritis dan majemuk dengan beragam usia dan latar belakang. Bahkan sejak Batman Begins (2005), dunia superhero dalam film yang dulunya berwarna-warni perlahan bergeser menjadi kelabu dan gelap dengan banyak adegan aksi brutal yang berdarah-darah serta dibangun dalam jalinanplot yang lebih rumit, sehingga tak lagi cocok untuk penonton usia 13 tahun ke bawah.
Upaya Joko Anwar untuk membuat cerita Gundala menjadi lebih realistis dan rasional juga tampak dari desain dan asal usul kostum sang adisatria. Apabila dalam komik klasiknya, kostum Gundala merupakan kostum sakti pemberian Kaisar Crons yang tersimpan dalam sebuah liontin; dalam film karya Joko, kostum itu ada dua yaitu kostum buatan tangan Sancaka sendiri dan kostum “sumbangan rakyat” lewat anggota DPR Ridwan Bahri.
Perubahan kostum ini, dari sisi asal usul maupun desainnya, tentu saja merupakan hal yang umum dalam film-film superhero terkini. Selain karena teknologi masa kini memang amat memungkinkan para sineas untuk merancang kostum yang lebih bagus secara visual lewat pengerjaan fisik maupun manipulasi komputer, desain ulang kostum-kostum para jagoan super itu juga bertujuan memberinya landasan yang lebih masuk akal. Tak lagi seganjil kostum-kostum klasiknya yang mencolok dan kurang mengacuhkan aspek-aspek fungsional.
Contoh paling kentara dari perubahan desain kostum superhero ini tentu saja dengan gamblang bisa kita temukan pada kostum karakter-karakter DC Extended Universe (DCEU) maupun MCU. Para sutradara DCEU bahkan tak segan-segan melenyapkan bagian-bagian dari kostum yang telah dianggap identik dan ikonik dengan sang superhero, misalnya “celana dalam di sisi luar” pada kostum Superman dan Batman yang terkesan norak dan tak jelas fungsinya. Begitu pun dengan kostum Captain America dalam film MCU. Sejak film solo pertamanya Captain America: The First Avenger (Marvel Studios, 2011), kostum klasik sang kapten dalam komik telah digantikan suit yang lebih modern dan membumi, yang lebih mirip seragam militer sesuai dengan identitasnya sebagai seorang tentara.
Dalam komik klasik karya Hasmi maupun film Gundala Putra Petir versi 1981, kostum Gundala adalah suit hitam ketat dengan penutup kepala bertopeng yang menampakkan bagian mata, hidung, dan mulut serta aksesoris seperti sayap burung berwarna putih di sisi kedua telinga. Apa fungsi dari sayap burung itu? Tak jelas. Hasmi tampaknya mendesain sepasang sayap berbulu putih itu hanya untuk keren-kerenan saja, sebatas menjiplak desain kostum The Flash. Padahal sayap yang lebih dikenal sebagai Hermes Wings[9] pada kedua sisi penutup kepala The Flash bukanlah sekadar aksesoris tetapi memiliki fungsi sebagai earphone yang membantu Barry Allen untuk berkomunikasi serta mendengarkan angin dan Speed Force.
Gambar 2: Pada season 9 serial televisi The Flash (2014-sekarang) yang didistribusikan oleh The CW dengan peran utama Grant Gustin, Sayap Hermes ini bahkan diubah menjadi bentuk petir
Untuk itulah, Joko Anwar selaku penulis dan sutradara kemudian mencoba memberikan fungsi terhadap aksesoris sayap di kedua sisi telinga Gundala tersebut yakni sebagai alat penghantar petir dari bahan logam. Bahkan asal usul dan alasan keberadaan kedua sayap metal ini dikisahkan cukup rinci dan dikaitkan dengan momen-momen lain dalam film.
Seperti yang digambarkan dalam sejumlah adegan oleh Joko, kekuatan petir masuk ke dalam tubuh Sancaka melalui kedua telinganya. Itulah sebabnya dipertontonkan peristiwa kedua daun kuping Sancaka diiris. Pertama, saat ia dikeroyok oleh anak-anak jalanan semasa bocah, dan kedua, ketika ia kalah bertarung dengan para preman di atap gedung. Dengan demikian, kedua daun telinga Sancaka yang somplak itu seolah-olah untuk mempermudah energi petir mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Namun Sancaka baru menyadari kalau ia membutuhkan semacam “antena” agar ia tidak kesakitan saat disambar petir pada adegan ketika ia bersandar ke tembok percetakan dan tanpa sadar sebelah telinganya menempel pada batang besi. Belum terang bagi kita kenapa antena penghantar itu bisa membuat ia tidak kesakitan, tetapi batang besi di tembok percetakan itulah yang menginspirasinya untuk menggunakan aksesoris metal di bagian helm pada kostum buatan tangannya. Maka jadilah Sayap Hermes ala Gundala yang terbuat dari besi logo percetakan.
Gagasan Joko untuk memberi sayap ini fungsi sebagai alat penangkap petir, saya kira memang sebuah ide yang cukup segar. Lihat saja bagaimana MCU pun sepertinya tampak kebingungan ketika mesti menginterpretasi ulang Sayap Hermes pada helm Captain America dari desain orisinalnya di komik, yang—dalam cerita film—awalnya merupakan bagian dari kostum panggung Steve Rogers sebagai penjual obligasi perang. Alhasil dalam film Captain America: The First Avenger, Sayap Hermes itu hanya berupa cetakan putih di atas kulit helm berwarna biru yang tak punya fungsi apa pun.
Gambar 3: Helm Captain America dalam Captain America: The First Avenger (2011)
Gambar 4: Suit lengkap Captain America dalam The Avengers (2012)
Dari sisi rancangan visual maupun aspek fungsional, kostum handmade yang dibuat oleh Sancaka secara sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan di sekitarnya (jaket kulit, rubber belt mesin, kulit tas perempuan, goggle glass, celana dan sepatu sekuriti, pelindung siku dan lutut motor, dan lain-lain) memang tampak cukup bagus sekaligus realistis.
Gambar 5: Kostum Gundala yang mengalami perubahan dari komik 1969
Sayangnya, tidak demikian halnya dengan “kostum pemberian rakyat” yang dikenakan oleh Sancaka dalam post-credit scene. Kostum yang didominasi oleh warna perak itu di samping terkesan kaku, juga tampak kurang membumi. Ia lebih mirip dengan armor karakter-karakter Metal Hero[10] Jepang serta membuat saya serta merta terbayang pada armor Bima Satria Garuda[11]. Padahal kostum hitam orisinal Gundala barangkali bakal lebih menarik jika digarap ulang dalam rancangan modern seperti yang dilakukan DC-Warner Bros terhadap suit Batman sejak film Batman versi Michael Keaton (Warner Bros.,1989) hingga The Batman versi Robert Pattinson (Warner Bros. Pictures, 2022).
The Hero’s Journey: Kisah Tragis Anak Yatim
SEBAGAI film pertama Jagat Sinema Bumilangit dan kisah mula pahlawan super, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriotmemiliki alur cerita dan pengembangan karakter protagonis yang lebih baik ketimbang Sri Asih (2022) besutan Upi Avianto yang hadir sebagai film kedua.
Ia, boleh dibilang hampir memenuhi semua kriteria dasar origin movie yang secara bertahap memperkenalkan asal usul seorang karakter pahlawan super, mulai dari pemaparan latar belakang tokoh, perjalanan hidup sang adisatria, sampai pada akhirnya ia mulai berkenan menerima siapa dirinya, berdamai dengan masa lalunya, lalu memahami apa tujuan dari hidupnya (takdirnya). Ini adalah hal umum tetapi sekaligus merupakan pokok-pokok penting yang nyaris selalu kita temukan dalam origin movie banyak film superhero DC dan Marvel. Bahkan untuk karakter-karakter superhero setenar Superman, Batman, dan Spider-Man pun origin story-nya masih terus diceritakan kembali dalam berbagai versi film dan serial televisi. Tercatat hanya Spider-Man versi Tom Holland[12] saja yang tak lagi dikisahkan asal usulnya oleh Marvel Studios.
Jalan hidup para superhero modern ini tak ubahnya para pahlawan dalam berbagai mitologi dan dongeng-dongeng tradisional, bahkan para pendekar dalam cerita silat/wuxia. Hal ini persis seperti yang dikatakan oleh John Campbell mengenai the hero’s journey atau monomyth dalam bukunya The Hero With a Thousand Faces (1949). Menurut kajian naratologi dan mitologi komparatif Campbell yang didasarkan pada konsep archetypes Carl Gustav Jungitu, konstruksi perjalanan kepahlawanan dalam berbagai mitos, ritual keagamaan, cerita, drama, dan perkembangan psikologis pada dasarnya memiliki pola naratif yang umum dalam tahapan struktur narasinya, yang disebutnya nuclear units of the monomyth. Di mana menurut Campbell, langkah-langkah atau tahapan dalam perjalanan para pahlawan ini dimulai dari dunia biasa, yang dideskripsikannya secara singkat sebagai berikut:
Seorang pahlawan bertualang dari dunia biasa (kehidupan kesehariannya) menuju wilayah yang dipenuhi oleh keajaiban supranatural: Kekuatan luar biasa muncul di sana dan kemenangan yang menentukan pun diraih: sang pahlawan kemudian kembali dari petualangan misterius ini dengan kemampuan untuk melimpahkan anugerah kepada masyarakatnya. [13]
Dalam kajian monomyth-nya yang sepintas membuat kita teringat pada studi genre coming of age ini, setidaknya ada tujuh belas fase perjalanan pahlawan yang diuraikan oleh Campbell.[14] Sementara itu dalam bukunya The Writer’s Journey: Mythic Structure for Writers, Christopher Vogler meringkas tahap-tahap perjalanan pahlawan Campbell itu menjadi dua belas fase perjalanan yang terdiri dari: [1] The Ordinary World (Dunia Biasa); [2] The Call to Adventure(Panggilan untuk Berpetualang); [3] Refusal of The Call (Penolakan Panggilan); [4] Meeting with the Mentor (Perjumpaan dengan Pembimbing); [5] Crossing the Threshold (Melewati Ambang Batas); [6] Tests, Allies and Enemis(Ujian, Sekutu, dan Musuh); [7] Approach (Pendekatan); The Ordeal (Cobaan Berat); [9] The Reward (Penghargaan); [10] The Road Back (Jalan Kembali); [11] The Resurrection (Kebangkitan); [12] Return with The Elixir (Kembali dengan Obat Mujarab).[15]
Kendati tidaklah seluruhnya, tahap-tahap perjalanan pahlawan seperti yang diuraikan oleh Campbell maupun yang disederhanakan Vogler, saya kira dapat kita temukan pada pengembangan karakter Sancaka dalam film Gundala. Mulai dari tanda-tanda panggilannya di masa kanak-kanak sampai kita mengetahui alasan Sancaka memutuskan untuk ikut campur urusan orang lain sebagai Gundala.
Panggilan untuk berpetualang itu sudah terlihat dalam kehidupan Sancaka kecil dari figur Sangaji sang bapak yang dianggap “tukang cari masalah” karena suka membela sesama buruh dan menggelar demo menentang kesewenang-wenangan kaum pengusaha yang berkongkalikong dengan penguasa. Sebelum tewas terbunuh dalam aksi unjuk rasa jebakan karena dikhianati oleh teman seperjuangannya sendiri yang terbujuk tawaran uang, bapaknya sempat mengingatkan Sancaka kecil agar tidak diam saja melihat ketidakadilan, karena menurut sang bapak, “[…] kalau kita diam saja melihat ketidakadilan di depan mata kita, itu tandanya kita bukan manusia lagi”.[16]
Kata-kata (dan pengorbanan) sang bapak ini tampaknya selalu tertanam dalam diri Sancaka. Itulah kenapa ia merasa tergerak untuk menolong seorang anak perempuan pengamen hingga membuat ia dikeroyok oleh anak-anak jalanan lain. Namun dari Awang kecil yang menyelamatkannya, ia kemudian mendapatkan nasehat agar tidak mencampuri urusan orang lain. Simaklah dialog yang saya kutip ini:
Awang kecil: “Belajar buat urus hidup elo sendiri. Karena kalau elo ikut campur urusan orang lain, hidup elo bakal susah.”
Sancaka kecil: “Kok elo tolongin gue?”
Awang kecil: “Ya, makanya hidup gue bakal susah.”
Di sini kehadiran karakter Awang kecil—yang mengajarinya silat dengan tujuan “supaya elo bisa bela diri sendiri” dan memberinya nasehat—boleh disebut sebagai pembimbing (mentor) bagi Sancaka. Meskipun di sisi lain, nasehat dari Awang tersebut juga menimbulkan semacam keraguan atau rasa takut (refusal of the call) dalam diri Sancaka untuk memenuhi panggilannya sebagai hero. Karena itu kendati sesekali merasa tergerak untuk menolong orang saat menjumpai kesewenang-wenangan, namun Sancaka selalu mengurungkan niatnya.
Ya, peristiwa ia menolong Wulan dan Teddy dari ancaman preman pasar di rusun notabene adalah peristiwa pertama ia mendengarkan panggilan kepahlawanannya karena tak tahan lagi melihat ketidakadilan. Hingga akhirnya ia terjebak dalam situasi pelik ketika hendak mengantar Teddy yang dititipkan Wulan kepadanya ke pasar. Di situlah ia terpaksa beraksi lagi untuk membela diri dari keroyokan rombongan preman yang sedang berkonflik dengan sejumlah pedagang—yang dalam hal ini dapat dibilang sebagai awal aksi ke-superheroan-nya (mengalahkan 30 orang dan memancarkan petir dari kedua telapak tangannya).
Namun Sancaka belumlah serta merta menerima “takdir”-nya begitu saja. Ia mencoba menolak (“Aku bukan jagoan. Aku juga nggak tahu gimana caranya tadi aku melawan mereka.”) tatkala Wulan bersama Teddy, Nemo, dan para pedagang pasar lain datang ke percetakan untuk meminta bantuannya menghadapi para preman yang akan kembali dalam jumlah lebih besar.
Apa konsekuensi dari penolakannya itu? Pasar luluh-lantak dibakar oleh para preman sehingga banyak pedagang mengalami kerugian. Sehingga hal ini pun membuat Sancaka menyesal karena tak berkenan membantu walaupun ia tetap merasa ia tak bisa berbuat banyak. Tetapi kata-kata Wulan bahwa “kalau kita nggak mau melawan ketidakadilan di depan mata, itu artinya kita sudah kehilangan kemanusiaan,” yang hampir sama persis dengan kata-kata mendiang bapaknya seketika membuat Sancaka tegak terpana.
Tampaknya bagi seorang Sancaka dalam film Gundala, kata-kata ini berperan sebagai semacam cambuk moral yang melandasi keputusannya untuk bertindak—sebagaimana halnya kata-kata termashyur Paman Ben, “Seiring dengan kekuatan besar, datang pula tanggungjawab besar” bagi karakter Peter Parker dalam cerita komik maupun film-film Spider-Man.[17]
Kata-kata bapaknya yang diingatkan kembali oleh Wulan inilah yang akhirnya membuat Sancaka mengenakan kostum Gundala untuk menanggapi “the call to adventure”-nya membela orang-orang tertindas. Kata-kata itu adalah semacam warisan yang mengingatkannya kembali pada figur bapaknya yang mati membela orang lain; dan menyadarkannya bahwa ia tak boleh bersikap acuh melihat ketidakadilan. Dari titik inilah transformasi Sancaka menjadi Gundala—sebuah jatidiri dan nama yang belum ia ketahui kala itu—dimulai, dengan kostum buatan tangan dan terutama sambaran petir yang dapat kita tafsirkan sebagai supernatural aid—yang terus mengikutinya seakan-akanada sesosok dewa (Kaisar Crons?) yang selalu ingin memberinya energi kekuatan listrik.
Seperti yang diungkapkan oleh Matthew J. Pustz dalam Comic Book Culture: Fanboys and True Believers, para pahlawan Marvel mungkin dipenuhi dengan kecemasan dan keraguan diri, tetapi mereka tahu bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melawan kejahatan dan mencoba memperbaiki kesalahan dunia. Para pahlawan super ini tampaknya sama-sama menyadari akan tugas mereka melalui contoh Spider-Man, yang setelah kematian Paman Bennya tercinta, telah belajar bahwa yang kuat mestinya memikul kewajiban untuk membantu yang tak berdaya.[18] Sebab ketidakpedulian Peter Parker terhadap orang lain itulah yang telah merenggut nyawa Paman Ben-nya.
Pergumulan diri yang tidak mudah inilah; kebimbangan Sancaka dalam menerima takdir kewiraan, yang tidak kita jumpai dalam perjalanan karakter protagonis Alana dalam film Sri Asih, yang tampaknya menerima begitu saja tugas dari Eyang Mariani tanpa sangsi.
Gundala bukan tipe vigilante sejati seperti Batman atau DareDevil yang saban malam mengawasi kotanya dari ketinggian gedung dan menghajar orang-orang jahat di gang. Tetapi sebagai karakter pahlawan super, mereka—hampir semua—pada dasarnya sama. Yaitu, orang-orang yang “terpilih” atau “memilih” untuk bertindak, untuk menjadi sesuatu yang lain. Orang-orang yang sebetulnya hanya ingin membuat dunianya jadi sedikit lebih baik dengan caranya sendiri—utamanya lewat aksi fisik. Atau, meminjam ungkapan khas karakter Oliver Queen alias Green Arrow dalam serial televisi Arrow produksi DC Entertainment dan Warner Bros. Television (Season 1, 2012):
“Aku tidak tahu betapa menyakitkannya menyimpan rahasiaku. Kau memintaku untuk menyelamatkan kota, untuk memperbaiki kesalahan. Akan aku lakukan, aku bersumpah, tetapi untuk melakukan itu, aku tak bisa menjadi Oliver yang diinginkan semua orang.”
Para superhero ini—terlebih yang berjenis hakim jalanan—umumnya juga merupakan sosok-sosok traumatis dengan masa lalu yang kelam. Dan sebagian di antaranya adalah anak yatim piatu seperti Sancaka. Kebanyakan mereka ditempa oleh pengalaman hidup yang tragis, yang kemudian membentuk kepribadiannya.
Oliver Queen mengalami transformasi ekstrim dari seorang anak konglomerat manja yang gemar berpesta pora menjadi sosok petarung tangguh Green Arrow setelah ditempa oleh para pembunuh dan kondisi di pulau Lian Yu tempatnya terdampar selepas kematian tragis ayahnya. Peter Parker mungkin tak pernah menjadi Spider-Man sampai ia didorong atau setidaknya sampai rasa tanggung jawabnya terpicu oleh kematian pamannya. Sementara itu Batman mengambil jalan serupa lantaran kebutuhan obsesif untuk menghilangkan rasa bersalahnya atas kematian kedua orangtuanya.
Karena itu menurut Richard Reynolds, apa yang membuat Batman sangat berbeda dari Superman adalah karakternya yang dibentuk dengan menghadapi dunia yang menolak untuk masuk akal. Pengalamannya telah mengajarinya untuk bersikap sinis sepenuhnya—namun ia terus mempertaruhkan nyawanya dalam perang seorang diri melawan kejahatan.[19] Sebuah kondisi psikis sang kelelawar yang tersampaikan oleh Zack Snyder dengan cukup terang dalam kata-kata Batman kepada Superman dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016):
“Kau bukanlah pemberani. Manusialah yang pemberani. Kurasa orangtuamu mengajarimu, bahwa kau berarti sesuatu. Bahwa kau memiliki tujuan di sini. Orangtuaku mengajariku hal berbeda. Mati dalam selokan. Tanpa alasan sama sekali. Mereka mengajariku, dunia menjadi masuk akal, jika kau menempanya.”
Para komikus dan penulis kisah (juga sutradara film-film) Batman tampaknya mafhum bahwa “kegilaan” ini adalah bagian dari identitas khusus Batman, dan bahwa karakter obsesif sang protagonis menghubungkannya dengan musuh-musuhnya dengan cara yang lebih pribadi ketimbang Superman yang meskipun juga anak yatim piatu tetapi dibesarkan dalam kasih sayang oleh kedua orangtua angkatnya.
Karena itu dari semua pahlawan super yatim piatu, Batman—menurut Danny Fingeroth—adalah yang paling traumatis terpengaruh oleh status yatim piatunya. Sehingga ketika Batman meninju musuh, ia melihat wajah orang yang membunuh orangtuanya dan dengan kejam meninggalkan dirinya sebagai bocah tujuh tahun yang meratap pada kehampaan malam Kota Gotham yang tak mempedulikannya.[20] Hal ini senada dengan apa yang sempat diungkapkan oleh Bob Kane, pencipta Batman, sebagaimana dikutip dalam Batman: The Complete History oleh Les Daniels:
“Bill dan aku telah membahasnya, dan menurut kami tidak ada yang lebih traumatis daripada pembunuhan orangtuamu di depan matamu.”[21]
Dalam film Batman (1989), peristiwa yang menjadi asal usul sang Ksatria Kelam ini bahkan terkait langsung dengan sang villain utama, yakni Joker yang terungkap sebagai pembunuh Thomas dan Martha Wayne. Dan dalam Batman Begins, terkait dengan Falcon.
Kematian seperti itu akan membuat seorang bocah lelaki merasa bertanggungjawab lantaran merasa tak mampu melindungi mereka, bahkan mungkin menganggap kematian mereka adalah kesalahannya. Itu juga terjadi pada Spider-Man si anak yatim dua kali, yang telah kehilangan orangtuanya semasa kecil sehingga dititipkan kepada Paman Ben dan Bibi May. Tetapi yang paling menyakitkan bagi Peter dalam kasus pembunuhan pamannya adalah fakta bahwa secara tak langsung tragedi itu terjadi akibat perbuatannya.
Agaknya kunci popularitas karakter-karakter superhero dengan pengalaman traumatis semacam ini adalah kemampuannya dalam mengundang simpati dan empati publik pembaca dan penonton.
Apalagi pada kasus Batman, di luar unsur kekayaan yang menjadi bagian penting dari karakteristik kewiraannya, juga terdapat aspek “ia bisa saja menjadi aku” lantaran kondisi “manusia normal” sang pahlawan.
Formula “anak yatim piatu yang kehilangan orangtua secara tragis” ini dianggap amat penting bagi Batman, sehingga Robin pun kemudian diperkenalkan dengan nasib yang serupa: anak korban kejahatan. Kedua orangtuanya dibunuh oleh penjahat yang memeras pemilik sirkus tempat keluarganya tampil sebagai seniman trapeze “Flying Graysons”.
Sejarah kelam para karakter superhero ini adalah hal amat penting yang menentukan siapa mereka di masa depan. Karena itu dalam The Flash (2023)[22] besutan Andy Muchietti, Bruce Wayne versi Ben Affleck pun sempat ingatkan Barry Allen versi Ezra Miller bahwa niatnya berlari ke masa lalu untuk mencegah pembunuh ibunya merupakan hal berbahaya yang bakal membawa konsekuensi tidak diinginkan, sebab menurut Batman: “Derita kitalah yang membentuk jatidiri kita. Kita tak bisa kembali dan memperbaikinya.”
Tanpa kematian ayahnya dan kepergian ibunya yang tak kunjung kembali, Sancaka takkan menjadi Gundala. Ini merupakan sebuah takdir fiksional yang (seolah) tak terelakkan dalam cerita—semacam Titik Mutlak yang diperkenalkan MCU dalam serial What If [23] ketika varian Doctor Strange berkali-kali gagal menghapus kecelakaan tragis Christine Palmer sang kekasih dengan time stone. Karena itulah dalam mimpinya, Sancaka pun terus-menerus dihantui oleh kerinduan kepada orangtuanya (terutama sang ibu) dalam warna distopia yang cenderung hangat (warm light) namun redup.
***
PARA villain juga kerap digambarkan sebagai karakter dengan masa silam yang tak kalah tragis dan memilukan—yang kemudian menjadi alasan rasional bagi mereka untuk menebarkan kekacauan dan kejahatan. Bahkan sering terjadi, traumatis masa kecil para karakter antagonis ini jauh lebih mendalam ketimbang yang dialami oleh para hero protagonis.
Dalam film Batman Returns (Warner Bros. Pictures, 1992) contohnya, karakter Penguin (Oswald Cobblepot) dihadirkan ke layar lebar oleh Tim Burton sebagai sosok ganjil yang dibuang oleh kedua orangtuanya sendiri ke selokan saat bayi karena merasa malu memiliki anak cacat![24]—sebuah pergeseran drastis dalam karakterisasi Penguin dari seorang bos mafia yang elegan pada origin story-nya menjadi politisi psikopat dengan penampilan seperti binatang.
Karena itu, apabila pembalasan dendam vigilante hero seperti Batman kepada kriminalitas kotanya merupakan pewujudan dari reaksi masa kanak-kanaknya terhadap—meminjam kata-kata Fingeroth—dunia yang tak peduli, atau lebih buruk lagi dunia bermusuhan, yang telah merampas pelindung dan pengasuh dirinya dengan cara kejam dan tiba-tiba[25]; alasan yang melandasi aksi-aksi Penguin Tim Burton jauh lebih kompleks.
Di mana dalam hal ini, rencana penculikan dan pembunuhannya terhadap semua bayi lelaki sulung (firstborn sons) Gotham misalnya, tak lain merupakan katarsis dari kebencian dan dendamnya terhadap orangtuanya sendiri yang telah menolak kehadirannya di dunia.
Sehingga di sini pembalasan dendam terhadap orangtuanya itu dapat pula sekaligus dipahami sebagai sebuah pembalasan bagi masyarakat kaya Gotham yang munafik dan bersembunyi di balik topeng moralitas, sebagaimana kerap tercermin dalam pidato para politikus dan pejabat busuk. Atau dengan kata lain, Penguin sebetulnya adalah korban dari tatanan masyarakat Gotham yang membusuk itu sendiri, yang diwakili oleh orangtuanya yang mencampakkannya secara semena-mena maupun karakter seperti Max Shreck—pengusaha korup yang meracuni sungai dengan limbah beracun pabrik tekstil tapi mengibaratkan dirinya sebagai sinterklas dalam pencalonan walikota.
Maka Penguin pun bertekad muncul ke permukaan untuk merebut kembali “sebuah pengakuan kemanusiaan dasarku” dan “mempelajari nama manusia”, sekalian untuk memberi pelajaran kepada masyarakat hipokrit yang telah menciptakan dirinya.
Ya, dalam realitas fiksi para superhero, kerapkali pahlawan dan penjahat tidak datang begitu saja dari negeri antahberantah, tetapi mereka seyogianya dilahirkan atau dibentuk oleh kebusukan kota dan masyarakatnya itu sendiri. Tokoh-tokoh villain psikopat maniak yang lahir dari kebobrokan tatanan masyarakat seperti ini memang memenuhi seluruh cerita Batman dalam komik maupun film-filmnya, mulai dari Joker the Clown Prince of Crime, Two Face, sampai The Riddler versi akuntan forensik Edward Nashton dalam The Batman (2022).
“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” begitulah bunyi ungkapan empatik yang begitu ramai dikumandangkan oleh warganet Indonesia selepas mereka menyaksikan penderitaan demi penderitaan yang harus dialami karakter Arthur Fleck akibat perlakuan masyarakat Gotham maupun institusi sosial terhadapnya dalam film Joker garapan Todd Phillips pada tahun 2019 lalu.
Toh, dalam Batman Returns kita tahu, monster tak hanya berwujud sosok psikopat aneh pelahap ikan mentah seperti Penguin tetapi juga karakter-karakter dari lapisan masyarakat terpandang seperti Max Shreck dan pasangan suami-istri Cobblepot. Hal ini bahkan secara lugas dikatakan oleh Penguin kepada Shreck yang ia culik:
“… kau dan aku memiliki sesuatu yang sama: Kita berdua dianggap sebagai monster. Tapi entah kenapa kau monster yang disegani dan aku, sampai saat ini bukan!”
Lantas bagaimana dengan para karakter antagonis dalam film Gundala 2019?
Seperti halnya para villain dalam cerita Batman, Pengkor alias Haidar Subandi[26] sang antagonis utama dalam film Gundala garapan Joko Anwar juga memiliki sejarah hidup yang tak kalah tragis dari Sancaka. Ayah dan ibunya mati dibakar hidup-hidup dalam rumah oleh para pekerja pekebunan yang mengganas. Bukan saja karena permintaan pengurangan jam kerja mereka tak dipenuhi oleh ayah Pengkor si pemilik perkebunan (terbesar di Jawa), tetapi juga lantaran sang ayah telah difitnah oleh seorang pekerja yang berzinah dengan istri pekerja lain lalu membunuh suami perempuan itu.
Seperti yang dikisahkan lewat penuturan Ridwan Bahri—karakter anggota DPR yang baik itu—kepada para anggota legislatif lainnya, peristiwa itu juga membuat Pengkor kecil yang bersembunyi dalam lemari hampir mati terbakar—separuh tubuhnya bagian kanan, wajah dan tangannya, rusak oleh jilatan api, begitu pula kakinya yang jadi timpang. Itulah sebabnya ia dipanggil Pengkor yang berarti pincang. Dengan maksud hendak menguasai harta warisannya, adik ayahnya kemudian memasukkannya ke dalam sebuah panti asuhan yang dikelola oleh para pengurus yang sadis agar ia mati di sana. Tetapi alih-alih mati disiksa atau dijual oleh para pengelola panti seperti sebagian anak-anak lain, dari sinilah cerita Pengkor sebagai otak kejahatan justru dimulai.
Ia tampil sebagai pemimpin anak-anak yatim itu, mengorganisasi mereka dan merencanakan pembunuhan terhadap para pengurus panti. Para pengurus itu diikat pada saat sedang terlelap di tengah malam, digorok dan dibakar hidup-hidup beramai-ramai. Tak lama setelah itu, Pengkor pun berhasil memperoleh harta warisan ayahnya lalu menyekolahkan anak-anak yatim teman senasibnya sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara pribadi. Dalam film Gundala ini, setidaknya kita diperkenalkan dengan lima “anak-anak” Pengkor dengan keahlian dan profesi masing-masing yang dipanggil untuk menghadapi Gundala.
Karena itu, Pengkor yang memiliki ratusan panti asuhan di seluruh Indonesia, kata Ridwan Bahri, “Bukanlah mafia. Buat sebagian orang, dia adalah Tuhan.” Satu hal yang membuat saya jadi teringat pada karakter Kingpin, tokoh bos mafia Marvel di New York yang tak ubahnya seorang Godfather di mata orang-orang yang ia bantu. Tentu, seorang Kingpin—terutama yang diceritakan dalam serial “DareDevil” di Netflix (2015-2018)—juga punya masa lalu teramat muram: Ia menghabisi nyawa ayahnya sendiri dengan palu karena tak tahan melihat sang ibu terus dipukuli sang ayah. Ia juga selalu dirundung oleh anak-anak lain dengan ejekan “gendut”.
Serupa Penguin dalam Batman Returns melancarkan teror penculikan bayi sebagai usaha pembalasan dendamnya, Pengkor melampiaskan kemarahan pada peristiwa tragis di masa kecilnya dengan menyebarkan racun yang dapat menyebabkan kecacatan janin, yang ia samarkan sebagai obat penawar serum amoral. Apa tujuannya? Tak lain adalah membuat masyarakat jadi chaos seperti yang dikatakannya kepada Gundala saat ia terkapar oleh tembakan Ridwan Bahri:
“Adikarya saya sudah dimulai. Nanti ketika bayi-bayi ini lahir, orang-orang itu akan saling menyalahkan, saling bunuh. Dan setiap mereka berhasil melupakan, mereka akan lihat anak-anak seperti saya. Dan mereka akan saling menyalahkan lagi.”
Dalam dialog ini yang menarik bagi saya adalah pernyataan polos “rakyat tidak sebodoh yang anda kira” yang diucapkan oleh Gundala setelah kata-kata Pengkor di atas. Apakah pernyataan klise itu benar adanya? Saya kira narasi film ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebab dalam peristiwa penyebaran serum perusak moral, kita dapat melihat bagaimana rakyat ternyata dapat dengan gampangnya diperdaya oleh Pengkor lewat isu serum amoral yang telah disuntikkan ke dalam beras. Begitu pula halnya dengan mayoritas anggota DPR yang kemudian meloloskan obat penawarnya dalam sidang.
Padahal serum amoral itu tidak ada. Cairan hijau (yang warnanya ingatkan kita pada serum antipetir Sancaka dalam film Gundala 1981) yang dimasukkan ke dalam beras itu sebenarnya bukanlah serum yang akan mempengaruhi moral janin, tetapi hanyalah semacam racun ringan yang bereaksi pada perempuan hamil. Itulah taktik Pengkor untuk menciptakan kepanikan massal sehingga ia dapat menekan pemerintah untuk mendistribusikan racun perusak janin melalui suara para anggota legislatif yang ia kuasai. Dan ia berhasil. Bukan saja karena cuma ada segelintir anggota dewan yang jujur dan berpikiran lebih logis, tetapi juga lantaran isu beras terkontaminasi itu segera tersebar luas lewat berbagai media, yang di antaranya menayangkan pendapat Anggara Sasmi, anggota dewan bayaran Pengkor, bahwa:
“Penjelasan ilmiahnya adalah serum yang disuntikkan ke dalam beras akan merusak bagian otak janin dan melumpuhkan kemampuan mereka membedakan antara baik dan buruk. Apa akibatnya? Satu generasi, semua bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi beras yang terkontaminasi akan lahir menjadi satu generasi yang tidak bermoral.”
Apa yang hendak disampaikan sutradara dan penulis skenario lewat peristiwa fiktif ini? Sederhana saja, yaitu bahwa rakyat (baca: orang Indonesia) itu gampang dipengaruhi karena kurang mampu berpikir kritis. Akibatnya mereka begitu mudahnya mempercayai hoax dan teori konspirasi serta gampang panik. Dalam kasus ini tak ada yang mempertanyakan kenapa moralitas manusia bisa dipengaruhi oleh suatu zat, termasuk para “wakil rakyat jujur” yang tergabung di Rumah Perdamaian. Hanya seorang Ferry Dani—si anggota legislatif paling vokal—saja yang dengan sinis mempertanyakan apa itu amoral dan moral.
“Apa itu amoral? konten pornografi? Jadi LGBT? Apa amoral itu termasuk korupsi? Kalau termasuk korupsi, gue baru khawatir. […] Biarin saja bayi-bayi itu lahir tanpa moral. Moral itu apa sih? Yang penting ada logika, ada hati nurani. That’s it.”
Selain Pengkor, dalam film ini masih ada beberapa karakter antagonis. Namun yang paling menonjol adalah Ghani Zhulham alias Ghazul. Belum banyak yang kita ketahui mengenai karakter ini di luar komik (klasik maupun karya-karya baru yang diterbitkan oleh Jagat Bumilangit).[27] Lantaran latar belakang maupun identitas lebih jelas dari tokoh yang tampaknya bakal terus hadir dalam semua film Jagat Sinema Bumilangit ini memang belum banyak diceritakan, baik dalam Gundala maupun Sri Asih.
Tetapi jelas Ghazul adalah karakter yang amat penting dalam Jagat Sinema Bumilangit. Ia boleh dikatakan sebagai salah satu big villain yang berperan sebagai mastermind atau dalang di balik layar sejumlah peristiwa besar, mulai dari kasus peredaran obat anti serum amoral dalam Gundala sampai pengusuran rumah susun Kembangan (Jakarta Barat?) dalam Sri Asih. Tugas Ghazul—seperti yang diungkapkannya kepada Ganda Hamdan, kepala preman dan anggota legislatif pengikut setianya—adalah mempersiapkan perang akbar bagi Dewi Api junjungannya yang masih terkurung di gunung berapi. Karena itulah ia berencana untuk membangkitkan kelima panglima sang dewi, yaitu Ki Wilawuk, Kelelawar Hitam, Bocah Atlantis, Dewi Lanjar, dan Roh Setan.[28] Dua dari kelima panglima ini sudah muncul dalam Jagat Sinema Bumilangit. Ki Wilawuk sang pendekar sesat yang menguasai ajian Pancasona telah berhasil dibangkitkan oleh Ghazul di penghujung film Gundala, sementara si pemakai kalung Roh Setan bahkan telah bertarung dengan Alana dalam film Sri Asih.
Kehadiran Ghazul sebagai dalang di balik layar inilah yang menciptakan pola penceritaan serupa dalam strategi naratif film Gundala dan Sri Asih. Jika dalam kisah Gundala, Ghazul memanfaatkan Pengkor untuk melaksanakan skenarionya membangkitkan Ki Wilawuk; maka dalam Sri Asih, ia memanfaatkan karakter Prayogo Adinegara yang hendak menggusur rusun untuk melaksanakan ritual “tumbal seribu jiwa”-nya.
“Skenario” yang dimainkan Ghazul ini boleh dibilang semacam rencana tersembunyi yang tak diketahui oleh Pengkor maupun Prayogo. Pada film Gundala, tujuan utama Pengkor adalah membuat cacat satu generasi demi melampiaskan kemarahan dan dendam kesumatnya kepada tatanan sosial, karena itu ia dan anak buahnya pun berusaha keras mencegah Sancaka dan Ridwan Bahri menghentikan distribusi serum perusak janin. Sementara tujuan Ghazul adalah membangkitkan Ki Wilawuk. Dan itu hanya bisa tercapai jika Sancaka menghancurkan botol-botol serum yang bermaterial sama dengan kaca kurungan kepala dan tubuh Ki Wilawuk.
Tentu skenario besar dan perannya ini barulah ketahuan oleh penonton menjelang akhir film, di mana kita bukan saja diperlihatkan tulisan “Ghapharma” (Ghazul Pharmacy) pada badan mobil-mobil distributor yang menunjukkan bahwa Ghazul-lah sebetulnya pemilik perusahaan farmasi yang membuat dan mendistribusikan serum perusak janin itu, tetapi juga pada adegan Ghazul memegang sebuah botol yang serupa dengan botol serum berikut dialognya dengan Ganda Hamdani:
Ganda: “Biar saya tebak, Pak. Botol itu berasal dari material kaca yang selalu Bapak bawa, kan? Saya kan nggak bodoh, Pak.”
[…]
Ghazul: “Apa kamu juga bisa tebak? Kalau material kaca di hadapan kamu, juga sama seperti kaca yang aku selalu bawa?”
Ganda: “Saya masih ngancurin itu juga, Pak?”
Ghazul: “Nggak bisa. Hanya satu orang yang bisa.”
Ya, hanya Gundala-lah satu-satunya orang yang sanggup menghancurkan kaca kurungan Ki Wilawuk dengan kekuatan resonansi petirnya. Tetapi pertanyaan bagi kita adalah dari mana Ghazul tahu bahwa Gundala bisa dan akan menggunakan kekuatan resonansi guruh itu untuk menghancurkan botol-botol serum?
Pertanyaan ini lebih sukar dijawab ketimbang pertanyaan dari mana Hasbi sekretaris Ridwan Bahri mendapatkan nomor telepon percetakan tempat Sancaka bekerja—yang dalam hal ini juga berarti ia dan Ridwan seyogianya telah mengetahui Sancaka adalah Gundala. Apakah Ghazul yang memberikan nomor tersebut kepada Hasbi? Apakah Ghazul juga yang memberitahu Pengkor di mana Sancaka berada? Untuk pertanyaan-pertanyaan susulan ini jawabannya kemungkinan “iya”. Tampaknya Ghazul pula yang telah menyelipkan amplop berisi hasil tes serum penawar ke dalam tas Ridwan Bahri agar Sancaka mengetahui tentang kepalsuan serum penawar yang sudah terdistribusi.
“Musuhmu sudah tiba,” demikianlah kata Ghazul kepada Ki Wilawuk yang baru saja dibangkitkan. “Yang mana?” tanya karakter dari era legenda Jagat Bumilangit yang dimunculkan oleh Hasmi pertama kalinya dalam komik episode Gundala putra petir: Dr. Jaka dan Ki Wilawuk itu. Ghazul kemudian menjawab: “Gundala. Tetapi dia belum tahu siapa dirinya.”
Namun dari mana Ghazul mengetahui kalau Sancaka adalah Gundala? Dari mana pula ia memperoleh informasi-informasi tentang Sancaka, termasuk nomor telepon tempat Sancaka bekerja tersebut? Apakah ia telah melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap Sancaka termasuk berbagai peristiwa di masa kecilnya atau dari bisikan gaib?
Tak ada sedikit pun penjelasan akan hal ini bagi penonton. Hanya saja kepada Ganda Hamdan ketika sedang menggali kuburan kepala Ki Wilawuk, Ghazul sempat mengatakan bahwa keluarganya memang tidak kaya raya tetapi selalu diwarisi ilmu turun-temurun. Selebihnya kita hanya bisa menerka-nerka. Kita justru mendapatkan sedikit informasi tambahan yang tampaknya mengarah kepada karakter Ghazul di luar film, yaitu dari kicauan Joko Anwar di akun Twitter-nya bertanggal 8 September 2019, bahwa, “Bahkan sebelum pakai kostum saja sudah ada yang tau identitasnya. Darahnya diambil. Seseorang sejak lama mengikuti suara di angkasa. Seseorang yang tau semua, apalagi cuma sekadar menyelipkan amplop, atau nomor telepon. Seseorang yang tau rahasia yang paling berbahaya.”
Apakah minimnya penjabaran mengenai sosok Ghazul dalam film ini memang sengaja disimpan dan baru akan dipecahkan sedikit demi sedikit pada film-film Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya? Boleh jadi demikian, meskipun perkara ini cenderung menjadi plot hole.
Pertanyaan lainnya yang juga tak kalah penting di sini adalah apakah sebelumnya Ki Wilawuk sudah mengenal Gundala bahkan pernah bertarung dengan Gundala? Sebab bukankah ekspresi wajah seram Ki Wilawuk diperlihatkan kaget saat Ghazul menyebutkan nama Gundala? Sehingga dalam bahasa Jawa Kawi ia pun menitahkan Ghazul untuk mengumpulkan pasukan lantaran perang besar bakal segera terjadi. Kalau betul Ki Wilawuk telah mengenal dan bertarung dengan Gundala sebelumnya, kapan dan di mana peristiwa itu terjadi, dan dengan Gundala yang mana? Apakah pertarungan itu merujuk ke cerita-cerita komik klasik Hasmi, sehingga dengan begitu sekaligus menyiratkan bahwa Jagat Sinema Bumilangit bakal mengadopsi gagasan multiverse dan mengakui eksisnya Insinyur Sancaka versi komik Hasmi?
Bisa saja ya, bisa juga tidak. Tetapi dengan hadirnya adegan pasangan kaya bermobil yang menyelamatkan Sancaka kecil dari kejaran anak-anak jalanan lalu menawari dirinya untuk diadopsi sebagai anak angkat, Joko Anwar tampaknya memang menyediakan kemungkinan adanya dunia paralel atau garis waktu alternatif ketika ia mencoba memainkan semacam “What If” ala Marvel: Bagaimana seandainya Sancaka memilih tawaran adopsi pasangan kaya itu? Ya, barangkali ia bakal menjadi seorang insinyur seperti karakter Sancaka dalam komik Hasmi yang memang dikisahkan sebagai anak adopsi.
Toh demi kepentingan cerita, Joko membuat Sancaka—yang mungkin teringat pada cerita Awang tentang kejamnya orang kaya yang mengadopsinya—memilih untuk menolak tawaran itu dan berlari keluar dari mobil mencari hidupnya sendiri. Maka jadilah ia Sancaka si sekuriti percetakan, yang meskipun tidak pernah membuat serum anti petir dan tak pernah mendapatkan liontin sakti dari Kaisar Crons, tetap saja diincar oleh petir yang hendak memberinya kekuatan untuk memenuhi takdirnya.
Dari Percuma Lapor Polisi sampai Mitos Pribumi Malas
HAL lain yang menurut saya cukup layak mendapatkan apresiasi positif dari film Gundala dan Sri Asih adalah kesadaran penulis naskah dan sutradara untuk membawa film bergenre superhero memasuki wilayah kritik sosial dan ranah politik—atau meminjam kata-kata Joko Anwar sendiri: menyuarakan apa yang terjadi di Indonesia.[29] Dan saya kira ini merupakan sebuah pilihan yang tepat apabila Jagat Sinema Bumilangit memang ingin menghadirkan para karakter pahlawan super yang lebih membumi dalam konteks kekinian—bukan film anak-anak yang sekadar menampilkan manusia berjubah bisa terbang dan gemar membantu para bocah menurunkan kucing dari atas pohon. Sebab dalam settingyang realistis, kondisi sosial politik memang hal yang tak mungkin diacuhkan atau dihindari.
“Di bumi ini, setiap tindakan merupakan tindakan politik,” demikian kata seorang pembicara dalam debat di televisi dalam film Batman v Superman: Dawn of Justice.
Lihat saja bagaimana film-film MCU (juga komik-komik Marvel) yang selalu kuyup menghadirkan beragam peristiwa politik nasional dan global, dengan terang menyampaikan berbagai kritik pedas terhadap tatanan sosial masyarakat maupun kebijakan pemerintahan Amerika Serikat. Sebagai contoh, sebut saja kasus perdagangan senjata ilegal di pasar gelap dan penciptaan teroris di kawasan Timur Tengah oleh Amerika Serikat dalam film-film Iron Man 1,2,3 (2008, 2010, 2013), perlakuan rasial terhadap warga kulit hitam oleh negara dan masyarakat kulit putih dalam The Falcon and the Winter Soldier (2012), atau adegan yang menampilkan keangkuhan dan sikap semena-mena aparat pemerintah (DODC Agents) terhadap minoritas Muslim (masuk masjid tanpa membuka sepatu) dalam Ms. Marvel (2022).
Selain menampilkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan kesenjangan menganga lebar yang begitu gampang diprovokasi dan main hakim sendiri serta begitu mudah percaya kepada hoax, baik Gundala maupun Sri Asihjuga sama-sama menjadi medium untuk melayangkan kritik cukup tajam terhadap lembaga legislatif maupun institusi kepolisian yang digambarkan sebagai lembaga korup.
Dalam film Gundala, hal ini sudah terlihat sejak awal ketika kerusuhan pecah antara para buruh pimpinan Sangaji ayah Sancaka dengan aparat kepolisian yang dibayar untuk menjaga pabrik. Hanya dengan sebuah lemparan batu saja bisa terjadikekacauan yang diinginkan oleh pemilik pabrik—sehingga ia pun memperoleh alasan untuk membungkam suara protes kaum buruh lewat tangan para aparat. Bahkan tak cukup sampai di situ, untuk mematahkan gerakan para buruh hingga ke akarnya, si pemilik pabrik juga mencari cara yang lebih jitu, yakni dalam hal ini melenyapkan aktivis buruh yang vokal seperti Sangaji. Di sinilah kita kemudian menemukan para aktivis buruh yang ternyata begitu mudah disogok dengan alibi “kami butuh uang” sehingga rela mengkhianati teman sendiri.
Apakah memang begitu buruknya moralitas kaum pekerja ini sehingga tak bisa dipercaya seperti halnya mayoritas wakil rakyat yang menganggap korupsi dan praktek suap sudah merupakan suatu hal lumrah?
“Orang Indonesia itu sekarang dari top sampai bottom sangat mementingkan diri sendiri, orang kaya merasa bisa melanggar hukum karena bisa lepas dari itu, punya uang segala macem. Di bawah juga seperti itu, mereka boleh melanggar hukum karena mereka mencari uang. Misalnya kayak mencuri. Jadi patriot sangat jarang di Indonesia, makanya negeri ini butuh patriot,” demikian ungkap Joko Anwar.[30]
Toh terlepas dari benar tidaknya asumsi pribadi Joko ini, kehadiran dan tampilnya seorang patriot atau wira di tengah tatanan dunia yang terancam chaos kiranya memang sejalan dengan apa yang didefinisikan oleh John Shelton Lawrence dan Robert Jewett sebagai “Monomyth Amerika” yang bertolak dari monomyth klasik John Campbell. Di mana berdasarkan analisa mereka terhadap berbagai buku, program TV, film, komik, video game, Lawrence dan Jewett kemudian menyimpulkan bahwa cerita aksi para pahlawan super Amerika memiliki formula archetypes yang cukup mudah untuk dikenali, yakni ketika:
“Sebuah komunitas dalam firdaus yang harmonis terancam oleh kejahatan; institusi normal gagal menghadapi ancaman ini; seorang pahlawan super tanpa pamrih muncul meninggalkan godaan dan melaksanakan tugas penebusan; dibantu oleh takdir, kemenangannya yang menentukan mengembalikan komunitas tersebut kepada kondisi surgawinya: kemudian pahlawan super itu menghilang ke dalam kekaburan.”[31]
Karena itu Lawrence dan Jewett pun mengajukan pertanyaan, “Mengapa, di negara yang meneriakkan dirinya sebagai model demokrasi tertinggi di dunia (baca: Amerika Serikat), kita begitu sering menikmati penggambaran institusi demokrasi impoten yang hanya dapat diselamatkan oleh pahlawan super di luar hukum? Apakah kisah-kisah ini merupakan katup pengaman bagi tekanan demokrasi, atau apakah kisah-kisah tersebut mewakili kerinduan akan sesuatu selain demokrasi?”[32]
Saya tidak akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan terkesan bias di atas. Tetapi seperti yang ditulis Bertolt Brecht dalam The Life of Galileo (1939), jelas hanya “negeri sial-lah yang membutuhkan pahlawan” yang datang membawakan harapan.
Ya, harapan inilah makna dari huruf Krytonian di dada kostum Superman.[33] Harapan inilah yang dihadirkan oleh Sancaka kepada para pedagang kecil di pasar yang terus dipalak oleh para preman dalam film Gundala, sehingga kata Wulan: “Mereka-mereka ini nggak punya harapan sebelumnya. Kemarin, tiba-tiba mereka punya. Karena kamu datang. Cuma itu yang mereka butuh.” Bahkan diceritakan lebih lanjut, aksi Sancaka bertarung dengan para penjarah yang terekam dan tersiar luas di media sosial kemudian menginspirasi orang banyak untuk berani mempertahankan haknya yang terancam.
Selain itu Joko Anwar tampaknya juga masih menyisakan sedikit pengharapan pada lembaga legislatif dengan ditampilkannya segelintir oknum wakil rakyat jujur seperti Ferry Dani, Ridwan Bahri, dan Dirga Utama (yang kecuali Ridwan, semuanya akhirnya dihabisi oleh anak buah Pengkor). Hal mana yang tidak diberikannya kepada institusi kepolisian.
Baik dalam Gundala maupun Sri Asih, polisi bukan saja tampak tak berguna dalam menghadapi kasus-kasus yang terjadi sepanjang film tetapi juga dengan gamblang digambarkan sebagai pihak yang turut serta menjadi bagian dari pembusukan negara. Tak lagi sekadar telat datang ke TKP seperti yang kerap digambarkan dalam sinetron televisi. Karena itulah tak mengherankan jika Wulan pun menjawab sinis “Lantas apa polisi akan bisa ganti rugi?” ketika Sancaka bertanya kenapa para preman yang membakar pasar tidak dilaporkan. Satu hal yang mana mengingatkan kita kepada keluhan “percuma lapor polisi” yang sempat dijadikan tagar oleh warganet Indonesia di media sosial beberapa waktu silam.[34] Bahkan dalam cerita Sri Asih, satu-satunya polisi yang kita kira jujur dan tak bisa disuap yakni Jatmiko ternyata justru merupakan big villain yang paling jahat: Pemilik kalung Roh Setan, salah satu panglima dari Dewi Api.
Seperti halnya plot twist Joko dalam Gundala yang membuat penonton tak menduga bahwa Ghazul-lah sebetulnya otak besar di balik penyebaran hoax serum amoral, dalam Sri Asih Upi Avianto juga mencoba mengecoh penonton lewat karakter Jatmiko ini. Karena itu sejak mula ia pun seolah digambarkan dari adegan ke adegan sebagai seorang polisi muda yang idealis dan jujur, yang tampak gusar dengan atasannya dan merasa prihatin dengan imej buruk polisi di mata masyarakat. Dengan demikian sebagai sutradara, di sini Upi dapat dikategorikan sebagai unreliable narrator yang berusaha menyesatkan penonton dalam motifnya mengkritisi institusi kepolisian.
Lihat saja betapa tampak tertekannya ekspresi wajah Jatmiko ketika sebagai seorang polisi berpandang rendah ia harus menuruti perintah-perintah kepala polisi Ratna Kumala yang telah disuap oleh karakter Prayogo Adinegara untuk menutupi berbagai jejak kejahatan yang dilakukan oleh si pengusaha dan putra kesayangannya yang kolokan—seakan-akan hal itu bertentang dengan hati nuraninya. Ia juga seperti terlihat malu saat seorang anak tetangganya diminta oleh sang bapak untuk membuang pemberiannya yang disebut sebagai uang haram. Bahkan ia diceritakan mencoba membantu Alana dan Tangguh dengan informasi tentang Prayogo dan memperingati mereka agar berhati-hati sembari menyakinkan Alana kalau dirinya berada di pihak yang sama.
“Tidak semua orang bisa dibeli dengan uang, Nona,” ujarnya kepada Sri Asih.
“Kepiawaian” Jatmiko menutup identitasnya ini bahkan membuat Eyang Mariani sesepuh kelompok Jagabumi tertipu dan mengira bahwa Prayogo Adinegara-lah si pemegang kalung Roh Setan. Karena memang diceritakan bahwa Prayogo juga memiliki sebuah kalung dengan liontin yang serupa. Dengan demikian, penonton yang disuguhi adegan-adegan di mana Prayoga sedang memakai kalungnya, bahkan memandikan kalung tersebut dengan khidmat dalam suatu ritual, pun berusaha diyakinkan bahwa sosok kapitalis rakus itulah villain utama film. Hingga akhirnya baru ketahuan jika kalungnya ternyata kalung yang berbeda, yang tampaknya tak memiliki kekuatan magis apa-apa. Lantas, untuk apa Prayogo mengenakan kalung itu? Apakah ia juga mengira bahwa kalungnya itu adalah kalung Roh Setan asli? Dari mana ia memperolehnya? Dari Ghazul? Tampaknya demikian.
Hanya saja plottwist semacam ini terlalu mudah untuk ditebak, apalagi jika diterapkan dalam film yang beralur maju. Belum lagi karakter Jatmiko ini terlampau banyak mendapatkan sorotan. Sehingga tanpa peristiwa ketika ia dihampiri oleh gagak hitam bermata merah yang berfungsi sebagai clue sekali pun, sosok ini sudah mencuri perhatian penonton dan membuat kita menduga kalau ia memang merupakan karakter penting.
Di samping itu, jika dibandingkan dengan Pengkor dalam Gundala, pengembangan karakter Jatmiko ini juga kurang mampu mengundang simpati dan empati penonton akibat latar belakangnya yang samar dan motifnya yang kurang jelas. Padahal salah satu kunci sukses dalam film adalah pengembangan karakter yang kuat, baik untuk antagonis maupun protagonis. Tengok saja Thanos sebagai big villain dalam MCU fase pertama contohnya. Kekuatan perwatakannya telah membuat para fans Marvel sulit untuk move on dan terus mengenang motifnya memusnahkan separuh populasi di alam semesta, sehingga ungkapan “Maybe Thanos was right” pun akhirnya berkembang jadi meme serius di kalangan penggemar. Dan alhasil, status sang Mad Titan pun seakan bergeser dari villain menjadi karakter antihero. Hal ini bisa terjadi lantaran meski terdengar kejam tetapi tujuan Thanos mengurangi populasi di jagat raya itu boleh jadi memang terdengar rasional dalam konteks dunia hari ini, di mana bumi yang semakin padat dengan sumber daya alam terbatas telah membuat kehidupan orang-orang jadi kian pelik.
Maka, dibandingkan dengan “tujuan mulia” Thanos agar “anak-anak yang lahir cuma tahu perut kenyang dan langit cerah” itu, tak heran jika motif Roh Setan membunuh para penghuni Rusun Kembangan dalam ritual Tumbal Seribu Jiwa yang semata-mata untuk membangkitkan Pasukan Seribu Iblis pun terdengar konyol dan sulit menarik empati para penonton. Begitu pula dengan pandangan Prayogo Adinegara tentang orang-orang miskin dalam ambisinya membangun tatanan kota dengan satu kelas sosial:
“Populasi manusia di bumi ini sudah semakin banyak. Kita harus berbagi. Tanah… air… bahan makanan… tempat tinggal. Apakah itu adil… kita harus berbagi dengan orang-orang miskin? Dan pemalas? Mereka itu sekumpulan kecoak yang harus dibasmi supaya negeri ini lebih baik. Jangan anggap saya kejam. Saya hanya membantu program pemerintah memerangi kemiskinan.”
Pandangan ini bukan saja sama sekali tak logis serta terdengar sangat picik dan jahat, tetapi notabene juga mengingatkan kita kepada “mitos pribumi malas” yang dikembangkan oleh para penjajah Eropa di era kolonial sebagai bagian dari “colonial imagination” mereka tentang wilayah, orang dan budaya terjajah.
Mitos atau citra ini—menurut Syed Hussein Alatas—merupakan persepsi yang sengaja diciptakan oleh para orientalis Barat sebagai unsur utama ideologi kolonial dan pembenaran buat mengeksloitasi sumber daya pribumi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Karena itu di Hindia Belanda, pandangan tentang orang Jawa yang malas ini pun berkembang semakin luas setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa khususnya oleh van den Bosch pada 1830 untuk memaksa rakyat Jawa menanam tanaman-tanaman niaga yang hanya menguntungkan penguasa kolonial.[35]
Sebagai contoh, perhatikan citra tentang masyarakat Jawa yang pemalas dari catatan ahli sejarah ekonomi Clive Day di bawah ini:
[…] Tingkat hidup rata-rata petani kelihatan rendah sekali jika diukur menurut standard Barat; seluruh kekayaan peribadi keluarga, termasuk rumah, perabot rumah, pakaian, dan berbagai-bagai peralatan lain mungkin bernilai hanya beberapa doolar sahaja, katakanlah lima atau sepuluh ringgit dalam mata wang kita. Namun, kerana keperluannya kecil, maka tingkat hidup yang rendah pun mencukupi, dan pada hakikatnya di kalangan masyarakat Jawa makin rendah tingkat kehidupan, maka lebih memungkinkan mereka mencapai kepuasan dalam jangka panjang kerana mereka benar-benar tidak menderita kelaparan. Pada praktisnya tidak mungkin memantapkan berbagai-bagai pekerjaan yang berguna dari penduduk peribumi, sesuai dengan sebarang seruan bagi memenuhi cita-cita memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan standard mereka. Tidak kurang daripada kesenangan kebendaan yang cukup akan menggerakkan mereka daripada kebiasaan malas mereka.[…][36]
Pandangan Prayogo di atas yang kemudian dijawab oleh Ghazul dengan pendapat bahwa “orang miskin hanyalah sekumpulan orang bodoh tidak berguna yang cuma mengotori negeri yang kayaseperti Indonesia ini” juga mengingatkan saya kepada pendapat karakter Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi di Amsterdam dalam novel Max Havelaarkarya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menganggap bahwa kemiskinan adalah akibat dari ketidaktaatan beragama dan sifat seseorang yang kurang baik. Karena itu, baginya orang-orang miskin seperti orang Jawa dan karakter Sjaalman tak lain merupakan kaum pemalas dan pendosa yang jauh dari karunia Tuhan. Sementara orang-orang Belanda yang baik dan rajin seperti seorang mantan residen kaya-raya yang menjamunya pasti akan berhasil di tanah Hindia. Simaklah kata-kata Droogstoppel dalam dua kutipan dari novel Max Havelaar di bawah ini:
Saya ceritakan, bahkan kami tiga belas orang di kantor, dan bahwa kami sibuk. Lalu saya tanyakan dia, apa kabarnya; kemudian saya menyesal telah memajukan pertanyaan itu, sebab ia rupanya dalam keadaan tidak begitu baik, dan saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya kemiskinan itu karena salah sendiri; Tuhan tidak akan meninggalkan orang yang mengabdi kepadanya dengan setia.[37]
Bukankah Injil barang yang paling mulia? Adakah yang lebih tinggi dari pada kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja,—saya sendiri dua puluh tahun mengunjungi bursa,—bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar dalam api neraka? Itulah ketamakan, ketamakan yang keji, jika kita tidak melakukan segala usaha supaya orang-orang malang yang sesat itu jangan mengalami masa depan yang dashyat, yang digambarkan oleh Pendeta Wawelaar dengan begitu fasih. Seorang perempuan jatuh pingsan, ketika ia bercerita tentang seorang anak kecil berkulit hitam; barangkali ia mempunyai anak yang kulitnya agak hitam; memang perempuan begitu. [38]
Seperti halnya Droogstoppel yang tak pernah berpikir bahwa kekayaan yang diperoleh bekas residen itu selain berasal dari eksploitasi atas tanah jajahan dan para penduduknya, bisa jadi pula merupakan hasil penyalahgunaan kekuasaan jabatan di Hindia Belanda; Prayogo dan Ghazul tentunya juga tak memikirkan bahkan tak mau tahu dari mana asal kekayaan orang-orang seperti mereka. Sebab dalam sistem kapitalisme liberal yang tamak, yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apa pun, termasuk yang paling culas dan mengorbankan orang lain.
***
YA, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, film Sri Asih besutan Upi Avianto dan film Gundala garapan Joko Anwar seyogianya memiliki pola pengisahan yang hampir sama dalam jahitan alur yang bergerak maju. Namun pengembangan karakter dalam film Gundala masih sedikit lebih kuat ketimbangan pengembangan karakter dalam Sri Asih, baik untuk tokoh protagonis maupun karakter-karakter antagonisnya.
Kendati dalam Sri Asih, Alana juga diperlihatkan mesti bergumul habis-habisan dengan dirinya sendiri yang terus-menerus dihantui oleh bayangan Dewi Api yang hendak menguasainya dengan membangkitkan amarahnya, tetapi pergumulan dirinya ini tampaknya tidak sedalam pergumulan diri seorang Sancaka dalam menghadapi kebimbangannya untuk bertindak.
Alana memang sudah digambarkan sebagai sesosok gadis yang berani dan tangkas juga temperamental dan tak sungkan menggunakan kekerasan untuk membela teman yang tertindas semenjak kanak-kanak. Karena itulah Sarita Hamzah ibu angkatnya yang memiliki sasana latihan muaythai kemudian mencoba membimbingnya mengontrol emosinya yang meledak-ledak itu dengan memperkenalkannya kepada seni beladiri dan dunia pertarungan profesional sebagai metode pengendalian diri sekaligus untuk mengasah bakat terpendamnya. Sayangnya, Ibu Sarita tidak selalu berhasil.
Contohnya ketika harus berhadapan dengan Mateo Adinegara anak tunggal Prayogo yang sombong, semena-mena, dan misoginis, Alana nyatanya tak mampu menaklukkan temperamen buruknya dan bisikan Dewi Api. Jika Sancaka senantiasa bermimpi bertemu dengan sang ibu yang hilang dan bapaknya yang mati, mimpi Alana adalah kemurkaan sang dewi yang terus mencoba untuk menguasai kelabilan emosinya. Ini agak berlainan dengan mimpi tentang kelelawar yang menghantui Bruce Wayne, yang secara tak langsung berkolerasi dengan peristiwa penembakan terhadap kedua orangtuanya pada malam hari. Sebab jika pada Bruce Wayne, rasa takutnya pada kelelawar itu mengalami pembalikan menjadi simbol kekuatannya,[39] rasa takut Alana terhadap mimpinya justru menjadi kelemahannya.
Hal ini nyaris membuatnya luluh lantak. Pembalasan dendam Mateo yang dikalahkannya secara telak bukan saja membuat tempat latihan ibunya dihancurkan tetapi juga membuat ibu angkatnya itu mesti masuk rumah sakit dalam keadaan koma. Untunglah ia dan Sarita yang diincar oleh Prayogo setelah kematian Mateo (yang sesungguhnya dibunuh oleh Jatmiko) kemudian berhasil diselamatkan oleh Kala dan Eyang Mariani dari kelompok Jagabumi yang telah mengetahui jatidirinya sebagai titisan Dewi Asih dan selalu mengawasinya.
Dari mana Eyang Mariani mengetahui bahwa Alana adalah Sri Asih generasi terbaru? Apakah berdasarkan petunjuk dari kitab kuno warisan kelompok Jagabumi seperti halnya Kala memperoleh lokasi pelaksanaan Tumbal Seribu Jiwa? Apakah Ghazul juga memiliki kitab petunjuk serupa sehingga ia bisa mengetahui bahwa Sancaka adalah Gundala? Perhatikan kata-kata Eyang Mariani kepada Alana dalam film Sri Asih berikut:
“Jagabumi. Itu nama kelompok kami. Yang mencatat, yang terus menelusuri, dan menjaga garis keturunan Dewi Asih. Karena kami yakin Dewi Asih akan bangkit kembali… melalui garis keturunannya. Sampai kami mendapatkan berita kematian kedua orangtuamu dan bayinya yang hilang. Bahkan sebelum kamu lahir, Dewi Api sudah mengetahui bahwa kamu adalah titisan Dewi Asih. Dia mau merebut kamu, memengaruhi kamu supaya kamu tidak melanjutkan perjuangan Dewi Asih.”
Ya, Dewi Api yang terkurung dalam gunung berapi (Merapi di Yogyakarta?) dari awal memang telah diperlihatkan mengetahui bahwa Alana merupakan titisan Dewi Asih musuh besarnya. Karena itu sang dewi angkara murka itu pun membuat ibu Alana (yang sedang hamil) ngidam melihat gunung berapi hingga kedua orangtuanya terbunuh dalam erupsi. Tetapi toh Alana berhasil selamat, ia (dalam usia kandung yang baru lima bulan) berhasil dilahirkan dalam mobil di tengah hujan abu vulkanik berkat bantuan dari seorang perempuan desa.
Fase-fase dalam film ini, sayangnya, bergerak terlalu cepat. Sehingga membuat pergantian dan perpindahan antar scene terasa kurang halus serta membuat pengembangan karakter Alana terlihat kedodoran. Selain tampaknya tak memiliki keraguan sedikit pun untuk menerima takdirnya sebagai titisan Dewi Asih, Alana juga tampak terlalu cepat menguasai kemampuan super yang diperolehnya dalam ritual peleburannya dengan Dewi Asih, sang dewi segala kekuatan baik. Seakan-akan semua kemampuan super yang menjadi supernatural aid-nya itu (seperti bergerak cepat, terbang, menggunakan selendang sakti, dan melipatgandakan diri) adalah sesuatu yang begitu mudah untuk dikuasai.
Hal lain yang menurut saya cukup menganggu dalam film ini adalah terdapat setidaknya dua adegan aksi Sri Asih yang terlampau mirip dengan aksi Wonder Woman dalam film Justice League, baik versi Joss Whedon (2017) maupun versi Snyder Cut (2021), yaitu: Pertama, adegan Sri Asih menangkis peluru para anak buah Prayogo dengan sepasang gelang sakti di pergelangan tangannya dalam gerak cepat ketika menyerbu kediaman penguasa lalim itu. Siapa pun yang pernah menonton Justice League saya kira bakal serta mertamenghubungkan adegan ini dengan adegan Diana Prince menangkis rentetan tembakan senapan mesin yang dilepaskan oleh gembong teroris dengan the Bracelets of Submissiondi kedua tangannya untuk menyelamatkan orang-orang dalam gedung. Kedua, adegan ketika Sri Asih menyingkir bom waktu yang dipasang oleh anak buah Jatmiko di pintu kurungan para penghuni rusun yang hendak ditumbalkan dengan cara menerbangkan bom itu lalu melemparkannya ke langit hingga meledak. Adegan ini juga persis dengan apa yang dilakukan oleh Wonder Woman ketika menyingkirkan bom waktu yang dihidupkan oleh gembong teroris tadi dalam gedung.
Apa yang menjadi pertimbangan bagi Upi untuk memasukkan adegan-adegan yang terasa “begitu Wonder Woman” ini? Entahlah. Karena meskipun karakter Sri Asih ciptaan R.A.Kosasih itu sendiri memang terinspirasi oleh karakter Wonder Woman dari DC, tetapi tampaknya pihak waralaba Jagat Bumilangit, sutradara, dan para aktor pendukung juga tak menginginkan karakter dan film mereka selalu dibanding-bandingkan dengan superhero DC atau Marvel. Bukankah Upi sendiri dengan kesal sempat menjawab para warganet agar tidak membandingkan Sri Asih dengan Black Panther: Wakanda Forever ketika kedua film ini dirilis secara berdekatan?[40] Bahkan Pevita Pearce dengan tegas menolak tokoh yang diperankannya itu dianggap mirip dengan Wonder Woman.[41]
Film ini, menurut saya, tampaknya juga berusaha menghindari berbagai resiko, baik itu menyangkut lambang institusi kepolisian maupun simbol keagamaan. Lambang kepolisian misalnya sengaja dibuat sebeda mungkin dengan lambang kepolisian Republik Indonesia. Agaknya hal ini untuk menghindari ketersinggungan institusi Polri, lantaran dalam Sri Asih polisi selalu digambarkan sebagai aparat tak berguna yang suka menerima suap. Begitu pun dengan busana para pengelola panti asuhan tempat Alana dititipkan.
Busana yang dikenakan oleh para pengasuh itu, baik dari bentuk kerudung maupun jubah, sangat identik dengan pakaian biarawati Katolik (Nun/Suster), tetapi tanpa embel-embel kalung salib sebagaimana lazimnya. Apakah penghilangan simbol keagamaan ini memang disengaja untuk menghindari isu Kristenisasi setelah politik identitas berbasis agama kian marak di Indonesia? Padahal serial televisi MCU seperti Ms. Marvel tidak segan-segan menampilkan karakter superhero Muslim berdarah Pakistan lengkap dengan semua atribut Islam di tengah fenomena Islamphobia yang melanda Amerika Serikat.
Kekurangan yang cukup terasa pada film Gundala maupun Sri Asih juga terdapat dalam aksi-aksi laganya yang terlihat kaku, di mana para pemain terkesan menghafal instruksi gerak dari koreografer. Padahal adegan perkelahian boleh dibilang nyawa dari film-film bergenre superhero dan dapat dimaksimalkan untuk menutupi budget yang kurang dalam penerapan teknologi CGI. Bukankah perfilman Indonesia mampu menghasilkan film-film aksi laga yang telah mendapatkan begitu banyak pujian dan perhatian secara global seperti The Raid (PT Merantau Films, 2011) dan sekuelnya The Raid 2: Berandal (2014).***
[1] Dalam komik klasik Gundala karya Hasmi, nama ini ditulis “Crons”, tetapi dalam situs resmi Jagat Bumilangit, nama ini ditulis “Kronz”. Lihat https://bumilangit.com/id/characterspods/gundala-2/, diakses 15/04/2023.
[2] Nama Teddy ini tampaknya merupakan sebuah penghormatan untuk Teddy Purba, aktor pemeran Gundala dalam film Gundala Putra Petir (PPFN, 1981) garapan Lilki Sudjio.
[3] Baik dalam origin story-nya di komik maupun serial televisi seperti The Flash (Pet Fly Productions & Warner Bros. Television, 1990-1991) dan The Flash (DC Entertainment, Warnet Bros. Television, dll, 2014-2023), Barry Allen diceritakan memperoleh kekuatan supernya setelah disambar petir ketika sedang bekerja di laboratoriumnya sebagai ilmuwan forensik polisi.
[4] Dalam komik klasiknya, Nemo adalah alter ego dari Hasmi sang komikus yang sering membantu Gundala dalam menyelidiki berbagai kasus.
[5] Dalam film Gundala (2019), hal ini juga dijelaskan secara langsung oleh karakter Sancaka sendiri kepada Wulan dan Teddy, yang kemudian dipertegas lagi pada adegan penghujung film tatkala Sancana mengalirkan energi petirnya pada salah satu pedang milik Tanto Ginanjar yang berhasil direbutnya sehingga pedang itu hancur berkeping-keping diikuti oleh hancurnya bilah pedang lain yang masih dipegang oleh Tanto.
[6] Hal ini pernah diakui oleh Hasmi sendiri sebagaimana dikutip oleh Fajar Sungging putra Wid NS (pencipta Godam) kepada Merahputih.com: “Pak Hasmi pernah bilang, ‘aku asal membuat, tapi pada suka.’ Jadi sejak kecil, Hasmi diperkaya dengan cerita wayang, cerita apa saja. Ketika kecil banyak peristiwa dalam hidupnya dan selalu terekam dengan baik, di situlah muncul ide.” Lihat Yudi Anugrah Nugroho, “Selisik Cerita Hasmi Menelurkan Komik Gundala, Apakah Sancaka Anak Buruh” dalam https://merahputih.com/post/read/selisik-cerita-hasmi-menelurkan-komik-gundala-apakah-sancaka-anak-buruh, diakses 16/04/2023.
[7] Dalam cerita aslinya di komik (terbit pertama pada 1969), sosok Godam diceritakan Wid NS sebagai makhluk dari negeri di dimensi lain yang bernama Kerajaan Godam. Ia putra seorang panglima perang kerajaan berbana Gandari. Sang ayah dianggap melakukan pemberontakan dan menjadi buronan kerajaan. Setelah dewasa, Godam, bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya melawan kejahatan. Dalam petualangannya, ia kemudian memperoleh Zirah Sakti dari Dewi Pengasuh Sukma dan jubah sakti dari bendera pusaka suku Zelu yang membuatnya bisa terbang. Karena melanggar sumpah tidak boleh membunuh kepada Dewi Pengasuh Sukma, Godam kemudian dikurung dalam sebuah cincin yang diserahkan kepada Bapa Kebenaran untuk dibawa ke dimensi manusia. Bapa Kebenaran kemudian memilih seorang manusia bernama Awang sebagai pengguna cincin itu. Pada akhirnya Godam hanyalah roh hidup berkekuatan super yang bersemayam dalam sebuah cincin. Dengan mengenakan cincin itu, Awang bisa menjelma jadi sosok superhero yang berbagi satu jasad dengan Godam. Lihat https://bumilangit.fandom.com/wiki/Godam_(Pusaka), diakses 17/04/2023.
[8] Sebagai creative producer Jagat Sinema Bumilangit, Joko Anwar sendiri sejak awal sudah mengungkapkan bahwa film-film Jagat Sinema Bumilangit tidak ingin menyentuh ranah fiksi ilmiah. Sebab menurutnya, sumber kekuatan para superhero Indonesia itu berasal dari sesuatu yang ada di nusantara, berbeda dengan kekuatan para superhero film Hollywood yang disebabkan oleh sihir, teknologi, atau radiasi. Baca DN. Mustika Sari, Alexander Vito Edward Kukuh, dan Andrian Gilang Khrisnanda, “Joko Anwar Bocorkan soal Sumber Kekuatan Para Jagoan di Jagat Sinema Bumilangit” dalam https://m.kumpuran.com/kumparanhits/joko-anwar-bocorkan-soal-sumber-kekuatan-para-jagoan-di-jagat-sinema-bumilangit-1zvamNW81kp, diakses 16/04/2023.
[9] Sayap Hermes adalah bagian dari Helm Hermes, salah satu jenis helm bersayap (winged helmet) yang dikenal luas dalam khasanah kuno. Dalam berbagai penggambaran kuno dewa Hermes, Mercury, dan dewa-dewa Romawi, mereka dideskripsikan mengenakan helm bersayap. Meskipun menurut Wikipedia, sayap yang ada di helm atau bagian kostum berbagai versi The Flash, Captain America, dan Thor lebih mengacu kepada penggambaran kuno dewa Merkurius yang melambangkan kecepatan, tetapi umumnya sayap di sisi kiri-kanan kepala mereka tersebut lebih dikenal sebagai Sayap Hermes. Karakter The Flash yang pertama, yakni dalam versi Jay Garrick (1940) bahkan mengenakan helm bersayap yang persis dengan helm bersayap dewa Hermes. Dalam ilustrasi-ilustrasi mengenai para dewa dan pahlawan legendaris Norwegia, helm bersayap ini juga digambarkan sebagai simbol prajurit Utara. Baca https://en.wikiepdia.org/wiki/Winged-helmet; https://screenrant.com/flash-barry-allen-costume-facts-trivia/; https://en.wikipedia.org/wiki/Flash_(Jay_Garrick);https://id.m.wikibooks.org/wiki/Mitologi_Yunani/Dewa_Olimpus/Hermes, diakses 20/04/2023.
[11]BIMA Satria Garuda adalah sebuah serial tokusatsu dan serial komik Indonesia yang merupakan kerja sama MNC Media dengan Ishimori Productions (Jepang). Film serial televisinya disutradarai oleh Teruyoshi Ishi, Hideki Oka, Arnandha Wyanto, dan Raesaka Yunus dengan Christian Loho sebagai pemeran Bima. Serial ini ditayangkan di RCTI pada 30 Juni 2013-22 Desember 2013, yang dilanjutkan dengan Satria Garuda BIMA-X. Karakter Bima sang Satria Garuda adalah alter ego Ray Bramasakti yang mendapatkan kekuatan supernya dari Powerstone Merah pemberian seorang pemuda misterius bernama Mikhail. Batu itu membuatnya dapat berubah wujud jadi Bumia untuk menghadapi ambisi jahat Rasputin penguasa Kerajaan VUDO. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/BIMA_Satria_Garuda, diakses 21/04/2023.
[12]Spider-Man: Homecoming (Marvel Studios, 2017) disutradarai oleh Jon Watts. Spider-Man yang diperankan oleh Tom Holland ini hadir pertama kali dalam film MCU pada Captain America: Civil War (Marvel Studios, 2016).
[13]“A hero ventures forth from the world of common day into a region of supernatural wonder: fabulous forces are the encountered and a decisive victory is won: the hero comes back from this myterious adventure with the power to bestow boons on his fellow man.” Lihat Joseph Campbell, The Hero With a Thousand Faces (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2004), hlm. 28.
[14] Ketujuh belas fase itu itu adalah: [1] The Call to Adventure (Panggilan untuk Berpetualang) atau tanda-tanda panggilan pahlawan; [2] Refusal of the Call (Penolakan Panggilan); [3] Supernatural Aid (Bantuan Supranatural) atau bantuan tak terduga; [4] The Crossing of the first Threshold (Melintasi Ujian Pertama); [5] The Belly of the Whale (Dalam Perut Ikan Paus) atau jalan masuk ke alam gelap; [6] The Road of Trials (Jalan Uji Coba); [7] The Meeting with the Goddess/Magna Mater (Pertemuan dengan Dewi)[8] Woman as the Temptress (Wanita sebagai Godaan) atau realisasi dan penderitaan Oedipus; [9] Atonement with the Father (Penebusan dengan Bapak); [10] Apotheosis (Manusia Setengah Dewa); [11] The Ultimate Boon (Anugerah Sesungguhnya); [12] Refusal of the Return(Penolakan untuk Kembali); [13] The Magic Flight (Penerbangan Ajaib) atau pelarian Prometheus; [14] Rescue from With-out(Penyelamatan dari Luar); [15] The Crossing of the Return Threshold (Melintasi Ujian Kembali) atau kembalinya dunia biasa; [16] Master of the Two Worlds (Penguasa Dua Dunia); dan [17] Freedom to Live (Kebebasan untuk Hidup),” atau sifat dan fungsi anugerah sesungguhnya. Ibid, hlm. 34-35.
[15] Christopher Vogler, The Writer’s Journey: Mythic Structure for Writers (3rd ed.) (California: Michael Wiese Productions, 2007), hlm. 83-227.
[16] Dalam adegan percakapan antara Sancaka dan bapaknya tersebut, sang bapak juga mengatakan bahwa, “[…] kalau orang lain nggak mau memperjuangkan keadilan, bukan berarti kita harus begitu kan?”
[17] Kata-kata “With great power comes great responsibility” atau “With great power there must also come-great responsibility” ini terakhir kali diucapkan oleh karakter Spider-Man (atau tepatnya para Spider-Man) dalam film Spider-Man: No Way Home (Marvel Studios, 2021).
[18] Matthew J. Pustz, Comic Book Culture: Fanboys and True Believers, hlm. 49-50, seperti yang dikutip oleh Danny Fingeroth dalam Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society (New York: The Continuum International Publishing Group Inc., 2004), hlm. 150.
[19] Danny Fingeroth dalam Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society, hlm. 65.
[22]The Flash (DC Films & Warner Bros. Pictures, 2023) besutan Andres Muschietti adalah film terakhir DCEU sebelum berganti menjadi DC Universe (DCU).
[23]What If adalah serial animasi pertama dari Marvel Studios yang menceritakan kembali peristiwa epik dari jagat utama MCU melalui sudut pandang berbeda, di mana sudut pandang berbeda ini kemudian menjadi kasus percabangan waktu dan realitas tanpa ujung yang membentuk “dunia-dunia seandainya”. Season pertama What If ditayangkan pada 11 Agustus 2021. Cerita alternatif Doctor Strange hadir dalam episode ke-4.
[24] Kendati pergeseran karakteristik Penguin mendapatkan beragam reaksi dari para penggemar dan kritikus, namun penampilan Danny DeVito yang memerakan sosok ini mendapatkan banyak pujian. Penguin versi Tim Burton ini juga menginspirasi penggambaran karakter tersebut dalam karya-karya Warner Bros. Animation, seperti Batman: The Animated Series (1992-1997) dan The Batman(2004-2008), sebagian besar dari sisi penampilan. Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Oswald_Cobbleport_(Batman_Returns), diakses 21/05/2023.
[26] Dalam komik Gundala karya Hasmi, nama asli Pengkor adalah Wisnu Atmaja. Di sini cacat fisiknya bukanlah berasal dari pembakaran rumahnya oleh para pekerja perkebunan ayahnya, tetapi merupakan cacat bawaan lahir. Ia diceritakan memiliki kecerdasan luar biasa. Perlakuan buruk yang ia alami selama bertahun-tahun membuatnya berambisi untuk menaklukkan dunia dengan segala cara. Pengkor juga dikenal sebagai pencinta seni dengan cita rasa tinggi. Baca https//bumilangit.com/id/characterspods/pengkor-2/, diakses 22/05/2023.
[27] Di komik klasik Gundala Putra Petir karya Hasmi, Ghazul adalah seorang pimpinan kelompok kriminal dengan teknologi canggih yang mengincar harta karun temuan Profesor Kusuma dalam edisi Dokumen Candi Hantu. Sementara dalam film Gundala 1981, ia digambarkan oleh Lilik Sudjio sebagai gembong narkoba yang cacat tangan akibat terkenal radiasi nuklir ketika orangtuanya membawanya ke Jepang pada tahun 1945.
[28] Dalam film Sri Asih, kelima panglima ini dijelaskan oleh Eyang Mariani pemimpin kelompok Jaga Bumi sebagai: (1) Pendekar Maha Sakti yang memiliki kemampuan sihir, (2) Manusia Setengah Siluman yang haus darah, (3) Siluman Bocah yang cerdas dan sakti, (4) Siluman Perempuan yang menguasai samudera, (5) Roh Jahat yang masuk ke tubuh manusia.
[31] John Shelton Lawrence and Robert Jewett, The Myth of the American Superhero, Michigan and Cambridge: William B. Eerdmans Publishing, 2002), hlm.6.
[33] Dalam film Man of Steel (DC Entertainment & Warnet Bros. Pictures, 2013), makna huruf S dalam segitiga terbalik di dada kostum Superman dalam bahasa Krypton ini pernah dijelaskan oleh karakter Clark Kent alias Kal El (Superman) sendiri kepada Lois Lane.
[35] Syed Husain Alatas, Mitos Pribumi Malas, terj. Zainab Kassim (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1989), hlm.34.
[39]“Kelelawar menakutkanku. Inilah saatnya aku berbagi ketakutan dengan musuhku,” demikian ucap Bruce Wayne menjawab pembantunya Alfred Pennyworth mengenai pilihan simbolnya dalam film Batman Begins (2005)
[40] “Gue tau film Sri Asih muncul seminggu setelah Wakanda Forever. But plis stop mentioning gue dengan kata2 yang pesimis dan membanding2kan. Gue, kita semua di team Sri Asih sedang berjuang berusaha memberikan yang terbaik. Jangan dipatahin dulu dong semangat kita. Bikin film superhero di Indonesia itu gak mudah Guys. Gue yakin sutradara Wakanda Forever gak menghadapi apa yang gue hadapi,” demikian tulis Upi Avianto pada story Instagram akun pribadinya @upirocks (28/10/2022).
[41] Seperti yang dikutip oleh detik.com, Pevita Pearce sempat menegaskan bahwa Sri Asih bukanlah Wonder Woman ala Indonesia. Menurutnya: “Sri Asih itu punya Indonesia, dan Sri Asih adalah Sri Asih, nggak bisa disamakan. Menurutku Sri Asih memiliki background yang sangat dekat dengan Indonesia.” Lihat https://hot.detik.com/movie/d-4716350/pevita-tegaskan-sri-asih-bukan-wonder-woman-ala-Indonesia.
DARI mana sebuah gagasan/ide untuk menulis cerpen (juga novel) berasal? Bagaimana cara mencari/ menggali dan mendapatkan ide untuk menulis cerpen?
Kukira ini pertanyaan-pertanyaan yang nyaris selalu dilontarkan oleh para peserta kelas menulis fiksi dan workshop kepenulisan fiksi, luring maupun daring. Jawabanku (lewat pengalaman sesekali mengisi kelas dan workshop) biasanya adalah bisa dari mana saja dan bisa dengan cara apapun. Meskipun aku sadari betul bahwa cara-cara menggali ide yang ditempuh oleh penulis lain belum tentu cocok denganku dan bisa aku lakukan. Contohnya, aku tidak bisa mencari gagasan untuk menulis fiksi dengan cara duduk dan berjongkok di kloset sambil buang air. Aku juga tak bisa duduk berjam-jam menatap layar kosong di laptop atau monitor PC demi memaksa sebuah ide keluar, seperti halnya aku tak mungkin bisa menulis di tengah suasana berisik sebuah kedai kopi atau kafe.
Setiap penulis barangkali punya keunikannya tersendiri dalam hal menggali dan mendapatkan gagasan. Itu bisa kita baca, misalnya dari buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang dieditori oleh Pamusuk Eneste atau memoar-memoar dan otobigrafi para sastrawan.
Namun, selalu saja ada kesamaan, sesuatu yang umum, dari cara seorang penulis menggali dan mendapatkan ide untuk menulis: Entah itu kenangan masa kecil dan remaja, pengalaman kesehariannya, tulisan di bak sebuah truk, obrolan sekadar para tetangga, percakapan dua penumpang bus yang duduk di dekatnya, gunjing alias gosip di warung kopi-pasar-pos ronda-tempat kerja-posyandu-tempat pengajian-kios cukur/ salon, dan lain-lain. Atau cerita-cerita yang dikisahkan kepada kita oleh kakek-nenek, paman-bibi, ayah-ibu, kakak-adik, kekasih dan suami-istri. Ide-ide itu juga bisa muncul begitu saja dari film dan berita televisi yang kita tonton, berita dan iklan di surat kabar/majalah maupun cerita-cerita fiksi karya penulis lain yang kita baca.
Atau jika memang diperlukan, adakanlah riset! Kumpulkanlah data-data referensi entah itu dari buku-majalah-koran atau arsip tua, dan lakukanlah wawancara dengan orang-orang! Beberapa tahun silam, aku takkan memilih Belanda sebagai tujuan program residensiku (karena aku lebih tertarik pada negara lain) kalau bukan karena aku membutuhkan tunjangan banyak data untuk merampungkan novelku. Sebab sebagian besar setting waktu novelku berlangsung pada era kolonial Belanda, penduduk Jepang, dan masa-masa sebelum aku lahir (pada tahun 1977). Dua bulan aku mesti bercapek-capek di Perpustakaan Universitas Leiden dan Arsip Nasional Denhaag demi mengkumpulkan bahan-bahan yang aku perlukan itu! Itu pun masih jauh dari cukup. Tak mungkin aku menulis novelku (yang sampai sekarang belum jadi itu) hanya dengan mengandalkan imajinasi dan pengalaman riil diriku sendiri atau cuma berdasarkan ingatan samar-samarku pada cerita-cerita kakek, ayah, dan ibuku saja. Taik celeng itu!
Mari aku kasih contoh sederhana perihal bagaimana seorang penulis bisa saja memperoleh gagasan untuk cerpen atau novelnya! Suatu malam seorang penulis, sebut saja namanya Jintong, baru pulang dari membeli rokok di kios ketika mendengar orang-orang berteriak-teriak di jalan: “Mang Amir bunuh diri! Mang Amir bunuh diri!”
Kendati tak kenal dekat, si Jintong penulis kita tahu kalau Mang Amir yang tersebutkan itu tak lain adalah seorang lelaki paruh baya yang kerap menjadi muazin di masjid dekat kos-kosannya. Bahkan beberapa kali ia sempat mendengarkan lelaki itu menyampaikan khotbah Jumat. Khotbah Mang Amir cukup bagus dan selalu sejuk, isinya kebanyakan tentang fiqih. Karena itu, Jintong cukup kaget.
Apa yang menyebabkan Mang Amir sampai nekat bunuh diri seakan-akan ia bukanlah seorang beriman yang paham agama dan takut akan dosa? Sakit menahun, terlilit hutang dalam jumlah besar, mendapatkan aib keluarga? Rasanya semua itu tak masuk akal untuk orang seperti Mang Amir. Pikiran-pikiran itu terus saja menghantui Jintong hingga ia tak bisa tidur. Teriakan “Mang Amir bunuh diri!” setiap saat terngiang-ngiang lagi di telinganya. Atau jangan-jangan ini bukan kasus bunuh diri? Batinnya rada ciut.
Karena tak tahan dengan siksaan rasa penasaran, maka Jintong pun memutuskan untuk pergi menggali informasi ke masjid dan para tetangga Mang Amir. Ternyata apa yang ia dapatkan hanyalah cerita-cerita simpang-siur yang bukan saja tidak memuaskannya tetapi justru membuatnya semakin bingung. Namun begitu, cerita-cerita simpang-siur yang ia dengar dari orang-orang itulah yang ia kemudian kembangkan lewat imajinasinya menjadi sebuah cerpen tentang seorang muazin yang ditemukan mati tergantung di palang-palang kamar mandi. Sebuah cerpen dengan kalimat pembuka, “Mang Fuad bunuh diri! Mang Fuad bunuh diri!”
Jangan tanyakan kepadaku seperti apa isi cerpen karya Jintong itu atau apakah itu sebenarnya berasal dari salah satu cerpenku sendiri. Kalau ada kawan-kawan yang ingin mengambil contoh ini untuk dikembangkan menjadi cerpennya sendiri, ya, ambil saja.
***
TAK ada satu pun dari cerpen-cerpenku (apalagi novel yang sedang aku tulis) yang murni berdasarkan imajinasi alias khayalan belaka! Apalagi berkat renungan kloset! Semua cerpenku, baik yang sudah dipublikasikan di surat kabar dan majalah maupun yang belum, baik yang sudah kuterbitkan dalam buku kumpulan cerpen atau belum, semuanya memiliki jejak referensi atau narasumber. Termasuk cerpen-cerpenku paling konvensional yang terhimpun dalam kumcer pertamaku Malam Buta Yin (2009). Ya, semuanya!
Gagasan-gagasan melahirkan cerpen-cerpen itu sebagian berupa kenanganku dan sebagian adalah hal-hal/peristiwa baru yang aku temui, namun sebagian lagi merupakan cerita-cerita yang aku dengar dari orang lain terutama kakek, ayah, dan ibuku! Yang kemudian aku kembangkan sedemikian rupa, dengan mempertimbangkan beragam teknik penyampaian dan sudut pandang. Tentu saja yang paling baik dan asyik menurut diriku sendiri. Aku tak ada urusan dengan selera pembaca dan komentar kritikus ketika menulis, meski tetap harus menimbangkan jumlah halaman. Cukup banyak di antara cerpen-cerpen itu yang menuntutku untuk mempelajari lebih banyak referensi (termasuk istilah-istilah) sebelum atau sewaktu aku menuliskannya.
Cerpenku “Pan Ngiat Pan” (dalam Malam Buta Yin) adalah sebuah contoh cerpen yang aku kerjakan dengan kurang hati-hati. Cerita itu aku kembangkan dari cerita ayahku di masa kecil tentang Dewi Bulan Song Ngo, ritual sembahyang bulan, dan tradisi mempersembahkan anak yang sering sakit-sakitan atau rewel kepada sang dewi untuk dijadikan anak angkat (agar si anak tak lagi sakit-sakitan atau rewel). Kebetulan seorang bibiku pernah diangkat anak oleh Song Ngo, karena itu namanya pun diganti oleh sang dewi melalui seorang perantara dalam ritual kecil.
Kisah tentang bibiku inilah yang aku gabungkan dengan cerita-cerita ayahku untuk melahirkan sebuah cerita baru yang aku bumbui jadi kisah sedih, di mana bibiku aku jadikan ibunya tokoh “Aku” yang sudah meninggal dunia dan begitu dirindukan oleh ayahnya. Sehingga setiap tahun si ayah selalu menggelar sembahyang bulan untuk mendiang istrinya yang seharusnya tak wajib lagi dilakukan. Kesalahanku dalam cerpen ini adalah penguasaan aksara Cinaku pada waktu itu yang masih amat kurang. Akibatnya aku melakukan hal fatal dalam penulisan nama yang lafalnya dalam bahasa Hakka telah membuatku terkecoh. Padahal makna nama ini menempati posisi yang cukup penting dalam ceritaku. Kekeliruanku soal nama tersebut barulah aku sadari dan aku perbaiki, termasuk dengan mengedit beberapa bagian cerita, pada saat cerpen ini hendak diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada tahun 2016.
Ada cerpenku yang terilhami oleh sebuah adegan dalam film yang aku tonton, ada cerpenku yang berangkat dari sepotong kalimat yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam novel orang lain, juga yang bertolak dari obrolanku dengan tukang cukur sambil pangkas rambut dan dari topik yang sedang dibahas rama-ramai di warung kopi, lalu ada pula cerpen aku tulis hanya berdasarkan rujukan dari artikel-artikel di koran dan majalah. Yang terakhir ini contohnya ada dalam cerpenku yang berjudul “Sui Sien” (juga dalam Malam Buta Yin). Yakni sebuah cerita tentang seorang gadis Cina yang membakar dirinya dalam ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api. Bagaimana persisnya isi cerpen ini tak perlu aku kisahkan kembali di sini. Intinya adalah aku belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di Bagan Siapi-api dan melihat ritual laut tersebut. Semua hal tentang kota itu dan tradisi Bakar Tongkang oleh kalangan masyarakat Cina di sana berikut sejarahnya aku peroleh dari artikel-artikel yang aku baca. Yang betul-betul aku kuasai hanyalah budaya, cara pandang dalam kehidupan sehari-hari, dan kepercayaan tradisional orang Cina secara umum saja. Tetapi aku lumayan puas dengan cerpen ini.
Sebut saja judul cerpenku yang mana pun yang bisa ditemukan lewat pencarian google, tak ada satu pun dari cerpen-cerpen itu yang hanya bertolak dari lamunan alias imajinasiku belaka! Semuanya punya pijakan di dunia nyata entah itu berupa kenangan, pengalaman terbaru, hasil riset dan bacaan, atau cerita-cerita yang pernah aku dengar dari orang lain (diceritain maupun hasil nguping maupunhasil obrolan). Dan seringnya hal-hal tersebut aku campur-aduk menjadi satu cerita.
Sebut saja judul cerpenku yang mana pun yang bisa ditemukan lewat pencarian google, tak ada satu pun dari cerpen-cerpen itu yang hanya bertolak dari lamunan alias imajinasiku belaka! Semuanya punya pijakan di dunia nyata entah itu berupa kenangan, pengalaman terbaru, hasil riset dan bacaan, atau cerita-cerita yang pernah aku dengar dari orang lain (diceritain maupun hasil nguping maupunhasil obrolan). Dan seringnya hal-hal tersebut aku campur-aduk menjadi satu cerita.
Keluarga Kudus dan Tuduhan Saut
SOAL kualitas karyaku tentu saja itu merupakan hak penuh bagi pembaca maupun kritikus untuk menilainya, lewat esai kritik sastra maupun sekadar komentar. Itu bukanlah urusanku sebagai penulisnya. Tak etis aku terlibat dalam hal begini. Seperti halnya ketika aku mencoba menulis kritik atas karya-karya penulis lain, aku tak suka jika sang penulis berkoar-koar tak terima dengan kritikanku tanpa argumentasi memadai.
Namun jika yang dipersoalkan adalah proses kreatifku, yakni dari mana aku memperoleh bahan mentah/ gagasan cerpen dan bagaimana caraku mengolahnya, atau mana bahan yang boleh aku kembangkan menjadi cerpen atau tidak; tentunya ini perkaranya lain lagi. Apalagi yang dilontarkan oleh Saut Situmorang dalam komentarnya di status Facebook Ida Fitri (29 Juni 2022) itu bersifat tuduhan terang-terangan, yakni aku telah “menulis ulang cerita lisan” yang disampaikan oleh istriku Yonetha Rao ke dalam bentuk cerpen “Keluarga Kudus”. Dan itu—menurutnya lagi—“bisa dicap sebagai plagiarisme”! Berikut ini saya kutipkan dua komentar Saut menjawab Ida Fitri tersebut:
Ida Fitri Menulis ulang apa yang diceritakan orang lain ya minimal harus disebutkan. Apalagi penulisnya kan BUKAN orang asli setting “cerpen”nya dan gak pernah mengalami suasananya langsung
Ida Fitri Kerna sumber cerita TIDAK berbentuk Tulisan tapi oral maka gak apa-apa ya? Gak bisa dicap sebagai plagiarisme?
Aku tidak keberatan apabila Saut mengatakan bahwa cerpenku ini terinspirasi oleh cerita-cerita dan data (baca: persoalan derma dan sumbangan wajib di gereja) dari Yonetha yang disampaikannya secara lisan kepadaku, karena memang begitulah kenyataannya. Tanpa cerita-cerita kecil dan data tersebut, tentunya aku takkan memperoleh gagasan untuk menulis cerpen “Keluarga Kudus”. Meskipun di sisi lain kala itu (bahkan sebelum ia datang ke Yogyakarta dan menikah denganku) aku memang juga ingin mengadakan riset untuk menulis sebuah novel yang berlatar Timor, yang bahkan judulnya pun sudah aku temukan, yakni Noemetan. Tentunya ia, aku harapkan, bisa menjadi salah satu narasumber novelku ini.
Permasalahannya di sini adalah benarkah aku memang telah melakukan “penulisan ulang” atas cerita lisan istriku atau lebih kasarnya lagi “menyalin ulang” kisah-kisah kecil yang ia sampaikan kepadaku lewat obrolan itu? Atau, aku justru menjadikan kisah-kisah kecil lisannya itu sebagai bahan mentah dan titik tolakku untuk mengembangkan sebuah cerita baru dalam format cerpen koran? “Menulis ulang” tentu saja berbeda dengan “mengembangkan” dan “terinspirasi”! Untuk menanggapi tudingan Saut kepadaku ini, pastinya pertama-tama aku harus kemukakan dulu apa saja cerita-cerita dan data yang disampaikan kepadaku oleh istriku, juga bagaimana persisnya ia menyampaikan.
Unsur/ bahan materi dari cerpen “Keluarga Kudus” paling awal dan juga paling penting yang diceritakan secara lisan oleh Yonetha Rao kepadaku dalam pembicaraan pribadi kami di rumah adalah data berupa fakta adanya kewajiban membayar uang derma dan sumbangan di gereja asalnya yang jumlahnya ditentukan oleh kebijakan pastor paroki setempat. Di mana “derma dan sumbangan wajib” ini nantinya akan digunakan untuk membangun gereja baru menyongsong satu abad berdirinya paroki asal istriku.
Adanya “derma dan sumbangan wajib” dari umat ini bahkan sudah disampaikan oleh Romo A sejak ia pertama kali menjabat sebagai pastor paroki. Dan untuk itu ia juga menganjurkan agar umat bisa mencicil, yang artinya di sini derma dan sumbangan itu tidaklah mesti dibayar sekaligus. Yang jadi masalah dalam hal ini kemudian adalah banyak umat yang belum juga melunasi derma dan sumbangan kendati sudah bertahun-tahun (hal ini jadi lebih rumit ketika anggota keluarga mereka bertambah) dan mereka jadi panik ketika membutuhkan sesuatu dari gereja. Sebab sang romo sudah mewanti-wanti bahwa barangsiapa yang anggota keluarganya ada yang belum melunasi uang derma dan sumbangan, ia tidak akan dilayani oleh paroki, termasuk dalam hal mengurus surat liber dan sakramen pernikahan, pembaptisan anak, dan penerimaan komuni pertama anak (sambut baru, istilah di sana). Tentu ada ragam alasan dari umat terkait hal ini, dari masalah ekonomi sampai (barangkali) faktor kebiasaan.
Aku yang dibesarkan oleh keluarga Katolik dan selama belasan tahun hidup di tengah-tengah lingkungan Gereja Katolik (bahkan sempat jadi aktivis muda-mudi Gereja sebelum menjadi mualaf pada 2004) cukup terkejut saat mendengar hal ini. Karena di paroki asalku di Belinyu-Bangka (Keuskupan Pangkalpinang), kebijakan seperti ini tak pernah ada, dan aku juga belum pernah mendengarnya di wilayah keuskupan lain. Ada pun maksud Yonetha menyampaikan hal ini kepadaku tentunya juga karena kebijakan tersebut berhubungan dengan kepentingan pribadi kami sebagai pasangan maupun nasib anak-anak kami di Timor. Artinya dalam kasus ini, mau tak mau aku harus ikut merogoh kocek. Sebab selain anak-anak kami belum “sambut baru”, Yonetha juga membutuhkan surat liber dari gereja untuk membuktikan bahwa dirinya tidak sedang terikat dalam pernikahan dengan siapa pun dan belum pernah menerima sakramen pernikahan (Gereja Katolik sangat menentang perceraian).
Atas dasar kepentingan pribadi kami inilah, kemudian aku menyelidiki lebih lanjut perihal derma dan sumbangan wajib tersebut. Selain menghubungi sahabatku Romo Januario Gonzaga, Pr dan adik Frater Eki Junaedi, OCD; aku juga menelepon Felix K. Nesi. Bukan saja karena aku tahu Felix selama ini sering bicara lantang tentang beragam kebijakan Gereja, tetapi juga karena ia berasal dari wilayah yang sama dengan istriku. Aku bicara cukup panjang dengan Felix via telepon, di mana ia menjelaskan kepadaku banyak detail yang belum pernah aku dengar dari Yonetha. Sementara dari Romo Januario dan Frater Eki, aku memperoleh informasi bahwa keuskupan asal Yonetha adalah keuskupan yang berdikari. Karena itu, Gereja amat mengandalkan sumbangsih dari umat.
Seperti yang telah aku katakan dalam diskusi online pada malam Anugerah Cerpen Kompas (28 Juni 2022), aku tidak mengemukakan persoalan ini lewat opini di koran (walau awalnya kepikiran) lantaran sebagai cerpenis aku berpikir jika persoalan ini aku sampaikan lewat apa yang dipahami sebagai fiksi, kritikanku terhadap kebijakan tersebut mungkin tidak bakal terlalu menohok sasaran.
Unsur/ bahan materi dari cerpen “Keluarga Kudus” kedua yang disampaikan oleh Yonetha cuma berupa satu kisah lucu yang ia dengar dari orang lain, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan data-fakta sumbangan dan derma wajib di atas. Kisah lucu itu disampaikannya pertama kali kepadaku pada pada 26 Desember 2020 yakni pada Pesta Keluarga Kudus Nazareth. Di mana ia tiba-tiba teringat pada kisah lucu yang ia dengar tersebut karena peristiwa cerita itu memang berlangsung pada saat misa Pesta Keluarga Kudus (beberapa tahun silam). Cerita kecil yang keluar dari mulut Yonetha itu bunyinya kira-kira adalah sbb:
Pernah ada kejadian saat sedang misa Pesta Keluarga Kudus di tempat kami, ketika pasangan-pasangan keluarga kudus sedang berbaris masuk ke dalam gereja, Mama B dibisiki oleh seorang tante: “Mama Tua, itu keluarga kudus son ada yang barular ko?” (Artinya: “Mama Tua, orang-orang yang menjadi pasangan keluarga kudus itu tidak adakah yang ber-ularkah?” [maksudnya berselingkuh]). Bisikan itu membuat si Mama B tertawa cekikikan.
Aku dan Yonetha pun sama-sama tertawa saat ia selesai bercerita kala itu. Cuma itu saja ceritanya tentang keluarga kudus dari Yonetha. Tak lebih dan tak kurang!
Sedangkan unsur/ bahan materi ketiga (yang terakhir) dari Yonetha hanyalah cerita tentang seorang Oom di kampung yang selalu melunasi uang derma dan sumbangan wajib gereja namun ia suka berjudi. Ya, yang terakhir ini memang bertalian dengan data-fakta derma dan sumbangan wajib yang meresahkan kami di atas. Ceritanya tentang si Oom, ya, hanya sebatas itu!
Karena aku merasa kedua kisah kecil ini cukup lucu, maka ketika Raudal Tanjung Banua dan Saut Situmorang main ke rumah, aku pun meminta Yonetha untuk menceritakan kedua kisah itu kepada mereka. Sekali lagi, aku yang minta. Raudal yang mendengar kedua kisah ini terlebih dahulu karena memang ia yang lebih dulu main ke rumah. Orang-orang yang mendengar kedua kisah ini dari Yonetha (kemudian juga dariku) juga bukan hanya Raudal dan Saut saja, tetapi masih ada beberapa teman lain yang bukan berasal dari lingkungan sastra, termasuk via telepon dan video call.
Sementara fakta mengenai derma dan sumbangan wajib yang menjadi keresahan kami itu diceritakan baik kepada Raudal maupun Saut oleh kami berdua secara bersama-sama. Indrian Koto dan Mutia Sukma juga tahu cerita ini sedikit (semoga mereka ingat). Kami masih ingat kalau kami pernah mengeluhkan kepada mereka betapa ribetnya pernikahan Katolik di Timor, yang belum lagi ditambah dengan permasalahan adat dan gengsi masyarakat.
Kalau soal misa Pesta Keluarga Kudus yang menghadirkan pasangan-pasangan yang berperan sebagai pasangan keluarga kudus sih, itu hal yang sudah jadi tradisi dalam Gereja Katolik di banyak wilayah, termasuk wilayah Keuskupan Pangkalpinang!
Hanya itu saja bahan materi cerpen “Keluarga Kudus” yang berasal dari istriku! Kedua kisah kecil lucu dari Yonetha tersebut kemudian aku gabungkan jadi satu dan aku kembangkan sedemikian rupa dengan persoalan uang derma dan sumbangan wajib sebagai konflik dan latar belakang masalahnya. Lantas, dari sudut pembacaan mana aku bisa dituding telah menulis ulang cerita Yonetha???
Apakah Yonetha ada menceritakan peristiwa-peristiwa lain yang berlangsung dalam cerpenku itu? Apakah semua dialog/ percakapan para tokoh cerpen itu—baik dalam rapat Kelompok Lingkungan maupun apa yang dikatakan Romo Linus dalam homili (khotbah) juga berasal dari Yonetha, termasuk gosip para mama dan tante-tante? Apakah Yonetha pernah bercerita bahwa si Oom hendak menggandeng janda agar bisa ikut menjadi pasangan keluarga kudus? Sama sekali tidak!
Yang aku minta dari Yonetha saat aku mengedit cerpen itu adalah kosakata bahasa Melayu Kupang dan sedikit kosakata bahasa Dawan. Itu semua menurutku berguna untuk menguatkan warna lokal cerpen saja. Semua kosakata itu baru aku masukkan kemudian sebagai pengganti (sebagai terjemahan dari) kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia yang sudah selesai aku tulis! Silakan periksa ulang cerpen “Keluarga Kudus” itu. Dan tentukan mana saja bagian cerpen itu yang merupakan kisah lisan yang keluar dari mulut istriku dan mana yang bukan. Semua dialog dalam cerpenku itu juga aku tulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Melayu Kupang. Hanya dihiasi sedikit saja dengan kosakata bahasa Melayu Kupang dan Dawan.
Dalam kasus ini yang paling dibutuhkan tentu saja adalah KEJUJURAN. Kalau tahu diriku bakalan dituduh begini, tentu saja waktu itu akan aku rekam Yonetha yang sedang bercerita kepada Saut dengan kamera ponselku. Toh, terkadang aku suka merekam peristiwa-peristiwa kecil dalam rumah kami. Aku kira ingatan Yonetha tak perlu diragukan, ia bisa mengingat dengan baik begitu banyak hal yang pernah ia alami, terutama yang menyangkut kesalahanku dan orang-orang kepadanya.
Tanpa Saut pernah datang bertamu ke rumah kami dan disuguhi kisah-kisah kecil itu oleh Yonetha atas permintaanku pun, orang-orang yang mengenal kami berdua dan membaca cerpen “Keluarga Kudus” pasti juga akan tahu bahwa dari istrikulah aku memperoleh sumber inspirasi dan bahan mentah cerita! Begitu sebaliknya jika Yonetha menulis sebuah puisi tentang Bangka. Dan satu hal lagi, aku sudah mulai menulis cerpen “Keluarga Kudus” sebelum Saut bertamu ke rumah kami malam itu.
Kalau cuma menyalin ulang cerita Yonetha saja, aku yang bisa mengetik cepat dengan sepuluh jari (bukan dua jari) ini barangkali hanya butuh waktu setengah jam saja! Tidak harus menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut, termasuk mengeditnya berkali-kali. Jelas aku merasa baper dituduh begini. Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah kejujuran! Aku tak pernah keberatan dan juga tak perlu bersuara jika kualitas karyaku dalam bentuk apa pun dikritik sekeras-kerasnya, tetapi apa yang dilakukan Saut dalam hal ini merupakan sebuah tuduhan.
Apakah ada cerpenku yang betul-betul merupakan penulisan ulang atas “teks” lain? Ada satu. Judulnya “Pukulan Terakhir” (dalam buku Istri Muda Dewa Dapur). Tapi aku cantumkan dengan jelas dalam catatan kakinya, bahwa cerpen itu merupakan sebuah adaptasiku atas film Fearless (sutradara: Ronny Yu). Bukan karena cerita itu bukan berasal dari cerita oral, tetapi karena ia lebih mirip dengan suatu kerja alih-wahana yang aku maknai ulang dengan perspektifku sendiri.
Kenapa sebuah cerpen (juga novel) realis harus merupakan pengalaman nyata penulisnya? Jika begitu syaratnya—seperti yang telah aku katakan kepada Kompas—bagaimana kita bisa menulis karya-karya fiksi yang bersetting waktu di masa lampau misalnya? Raudal Tanjung Banua sendiri pernah ngomong bahwa cerpen-cerpennya banyak yang berasal dari cerita orang kampungnya, ibu dan neneknya yang ia ramu ulang. Hanya saja khusus dalam kumcernya Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan, asal-usul itu memang ia sebutkan secara gamblang. “Karena kebetulan, untuk cerpen-cerpen dalam buku tersebut, memang itulah konsepnya.” Dan di luar lokalitas Minang, ia juga banyak menggarap setting Jawa, Bali, atau wilayah timur. “Yang setting Minang tanpa nyebut sumber lebih banyak lagi, seperti dalam buku Parang Tak Berulu. Karena apa yang disebut sumber itu kadang serupa mozaik; serpihan cerita kecil yang menggelitik, kadang sekadar cerita lapau kopi, bahkan tak jarang hanya sepatah ungkapan,” katanya. Aku mengutip kata-kata Raudal ini bukanlah berarti hendak memanfaatkan kesaksian proses kreatifnya atau meminta ia mendukungku!
Kenapa sebuah cerpen (juga novel) realis harus merupakan pengalaman nyata penulisnya? Jika begitu syaratnya—seperti yang telah aku katakan kepada Kompas—bagaimana kita bisa menulis karya-karya fiksi yang bersetting waktu di masa lampau misalnya? Raudal Tanjung Banua sendiri pernah ngomong bahwa cerpen-cerpennya banyak yang berasal dari cerita orang kampungnya, ibu dan neneknya yang ia ramu ulang.
Salah satu penulis yang aku sukai (termasuk karena kecinaannya), Maxine Hong Kingston juga menggunakan cerita-cerita dari ibu dan ayahnya sendiri sebagai bahan utama ketika ia menulis kumpulan kisah China Men dan novel The Woman Warrior: Tentang kakek-kakeknya yang bermigrasi ke Amerika Serikat sebagai pekerja rel kereta api, tentang masa lalu ayahnya di Kanton, tentang bagaimana ayahnya sampai di San Fransisco dan membuka usaha laundry, tentang pengalaman ibunya saat bersekolah perawat di Hongkong, bahkan tentang hantu-hantu (arwah penasaran). Di genre lain, bahkan seorang Asmaraman Kho Ping Hoo belum menginjakkan kakinya di Cina, kendati ia sudah menulis begitu banyak novel cerita silat dengan latar belakang Cina Daratan dan mampu menggambarkan kondisi Cina (di era dinasti-dinasti) dengan demikian rinci.
Apakah semua narasumber memang harus disebutkan dalam catatan kaki sebuah cerpen, termasuk orang-orang di warung kopi dan di pasar yang cerita maupun celetukannya menjadi sumber gagasan kita? Aku jadi ingat pada dua kesaksian almarhum Hamsad Rangkuti dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, yakni proses kreatifnya untuk cerpen berjudul “Perbuatan Sadis”, “Pispot”, dan “Dia Mulai Memanjat”.
Menurut Hamsad, cerpen “Dia Mulai Memanjat” terinspirasi oleh kata-kata pelukis Oesman Efendi kepada seorang pelukis muda di Balai Budaya: “Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu. Kau akan terkenal!”. Ucapan itu mengusik kreativitas seorang Hamsad dan jadilah cerpen “Dia Mulai Memanjat” yang mengisahkan seorang lelaki hendak memenggal kepala patung di Bundaran Senayan. Sedangkan gagasan cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Pispot” lahir ketika ia pulang dari percetakan CV Kosen untuk mengurus pencetakan majalah Horison dengan oplet. Dan di tengah jalan, oplet yang ia tumpangi itu terhambat oleh kerumunan orang banyak. Saat itulah seorang perempuan naik ke oplet tersebut dan bercerita bahwa baru saja terjadi penjambretan terhadap seorang perempuan pemilik kalung emas 25 gram. Seorang penumpang perempuan lain kemudian ikut nyeletuk bahwa ia juga pernah melihat penjambretan di Bandung. Saat para penjambret mengetahui kalau kalung yang dijambretnya itu ternyata imitasi, mereka lantas memaksa korbannya untuk menelan kalung palsu itu, ceritanya. Di bawah ini aku kutipkan salah satu bagian dari cerpen “Perbuatan Sadis”:
Lelaki itu menarik dengan kasar rambut si wanita. Ujung belatinya kulihat telah menyentuh kulit leher si wanita. Darah lenyap dari air mukanya. Dia pucat bagaikan kapas.
“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo telan!”
Sementara itu menurut A.A. Navis dalam buku yang sama, ilham “Robohnya Surau Kami” berasal dari gurunya, Engku Mohammad Syafei, pendiri INS Kayu Tanam, pencipta lagu “Indonesia Subur” dan Menteri Pengajaran era Soekarno. Navis mengaku jika ia menguping pembicaraan sang guru dan rekannya tentang orang Indonesia yang masuk neraka (karena malasnya) di tengah alam yang kaya raya. Oke, katakanlah Navis adalah orang Minang dan ia menulis tentang lokalitasnya sendiri. Tetapi ingat, ada seorang Jorge Luis Borges yang menulis cukup banyak fiksi dengan beragam latar tempat dan waktu hanya semata-mata berdasarkan referensi dari sumber-sumber pustaka. Contohnya dalam A Universal History of Infamy, ia mengaduk-aduk berbagai fragmen kehidupan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai penjuru dunia—yang sebelumnya telah diriwayatkan oleh penulis lain (tentu ini bisa disebut sebagai “penulisan ulang”!)—sebagai kisah-kisah parodi.
Ini bukan soal sumber ide / bahan dasar cerita berasal dari orang asing atau istri sendiri. Aku tidak masalah jika disuruh menuliskan nama Yonetha sebagai pemberi inspirasi cerpen, tetapi bukan sebagai pencerita lisan yang ceritanya aku tulis ulang. Ini dua hal yang berbeda. Pada bagian akhir cerpen “Keluarga Kudus”, aku merasa cukup telah mencantumkan “Untuk Yonetha Rao” saja, karena memang cerpen itu pertama-tama aku persembahkan untuk dirinya yang telah memberiku gagasan menulis. Buka saja cerpen-cerpenku yang dapat ditemukan di internet, pembaca tentunya dapat menemukan betapa cerpen-cerpen itu dipenuhi oleh catatan kaki yang aku gunakan untuk mencantumkan sumber kutipan (di antaranya ada yang berupa kutipan lisan!) atau suatu istilah tak umum maupun kosakata lokal. Karena di situ aku memang menganggap catatan kaki tersebut penting bagi pembaca.
Sekali lagi, atas dasar apa Saut Situmorang menilai bahwa cerpen “Keluarga Kudus” merupakan sebuah penulisan ulangku atas cerita-cerita lisan istriku?
Sebagai penutup, kepada publik yang membaca penyangkalan terang-terangku ini, aku kutipkan di bawah ini kata-kata Gabriel Garcia Marquez dalam memoarnya Living to Tell the Tale:
“Sisa-sisa ketakutan warisan masa kanak-kanakku itu masih aku rasakan ketika aku dan ibuku duduk di dekat tempat tidurnya, mendengarkan secara terperinci tragedi yang memorak-porandakan kota. Ia memiliki kemampuan bercerita yang luar biasa sehingga setiap peristiwa yang diceritakan seolah-olah berlangsung di ruangan sesak itu. Awal dari seluruh kemalangan itu, tentu saja, adalah peristiwa pembantaian para buruh yang dilakukan oleh kekuasaan militer, yang kebenaran sejarahnya masih perlu diselidiki: tiga orang yang mati, atau tiga ribu? Barangkali memang tak sebanyak itu jumlahnya, katanya, namun orang-orang kemudian membesar-besarkan lantaran duka yang mereka alami. Kini perusahaan telah hengkang selamanya.”
Cerita lisan dari Dr. Alfredo Barboza tetangganya pada masa kecilnya itulah yang melahirkan peristiwa fiktif pembantaian buruh perkebunan pisang di kota Maconda dalam novel Marquez, Seratus Tahun Kesunyian. Tak ada Marquez cantumkan nama si tetangga di novel itu. Pengakuan bahwa Dr. Alfredo-lah sumber gagasan ceritanya tentang pembantaian buruh pisang itu baru ia tuliskan jauh di kemudian hari dalam memoarnya yang tersebut di atas.
Aku masih mau menulis lebih panjang lagi, ada banyak hal yang masih hendak aku omongkan, termasuk soal agama. Tapi sekarang aku ngantuk! Barangkali akan aku sambung lagi nanti. Aku tidak cari ribut, namun aku juga tidak bisa hanya diam saja ketika mendapatkan tudingan. Aku tahu bahwa antara kawan memang perlu saling mengkritik, tetapi aku sudah tidak tahu lagi apakah aku masih dianggap sebagai kawan oleh Saut lewat tudingannya tersebut dan ditambah lagi dengan status-status Facebook-nya pada hari ini (3 Juli 2022) yang tertuju kepadaku meskipun tak menyebutkan nama.
Kurang lebih seratus tahun setelah Tan Tik Sioe (Mandarin: Cheng De Xiu),[1] seorang pertapa di lereng gunung Wilis menulis Ciam Si[2] dalam bahasa Melayu-Tionghoa (atau Melayu-Pasar)[3], akhirnya kita menemukan lagi “puisi ramalan” yang berasal dari khazanah sastra China ini ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penyair Bali, Tan Lioe Ie (Mandarin: Cheng Liu Yi). Ciam Si-Ciam Si karya Tan ini—persisnya berjumlah 46 puisi—terhimpun dalam buku terbarunya, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan (Denpasar: Buku Arti, 2015).
Membaca Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, pertama-tama yang saya temukan adalah seluruh puisi Tan—sebagaimana Ciam Si yang disakralkan di kelenteng—juga tidak diberi judul, tetapi hanya menggunakan nomor dari 1-46 sebagai pengganti judul. Hal ini seyogianya memang sudah menjadi kekhasan Ciam Si yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa penganut Tridharma.[4] Dalam prakteknya di berbagai kelenteng, nomor-nomor ini juga tertera pada bilah-bilah bambu kecil dalam tabung (untuk dikocok).
Apakah dengan begitu Tan dapat dikatakan secara taat mengikuti konvensi Ciam Si dalam khazanah tradisi aslinya? Saya kira tidak juga. Sebab apa yang dilakukan oleh Tan melalui puisi-puisinya ini, menurut saya, merupakan sebentuk pengadopsian dan penyesuaian dengan ikhtiar perluasan yang sekaligus menjadi penyangkalan terhadap pakem Ciam Si tradisional.
Tentu, untuk bisa melakukan pengkajian lebih lanjut atas hal ini, terlebih dahulu kita mesti mengetahui apa itu Ciam Si, seperti apa bentuknya, bagaimana sejarahnya, lalu bagaimana puisi jenis ini dipraktekkan di kelenteng-kelenteng sebagai bagian dari ritus tradisi yang terkait dengan ihwal keagamaan China.
***
KATA “Ciam Si” (Qian Shi) terdiri dari dua huruf yakni Ciam (籤) yang berarti tanda atau petunjuk, dan Si (詩) yang berarti puisi.[5] Dengan begitu, Ciam Si dapat diartikan sebagai “Puisi Petunjuk” atau puisi yang isinya dijadikan sebagai “petunjuk” bagi ragam persoalan umat yang datang ke kelenteng untuk memohon “kemurahan hati” para dewata.
Petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam Ciam Si ini—yang bisa berupa solusi, nasehat, maupun sekadar ramalan akan kejadian mendatang yang bersifat prediktif—nantinya diharapkan bakal memberi arahan kepada para pemohon atas perkara yang sedang mereka hadapi. Sehingga petunjuk-petunjuk itu pun boleh jadi akan menjadi semacam “jalan alternatif” atau “jawaban kontemplatif-intropektif”, yang dalam situasi tertentu bisa pula diibaratkan sebagai semacam usaha “sedia payung sebelum hujan”.
Tetapi untuk memahami makna yang terkandung dalam teks Ciam Si ini tentunya membutuhkan interpretasi yang tak mudah. Kendati dalam kasus (baca: konteks) di Indonesia, kertas-kertas teks Ciam Si yang tersedia di berbagai kelenteng biasanya menyertakan juga terjemahan puisi-puisi tersebut dalam bahasa Indonesia berikut penafsirannya. Atau, terkadang sejumlah kelenteng hanya menyediakan penafsirannya saja di bawah puisi asli beraksara Hanzi tanpa menyertakan terjemahan.[6]
Hanya saja, menurut pembacaan saya, kerapkali kualitas penerjemahan maupun penafsiran itu agak kasar. Belum lagi sebagian kelenteng masih menggunakan kertas Ciam Si yang terjemahan puisinya ditulis dalam ejaan lama, baik Ejaaan Van Ophuijsen (1901-1947) maupun Ejaan Soewandi (1947-1972). Simaklah terjemahan Ciam Si beserta penafsirannya di bawah ini:
Urusan satu tahun mau bergerak begitu cepat
Baik kau sabar supaya menjadi tepat
Sebab Kwi Jin berada masih 1000 paal punya tempat
Segala warta dan berita perlahan2 bisa juga didapat
ARTINYA INI CIAM SI
Ini waktu keadaannya ada baik mau harap dapat uang enteng. Bersero dagang sedang saja. Mau gerakkan itu pekerjaan kalau keluarnya ini Ciam Si waktu ada waktu rembulan maksudnya kejadian. Barang yang hilang, lekat dapat dicari. Seperti menanya keadaannya itu orang boleh dipakai. Perkara yang menimpa kalau keluarnya ini Ciam Si waktu ada rembulan alamat selesai tidak apa2. Orang yang sakit meski lama tidak apa2. Hal perjodohan tidak bisa jadi. Maksud bepergian biar perlahan. Orang yang berjalan bakal pulang. Perniagaannya menunggu sebulan baru ada itu jalan. Yang hamil selamat saja.[7]
Terjemahan Ciam Si di atas sebenarnya tak bisa dikatakan buruk, namun masalahnya justru terletak pada teks penafsirannya yang nampaknya merupakan penyalinan ulang dari terjemahan kasar berejaan lama secara asal-asalan.
Lazimnya untuk memperoleh sebuah Ciam Si di kelenteng, seorang pemohon terlebih dahulu harus menjalankan ritual yang relatif sederhana didahului dengan membakar dupa di hadapan altar dewa sembari mengucapkan niat dalam hati. Rangkaian proses ritualistik untuk memohon petunjuk dewa melalui Ciam Si ini disebut Kiu Ciam (Qiu Qian [求籤]) yang artinya “Memohon Ciam (Petunjuk)”.
Ada dua cara melakukan Kiu Ciam. Pertama, dengan Chouqian (抽籤) dan yang kedua adalah Yaoqian (搖籤). Perbedaannya adalah jika Chouqian dilakukan dengan cara menarik bilah bambu berisi angka Ciam Si dari dalam tabung, Yaoqian dilakukan dengan mengocok tabung bambu. Dimana nantinya bilah-bilah bambu yang tertarik atau terlempar keluar akan dicocokkan nomornya dengan nomor-nomor puisi yang tersedia.[8]
Sebagai bagian dari tradisi sastra China, puisi Ciam Si tentu saja memiliki sejarah panjang. Menurut Ardian Cangianto misalnya, cikal-bakal Ciam Si sebagai tradisi ramalan sudah ada sejak Dinasti Zhou (1046-256 SM), dimana pada mulanya ia berasal dari metode Yizhan yang menggunakan batang rumput sebagai media.
Sebagai bagian dari tradisi sastra China, puisi Ciam Si tentu saja memiliki sejarah panjang. Menurut Ardian Cangianto misalnya, cikal-bakal Ciam Si sebagai tradisi ramalan sudah ada sejak Dinasti Zhou (1046-256 SM), dimana pada mulanya ia berasal dari metode Yizhan yang menggunakan batang rumput sebagai media.
Metode ini lantas berkembang seiring waktu karena adanya kebutuhan akan ramalan atas nasib kerajaan, misalnya seni ramalan Qinchen (秦讖) yang terkemuka pada era Dinasti Qin Mugong (659-621 SM). Kemudian sejak awal Dinasti Han berkembang pula ramalan berdasarkan kitab-kitab klasik yang dikenal sebagai Chenwei (讖緯), yang mana selain memakai puisi, ramalan jenis ini juga memakai gambar diagram. Dan salah satu di antaranya yang paling terkemuka adalah Tuibei Tu (推背圖) atau “Gambar Menggosok Punggung” yang ditulis oleh Yuan Tiangang dan Li Chunfeng (602-670) pada Dinasti Tang.[9] Ramalan-ramalan berbentuk puisi banyak dihasilkan pada masa-masa ini dan setelahnya, terutama pada periode Dinasti Ming oleh peramal mashyur China yang keakuratan ramalannya dianggap setara dengan Nostradamus dan Malachi, yakni Liu Bowen (劉伯溫) (1311-1375) [10] dengan karya terkenalnya, “Shaobing Ge” (燒餅歌) atau “Nyanyian Memanggang Kue”.[11]
Selanjutnya pada masa Dinasti Han, beredar pula kitab “Lingqi Jing” (靈棋經) atau “Metode Catur Ruh” karya Dongfang Shuo yang dianggap sebagai salah satu peletak dasar metode Ciam Si seperti yang digunakan di kelenteng saat ini.[12]
Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa tradisi Ciam Si sesungguhnya berasal dari metode ramalan I Ching. Karena itu, teknik ramalan Ciam Si dilihat pula sebagai penyederhanaan dari teknik ramalan I Ching, yakni salah satu metode ramalan kuno yang bersumber kepada ajaran Taoisme.
Sebagaimana diungkapkan Zainab Nur Hidayah dalam kajian skripsinya “Ciam Si di Klenteng Dewa Kwan Im Gunung Kawi Kabupaten Malang Jawa Timur”: Metode I Ching ini menggunakan enam koin yang masing-masing dilemparkan untuk selanjutnya disusun berurutan secara vertikal sehingga membentuk hexagram. Karena rumitnya teknik meramal I Ching ini, para ahli ramal di Cina pun kemudian menyederhanakannya dengan pemakaian puisi-puisi yang berasal dari kisah-kisah klasik.[13]
Siapakah yang menerjemahkan Ciam Si di berbagai kelenteng dari bahasa China ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia? Ini boleh dibilang tak pernah diketahui seperti halnya para penulis puisi-puisinya. Bahkan sebagian penganut Tridharma percaya bahwa teks-teks Ciam Si tersebut ditulis oleh para dewa sendiri, atau “diilhami” oleh dewa lewat para perantaranya, misalnya melalui ritual Tatung.[14]
Karena itu, penulisan Ciam Si oleh Tan Lioe Ie seperti yang terhimpun dalam buku puisi keduanya ini bagi saya selain merupakan satu gagasan estetik kepenyairan yang kreatif, juga dapat dibaca sebagai sebuah upaya lain untuk memperkaya khazanah perpuisian berbahasa Indonesia.
***
TENTU, sastra modern (berbahasa) Indonesia—seperti halnya sastra modern di belahan dunia manapun—sejak mula dan pada akhirnya adalah ikhtiar pencarian ke wilayah lain yang melampaui sekat-sekat geografis, negara, dan bahasa. Karenanya, karya sastra Indonesia modern tak bisa tidak merupakan upaya-upaya pembacaan ulang dan penyerapan atas bentuk-bentuk tradisi kesusastraan dari berbagai penjuru dunia, dalam hal ini terutama sebagai terusan dari tradisi sastra Barat.
TENTU, sastra modern (berbahasa) Indonesia—seperti halnya sastra modern di belahan dunia manapun—sejak mula dan pada akhirnya adalah ikhtiar pencarian ke wilayah lain yang melampaui sekat-sekat geografis, negara, dan bahasa.
Dengan demikian, sastra Indonesia boleh dikatakan sebagai perkawinan antara bentuk asing dan tema lokal, sembari sesekali para sastrawan kita dalam pengumulan estetiknya mencoba pula menoleh ke arah bentuk (yang diyakini) lokal, kepada apa yang disebut para antropolog sebagai “sastra lisan”.
Artinya dalam hal ini, sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang hanya tumbuh bercecabang dari “akar tradisi” sendiri atau hasil menimba dari “sumur asli”; tetapi sejak awal merupakan kerja pengadopsian dan pengadaptasian atas ragam bentuk tradisi sastra dari khazanah kebudayaan lain, yang mana kemudian ia sekaligus menjadi semacam “pengkhianatan” terhadap konvensi tradisi-tradisi tersebut.
Bahkan apabila kita berpaling kembali sejenak kepada tradisi Pujangga Lama dalam sejarah sastra Melayu pra-Indonesia, dengan mudah kita pun bisa menemukan bagaimana usaha penyerapan atas tradisi lain itu telah dilakukan oleh para pujangga dalam wujud Syair (Arab), Gurindam (Tamil), Seloka (Sansekerta) maupun bentuk “puisi lama” lainnya seperti Mantra (Hindi), Karmina, dan Talibun yang keotentikan kemelayuannya tak lepas dari diskusi-interogasi dengan banyak khazanah luar—bahkan termasuk di sini Pantun (dari bahasa Minang: Panuntun) yang sudah dianggap sebagai bagian dari khazanah asli Nusantara.[15]
Ya, setiap dari kita yang membaca sejarah sastra Indonesia tentunya bakal menemukan bagaimana seorang Roestam Effendi dan rekan-rekannya ingin melepaskan diri dari kungkungan bentuk tradisional Syair dan Pantun—yakni sebuah kegelisahan akan revolusi “bentuk” dan “jiwa baru” puisi Indonesia (yang nasional sifatnya) untuk memisahkannya dari wawasan puisi (lama) Melayu sebagai pancaran masyarakat pra-Indonesia. Karena itu, meskipun karya-karya Pujangga Lama masih nampak kentara dengan wujud pantun dan syair, Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya “Sajak dan Isinya” sebagai contoh, menunjukkan sikap penolakan terhadap kata-kata klise dan metafora tradisional dalam sajak-sajak generasinya. Seperti dikatakan Dami N. Toda:
[…] wacana estetika perpuisian “kebangkitan puisi Indonesia”, adalah dasar moral perjuangan menuju “identitas” kebudayaan nasional persatuan Indonesia, yang realisasinya dalam puisi berupa pembebasan diri dari bentuk dan isi lama dengan pernyataan “perasaan yang berduyun-duyun keluar sendirinya tiada tertahan, seperti air memancar dari tanah, dan bentuk dan iramanya dari jiwa”.[16]
Namun begitu—meminjam H.B. Jassin—pemaknaan bahasa yang kuat untuk tujuan puitik dalam Angkatan Pujangga Baru sesungguhnya (hanya) berpuncak pada puisi-puisi Amir Hamzah.[17] Dan seturut itu, jauh sebelumnya Chairil Anwar pun berujar dalam esainya yang berjudul “Hoppla!”:
Puncaknya dalam gerakan Pujangga Baru selama 9 tahun adalah Amir Hamzah dengan prosa-prosa lyris, sajak-sajak lepas, 2 ikatan sajak: “Buah Rindu”, “Nyanyian Sunyi”, salinan dari beberapa sastrawan-sastrawan Timur yang ternama, disatukan dalam “Setanggi Timur”. Kata kawan-kawan seangkatannya Amir Hamzah dapat pengaruh dari pujangga-pujangga sufi dan Parsi. Tetapi yang perlu diperhatikan bagi saya ialah, bahwa Amir dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya menerakan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang pedat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru![18]
Chairil benar. Dalam puisi-puisi Amir Hamzah, kita bukan saja menemukan gaya ungkap yang lebih luwes dan bertenaga ketimbang puisi-puisi terdahulu maupun puisi teman-teman seangkatannya, tetapi juga keleluasaannya dalam memungut diksi-diksi baru, misalnya dari bahasa Jawa.
Namun begitu, barulah pada puisi bebas Chairil sendirilah kita kemudian bersua dengan usaha penjelajahan estetik dan penggalian kreatif yang meluas ke seluruh dunia itu. Melalui kerja penerjemahan dan sadurannya, Chairil berkenalan dengan puisi-puisi dari berbagai khazanah, terutama dari puisi-puisi penyair Barat (misalnya Jan Jacob Saluerhoff, Hendrik Marsman, atau Federico Carcia Lorca) dan menimba “ilham” darinya, lalu menulis sajak-sajak bebas yang tidak hanya berkontribusi terhadap masa depan sastra dan bahasa Indonesia tetapi juga sekaligus menjadi ciri khas situasinya: Semangat nasionalisme Indonesia.
Kendati demikian, Chairil juga tak bisa kita katakan membuang segala corak puisi lama begitu saja. Seperti yang dilihat Nirwan Dewanto, “Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun:
[…] bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tetapi bergumam lembut, mengarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kwatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”.[19]
Tentu saja pengolahan kembali Pantun ini kemudian juga kita temukan pada puisi banyak penyair Indonesia lain, mulai dari Sitor Situmorang (dengan contoh penerapan Pantun Berkait dalam puisinya “Lagu Gadis Itali”) sampai Raudal Tanjung Banua yang melakukan reinterpretasi terhadap bentuk sekaligus tema-tema Pantun tradisional.
Sehingga jelas dalam hal ini, sekali lagi, puisi modern Indonesia bukanlah pengukuhan ke dalam, melainkan usaha-usaha pencarian yang tak kunjung usai ke berbagai wilayah lain; berjumpa dan berdialog aktif dengan ragam khazanah asing dan berupaya menundukkannya dengan bahasa Indonesia sebagai medium. Lalu bersamaan dengan itu para penyair kita dalam ikhtiar pencarian estetiknya juga tak canggung melirik kembali ragam gaya ucap perpuisian lama yang membuat sejarah sastra Indonesia menjadi sejarah pengingkaran sekaligus nostalgia.
Dan dengan begitu, sastra Indonesia pun bisa dibilang sebagai “sastra dunia yang ditulis dalam bahasa Indonesia”, tak ubahnya seperti kemeriahan karnaval yang berwarna-warni: Penulisan ulang Soneta dan Balada, penggunaan bentuk Kwatrin, gairah terhadap Haiku Jepang, penyegaran kembali Pantun, kemudian ada Talk-poetry, Puisi Konkrit, puisi-puisi kolase-instalasi surealis ala Afrizalian, hingga upaya Tan Lioe Ie menghidupkan Ciam Si dalam sastra (berbahasa) Indonesia.
***
YA, lewat buku kumpulan puisi keduanya setelah Malam Cahaya Lampion (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005) ini, Tan Lioe Ie boleh dikatakan dengan penuh kesadaran telah mencoba menggali kembali bentuk sastra China klasik dalam medan kepenyairannya di jagat sastra modern berbahasa Indonesia. Hanya saja sebagai keturunan Tionghoa, sayangnya Tan tidak menguasai bahasa dan aksara China, sehingga dalam riset-risetnya ia terpaksa mengandalkan Ciam Si hasil terjemahan yang terdapat di kelenteng atau menggunakan narasumber translator.[20]
Hanya saja sebagai keturunan Tionghoa, sayangnya Tan tidak menguasai bahasa dan aksara China, sehingga dalam riset-risetnya ia terpaksa mengandalkan Ciam Si hasil terjemahan yang terdapat di kelenteng atau menggunakan narasumber translator.
Namun begitu, apakah keterbatasan dalam penguasaan bahasa ini lantas menjadi kendala dan kelemahan Tan dalam menulis Ciam Si? Bisa jadi ya, tetapi bisa juga hal ini malah memberikannya keuntungan tersendiri, dimana dalam konteks tertentu ia justru memiliki keleluasaan dan keluwesan dalam menyerap sekaligus melakukan pengingkaran terhadap konvensi Ciam Si asli berbahasa China. Akibatnya, dalam proses kreatifnya selaku penyair ia pun melahirkan corak baru untuk genre puisi ramalan ini yang bakal menjadi ciri khasnya sendiri.
Lalu, seperti apa persamaan dan perbedaan antara Ciam Si yang ditulis oleh Tan Lioe Ie dengan Ciam Si di kelenteng?
Dari sisi kesamaan, saya kira baik Ciam Si karya Tan maupun Ciam Si di kelenteng sama-sama ditulis sebagai “puisi petunjuk”; yang secara esensial berfungsi untuk meramal atau memberi petunjuk bagi pembacanya. Karena itu, seperti dikatakan Tan sendiri sebagai penutup kata pengantarnya: “Bagi yang hendak “bermain” dengan Ciam Si dalam buku ini, bisa melakukannya dengan membuat nomor undi dari 1 sampai 46. Jawaban dari pertanyaan yang diajukan “pemain” adalah Ciam Si sesuai dengan nomor yang didapat. Boleh juga menggunakan cara lain jika punya.”[21]
Bahkan lebih jauh, setelah terbitnya buku kumpulan Ciam Si ini Tan Lioe Ie juga menerbitkan puisi-puisinya itu dalam bentuk kartu ramalan berjumlah 46 lembar seukuran kartu Tarot yang disebutnya sebagai “Kartu Ciam Si”.[22] Dan untuk memainkannya (seperti petunjuk yang tertera di perangkat kartu), “Seorang pemain harus mengajukan pertanyaan dalam hati, baik tentang kesehatan, bisnis, jodoh, dan lain-lain lalu mengocok kartu-kartu itu dan memilih salah satu kartu. Puisi yang tertera pada kartu itulah yang kemudian menjadi jawaban untuk ditafsirkan.”
Dengan demikian, apabila istilah “sastra terapan” (applied literature) [23] memang dapat digunakan di sini, barangkali puisi-puisi yang ditulis oleh Tan Lioe Ie ini—seperti juga Ciam Si yang digunakan di kelenteng—bisa kita kategorikan sebagai semacam “puisi terapan”. Dimana kata “terapan” yang saya maksudkan di sini adalah bagaimana sebagai karya sastra, Ciam Si memikul fungsi secara praksis sebagai medium untuk meramal. Satu hal yang mungkin dapat kita bandingkan dengan fungsi Mantra dalam budaya masyarakat tradisional di Nusantara (juga di sejumlah wilayah Asia lainnya). Hanya saja, jika Ciam Si di kelenteng—sebagaimana kedudukan Mantra dalam masyarakat tradisional Nusantara—merupakan teks yang disakralkan, tidak demikian halnya dengan Ciam Si karya Tan Lioe Ie,[24] yang seperti kata Tan sendiri: […] “bisa/boleh “dimainkan” oleh siapa pun yang berminat, tak peduli apa pun agama/keyakinannya [dan] tentu juga diperkenankan mendekatinya sebagai “penikmat” puisi semata.[25]
Seperti apa perbedaan antara Ciam Si karya Tan dengan Ciam Si-Ciam Si di kelenteng?
Secara umum, saya kira Ciam Si yang ditulis oleh Tan ini apabila kita bandingkan dengan terjemahan Ciam Si dalam bahasa Indonesia di berbagai kelenteng tidaklah terdapat banyak perbedaan. Hanya saja Tan mencoba menerapkan sejumlah permainan kreatif baru terhadap pakem Ciam Si, misalnya Ciam Si No. 1 dan No. 46 yang hanya terdiri dari satu baris, yang mana mengingatkan kita kepada puisi Sitor Situmorang, “Malam Lebaran”.
Berbagi cahaya
(Tan Lioe Ie, 1, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)
Tertawa
(Tan Lioe Ie, 46, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)
Namun selebihnya Ciam Si karya Tan Lioe Ie tetaplah mempertahankan konvensi 4 baris dengan bentuk yang lebih bebas. Puisi-puisi Tan ini umumnya juga tak terikat dengan permainan rima seperti halnya Ciam Si dalam bahasa China, dengan pengecualian Ciam Si No. 29 dan No. 31 yang berakhir a-a-a-a, serta No. 33 yang berima a-b-a-b. Sementara itu, sebagian terjemahan Ciam Si yang beredar di kelenteng nampaknya berusaha mengadopsi permainan rima ala Pantun Melayu sebagai bagian dari kreativitas kerja penerjemahannya. Simaklah kutipan-kutipan yang saya sertakan di bawah ini sebagai contoh:
Kuda api menderap ke timur
Melintasi padang rumput subur
Pangeran angin menghalau awan dan kabut
Matahari kekasih bulan leluasa berbagi senyum
(Tan Lioe Ie, 24, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)
Angin dan gelombangnya sungai Tiang Kang berangsur teduh
Ada waktu pelayaran maju dan selamat bakal meneduh.
Kui Jin itu orang mulia akan datang kudu
Suatu perkara bakal terlepas dari pengadu.
(Ciam Si No. 12, Kelenteng Tien Kok Sie, Pasar Gede, Solo)
Bandingkan pula dengan Ciam Si karya Tan Tik Sioe yang asli ditulis dalam bahasa Melayu dengan ejaan lama berikut ini:
Ladjoe poen ladjoe perahoe ladjoe
Ladjoenja tjepet mengedjar gloembang
Toedjoe manoedjoe ka depan madjoe
Madjoenja tjepet sebagi koembang.
(Tan Tik Sioe, Biografi Rama Moorti Tan Tik Sioe Sien)
Adapun contoh Ciam Si dalam bahasa China (Mandarin) yang seyogianya juga tidak terikat pada rima adalah sebagai berikut:
Lalu, di manakah letak “pemberontakan” Tan Lioe Ie terhadap konvensi Ciam Si?
Meskipun pada sebagian puisinya dalam buku ini Tan bisa dikatakan mencoba menaati kaidah Ciam Si sesuai dengan tradisi aslinya, misalnya dalam hal jumlah kata per baris yang mesti sama seluruhnya, tetapi ia mencoba mengingkari ketentuan “kata yang umumnya berjumlah ganjil” (3, 5, atau 7). Hal ini bisa kita temukan pada Ciam Si karyanya dari No.2 sampai No.23 yang merupakan puisi 4 baris dengan jumlah kata per baris sama tetapi sebagian berjumlah genap (4 atau 6). Selain itu juga terdapat Ciam Si Tan Lioe Ie yang jumlah kata per barisnya tak seluruhnya sama (dari No.24 sampai 45). Tentu saja, Ciam Si satu baris pada No. 1 dan No.46 di sini dapat juga kita katakan sebagai pembangkangan ekstrim Tan Lioe Ie terhadap konvensi Ciam Si.
Sehingga dengan begitu, kendati secara umum masih menuruti konvensi 4 baris, Ciam Si–Ciam Si Tan Lioe Ie dalam hal ini barangkali dapat kita kategorikan sebagai puisi bebas. Dimana dalam kenakalan kreatifnya, ia juga mempertimbangkan “hukum sebab akibat” antara dua bait pertama dan dua bait terakhir yang bukan pola sampiran-isi:
Di bumi dewi air menari riang
Kumbang bunga mendengung merdu
Di langit dewa emas tersenyum
Awan gelap berlalu sudah
(Tan Lioe Ie, 32, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)
Sementara itu Ciam Si yang terdapat di kelenteng—seturut pengamatan saya—lazimnya memiliki pola sampiran-isi sebagaimana Pantun, satu hal yang juga mengingatkan saya kepada puisi tradisional terkemuka lainnya dalam khazanah sastra China, yakni Sankodari kebudayaan suku Hakka.[27] Di bawah ini adalah contoh Sanko berbahasa Hakka dari Pulau Bangka yang ditulis dalam Hanzi:
Demikianlah kiranya catatan saya atas puisi-puisi Tan Lioe Ie yang terhimpun dalam kumpulan puisi Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan.[]
[1] Tan Tik Sioe dilahirkan di daerah Caniikan, Surabaya pada tanggal Cap Ji Gwee Cap Si (bulan Duabelas hari ke-14) tahun 2434 Kongzi. Atau menurut perhitungan tahun Masehi tanggal 11 Januari 1884. Tan Tik Sioe menguasai bahasa Melayu, Jawa dengan aksara Jawa, China, dan Inggris, semuanya itu adalah hasil ketekunannya belajar sendiri (otodidak), karena ia hanya sempat menempuh pendidikan dasar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Lebih jauh mengenai sosok Tan Tik Sioe, dapat dibaca dalam John Surjadi Hartanto, Biografi Rama Moorti Tan Tik Sioe Sian: Pertapa di Lereng Gunung Wilis (1978).
[2] Tulisan dan ejaan “Ciam Si” seperti ini (sebagaimana yang digunakan oleh Tan Lioe Ie dalam bukunya Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan merupakan dialek Hokkien (Fujian) yang ditulis berdasarkan lafal alfabet bahasa Indonesia sesuai EYD.
[3] Bahasa Melayu Tionghoa atau disebut juga sebagai Bahasa Melayu Rendah dan Bahasa Melayu Pasar merupakan bahasa Melayu Pergaulan yang dipergunakan oleh sebagian etnis Tionghoa pada jaman kolonial Belanda (hingga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia), termasuk dalam urusan baca-tulis. Penamaan “Bahasa Melayu Rendah” yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ini tentu saja amat politis, yang mana hal itu dipergunakan untuk membedakan bahasa Melayu sehari-hari tersebut dengan bahasa Melayu yang mereka jadikan sebagai bahasa administratif Pemerintahan Kolonial yakni yang disebut sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi inilah bahasa yang dipakai oleh para pengarang Angkatan Balai Pustaka. Gugatan atas istilah “Bahasa Melayu Rendah” antara lain pernah dilakukan oleh Prof. Liang Liji (Guru Besar Ilmu Sastra Timur di Universitas Peking, RRC) dalam pengantarnya untuk buku antologi Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3 (KPG, 2001), hlm. xv-xxvi.
[4] Tridharma atau Sam Kau (Mandarin: 三教, Sanjiao) berarti Tiga Agama atau Tiga Ajaran. Istilah ini merujuk kepada tiga ajaran yang menjadi dasar praktek kepercayaan ini, yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Sebagai agama tradisional masyarakat Tionghoa (Senisme), Tridhama merupakan hasil sinkretisme tiga filsafat (Tao, Konfusianisme, dan Buddhisme) yang memengaruhi kebudayaan China dan sejarah panjang bangsa China sejak 2500 tahun lalu. Istilah “Tridharma” sendiri diciptakan oleh masyarakat Tionghoa Indonesia pada masa Orde Baru setelah praktek adat istiadat China (termasuk ekspresi keagamaan) dilarang oleh Pemerintah Soeharto. Agar kepercayaan tradisi China ini bisa tetap eksis, mereka pun menggolongkan diri sebagai bagian dari agama Buddha. Mengenai Tridhama, antara lain bisa dibaca di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tridharma, diakses 04/08/2020.
[6] Saya sempat menemukan kertas-kertas Ciam Si di sejumlah kelenteng yang hanya berisi terjemahan kasar puisi tanpa menyertakan teks aslinya dalam Hanzi, antara lain di kelenteng Kwan Ti Miaw, Pangkalpinang, Pulau Bangka.
[12] Metode peramalan ini jauh lebih sederhana ketimbang metode Yizhan. Caranya adalah dengan menulis huruf 上 (atas), 中 (tengah), 下 (bawah) masing-masing empat buah pada kayu cendana atau kayu zao yang dibuat seperti buah catur pada satu sisi, sementara sisi yang tak ditulis disebut man (鏝) dan memiliki 125 kemungkinan jawaban. Kemudian dadu-dadu ini dikocok dan dibariskan, setelah itu hasil yang keluar dicarikan padanannya pada kitab. Jawaban yang muncul nantinya adalah puisi yang harus ditafsir. Lihat Ardian Cangianto, “Ciamsie Selayang Pandang”.
[13] Zainab Nur Hidayah, “Ciam Si di Klenteng Dewa Kwan Im Gunung Kawi Kabupaten Malang Jawa Timur”, Skripsi (Malang: Program Studi Sastra Cina, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, 2017), hlm. 15-16.
[14] Tatung (bahasa China-Hakka): Ritual mengundang para dewa merasuki tubuh dalam tradisi kepercayaan Tionghoa. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tatung, diakses 07/09/2020.
[15] Dalam esainya “Pantun: Dua Bahasan Kosmologis”, Jakob Sumardjo menulis: “Sudah banyak dikatakan, bahwa pantun adalah puisi asli Indonesia. Meskipun demikian, masih belum ada pendapat yang memuaskan di mana sebenarnya nilai-nilai keasliannya. […] Para sarjana tersebut (Belanda, pen) pada umumnya setuju bahwa pantun adalah puisi asli Indonesia. Tetapi keaslian itu tidak pernah dicari pada latar belakang budaya asli Indonesia. […] Puisi pantun bukan hanya dikenal oleh suku Melayu, tetapi juga dikenal oleh suku-suku lain di Indonesia. Persyaratan formal jenis puisi ini sama di mana-mana, yakni sampiran, isi, dan bersanjak a-b, a-b. Dilihat secara budaya, sebagai way of life suatu masyarakat, maka dapat diduga, bahwa yang mendasarinya adalah substrata budaya Indonesia, bahkan mungkin Asia Tenggara. Karena kategori budaya primordial Indonesia merupakan budaya mistis atau budaya spiritual, maka pemahaman tentang religi asli, mitos, ritual, dan kosmologinya harus ditemukan lebih lanjut. Lihat Jakob Sumardjo, “Pantun: Dua Bahasan Kosmologis” dalam Jurnal Kritik, No.1 Tahun I, 2011, hlm. 8-9.
[18] H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: PT Gunung Agung, 1978), hlm. 143-144.
[19] Nirwan Dewanto, “Gerimis Logam, Mayat Oleander (Perihal Puisi Goenawan Mohamad)”, Paper, diceramahkan di Teater Salihara, Jakarta, 3 Agustus 2011 (Jakarta: Komunitas Salihara, 2011), hlm 17.
[20] Berdasarkan konfirmasi langsung saya dengan Tan Lioe Ie.
[21] Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan (Denpasar: Buku Arti, 2015), hlm. xiv-xv.
[22] Kartu Ciam Si ini adalah ciptaan Tan Lioe Ie serta merupakan yang pertama dan satu-satunya di dunia. Karena itu, hak cipta kartu permainan berjenis kartu ramalan ini pun didaftarkan oleh Tan ke Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan nomor pencatatan “000187736” tertanggal 15 Mei 2020 dengan kategori jenis ciptaan “Tafsir”. Informasi ini berdasarkan foto “Surat Pencatatan” yang dikirimkan Tan Lioe Ie kepada penulis.
[23] Lihat Bahram Behin, ”What Is Applied Literature?” dalam The Journal of Applied Linguistics and Applied Literature: Dynamics and Advances, Volume 7, Issue 1, Winter and Spring, 2019, hlm. 21-33.
[24] Lantaran sifatnya yang praksis dan tak terpisahkan dari ritus keagamaan, Ciam Si (seperti yang beredar di kelenteng-kelenteng masa kini) pun kerapkali terabaikan (untuk tidak menggunakan istilah “tersisihkan”) dalam kajian sastra serius dan dianggap sebagai genre sastra populer. Kendati di sisi lain oleh sebagian kalangan, terutama para penggunanya, ia digolongkan sebagai teks sakral.
[25] Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, hlm. vi-vii.
[26] Dipetik dari Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, hlm iii.
[27]Sanko atau Shange (山歌) secara harfiah berarti Tembang Bukit (Hill Song), sejenis puisi terikat yang dinyanyikan. Ciri khas Sanko mirip dengan Pantun dalam khazanah kesusastraan Melayu. Setiap bait Sanko terdiri dari empat baris dan setiap baris terdiri dari tujuh kata. Seperti halnya Pantun, Sanko juga terdiri dari sampiran dan isi, dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat merupakan isi. Bedanya adalah apabila Pantun biasanya berpola a-b-a-b (dan a-a-a-a), Sanko kebanyakan berima a-a-b-a, meskipun dapat juga ditulis dengan pola a-a-a-a. Dari segi ragam jenisnya, Sanko dan Pantun pun memiliki banyak kesamaan. Jika kita cermati isinya, jenis-jenis Sanko antara lain terdiri dari Sanko Muda-Mudi (Percintaan), Sanko Nasehat, Sanko Agama (terkait dengan cerita Dewa-Dewi dan ajaran Senisme), Sanko Kiasan, Sanko Teka-teki, bahkan Sanko Jorok (berisi kata-kata vulgar).
Ada pula jenis Sanko yang dikenal sebagai Ko Fan Ko (過番歌) atau Sanko Merantau (Harfiah: Sanko Menyeberang ke Negeri Barbar). Sanko terakhir ini pada tempo dulu lazimnya ditembangkan oleh para perantau Hakka di dermaga-dermaga sambil menunggu kapal yang bakal mengangkut mereka berlayar ke Nanyang (Nusantara) tiba. Lihat catatan singkat Sunlie Thomas Alexander, “SANKO – 山歌 (2)” di https://www.facebook.com/100005704565841/posts/1946052668928200/. Penjelasan ringkas tentang San Ko ini juga bisa ditemukan di Joe Petersen & Liu Weilin, “San Ko – Syair Hakka yang Sudah Langka” dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2513-sanko-syair-hakka-yang-sudah-langka, diakses 07/09/2020.