Bangunan Besar di Kampoeng Londo Gresik

Salah satu dari sekian gang di Kabupaten Gresik—dengan lebar sekitar 3 meter—memiliki nama, yaitu: Jalan Raden Santri Gang V. Di mulut Gang V, berdiri gapura yang didominasi warna merah dan putih. Gapura itu juga memiliki atap berbentuk segitiga, serupa bentuk atap rumah tinggal. Barangkali, hanya yang bertinggi kurang dari 2.5 meter yang akan dapat melewati gapura itu. Tidak heran apabila gapura itu dipasangi plakat lingkaran berbahan seng, kira-kira berdiameter 30 centimeter, bertanda truk dilarang masuk!

Selain plakat lingkaran, ada plakat persegi panjang, kira-kira berukuran 150 centimeter x 50 centimeter. Plakat persegi panjang berbahan flexi itu bertulisan tiga frasa dengan posisi sentral: //Festival Jajanan/ Kampoeng Londo/ Bandar Grisse//. Tiga frasa tersebut memberiku sebuah informasi bahwa ada kegiatan di Jalan Raden Santri Gang V. Kalau ditelisik ukuran huruf setiap penulisan frasa sentral dimaksud, aku menangkap kesan bahwa Jalan Raden Santri Gang V merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Kampoeng Londo.

Keterangan: Plakat persegi panjang di gapura Jalan Raden Santri V bertulis //Festival Jajanan/ Kampoeng Londo/ Bandar Grisse//. Oleh; Aji, 2023

Bagiku, tiga frasa sentral dalam plakat persegi panjang tersebut begitu ganjil, sebab kata kampoeng menggunakan Ejaan Van Ophuijsen. Sedangkan, kata jajanan justru menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan. Selebihnya, merupakan kata dan frasa yang bisa dimasukkan ke dalam kedua ejaan. Aku menganggap lebih baik konsisten menggunakan salah satu dari dua ejaan yang tersedia, misal: //Festival Djadjanan/ Kampoeng Londo/ Bandar Grisse//; atau //Festival Jajanan/ Kampung Londo/ Bandar Grisse //.

Jangan-jangan, Ejaan Van Ophuijsen pada kata kampoeng, demi penekanan suasana sisa-sisa masa lalu di sekitar Jalan Raden Santri Gang V. Kebetulan ia bersuasana sisa-sisa masa lalu sebagai Kampoeng Londo sebagaimana tampak pada beberapa bangunan besar berarsitektur kolonial Belanda[1]. Tapi, apakah seseorang yang memasuki Kampoeng Londobenar-benar bisa merasakan suasana sisa-sisa masa lalu? Sebab, sepengetahuanku, suasana sisa-sisa masa lalu hanya dirasakan oleh seseorang yang memiliki pengalaman romantis terhadap Kampoeng Londo.

Bangunan Besar

Secara administrasi, Jalan Raden Santri Gang V berada di Kelurahan Bedilan, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Tapi, kalau merujuk buku Kota Gresik Sebuah Perspektif Sejarah dan Harijadi (1991), akhir abad XVII, wilayah-wilayah di Gresik, termasuk Bedilan, masuk bagian Kabupaten Tandes, sebelum berganti status sebagai Kabupaten Surabaya pada tahun 1934. Selama periode kolonial, Bedilan menjadi tempat bagi bangunan-bangunan besar, seperti pergudangan milik VOC, atau kediaman Asisten Residen.

Keterangan: Salah satu bangunan besar yang masih  terawat di Jalan Raden Santri Gang V. Oleh: Aji, 2023

Beberapa bangunan besar terlihat berdiri di Jalan Raden Santri Gang V atau sekitar wilayah Kelurahan Bedilan. Aku menelisik beberapa bangunan besar memiliki fungsi yang berbeda satu sama lain, seperti kantor, rumah tinggal, toko, hingga warung kopi. Meski mengalami perubahan bentuk demi kebutuhan penghuninya, sebagian bangunan besar masih memerlihatkan arsitektur kolonial Belanda. Tapi, aku merasa sebagian bangunan besar yang lain juga ada yang utuh tanpa perubahan bentuk.

Di samping kiri gapura Jalan Raden Santri Gang V, satu-bangunan-besar berarsitektur kolonial Belanda tampak mencolok dalam pandanganku. Aku melihat dari Jalan Raden Santri (dari depan gapura), satu-bangunan-besar itu berlantai tiga. Aku menduga bahwa dulu terdapat balkon berbahan kayu, sebab lantai dua dan tiga pada dinding luar satu-bangunan-besar itu memiliki pintu atau jendela yang kira-kira berukuran 120 centimeter x 200 centimeter. Atau, satu-bangunan-besar itu tidak memiliki balkon berbahan kayu, sehingga pintu dan jendela hanya bertujuan estetika daripada fungsional.

Keterangan: Satu-bangunan-besar berada di samping kiri gapura Jalan Raden Santri V. Oleh: Aji, 2015

Aku tidak bisa melihat bagaimana bentuk atap, sebab posisiku terlalu dekat menengadah di satu-bangunan-besar itu. Tapi, aku justru tertarik pada tulisan angka di bagian atapnya, barangkali angka itu merujuk tarikh 1911. Andai 1911 memang adalah tarikh, aku membayangkan bagaimana satu-bangunan-besar itu telah melewati pelbagai peristiwa, dari masa Hindia Belanda hingga berganti Indonesia. Apalagi, tahun 1911 sedang berlangsung penerapan Politik Etis[2], serta terjadi perubahan sosial akibat modernisme yang baru masuk di Hindia Belanda[3].

Kemungkinan penduduk dari Gresik—termasuk Bedilan—mengalami dampak dari penerapan politik etis dan perubahan sosial akibat modernisme. Salah satu contoh dampaknya bisa aku tengok terhadap pertumbuhan industri gula di Hindia Belanda yang sedang membutuhkan tenaga kerja ahli. Akibatnya, terjadi urbanisasi demi kepentingan mencari pekerjaan. Pada tahun 1905, musim kemarau, penduduk Gresik berdatangan ke Surabaya (karisidenan) untuk menjadi tenaga kerja musiman[4]. Mereka bekerja sebagai pengemas gula karungan.

Dari Jalan Raden Santri, aku juga melihat lantai satu pada satu-bangunan-besar tadi, terbentang dinding polos warna putih, tanpa pintu atau jendela seperti lantai dua dan tiga. Dinding polos warna putih menandakan bahwa pintu masuk satu-bangunan-besar itu hanya menghadap ke Jalan Raden Santri Gang V. Tapi, dinding polos warna putih itu memberikan kecemasan karena tangan-tangan vandal dapat tanpa permisi mengabadikan coretannya, entah berupa grafiti, simbol, atau gambar.

Aku menilai musuh terbesar satu-bangunan-besar itu—juga beberapa bangunan besar yang lain—adalah tangan-tangan vandal. Tapi, keberadaan tangan-tangan vandal tidak bisa dihindari dalam pertumbuhan kota yang melahirkan sisi keterbengkalaian dan ketertutupan.[5] Sisi keterbengkalaian dan ketertutupan yang tampak pada lanskap kota, seperti dinding bangunan, jalan raya, trotoar, jembatan, hingga ruang publik. Seolah, tangan-tangan vandal memberikan “peringatan” dalam bentuk coretannya.

Kampoeng Londo

Kata londo dalam pengertianku adalah orang Belanda. Aku belum tahu apakah kata londo berasal dari penyebutan Belanda, atau yang lebih arkais: Wolanda. Meski begitu, aku pernah mendengar bahwa sebagian orang mengucap londojuga untuk meyebut orang Eropa yang bukan Belanda. Jadi, aku mengartikan Kampoeng Londo sebagai tempat tinggal orang Eropa, entah berasal dari Belanda atau bukan. Sehingga, Kampoeng Londo adalah ruang komunitas bagi orang Eropa, seperti komunitas bagi orang China dan Arab.

Tapi, arti “tempat tinggal orang Eropa” dapat kurang tepat, sebab kata londo dapat merujuk pada bangunan-bangunan besar berarsitektur kolonial Belanda. Kemungkinan, bangunan-bangunan besar itu dibuat dan dihuni oleh seseorang yang bukan londo. Kebetulan bangunan-bangunan besar itu dibangun secara berdekatan di Jalan Raden Santri Gang V atau sekitar wilayah Kelurahan Bedilan. Jadi, tercipta penyebutan Kampoeng Londo akibat kesan arsitektur kolonial Belandanya. 

Keterangan: Salah satu bangunan besar di Jalan Raden Santri Gang V yang dilihat dari samping. Oleh: Aji, 2023

Selanjutnya, kalau aku membaca esai Sisa-Sisa Kolonial sebagai Warisan Peradaban dalam buku Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992) karya Subagio Sastrowardoyo—esai yang membahas hubungan silang budaya antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda—maka keterpengaruhaan bangsa Indonesia terlihat pada penerapan sistim administrasi, seperti hukum, surat-menyurat, hingga rapat. Sedangkan, salah satu contoh keterpengaruhan bangsa Belanda bisa dilihat dari proses adaptasinya untuk membuat arsitektur kolonial Belanda[6].

Aku mengira bahwa proses adaptasi menjadi keharusan bangsa Belanda masa kolonial agar mampu bertahan hidup di lingkungan yang jauh dari asalnya. Proses adaptasi yang dilakukan bangsa Belanda membuahkan produk kebudayaan, yaitu: arsitektur kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, mungkin saja seseorang yang bukan londo dan menginginkan pelbagai kebutuhan ruang, lebih mendirikan bangunan besar berarsitektur Belanda daripada bangunan tradisional, misal joglo atau pendapa.

Kalau merujuk tulisan angka 1911 di bagian atap satu-bangunan-besar di Jalan Raden Santri Gang V, aku mengira bangunan-bangunan besar yang lain di “Kampoeng Londo” telah berusia 100 tahun lebih. Usia tersebut mengingatkan diriku pada dialok antara dua tokoh (Seung-min dan Seo-yeon) di film roman Korea Selatan yang berjudul Architecture 101 (2012). Dalam film itu, tokoh Seo-yeon berucap: “Tidak, rumah tinggal ini berusia 30 tahun”. Lalu, tokoh Seung-min membalas: “Lebih dari 30 tahun baru dianggap rumah tinggal.”

Keterangan: Kondisi salah satu bangunan besar yang membutuhkan perawatan khusus di Jalan Raden Santri Gang V. Oleh: Aji, 2023

Dialog antara dua tokoh di atas meletupkan pertanyaan bagiku: Apakah bangunan besar yang berusia 100 tahun lebih masih bermakna “bangunan besar”? Aku mengira jawabannya akan banyak tafsir setelah melihat beberapa bangunan besar masih berdiri kokoh di Kampoeng Londo. Sedangkan, sebagian bangunan besar membutuhkan perawatan khusus akibat dilumat waktu. Lain itu, dua atau tiga bangunan besar telah menjadi kerangka, tersisa tumpukan bata merah pada dinding, serta segenggam memori.

Perihal segenggam memori, aku pun teringat puisi Kwatrin tentang Sebuah Poci dalam buku puisi Asmaradana (1992) karya Goenawan Mohamad. Aku salin utuh puisi itu: //Pada keramik tanpa nama itu/ kulihat kembali wajahmu/ Mataku belum tolol, ternyata/ untuk sesuatu yang tak ada// Apa yang berharga pada tanah liat ini/ selain separuh ilusi? / Sesuatu yang kelak retak/ dan kita membikinnya abadi//. Aku membayangkan keramik tanpa nama itu adalah bangunan besar, lalu mataku belum tolol untuk merekam sisi yang kelak retak dan akan abadi.**


[1] Dalam tulisan ini, istilah “arsitektur kolonial Belanda” merujuk pada bangunan modern di periode kolonial. Pada buku The Penguin Dictionary of Architecture (1991), dalam Indonesian Architecture (hal: 226), tertulis bahwa “…Dutch-style buildings, from the period of colonial rule (1667 – 1949), were numerous but undistinguished…” Kalau aku alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu: “…Bangunan bergaya Belanda dari periode kolonial (1667 – 1949), banyak ditemukan tapi tidak istimewa…

[2] Politik etis dimulai tahun 1901. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V (hal: 37), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menulis: “Politik Etis mengubah pandangan dalam politik kolonial yang beranggapan Indonesia tidak lagi sebagai wingewest (daerah yang menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya, dan ditingkatkan budaya rakyat pribumi.”

[3] Perubahan sosial akibat modernisme terlihat pada dampak pendidikan, sehingga peran kaum aristokrat berganti kaum terpelajar. Robert van Niel dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia (hal: 75) menggambarkan perubahan sosial itu, yaitu: “…Dari perluasan dan perkembangan pendidikan inilah ditemukan akar dari perubahan sosial yang memengaruhi elit Indonesia. Dengan bertambah luasnya kekuasaan Belanda, kebutuhan akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat bertambah besar. Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai suplemen pada asal keturunan, dan dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama.

[4] Penduduk Gresik yang datang ke Surabaya sebagai pengemas gula karungan (tenaga kerja musiman) merujuk data dari Sarjana Sigit Wahyudi dalam tulisan Urbanisasi dan Migrasi di Karisidenan Surabaya pada Akhir abad Ke-19 dan Awal Abad Ke-20 (Kota-Kota di Jawa Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, 2010, hal: 192; 1933), yaitu: “Pada 1905, dari Gresik dan Lumajang, penduduknya berdatangan ke Surabaya pada saat musim kemarau sebagai tenaga kerja musiman untuk mengemas gula karungan yang jumlahnya hingga ribuan ton.”

[5] Aku membaca hubungan tangan-tangan vandal dengan pertumbuhan kota dari tulisan Setyawan berjudul Graffiti: Etnografi Visual di Dinding Kota (Mengeja Rupa Kota, 2015, hal: 31), yaitu: “Bagaimanapun, pertumbuhan kota juga ikut andil terhadap kemunculan graffiti. Tumbuhnya graffiti dimungkinkan oleh lingkungan fisik seperti bentuk dan ruang suatu kota. Dinding tembok, lanskap kota, dan ruang-ruang kota yang menjadi ruang residual yang kian lama kian terbengkalai (Achmadi dalam Kompas, 24/10/2004), menjadi lahan subur graffiti

[6] Dalam esai Sisa-Sisa Kolonial sebagai Warisan Peradaban (Sekilas Soal Sastra dan Budaya, 1992, hal: 170), Subagio Sastrowardoyo menulis “Arsitektur rumah orang-orang Belanda di kota-kota besar dan di daerah perkebunan di jaman penjajahan itu mengikuti tata bangun tempat tinggal pembesar-pembesar priyayi di Jawa dengan ruang-ruang yang terbuka dan lebar di bagian muka dan belakang rumah, dengan dikelilingi halaman luas.”

Editor: Raudal Tanjung Banua


Daftar Pustaka

Goenawan Mohamad (1992), Asmaradana, Jakarta: Grasindo.

John Fleming Dkk (1991), The Penguin Dictionary of Architecture, London: Penguin Books.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984), Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka.

Prima Nurahmi Mulyasari Dkk (2010), Kota-Kota di Jawa Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Robert van Niel (1984), Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya.

Subagio Sastrowardoyo (1992), Sekilas Soal Sastra dan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka.

Sutanto Mendut Dkk (2015), Mengeja Rupa Kota, Surakarta: ISI Press.

Tim Penyusun Buku Sejarah Harijadi Kota Gresik (1991), Kota Gresik Sebuah perspektif Sejarah dan Harijadi, Gresik: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik.

Architecture 101. Disutradarai oleh Lee Yong-ju, penampilan oleh Uhm Tae-woong, Han Ga-in, Lee Je-hoon, dan Suzy. Myung Films, 2012.

Aji Ramadhan
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Tinggal dan bekerja di Gresik. Lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Puisinya termuat di Koran Tempo, Kompas, Bali Post, Suara Merdeka, majalah Kalimas, dan portal Buruan.Co. Buku puisi tunggalnya adalah Sang Perajut Sayap (Muhipress, 2011) dan Sepatu Kundang (Buku Bianglala, 2012). Sejak akhir 2021, dia mengasuh rubrik Sastra di portal Gresiksatu.com.