Bilik
1
Dulu saat mendengarkan lagu “Bojo Galak” terutama tepat pada lirik “Kuat dilakoni, Yen ra kuat ditinggal ngopi” entah dinyanyikan oleh Nella Karisma maupun Via Vallen, saya menangkap desir paradoks yang tak terseleseikan. Sebuah paradoks, yang juga beserta penyelesaian atasnya, bisa jadi merupakan kunci untuk mencandra filsafat masyarakat kita yang menghunjam secara kuat dalam nalar kesadaran. Sebuah paradoks yang layaknya dangdut (koplo) itu sendiri tidak berusaha ingin didamaikan, melainkan menarik kita terlibat dan menjalaninya dengan riang. Lagu sesedih apapun ketika dinyayikan dalam irama koplo, ia tak ingin dilaruti. Ia hanya ingin dinikmati dalam gerak joget yang mengundang. Sebuah paradoks yang ingin dilampaui.
Jika beratnya sebuah masalah atau bahkan hidup, tak kuat kita pecahkan dalam usaha spekulasi keterbatasan nalar pikiran kita, ya kita jalani saja (kuat dilakoni), tapi jika merasa tak kuat, kita tinggalkan saja untuk sementara (ditinggal ngopi).
Dalam beberapa bait liriknya seolah tersirat preposisi begini: jika beratnya sebuah masalah atau bahkan hidup, tak kuat kita pecahkan dalam usaha spekulasi keterbatasan nalar pikiran kita, ya kita jalani saja (kuat dilakoni), tapi jika merasa tak kuat, kita tinggalkan saja untuk sementara (ditinggal ngopi). Ringkasnya ia mengundang kita dalam usaha memecahkan atau memahami hidup, untuk tak terlalu jumawa berusaha memecahkan, memahami dan merengkuhnya dalam dimensi kemenyeluruhannya. Ia meminta kita untuk sumeleh atas kompleksitias hidup, sembari sabar menjalaninya dulu, juga berharap dalam suatu tahapan perjalanan lebih lanjut kelak mendapat sedikit petunjuk maupun hikmah yang memberi makna. Kita diminta melakoni. “Dipikir karo mlaku bro,” ucap sebuah meme.
Mungkin ini selaras dengan apa yang saya rasakan, dibanding merumuskan dalam sebuah spekulasi pikiran yang mengambil jarak obyektif tertentu atas hidup (olah filsafat), masyarakat kita mungkin lebih memilih menjalaninya atau melakoninya dalam arus lelakon yang mendalam dan intim. Ini persis seperti masyarakat kita yang lebih memilih mengungkapkan perasan cinta mereka tidak pertama melalui perkataan verbal, melainkan mengungkapkannya dalam wujud tindakan dan perbuatan.
2
Kata melakoni, yang secara harafiah berasal dari kata “laku” “mlaku”, “lelaku” dalam bahasa Jawanya, senyatanya berarti “berjalan” yang juga dari turunannya memunculkan kata “menjalani”. Karena, bagaimanapun memang hidup ini sendiri adalah perjalanan. Sebuah Lelakon. Atau dalam istilah tasawufnya disebut “suluk”, sebuah perjalanan. Yang istilah ini, “suluk”, bukan hanya telah diserap dalam bahasa Indonesia, melainkan telah menjadi istilah penting dalam genre tembang macapat berisi ajaran esoterik tasawuf Jawa.
Makanya, melakoni atau menjalani hidup dalam sebuah perjalan “kembali” itu, seperti sudah banyak dikenal, dilalui melalui tahapan dan jenjang menaik hidup yang bertahap empat, (1) syariat, (2) tarekat, (3) hakikat, dan (4) ma’rifat. Atau dalam konsep tahapan “laku” perjalanan pada Serat Wedhatama dalam bentuk jenjang tahapan (1) raga, (2) cipta, (3) jiwa, (4) rasa, yang keempatnya dinamai dalam term sembah.
3
Dalam tahapan ini, agar kita memahami sedikit demi sedikit makna hidup, kita pada periode tahap awal perjalanan dipandu oleh (1) koridor hitam-putih, haram-halal, baik-benar, atau koridor normatif syariat yang membantu kita untuk mendisiplinkan raga dan dorongan kehendak (karsa) yang muncul darinya, yakni agar kita punya arah awal, meskipun kita belum tahu akan rasionalisasinya. Lalu kemudian meningkat dengan (2) mengaktifkan cipta dan pikiran kita untuk memahami rasionalisasinya, yang juga (3) harus dibarengi kejernihan hati dan jiwa kita terkait arah orientasi ultim hidup ini, dan dengan itu(4) rasa atau aspek terdalam fakultas kita bisa pelan-pelan menangkap irama dan tujuan hidup.
Makanya kadang-kadang dalam skema empat perjalan ini, hidup sering dikeluhkan sulit dijelaskan dan direngkuh oleh pikiran rasional kita. Karena memang aspek rasional dari hidup hanya salah satu bagian bidang parsial dari kemenyeluruhannya. Dan kita diminta meningkatkan level perjalanan.
Apalagi jika aspek rasional atau yang dibayangkan rasional ini, masih muncul dari pikiran orang yang belum mampu mendisiplinkan tubuh jasmani dan menundukkan dorongan subyektif kehendak, keinginan, dan nafsunya. Yang rasional ataupun “yang benar” menurut prasangka pikirannya, yang ingin ia desakkan pada hidup, pada kenyataannya, tak lain adalah semata rasionalisasi atau pembenaran dari keinginan dan nafsunya. Ia ingin mengatur “hidup” sekehendak, sekeinginan, juga seturut kebenaran dari sudut kemauannya sendiri. Ini diperparah dengan kondisi jiwa dan hati yang masih keruh (akibat dua tahapan sebelumnya yang ia alfakan) sehingga tidak ingat orientasi paling puncak hidup (zikir).
Makanya Serat Wedhatama mungkin benar, bahwa “ngilmu iku kelakone kanthi laku,” yakni ilmu untuk memahami keutuhan hidup ini tercapai dengan cara menjalaninya atau melakoninya, atau menyesap sedikit-demi sedikit dalam tahapan perjalanan lelakon hidup yang kita diminta bersabar mencicipi maknanya dalam jenjang laku yang menaik.
4
Saya kadang-kadang tergoda untuk berkesimpulan, bahwa untuk mencapai makna “hakikat hidup”–ingat kata “hakikat” adalah tahapan ke-3 dalam jenjang lelakon yang telah saya sebutkan sebelumnya–mungkin bukan pertama memikirkannya dalam olah pikiran berjarak seperti dilakukan dalam filsafat, melainkan cukup menjalani dan melakoninya dalam koridor laku tasawuf dalam pengertian terluasnya. Hidup itu bukan pertama untuk dipikirkan, melainkan dijalani saja, begitu kata banyak orang. Atau meminjam istilah dalam salah satu lirik lagunya Nella Karisma, “pikir keri”.
Hidup itu bukan pertama untuk dipikirkan, melainkan dijalani saja, begitu kata banyak orang. Atau meminjam istilah dalam salah satu lirik lagunya Nella Karisma, “pikir keri”.
Dalam logika ini, makna hidup didapatkan sedikit-demi sedikit dalam laku perjalanan yang meninggi. Dan selalu saja makna itu kita rasa terus saja dalam kondisi tak utuh, yang dengan sendirinya mengundang kita, mau tak mau, terus berjalan dengan rendah hati. Dan tentu dengan cara itu kita semakin lebih “arif” menyikapi hidup beserta misteri dengan segala kompleksitasnya.
Kata “arif” yang telah terserap dalam bahasa kita–seakar kata dengan “ma’rifat” dalam bahasa Arabnya–sebenarnya ingin menunjuk capaian seseorang yang telah sampai kepada ma’rifat, alias telah sampai kepada penilaian “rasa terdalamnya”, ingat padanan empat tahapan yang telah saya kutip dari Wedhatama sebelumnya (raga, cipta, jiwa, rasa). Yakni orang yang telah memahami, bersikap, dan menilai hidup bukan semata dari sisi normatifnya semata (syariat), atau semata mengandalkan penalaran dirinya sendiri yang bisa jadi masih terbelenggu keinginan dan egotismenya (tarikat), yang bisa jadi muncul karena dan dari diri yang belum bersih jiwanya (hakikat). Pendeknya ia, sang arif, adalah orang yang telah melampaui penilaian hitam putih dan benar salah, yang hidup ini tak mungkin bisa diringkus segamblang dan sesederhana dalam rumusan itu.
Karena bagaimanapun setiap yang buruk, jelek, salah, juga derita yang kita sangka buruk dan tidak baik dalam hidup, ia menyimpan “hikmah” yang bisa kita petik dan sesap. Begitu biasanya yang disampaikan para arif kita.
5
Ijinkan saya mengutip beberapa bait lirik lagu “Suci Dalam Debu”-nya Salim Iklim, agar ilustrasinya menjadi agak gamblang.
“Namun hakikat cinta kita, Kita yang rasa,” begitu kata lirik lagu ini. Hakikat cinta, begitu juga hidup, dalam tafsiran ringkas saya, pada akhirnya digapai melalui perjalanan bertahap yang mengubah diri melalui capaian “rasa” terdalam diri. Karena penilaian normatif kita bisa jadi menyederhakan (“hina jadi mulia”), juga tafsir rasional pikiran dan pandangan kita bisa jadi juga tidak utuh (“cinta bukan hanya dimata, cinta hadir di dalam jiwa, zahirnya kotoran itu terlihat, kesucian terlindung jua, antara kita”).
Hakikat cinta, begitu juga hidup, dalam tafsiran ringkas saya, pada akhirnya digapai melalui perjalanan bertahap yang mengubah diri melalui capaian “rasa” terdalam diri.
Oleh karenanya kita diminta dengan kerelaan dan sikap rendah hati bersabar menerima lelakon perjalanan hidup yang bisa jadi kadang terasa pahit dan getir yang jauh dari jangkauan rumusan nalar kebenaran pikiran kita (“kuharap engkau kan terima walau dipandang hina”). Namun dengan tekad untuk terus menjalaninya, hakikat hidup akan sedikit-demi sedikit terbuka dan bersinar serta datang dalam cahaya pemahaman baru (“di situ kita lihat, bersinarlah hakikat, debu jadi permata, hina jadi mulia”).
Dan dari laku perjalanan seperti ini, bukan hanya akan mengantarkan kita pada “pengetahuan”, namun juga akan menggeret kita pada “kebenaran” yang meneguhkan diri dalam sebuah tugas hidup (derma). Sebuah kebenaran yang akan menambah dan mengokohkan “keyakinan” diri dalam menapaki perjalanan (“bukan hayalan yang aku berikan, tapi keyakinan yang nyata”).
Dan terakhir saya baru sadar bahwa yang bisa meneguhkan perjalanan hidup ke tujuan ultimnya ini tak lain adalah “cinta”, yang secara indah dibahasakan Salim Iklim dengan bait lirik, “karena cinta lautan berapi, pasti akan kurenang jua.”. Dengan cara ini paradoks hidup beserta misterinya bisa kita atasi dan lampaui dengan siap tawaddu’. Meminjam bahasa Nella Karisma “tetep cinta, senajan bojoku galak.”
~~~
“Selama Timur diamati dan dibicarakan lewat suatu optik pengetahuan yang dikembangkan di Barat maka tidak akan ada pertukaran pengetahuan. Barat akan selalu berada di atas dan Timur berada di bawah.”
(Edward Said, “Orientalism”, 1995)
Di tahun 2013 saya berkawan akrab dengan salah seorang aktivis perempuan petinggi LSM Perempuan di Jakarta, yakni saat kami bersama-sama sedang mengikuti program dua tahun English Extension Course di Universitas Sanatha Darma, Yogyakarta. Perkawanan tersebut memberi bekas dan impresi tertentu tentang citra gerakan feminisme secara khusus.
Pada suatu waktu, teman aktivis perempuan tersebut mengajak saya terlibat dalam sebuah penelitian ihwal posisi, keadaan, dan peran perempuan di Indonesia secara umum. Saya menawarkan sebuah tema yang sedikit “sensitif”: peran para istri kyai di sebuah desa pesantren di wilayah Barat Yogyakarta. Ia sedikit mengernyitkan dahi saat mendengar usulan saya yang sebenarnya nyaris spontan tersebut. Lalu ia, dengan cara yang juga spontan pula, menimpali, “emang, para istri Kyai kerjaannya apa?” “Ibu rumah tangga,” jawab saya. “Wah, kalo begitu, (para Kyai itu), patriarkis namanya.” Percakapan pun berhenti. Begitupun rencana penelitian itu yang juga urung dikerjakan hingga hari ini.
Ada steorotype tertentu dalam nada bicaranya. Bahkan pernyataannya—meski dilontarkan secara spontan—nyaris berarti sebuah kesimpulan. Tentu ungkapan “patriarkis” yang biasanya mengandung unsur peyorasi dalam derajad tertentu, bukan hadir dari ruang kosong. Ia berpilin dengan konteks lintasan-panjang sejarah gerakan feminisme di Indonesia. Ia hadir untuk menyebut suatu kondisi dimana para perempuan berada dalam bayang-bayang “hegemoni”, kekuasaaan, dan (maaf) “penjajahan” para lelaki. Seolah ada peran universialis, tepatnya eurosentris, yang ingin disodorkan: selama perempuan belum keluar dari wilayah domestiknya (alias rumahnya), selama itu pula ia terus dalam jaring “dominasi” dan “hegemoni” para lelaki. Bagaimana menyikapi ini?
Hingga berpisah dengan teman aktifis tersebut, saya masih dilanda kesulitan untuk memulai sebuah diskusi yang diawali dengan sebuah kesimpulan, yang hadir entah dari mana atau berasal ruang kesadaran seperti apa. Yakni sebuah kesimpulan yang dianggap seolah self-evident, jelas, dan tak perlu dipertanyakan, atau bahkan mengendap dalam bawah sadarnya. Nyaris sperti aksioma: Bahwa selama perempuan belum keluar dari tempurung peran domestiknnya, selamanya ia akan “terbelenggu”. Dan oleh karenanya, sang aktivis perlu memberi empati atas keadaan ini, serta dengan begitu segera menunjuknya sebagai titik sasaran agenda-agenda “emansipasinya”.
Ini persis dialami oleh seorang kritikus sastra perempuan kelahiran Jerman, Katrin Bandel, yang menetap di Indonesia, serta memutuskan berpindah agama Islam, saat menghadapi keluhan sesama perempuan Eropa-nya yang menyayangkan “semakin banyaknya Perempuan Indonesia hari ini yang mengenakan Jilbab.”
Ini persis dialami oleh seorang kritikus sastra perempuan kelahiran Jerman, Katrin Bandel, yang menetap di Indonesia, serta memutuskan berpindah agama Islam, saat menghadapi keluhan sesama perempuan Eropa-nya yang menyayangkan “semakin banyaknya perempuan Indonesia hari ini yang mengenakan Jilbab.” Dalam sebuah pengalamannya, yang ia tulis dalam sebuah buku (“Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial”: 2016), Katrin menceritakan bagaimana teman Eropanya begitu menyayangkan keadaan tersebut, terutama dalam konteks gerakan feminism di Indonesia. Seolah ada kesimpulan clear-cut, self-evident, bahwa semakin menguatnya nilai-nilai Islam—dalam hal ini pemakaian Jilbab—berkorelasi negatif dengan perkembangan emansipasi dan kemajuan perempuan. Ada nada eurosentris di dalamnya. Tersirat anggapan bahwa masyarakat non-Barat adalah masyarakat “Dunia Ketiga” yang masih terbelenggu oleh tradisi, agama, dan kulturnya, yang oleh karenanya sulit untuk mengikuti gerak linier emansipasi perempuan yang model, rumus, pola, dan praktiknya, sudah dicetak dan digariskan oleh perkembangan gerakan feminisme yang terjadi di dunia Barat.
Anggapan yang mengendap di bawah sadar—atau mungkin tepatnya paradigma—inilah dalam konteks kajian Pascakolonial, sering disebut sebagai “wacana Kolonial”. Dalam dua kasus di atas, ada anggapan tak terjelaskan: “ruang domestik” juga “ketertutupan tubuh” adalah representasi langsung ihwal ketertindasan perempuan, yakni dilihat dari sudut arah dan perkembangan gerakan perempuan di Barat—yang menjadi acuan universal bagaimana “seharusnya” para perempuan di dunia ketiga diarahkan—juga agar ia secara linier ter-“emansipasi”-kan dan terbebaskan dari belitan hegemoni para lelaki.
Asumsi “wacana Kolonial” yang saya maksud adalah diskursus yang menyakini superioritas ras kulit putih, superioritas Barat atas manusia lain. Gagasan tentang supeririotas ras kulit putih dulu hadir dalam konteks kolonialisme dimana, seperti diungkapkan Katrin dalam bukunya di atas, para penjajah merasa berhak menjajah bangsa dunia ketiga, dalam sebuah misi “pemberadaban”. Masyarakat terjajah alias masyarakat Timur dianggap sebagai masyarakat primitif, kolot, tradisional, bodoh, irrasional, dan bersikap seperti anak-anak. Usaha pemberadaban inilah yang menjustifikasi kolonialisasi bangsa-bangsa non-barat (baca: 84,6% wilayah bumi pernah dijajah Eropa/Loomba), sekaligus merupakan usaha “mengentaskan” masyarakat “primitif-tradisional” tersebut agar menjadi “modern” dan “tercerahkan”: yakni dari keadaan “irrasional” menuju “rasional”.
Meskipun kolonialisme telah berakhir (pascakolonial), asumsi superiotas ini masih bekerja bahkan terbenam dalam kesadaran masyarakat bekas jajahan sekalipun.
Meskipun kolonialisme telah berakhir (pascakolonial), asumsi superiotas ini masih bekerja bahkan terbenam dalam kesadaran masyarakat bekas jajahan sekalipun. Masyarakat non-Barat dibayangkan harus mengikuti gerak linier sejarah, dimana Barat dipersepsikan sebagai simbol “modernitas” dan “kemajuan” yang hendak ditiru dan dituju, sedangkan non-Barat dipandang sebagai “terbelakang” dan “tradisional”—yang mau tak mau harus “mengejar ketertinggalan” sesuai model yang dihadirkan oleh Barat. Dalam konteks feminisme, sejalan dengan pengakuan superioritas ras, budaya, dan pengetahuan Barat, perempuan di “Dunia Ketiga” dipersepsi sebagai adik yang kurang beruntung, yang membutuhkan pertolongan dari kakaknya (feminis Barat). Perempuan Barat oleh karenanya dianggap sebagai tolak-ukur dalam upaya mengemansipasi perempuan non-Barat yang “belum maju”: (korban patriarki, korban kemiskinan, dan korban kekolotan tradisi dan agama, dsb), dan dengan begitu mengandaikan perempuan di seluruh dunia “ingin” dan sudah seharusnya “perlu” mencapai hal yang sama seperti dicapai perempuan Barat.
Dengan wacana tersebut, masyarakat “Dunia-Ketiga”, mau tak mau selalu dijadikan obyek kajian dalam kajian Gender, yang berangkat dari kesadaran bahwa untuk menyongsong modernitas, hambatan-hambatan bernama “tradisi’, “budaya”, dan “agama” perlu dihilangkan demi mewujudkan kebebasan individu dalam mengolah identitas gender-nya, sehingga ketundukan dan kompromi atasnya adalah sebuah kemunduran. Oleh karenanya pembebasan gender seolah harus berarti pembebasan dengan selalu memandang Barat sebagai acuannya. Pada titik inilah cara (neo)-kolonial-(isme) bekerja.
Namun diskursus yang saya sampaikan di atas tentu juga tidak ingin mengabaikan fakta mendasar—alias baru separuh jalan—bahwa memang ada banyak realitas “penindasan” dan “keterkungkungan” wanita seiring semangat perubahan yang memang menjadi fakta tak terelakkkan bagi upaya redefinisi peran, posisi, dan tempat perempuan yang sekali lagi membutuhkan tafsiran baru atas kondisi zaman yang telah berubah. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, kawin kontrak, prostitusi PSK, dll, yang sangat mudah kita deteksi dan rasakan hari ini.
Hal yang ingin saya kemukakan adalah terkait bagaimana dalam menganilis ketidakadilan gender dengan tanpa mengabaikan konteks relasi global diskursus feminisme, alias mengelak dari kajian gender maupun aktifisme gender pada umumnya yang menggeret kita pada jebakan diskursus Kolonial tadi. Di satu sisi, kita memang ditunut untuk mengembangkan kajian dan perjuangan gender yang lebih kritis dan kontekstual: alias dibutuhkan kerja-kerja mempersoalkan dan menganilisis ketidakadilan gender itu secara kritis dan berusaha mengubah keadaan, namun di sisi lain kita juga dituntut untuk keluar dari jebakan “wacana Kolonial”. Alias agar tidak membenarkan kritik yang ingin melanggengkan keyakinan bahwa masyarakat “Dunia Ketiga” memang merupakan masyarakat yang bersifat patriarkis, kolot, dan represif, dan oleh karenanya ia perlu dibantu—tentu dengan rumusan-rumusan pengetahuan (neo)Kolonial—menuju pada kesadaran gender dalam payung modernitas.
Untuk menguarai dilema ini, saya ingin menyuguhkan temuan menarik yang disuguhkan oleh Risa Permana Deli dalam sebuah penelitian doktoralnya, yang saat ini telah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Dadi Wong Wadon: Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern”(Pustaka Ifada; 2015). Dari temuannya kita akan mendiskusikan bagaimana para perempuan Jawa mengelak tapi juga sekaligus merengkuh wacana modernitas, sebagai simbol melumernya nilai-nilai Barat, dengan cara memeluknya dan menempatkannya dalam jangkar universum pandangan dunia Jawanya.
Mengelak dari Jebakan (neo)Kolonial
Buku yang ditulis oleh Risa Permana Deli ini (“Dadi Wong Wadon”) sebenarnya adalah usaha akademik untuk mengurai bagaimana modernitas—atau nilai-nilai modern pada umumnya—ditangkap, dinilai, dimaknai, dan dipraktikkan dalam keseharian masyarakat Jawa, terutama wanita Jawa. Nilai-nilai modern seperti emansipasi, kesetaran gender, pendidikan, produktifitas kerja, rasionalitas, konsumsi, juga modernitas itu sendiri mengendap dalam ruang kesadaran kultural maupun dalam praktik keseharian masyarakat, khususnya wanita Jawa.
Pendekatan yang digunakan dalam buku ini terhitung baru—untuk tak menyebut paling baru—yakni teori Representasi Sosial. Yakni sebuah pendekatan baru dalam teori psikologi sosial yang berangkat dari asumsi bahwa dalam menerima nilai, budaya, dan praktik baru (asing), sebuah masyarakat mempunyai perangkat “pengetahuan sosial” atau semacam “nalar sosial” untuk menerjemahkan, menanggapi, mengkonstruk ulang fenomena sosial tadi, yang secara sosial kemudian disebarkan merata ke dalam masyarakat. Jadi proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik hidup modern tersebut tidak diterima melalui proses mental individual yang terpisah dari nilai-nilai masyarakatnya (baca: psikologi Behaviorial). Karena dalam koridor psikologi sosial, “perilaku individu merupakan cerminan dari sistem pemikiran sosial dan sistem pemikiran sosial tersebut dibangun atas dasar kehidupan kolektif setiap individu sebagai bagian anggotanya” (Hal. 23).
Dalam proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik modernitas, dari sudut pendekatan ini, masyarakat tidak mengunyah fenomena sosial bernama modernitas itu secara mentah semata. Masyarakat berusaha mengklasifikasi dan menamai realitas baru atau elemen-elemen asing dalam keseharian tersebut seseuai dengan repertoire makna yang sudah dikenal sebelumnya (baca: Penjangkaran/ancrage bhs. Pr). Repertoire makna tersebut digunakan sebagai perangkat interpretasi yang digunakan masyarakat untuk membuat dan memecahkan realitas asing dalam keseharian dalam sebuah kode makna yang sudah dikenal akrab dari dan dengan seluruh pengetahuan sebelumnya yang tersedia.
Hal ini bermakna, bahwa apa yang menentukan medan semantik modernitas yang menjadi identitas kita hari ini, justru dibentuk oleh katakanlah oleh “pengetahuan awam” yang memandu individu, yakni dalam konteks sosialnya untuk mengapropriasi makna maupun menginterpretasi realitas bernama “modernitas” tersebut. Oleh karena itu, konteks kultual memainkan peran utama dalam kancah pertemuan modernitas dengan masyarakat. Karena “ruang budaya” seperti telah banyak kita ketahui merupakan wadah pengetahuan bersama yang tidak bisa disepadankan dengan prinsip kesahihan dalam konteks pengetahuan ilmiah.
Ruang budaya juga merupakan tempat endapan sistem nilai, ungkapan, penilaian sosial, sistem simbolik, mitologi, tradisi, agama, yang semuanya mengalir menyatu dalam bahasa.
Ruang budaya juga merupakan tempat endapan sistem nilai, ungkapan, penilaian sosial, sistem simbolik, mitologi, tradisi, agama, yang semuanya mengalir menyatu dalam bahasa. Bahasa orang kebanyakan dengan begitu merupakan wadah pengetahuan kultural bersama (pengetahuan awam) untuk menafsir, mengaproriasi, maupun menerjemahkan modernitas dalam praktik keseharian, pandangan, dan nilai masyarakat Jawa. Ringkasnya, Representasi sosial berpaut dengan sistem nalar sosial yang mengatur ruang keseharian masyarakat yang menjadi kanal yang memungkinkan kita mengerti dunia mental masyarakat dalam meresepsi, merengkuh, maupun mengapropriasi nilai, pandangan, dan praktik baru, yang dalam hal ini bernama modernitas.
“Dadi Wong Wadon” mengetengahkan temuan yang menurut saya menarik. Karena bukan saja mengelak dari rumusan besar, bahwa untuk menyongsong modernitas, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa untuk memilah, meneliti, dan (pada akhirnya) menghilangkan hambatan tradisi kultural sebagai prasyarat menuju modernitas, melainkan masyarakat justru punya konsep sendiri yang masih berjangkar pada tradisi-kultur untuk mengapropriasi modernitas.
Modernitas, sebagaimana sering didengungkan, bagi masyarakat Dunia Ketiga, bukan merupakan sebuah “gerak endogen”, alias sebuah gerak yang tidak lahir dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia lahir dari usaha untuk mengikuti gerak sejarah dunia agar ia tidak tertinggal dalam peradaban dunia. Oleh karena itu untuk mengatasi ketertinggalan peradaban tersebut, ia perlu mengubah ataupun menyesuaikan lapisan nilai tata-pemerintahan, ekonomi, maupun kulturalnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh Barat. Ini berarti dibutuhkan suatu pengetahuan acuan tertentu tentang Timur di segala aspeknya, yang senyatanya memang didefinisikan menurut kebutuhan Barat (Modernitas). Inilah yang menjadikan kita sebagai sebagai bangsa yang terkurung dalam jebakan sejarah, sebuah jebakan yang membuat Dunia Ketiga tidak bisa kembali lagi ke keadaan semula; menemukan arah dan rumusannya sendiri.
“Dadi wong Wadon” berusaha menyingkap bagaimana para perempuan Jawa menerima dan berinteraksi dengan nilai modernitas dalam tiga wilayah: (1) Menjadi Modern, (2) Peran dan tempat perempuan dalam dunia modern, serta (3) Peran kosmetik dalam jejaring konsumsi dan praktik dan gaya hidup modern.
Menjadi Jawa, Menjadi Modern
Dalam konteks penelitian yang dibicarakan ini, gagasan menjadi modern ternyata masih terkait dengan konsep “menjadi orang” (“Dadi Wong”) dalam koridor universum gagasan ideal Jawa yang sering dicita-citakan oleh semesta simbolik Jawa. Kriteria yang muncul sebagai parameter orang modern, seperti (a) penampilan yang tidak ketinggalan zaman, (b) keterbukaan atau tidak fanatik, juga (c) bersekolah tinggi, dengan sangat lihai direngkuh dan ditempatkan untuk mengukuhkan gagasan konsep “Dadi Wong” seperti diamini oleh para perempuan Jawa.
Gagasan “Dadi Wong” dalam semesta simbolik Jawa mengacu pada keadaan akan ketercukupan material manusia Jawa, alias mengacu pada orang yang telah “mentas”, mandiri, dan “mulyo”, “punya posisi sosial terpandang” karena telah membangun rumah tangga sendiri (alias tak lagi bergantung pada orang tuanya). Meski banyak orang mengasosiasikan “Dadi Wong” sebagai sebuah kondisi “keberlimpahan materi” semata, namun jika kita tilik lebih seksama, konsep “Dadi Wong” juga mangacu aspek di luar hal tersebut yang sungguh akan kita ketahui selanjutnya, yang ternyata mengendap begitu subtil dalam benak kesadaran masyarakat Jawa.
Gagasan “Dadi Wong” dalam semesta simbolik Jawa mengacu pada keadaan akan ketercukupan material manusia Jawa, alias mengacu pada orang yang telah “mentas”, mandiri, dan “mulyo”, “punya posisi sosial terpandang” karena telah membangun rumah tangga sendiri (alias tak lagi bergantung pada orang tuanya).
Dadi Wong sendiri sebenarnya merupakan gagasan maupun tujuan ideal yang ingin diraih dari pendidikan tradisi/moral manusia Jawa. Menurut ideal Jawa, seorang anak atau perilaku yang kekanak-kanakan dalam semesta moral-sosial yang ingin dicapai oleh masyarakat Jawa dianggap “durung (n)Jawa” atau “ora Jawani” karena dianggap belum mencapai ideal moral dan sosial Jawa yang ingin dicapai —yakni dari budaya “kasar” menuju “alus” (baca: dari “lahir” menuju “batin”). Anak ataupun orang yang tak mengindahkan kesusahan orang lain atau orang yang tak menunduk saat melewati barisan orang tua misalnya, dianggap “durung Jawa”. Hal ini mengimplikasikan bahwa gagasan “Dadi Wong” sebagai lawan “durung Jawa” adalah kriteria kedewasaan (moral) juga kedewasaan peran sosial yang dituntut dalam masyarakat Jawa. Oleh karenanya, prasyarat telah “mentas”, “mulyo”, punya kedudukan, derajat, terpandang, orang besar, atau ketercukupan materi menjadi penting karena ini terkait aspek “kedewasaannya” ihwal peran moral maupun peran sosialnya—alias di satu sisi tak lagi bergantung atau merepotkan orang tuanya, maupun di sisi lain terkait kontribusi peran sosial yang dituntut agar ia bisa membantu yang lain (bisa disambati). Semakin tinggi kedudukan sosialnya, semakin besar pula kontribusinya bagi masyarakat luas, yakni dengan sendirinya dianggap semakin matang (dewasa) baik secara moral maupun sosial.
Seperti dijabarkan dalam buku ini, persepsi responden penelitian mengatakan, yang disebut “Dadi Wong” (jadi orang) adalah orang yang (1) Penghasilannya baik, mandiri (2) punya pekerjaan tetap (3) keluarganya harmonis, (4) bisa menyekolahkan anak, (5) berpendidikan tinggi, dan (6) bisa bantu orang lain (isa disambati).
Ihwal kriteria “keluarga haromonis” juga “bisa menyekolahkan anak”, sebenarnya berjangkar dalam konsep rumah tangga dalam masyarakat Jawa. “Kesuksesan” dalam masyarakat ini selalu berkait dan dikaitkan dengan keberhasilan dalam membangun rumah tangga. Seberapa besar apapun pencapaian material seseorang, jika ia tak berumah tangga, ia dianggap tak punya nilai apa-apa. Oleh karenanya, kesuksesan di mata Jawa selalu tidak terkait dengan pencapaian individual. Kondisi ketakber-rumahtanggaan selalu dipersepsi sebagai kekurangan dan cela.
Konsep Rumah Tangga Jawa seperti yang sering dinyatakan dalam banyak penelitian merupakan unit sosial masyarakat (Jawa) untuk menjaga konsep “rukun” atau harmoni sebagai nilai ideal puncak Jawa. Konsep “rukun” tersebut selalu dijaga dengan simbolisasi ritual “Slametan” dalam berbagai berbagai momen perayaan peralihan hidup masyarakat Jawa, seperti mitoni atau tingkeban (tujuh bulan bayi dalam kandungan), sepasaran (kelahiran bayi), brokohan, sunatan, kenduren desa, kondangan atau perayaan hari pernikahan, perayaan hari tertentu dalam peristiwa kematian seseorang, maupun slametan-slametan lain. Perayaan ini dianggap sebagai usaha mencapai keadaan “slamet” (selamat) atau “baik”, dimana basis rumah tangga memainkan peran utama—perempuan menduduki tempat penting—dalam konsep keselarasan masyarakat yang ingin dicapai.
Kita akan melihat bahwa konsep “menjadi modern” di mata masyarakat ini ternyata berusaha diselaraskan dengan gagasan “Dadi wong”.
Kita akan melihat bahwa konsep “menjadi modern” di mata masyarakat ini ternyata berusaha diselaraskan dengan gagasan “Dadi wong”. “Menjadi modern” seperti dinyatakan dalam temuan buku ini, diasosiasikan (1) berpenampilan nggak ketinggalan zaman, (2) terbuka dan gak fanatik, (3) sekolahnya tinggi. Bagi orang Jawa, orang modern adalah orang yang kaya, yaitu orang yang memiliki rumah mewah, mobil keluaran terbaru, perabotan modern, pakaian mengikuti mode, dsb. Gagasan “nggak ketinggalan jaman” alias mengikuti atau melengkapi diri dengan barang-barang modern tersebut justru menggenapi konsep “Dadi Wong” seperti diidealkan masyarakat Jawa.
Deretan kepemilikan barang-barang modern justru mengafirmasi bahwa untuk mewujudkan prasyarat kepemilikan benda-beda mewah tersebut, orang dituntut dalam kondisi “kaya”. Kondisi ketercukupan materi, seperti yang telah kita kemukakan di awal adalah kondisi ideal yang ingin dicapai dalam gagasan “Dadi Wong”. Orang disebut kaya jika memiliki penampilan yang bagus, sebab penampilan seperti itu merupakan simbol pencapaian kedewasaan baik bersifat sosial maupun spiritual. Hal ini tercermin dari ungakapan “penampilan nggak ketinggalan jaman” atau “keterbukaan pikiran” terhadap modernitas tanpa meninggalkan hormat terhadap budaya sendiri, sebagai simbol kedewasaan pikiran. Oleh karena barang-barang modern justru memperteguh prinsip “rukun” dan “slamet”, karena Jawa tak mempertentangkan secara sempit dengan Barat.
Ini persis terjadi dalam ungkapan “tidak kolot” dan “nggak fanatik” sebagai simbolisasi keterbukaan wawasan (sebagaimana direpresentasikan dengan “berpendidikan tinggi”) untuk tak berperilaku seperti anak-anak, alias tidak bisa menerima perspektif yang berbeda dari sudut ruang mentalnya yang masih egois. Hal ini sekaligus menjelaskan fakta bahwa kedewasaan bertindak sebagai orang Jawa dicapai dengan cara menghargai perspektif orang lain (tepa selira). Oleh Karena itu ungkapan “nggak ketinggalan Jaman”, “tidak kolot”, “nggak fanatik”memang secara mental dijabarkan sebagai kedewasaan untuk bertindak sebagai orang Jawa, dan bukan sebagai orang modern. Menjadi modern dengan begitu bukan peralihan dari masyarakat Jawa menuju Barat, meski untuk mengungkapkan gagasan tersebut orang Jawa menggunakan barang dan penampilan Barat. Justru hal itu menegaskan bahwa bagi orang Jawa, penampilan adalah salah satu tempat memperlihatkan dan menjabarkan kedewasaan mereka, sehingga representasi sosial “menjadi modern” tetap berakar dalam budaya Jawa (Hal 151-152).
Keber-akaran seperti yang disebut sebelumnya juga dikukuhkan dengan berbagai pernyataan berbagai responden terkait sikap ketidak-dewasaan sebagian wajah peniruan modern, seperti dalam ungkapan (1) “kebarat-baratan”, (2) “sok-sokan”, hingga (3) “hura-hura” dan “ngawur” (kebablasan). Memakai pakaian rok mini bagi orang yang sudah berumur atau bahkan nenek-nenek, merokok bagi perempuan di ruang publik, minum alkohol, maupun seks bebas, dianggap sebagai praktik “kebarat-baratan” yang melanggar batas norma Jawa. Kebarat-baratan dianggap sebagai tingkah laku yang tidak memperhatikan “unggah-ungguh” maupun “empan-papan” seperti diyakini masyarakat Jawa. Persis seperti tindakan duduk di kursi saat acara slametan sementara yang lain duduk di tikar, menggunakan perkataan yang tidak biasa untuk berbicara dengan orang tua, menunjukkan kemewahan secara demonstrtif dan berlebihan juga dianggap sebagai sikap “kebarat-baratan” maupun “sok-sokan”. Itulah sebabnya mengapa banyak orang membandingkan sikap “kebarat-baratan” sebagai sikap remaja yang belum benar-benar menyerap “unggah-ungguh” (durung Jawa).
Selain itu konsumsi secara tak terkendali atas barang barang-barang mewah (modern) juga dianggap sebagai tindakan “hura-hura” dan “sok-sokan”. Mungkin sikap ini bukan dilandasi akan penolakan konsumsi atas barang-barang asing, melainkan dari asumsi bahwa seseorang mencela sikap tertentu yang dianggap merusak tradisi: untuk tidak menonjolkan diri dan menjaga kesederhanaan. Karena orang Jawa tidak memperlihatkan identitasnya hanya dengan kekayaan. Semakin tinggi tingkat sosialnya, semakin besar pula usahanya untuk menyembunyikan tanda-tanda fisik kekayaan.
Dalam konteks peran sosial wanita, sejak bangsa Indonesia menyambut zaman modern—yang di dalamnya nilai kesetaraan, emansipasi, dan keadilan gender diserap—temuan buku ini juga menyuguhkan kesimpulan baru. Para responden penelitian mengamini peran wanita tersimpul pada (1) mengurus anak, (2) mengurus suami, (3) mengatur rumah tangga, (4) “yang penting jangan lupa sama kodratnya”.
Peran Ibu Rumah Tangga sebagai Peran Sosial
Seluruh jawaban responden wanita ihwal “peran wanita” di atas, bertempat dalam ranah “rumah tangga”, yang dalam kacamata feminisme Barat, dipandang sebagai ranah domestik, yang seringkali dianggap sebagai simbol keterkungkungan perempuan yang tak bisa mengambil peran keluarnya di ranah publik. Namun jika menelaah struktur sosiologi rumah tangga Jawa, justru kita menemukan “rumah tangga” merupakan simpul penting menuju peran sosial yang lebih luas, dimana perempuan menempati posisi penting di dalamnya. Peran kepala rumah tangga, “ibu rumah tangga” dengan begitu tidak bisa melulu dimaknai sebagai “peran domestik”. Rumah tangga jauh dari sangkaan orang merupakan ruang yang tak terpisah, alias terbuka dan tersambung dengan ruang sosial dimana ia berada. Karena bagi masyarakat Jawa ruang sosial (public) adalah perpanjangan dari rumah tangga. Oleh karenanya, hampir semua responden baik laki-laki maupun perempuan tidak memiliki penolakan berarti dalam konteks keikutsertaan wanita untuk bekerja, bersekolah lebih tinggi, maupun beraktivitas sosial di luar rumah, selama itu berjangkar dalam konteks perluasan peran domestik-sosial rumah tangga.
Seperti tersimpul bagaimana para wanita mempersepsi peran laki sebagai “pemimpin keluarga”, yang tak terlalu dipersoalkan oleh wanita Jawa. Karena ini bagi mereka terkait pembagian peran yang wajar sesuai peran masing-masing dalam jaringan keterhubungan rumah tangga dalam peran sosialnya lebih luas. Justru, sebagai pengatur keuangan keluarga, wanita menempatkan dirinya dalam jaring sosial yang menautkan kehidupan sosial perempuan dalam dunia simbolik masyarakat Jawa secara umum. Peran sosial rumah tangga dianggap sukses justru terhubung secara positif dengan keberhasilan pengaturan keuangan keluarga, yang notabene ditentutan oleh peran wanita.
Wanita menempatkan dirinya dalam jaring sosial yang menautkan kehidupan sosial perempuan dalam dunia simbolik masyarakat Jawa secara umum.
Hal ini terkait peran sosial yang lebih luas, di satu sisi terkait kesediaan membatu sanak-kerabat maupun tetangga yang membutuhkan pertolongan dan bantuan finansial, maupun di sisi lain terkait kewijiban sosial untuk membantu acara ataupun perayaan-perayaan sosial (baca: slametan), yang mengikat masyarakat Jawa dalam jalinan sosial untuk terus-menerus saling terhubung dalam bangun komunalitasnya. Kepandaian dalam “pengaturan keuangan” juga peran sosial tersebut dijabarkan dalam konsep “gemi” (hemat), “srawung”(bersosialisasi), “ubet” (cekatan dalam mengatur pengeluaran, manupun menambalnya), “supel” (pandai bergaul), maupun “bisa disambati” (bisa dimintai tolong). Oleh karenanya gerak perempuan dalam rumah tangga (ibu rumah tangga) tidak bermakna ketertutupan dan isolasi, melainkan suatu bentuk keterhubungan dengan apa yang bergerak di luar rumah tangga. Ungkapan “jangan sampai lupa dengan kodratnya” adalah sebentuk usaha menghormati tempat sendiri—dimana setiap posisi mencerminkan fungsi dan perannya masing-masing, tidak hanya terkait perempuan laki-laki semata—dalam usaha menjaga keseimbangan dunia (rukun/harmoni).
Kesetaraan Gender dalam Dunia Jawa
Hal ini juga bisa berguna untuk menjelaskan bagaimana konsep kesetaraan gender, keterdidikan, maupun peran publik perempaun diterima namun dengan tetap dijangkarkan pada universum simbolik pandangan dunia Jawa-nya. Kesetaran perempuan misalnya tidak didasarkan pada gagasan sebuah kemandirian perempuan untuk memperoleh hasil pendapatan sendiri maupun menikmati buah dari pendidikan tinggi yang berusaha ingin keluar dari bayang-bayang peran “ibu rumah tangga”-nya, misalnya. Kesetaraan perempuan laki-laki, ringkasnya, tidak berawal dari kemandirian perempuan yang berujung untuk bersaing atau bahkan merebut peran sosial yang dimiliki laki-laki (pemimpin keluarga). Atau dalam kasus pada tingkat pendidikan tinggi yang dicapai oleh perempuan, justru tidak mendorong perempuan lebih lanjut untuk mendapatkan struktur kemandiriannya di luar rumah. Oleh karenanya, dalam kasus bekerja di luar rumah, justru hal tersebut memperkukuh ruang sosial perempuan Jawa untuk memperkaya kehidupan rumah tangganya.
Ini memperkuat kesimpulan awal bahwa ternyata rumah tangga dianggap sebagai tiang pusat dunia perempuan, sementara bekerja adalah bentuk perluasan ruang gerak rumah tangga. Dalam skema ini, bersekolah tidak berarti mengayunkan langkah menuju kebebasan perempuan untuk keluar dari peran ibu rumah tangga, melainkan sebagai sarana untuk menguatkan peran sosial rumah tangga dalam kerangka “rukun” dan “slamet”. Kalau di Jawa dulu perempuan membuat batik, menari, menembang, maka sekarang ia melukis, menulis, bersekolah, bekerja, berdagang, ikut berpolitik, tetapi tempat dan perannya tetaplah berjangkar dalam rumah tangga sebagai perempuan Jawa.
Tempat dan perannya tetaplah berjangkar dalam rumah tangga sebagai perempuan Jawa.
Kesimpulan yang bernada sama juga kita temukan bagaimana perempuan Jawa mendefiniskan konsep “kecantikan” dalam praktik mengonsusmsi barang kosmetik kecantikan modern maupun praktik berbelanja pakaian-pakaian modern. Hal ini ditunjukkan bagaimana para perempuan Jawa mengaitkan kecantikan dengan hal-hal yang terkait di luar penampilan fisiknya, seperti ungkapan (1) cantik lahir-batin, (2) bisa menyesuaikan diri sesuai sikon (empan papan), (3) kelakuannya baik (4) bersih, (5) penampilannya oke. Atau dalam kasus penggunaan pakaian modern, penelitian ini juga menunjukkan istilah dengan ungkapan seperti (1) pas, (2) pantas, (3) cocog, (4) empan-papan. Artinya penggunaan pakaian, semodern apapun pakaian tersebut, harus dikenakan dan ditimbang dari kesesuaian umur, tubuh, status sosial-ekonomi, status perkawinan, dan perannya dalam dunia sosialnya. Ini berarti perempuan dianggap semakin cantik jika riasan wajah dan rambutnya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya, sekaligus sesuai dengan konteks keberadaan sosial dimana dia sedang berada. Dalam konteks ini kecantikan pada umumnya, juga penampilan adalah modalitas-modalitas yang bersifat sosial dan bukannya individual (hal. 344-345).
Kecantikan: Kepolosan “Keibuan” Kehidupan Batin
Hal ini juga tercermin dalam tata rias perempuan Jawa modern ihwal penekanan “halus”, seperti muncul dalam ungkapan (1) wajahnya bersih nggak punya masalah, (2) polos/nggak dandan, (3) dandan tipis, (4) kecantikan polos habis mandi, untuk menjawab kapan saat-saat wanita dikatakan cantik. Artinya sifat atau watak alami dari riasan wajah begitu ditekankan dalam represtasi “cantik” Jawa dalam dunia modern. Ringkasnya bisa disimpulkan bahwa cantik untuk orang Jawa adalah sebuah gagasan tentang penampilan “baik” dan penampilan tersebut selaras dengan kehidupan batin yang selalu tersimpan dalam tubuhnya. Ini ditambah bahwa “perilaku baik” yang inhern dalam konsep kecantikan selalu dikaitkan dengan karakter keibuan perempuan. Yakni sebuah gagasan kematangan (sosial) dalam nalar Jawa untuk mencapai kehalusan (rasa).
Dari sudut bagaimana representasi sosial seperti yang digunakan oleh perempuan Jawa dalam meresepsi, mengapropriasi, menerjemahkan modernitas, para perempuan Jawa ternyata tidak keluar dari Jangkar budaya lamanya. Menjadi modern dalam arus gempuran produk-produk barang-barang modern justru membantu masyarakat Jawa, terutama perempuan, untuk melestarikan dan memperkuat identitas kulturalnya di tengah arus globalisasi. Menjadi modern oleh karenanya, justru merupakan representasi menuju konsep kedewasaan Jawa untuk menjaga keselarasan dan prinsip “rukun”. Yang modern dalam konteks tersebut justru menjadi representasi kejawaan dan memperkaya kejawaan. Gagasan “Dadi Wong” oleh karenanya hadir sebagai representasi manusia modern Jawa.
Perempuanlah yang menjalankan peran penjaga di keseimbangan dunia Jawa dalam kehidupan nyata.
Dalam konteks rumah tangga, perempuanlah yang menjalankan peran penjaga di keseimbangan dunia Jawa dalam kehidupan nyata. Hal itu secara aktif terwujud dalam penataan rumah tangga, hubungan yang harus dijalin dengan laki-laki dalam rumah tangga, serta keterhubungannya dengan dunia di luar rumah, dimana rumah tangga adalah tempat utama dimana keseluruhan tatanan sosial masyarakat Jawa bertumpu.
Selain itu buku “Dadi Wong Wadon” juga menyuguhkan pada kita, bahwa gagasan perawatan tubuh dan kecantikan adalah medan dan wadah bagi perempuan Jawa melestarikan gagasan keseimbangan, sebagai usaha mempertahankan makna atas tubuhnya agar bisa mewujudkan ideal keseimbangan antara “kecantikan dalam” dan “kecantikan di luar”. Dengan begitu modernitas distrukturkan sebagai perjalanan menuju titik kesempurnaan masyarakat Jawa, karena tubuh yang menjalani hidup modern adalah tubuh yang bisa menghadirkan ideal Jawa: “halus”.
Dalam konteks “wacana kolonial” yang telah disinggung di awal-awal paragraf, dari temuan-temuan yang dikemukakan dalam buku “Dadi Wong Wadon”, kita menemukan narasi-narasi yang bergerak dan berjalan mengambil jalur lain. Konsep kesetaraan jender misalnya diterima oleh wanita Jawa dengan cara menempuh pendidikan tinggi, bekerja di luar rumah, namun tetap dalam kerangka mempertahankan konsep peran tradisional perempuan dalam rumah tangga. Hal ini sedikit berbeda dari frame gerakan feminisme Barat, dimana peran domestik perempuan selalu dipersepsikan sebagai ketertindasan dan keterkungkungan. Ini ditunjang oleh temuan buku ini bahwa ruang domestik dan ruang sosial tidak benar-benar terpisah dalam sosiologi masyarakat Jawa. Bahkan ia dijadikan ruang memperteguh kejawaan dalam semesta ruang sosial Jawa, yang memang selalu bermakna dalam jaring peran sosialnya yang lebih luas.
Rumah tangga, sebagai unit sosial masyarakat Jawa tidak didefinisikan semata sebagai unit produksi kapital dalam perkembangan kapitalisme idustustrial modern yang menyebabkan kemandirian subyek perempuan terlepas dari rumah tangga, melainkan justru ia membantu menjangkarkan kejawaan dan peran sosial perempuan dalam peran sosialnya. Pun juga terkait praktik konsumsi barang-barang mewah maupun barang kosmetik kecantikan tidak dimaknai seturut dalam perkembangan masyarakat industrial apa yang sering disebut sebagai “conspicuous consumsion”, yakni sebuah praktik konsumsi yang dimaksudkan untuk membedakan diri atau menandai “jarak sosial” dari kelas sosial dan budaya dalam sebuah sebuah skema pertentangan kelas sosial yang saling berbenturan. Penampilan justru malah membuat masyarakat menjadi padu dan semakin terikat dan terjalin dalam ruang sosialnya.
Jadi temuan-temuan seperti dipaparkan di atas menunjukkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat organic, dimana kesejarahan sosial budayanya selalu menjadi jangkar ampuh untuk menerima dan menaruh nilai-nilai asing yang masuk (modernitas) dalam bangun pandangan hidup Jawa secara lembut. Dalam sebuah metafor, modernitas diterima dengan hati-hati dengan cara ditenangkan dahulu (ditimang/dikudang)—layaknya menenangkan tangis bayi dalam gendongan perempuan—agar pontensi destruksinya “diam” dan berhenti, seperti diamnya bayi, serta pada akhirnya menjadikannya dan diperlakukan menjadi kepunyaannya sendiri (seperti seolah merupakan anaknya sendiri).
Dari uraian tentang kesimpulan buku “Dadi Wong Wadon” muncul sebersit pertanyaaan, haruskah sebuah masyarakat dikembangkan mengikuti suatu gagasan ilmiah yang tidak cocok dengan bentuk nyata masyarakat tersebut? Atau haruskah sebuah perkembangan kemajuan dan emansipasi perempuan di sebuah masyarakat, terutama di negara “Dunia Ketiga” selalu harus diandaikan dengan memandang ke Barat? Adakah alternatif keluar dari jebakan wacana (neo)colonial tersebut? Titik.
Irfan Afifi
Peneliti Ifada Initiatives dan Pendiri Langgar.co
Lembaga Kebudayaan dan Kajian “Khasanah Pemikiran Nusantara”
Tulisan ini dipresentasikan dalam dalam acara Focus Group Discussion (Tokoh Bangsa) yang diselnggarakan Pusat MPK Universitas Brawijaya, Selasa 25 April 2017, 13.00-15.00 Wib, di ruang lantai 8 Ruang Rektorat Universitas Brawijaya.
Tulisan ini dimuat kembali untuk menyambut peringatan Mendak Pindho (tahun kedua) wafatnya yu patmi, seorang syahidah pembela Pegunungan kendeng, Rembang, Jawa Tengah, dari eksploitasi PT. Semen Indonesia.
Doa yang dilantunkan Gunretno dan Sukinah – para petani kendeng – di acara Mata Najwa kemarin malam (Rabu, 21/12/2016 ) sepertinya sedang manampar persaksian tauhid kita bersama. Lihat bait-bait doa yang mereka lantunkan:
Ibu bumi wis maringi,
Ibu bumi dilarani,
Ibu bumi kang ngadili,
La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah
Bait-bait ini seolah ingin mengingatkan kaitan paling awal antara kata “iman” dan “syukur”. Jauh sebelum ia menjadi kata yang sering dilawankan dengan kata “kufur”, pada mulanya kata “iman” justru adalah sinonim dari kata “syukur”. Dan syukur adalah lawan kata kufur. Orang dianggap tidak bersyukur atas karunia-Nya—termasuk di dalamnya atas sumberdaya alam—dikatakan adalah orang yang kafir atau kufur, alias “menutup” dan “mengingkari” diri dari karunia-Nya, alih-alih berterimakasih atas anugerah tersebut.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu kafir atas (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS.ibrahim 14: 7)
Iman adalah sebentuk kesadaran bahwa seluruh anugerah Allah atas kehidupan di bumi ini – dari sudut tauhid kita – sungguh benar-benar berasal dari-Nya, dan manusia dituntut untuk berterima kasih, serta sesuai mandat kekhalifahannya, disuruh merawat dan mengelolanya dengan cara bijak untuk kepentingan kemanusiaan dengan visi luas dan panjang dalam frame tauhid.
Orang kafir dengan begitu pada awalnya adalah orang yang menolak visi “keberterimaksihan” ini. Mereka hanya mengingat anugerah Tuhan di saat-saat terjepit, dan melupakan anugerah-Nya, atau bahkan menyalahgunakan karunia-Nya di saat longgar.
Bumi ini sebagai anugerah Allah telah banyak memberi, begitu bait awal doa itu dilantunkan. Dan kita tahu akhir-akhir ini, ibu bumi sedang disakiti, dieksploitasi, dan dikeruk atas nama keuntungan korporasi yang merusak. Dan para pemimpin negeri ini justru menjadi aktor yang melapangkan jalan ini. Kita, orang-orang yang sering dengan gagah mengaku beriman, yang berulang kali melafalkan syahadat dalam keintimam sholat kita, sebagaimana disitir dalam bait lagu-lagu di atas, justru abai terhadap fakta eksploitasi yang mengancam.
Karena mungkin persaksian syahadat kita tak lagi ampuh menggerakkan laku kita ihwal pencegahan eksploitasi ini. Syahadat kita berhenti nyaris setelah dua salam kita selesai. Atau mungkin kita perlu menunggu ibu bumi mengadili kita bersama. Agar syahadat kita masih menjangkar tanah. Agar sembah kita juga berkait dengan bumi dan manusia yang menjejak di atasnya.
Doa para petani Kendeng mungkin juga sedang ingin mengingatkan kita bersama betapa dunia juga laku kita mengelola bumi—termasuk laku beragama kita—benar-benar telah disesaki oleh yang maskulin. Mengeruk daripada merawat; menguras daripada menanam; mengeksploitasi daripada melestarikan.
Doa para petani Kendeng mungkin juga sedang ingin mengingatkan kita bersama betapa dunia juga laku kita mengelola bumi—termasuk laku beragama kita—benar-benar telah disesaki oleh yang maskulin. Mengeruk daripada merawat; menguras daripada menanam; mengeksploitasi daripada melestarikan.
Ibu bumi—yang sering dilawankan dengan bapa langit (maskulin)—ingin mengingatkan yang feminin dari dan dalam diri kita. Ia ingin memberi peringatan bahwa yang feminin nyaris tergusur oleh hasrat maskulin kita yang hari-hari ini sedang bersimaharajalela. Praktik kita mengelola bumi ini juga praktik beragama kita akhir-akhir ini berjalan dalam langgam mengeruk daripada merawat; membenci daripada mengasihi; menarik batas daripada merangkul; mengekploitasi daripada menumbuhkan.
Barangkali sikap agresif kita terhadap alam dan terhadap keyakinan juga pandangan yang berbeda telah membutakan hati kita dari rasa welas asih yang dulu diajarkan para “ibu” kita yang membesarkan kita dengan cinta. Dan para “ibu” petani Kendeng itu sekali lagi ingin menarik kita kembali memeluk ajaran “ibu bumi” tentang sikap merawat dan mencintai, agar sifat rahim tuhan menapasi perilaku kita terhadap alam dan sesama, layaknya kita yang baru keluar dari rahim “ibu” kita.
Di hari-hari mendekati tahun kedua meninggalnya Yu Patmi ini, ibu bumi melalui para “ibu” petani di Kendeng, sedang mengingatkan kita akan pentingnya syahadat yang menjejak bumi.
Doa kami untukmu.
“Rasa” bagi orang Jawa sering dimaknai sebagai bagian “terdalam” di diri manusia dalam menangkap “Kebenaran”. Tentu dengan tingkat dan jenjang tertentu, orang bisa menempelkan kata “rasa” terkait makna perasaan “sakit” saat kulit kita tersayat misalnya, atau rasa “manis” saat Anda sedang mencecap gula, rasa “patah hati” saat Anda ditinggal kekasih, rasa “tercekat” saat memandangi sebuah keindahan, atau rasa “bahagia” saat melihat anak-cucu hidup harmonis, atau “rasa” dalam menangkap “Kebenaran”, atau bahkan “rasa” dalam “merasai” hidup ini (urip).
Jika Anda mau sedikit bersibuk menelisik, untuk menyebut kata “makna” atau “arti”, orang Jawa menyebutnya dengan kata “surasa” atau “suraos” (krama-inggil rasa). Saat anda mendengar Khotbah Jumat dalam bahasa Jawa, setelah membaca ayat Quran dalam bunyi Arab-nya, sang khatib akan menambahkan, Ingkang suraos-ipun, alias “yang artinya”. Di dalam perbendaharaan beberapa manuskrip kesusastraan “serat” maupun “suluk”, kadang-kadang kata “surasa” dikembangkan dalam bentuk kata lain seperti “wirasa” maupun “wiraos”, atau juga “sawirasa” persis seperti Kitab Bonang menyebut istilah wirasa-ning usul suluk, atau dalam kasus istilah Serat Cebolek dalam kata rasa-ning kawi.
Dari keterangan ini, meski memiliki keterkaitan semantik, kata “surasa” sebagai padanan kata “makna” atau “arti” sebenarnya tak benar-benar bisa secara sepadan disejajarkan. “Surasa”—yang sering diterjemahkan “arti” itu—seolah ingin menekankan sebuah “makna” yang ada, bukan semata dalam sebuah ujaran teks-tulisan dan diskursus (seperti tertangkap pikiran semata), melainkan sebuah “makna” yang telah meresap dalam “hati”, alias telah meresap dalam “rasa” terdalam manusia (weh reseping ati).
Oleh karenanya, selain sebagai fakultas epistemologi diri dalam menangkap “kenyataan” yang berjenjang-menaik, Ia, kata “rasa” itu sering dimaknai sebagai “inti”, yang kita tahu sepadan dengan kata “galih” yang juga berarti “inti” atau “hati”. Kata ini dengan begitu, tak hanya sebatas fakultas “epistemologis”, tapi merupakan “fakultas ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup ini. Atau dalam bahasa lain, dalam menangkap lukita-nya Alam, yakni sebuah susunan huruf yang membentuk kesatuan ayat melalui rasa. Sebuah sasmita dan pasemon Agung sang “Kebenaran” hidup. Rasa iku rasul, wijile rasa-ning urip.
Tak aneh misalnya, jika dalam sebuah percakapan, dalam menimbang masalah tertentu, orang diminta dengan perkataan, “mangga dipun penggalih” (galih) atau “mangga dipun rasa-rasa piyambak” (rasa), alias “silakan dipertimbangkan” (dengan rasa). Tidak hanya dengan menggunakan fakultas akal kita an sich seperti diajarkan sekolah kita, melainkan dengan mengaktifkan “hati” (galih) dan “rasa” kita. Dengan cara tersebut, kebenaran yang begitu misterius, adiluhung, dan begitu “rahasia” itu bisa kita rengkuh sedikit demi sedikit, yang sebenarnya merupakan sebuah proses tak henti dengan jalan rendah “hati”, dalam menyingkap yang “benar” dalam Alam semesta (baca: alam, alamat-Nya). Persis seperti kita “merasa”-i misteri hidup yang tak terperi ini. (sang urip).
Dalam merasai dan memaknai hidup, Anda tak mungkin mengandalkan “akal” dalam memahami keseluruhannya. Bukan bermaksud merendahkan fakultas tersebut, melainkan setiap “fakultas” diri semestinya memiliki “porsi” (baca: isti’dad) kebenarannya masing-masing. Kulit Anda mungkin bisa merasakan lengketnya cairan gula, tapi tak bisa merasakan rasa manisnya. Pandangan mata anda bisa menangkap “putih”-nya kain, tapi (putih) tak benar-benar bisa didefinisikan oleh nalar pikiran Anda. Atau ihwal ketak-berhinggaan batas pemikiran anda, yang tak bisa dijelaskan oleh panca-Indra yang berbatas. Juga “rasa” bahagia Anda yang tak benar-benar bisa Anda jelaskan menurut pemikiran Anda.
Kata “rasa” itu sering dimaknai sebagai “inti”, yang kita tahu sepadan dengan kata “galih” yang juga berarti “inti” atau “hati”. Kata ini dengan begitu, tak hanya sebatas fakultas “epistemologis”, tapi merupakan “fakultas ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup ini.
Begitupun Hidup, ia mengundang kita untuk terjun dalam sebuah “penerimaan” utuh dari seluruh bagian diri ini, dalam menyelaraskan “gerak rasa”-Nya. Ya sebuah ajakan untuk tenggelam dalam “laku” berdedikasi dengan mengikuti “arah”-Nya. Lelakon hidup ini ternyata telah dan sedang menuju sesuatu dalam sebuah gerak teleologis berarah, Sangkan Paraning Dumadi. Lelaku atau perjalanan hidup itu ringkasnya, sebenarnya tidak terjadi “di luar”, melainkan sebuah perjalanan menuju “ke-dalam”. Yakni sebuah “perjalanan” dalam (1) mengendalikan keinginan (Karsa) ego yang merusak, (2) menajamkan pikiran (Cipta) dengan menepis jebakan pamrih diri, maupun (3) menjernihkan hati dari kealpaan akan tujuan hidup (Jiwa). Dengan cara itu, bagian terdalam dari diri kita itu, yakni (4) “rasa” terdalam kita, bisa sedikit-demi-sedikit menjadi cermin bening bagi kebenaran “Alam” atau “Jagad” atau hidup itu sendiri.
Oleh karena ketidakberhinggaan “terdalam” rasa yang ingin dipahami, maka rasa sering dikatakan sebagai sebuah “misteri” yang terus-menerus mengundang tanya. Ia sering dikatakan sebagai “rahsa” alias “rahasia” terdalam dari diri. Oleh karenanya kata “rahsa”—sepadan dengan arti “sirr” dalam bahasa suluk (tasawuf)—sering dialih-lapalkan dengan kata “rasa”, alias “inti” atau “rahasia” terdalam pada “jagad” diri manusia sendiri. Keterangan ini sekaligus ingin mengatakan bahwa pada proses awal Islamisasi di pulau ini, kata “dzauq”—yang sering diterjemahkan sebagai “rasa” sebagai fakultas diri dalam menyerap kebenaran—belum dikenal. Kata “sirr” lebih masuk akal.
Dalam sebuah paragraph di “Primbon Attasadur Adam Makna”, terutama saat menerangkan serat “Wirayat Jati” ihwal bab “gegelaran kahananing pengeran” (keber-ada-an Tuhan), Anda akan bertemu sebuah kutipan, yang menurut keterangan dalam primbon ini, diatributkan sebagai hadis (qudsi) Nabi: “Al insanu sirri, wa ana sirruhu”. Yang menarik, primbon ini menerjemahkan bait-bait hadis ini dengan arti, “Sejatine menungsa iku rahsa-ningsun, lan Ingsun (Allah) iku rahsa-ning menungsa”. Atau jika dibunyikan dalam bahasa Indonesia menjadi, “Manusia itu rahasia-Ku (Allah), dan Aku itu rahasia-nya manusia”. Dalam perkataan Nabi tersebut, kata “sirr” (Arab), yang memang secara harafiah bermakna “rahasia”, diterjemahkan dengan kata “Ra(h)sa”.
Bait-bait kutipan perkataan Nabi (baca: hadis qudsi) tersebut, juga bisa ditemukan dan termaktub di Serat Wirid karya Ronggawarsita, terutama di bagian yang menjelaskan ihwal “gelaran kahananing Dzat”, persis verbatim seperti terjemahan perkataan Kanjeng nabi yang telah disebut sebelumnya. Malah, dalam Serat Tuhfah (basaning tuhfah)—sebuah manuskrip berbahasa Jawa seperti ditemukan oleh A.H. Jhons—terutama pada “pupuh” kedua (Asmaradana) di “pada” ke-9 (bait 9)—saya mendapat afirmasi ihwal permainan kata “rahsa” dan “rasa” yang saling dipertukarkan: “Manusa rahsa-ningwang, pan i(ng)sun rasa-ne iku”. Manusia itu ra(h)sa-Ku, dan Aku (Allah) “rasa”-nya manusia.
Tak aneh jika, jika kita sering mendengar, “Jawa iku panggone rasa”, alias kebudayaan Jawa meletakkan (kata) “rasa” pada tempat yang begitu tinggi. Persis seperti adagium, “Jawa itu nggone semu”, Ia, pada kebudayaan ini, juga dianggap tempat hal-hal yang “samar” (semu) dan “tersembunyi” (rahsa) diberi perhatian lebih (pasemon). Orang, dalam konteks ini, diminta menyesap dan tenggelam dalam sebuah semesta tanda (sasmita), yang sebenarnya menyelubungi secara berlapis kenyataan hidup dan alam ini. Sebuah sasmita agung (ayat), yang sebenarnya telah ada dan tercermin dalam “jagad cilik” (mikrokosmos) dalam diri manusia sendiri. Ya sebuah undangan untuk mengawasi dan melihat diri-sendiri (“mulat sarira”), yakni tempat “rasa” hidup beserta kebenarannya dapat ditangkap dalam dimensinya secara menyeluruh dan utuh. “Rasa” itu “Aku”, dengan A besar, kata “wedharan wirid” yang terkenal.
Al insanu sirri, wa ana sirruhu. Manusa rahsa-ningwang, pan i(ng)sun rasa-ne iku. Manusia itu ra(h)sa-Ku, dan Aku (Allah) “rasa”-nya manusia.
Budaya “rasan-rasan” dengan seluruh atribut negatifnya hari ini mungkin pada awalnya adalah sebuah latihan untuk menangkap, menebak, serta menerka “semu” (yang samar) dari apa yang “dirasakan” orang lain. Alias merasakan apa yang dirasakan orang lain. “Ng-raos-aken rasa-ning tiyang sanes.” Ya, sebuah latihan untuk mengetahui apa yang dirasakan orang lain (tepa sarira), bukan pertama untuk menderet keburukan-keburukan yang diperbuat orang-lain, melainkan agar tindak-tanduk perbuatan dan rasa kita selaras dengan rasa orang lain, alias agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Oleh karena itu, orang harus dituntut waspada terhadap “kesamaran” atau “semu”—yang juga bisa berarti “gelagat” dan “raut muka” seseorang dalam bahasa Jawanya—dari perbuatan, respon, tanggapan, maupun rasa terdalam orang-lain. Dengan cara mengenali yang samar itu, orang akan bisa meng-enak-kan perasaan orang lain, sehingga apapun yang keluar dari tingkah laku dan ucapannya dalam sebuah pergaulan selalu selaras dan manis. Atau dalam bahasa “Serat Wedhatama”, “waspadeng semu, sinamun samudana, sesadon ing adu manis”.
Oleh karena itu, konsep tentang “olah rasa”, “rasa-pangrasa”, “rumangsa” atau “ilmu rasa” menjadi sebuah kosakata yang tidak asing di telinga. Malah, saya menduga konsep dari turunan kata “rasa” ini benar-benar telah membentuk skema besar pandangan dunia yang merangkai semesta lingkaran semantik—sebut saja begitu—atas “makna” serta “kebermaknaan” hidup ini seperti dijalani oleh bangsa Jawa, atau bahkan mungkin oleh masyarakat Indonesia secara gradatif. Konsep ini dengan seluruh turunan katanya, seolah ingin menggeret kita dalam sudut spektrum tertentu untuk menilik ulang meneliti “rasa” dan “kedirian” sejati diri sendiri (manusia).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita akan kata “jati diri”, dimana laku “olah diri” mengenali “ra(h)sa” terdalamnya adalah sebuah pertaruhan yang berujung pada pertemuan dengan “diri (se)jati”-nya, yang memang merupakan jangkar dari universum “makna” atas perjalanan dan lelakon hidup ini. Dalam perjalanan mencari makna “ra(h)sa” atau “rahasia” kehidupan ini, orang kita dengan rendah hati memilih bersibuk “menjalani” -nya (nglakoni), daripada alih-alih menjelaskan dalam bangun “makna” yang jelas dan padu. Namun, jika orang bersabar dan rendah hati dalam olah diri untuk melatih “kepekaan rasa” atas lapisan “samar” dari hidup dan semesta kehidupan ini, yakni dalam sebuah laku etis berdedikasi untuk mengindahkan diri (akhlak utama), kebenaran hidup beserta “misteri”, “kesamaran” (semu), dan “ke-ghaib-annya” akan tersingkap dan merembesi “rasa terdalam” diri Anda—meminjam istilah Wedhatama, “wis bisa nuksmeng pasang semu, pasemoning hebing kang Maha Suci.” Karena pada akhirnya hidup berserta kebenaran-nya itu adalah diri kita, “rasa” kita. Dan “rasa” itu “Aku”. Ya Hayyu.
Irfan Afifi
Cepokojajar, 24 April 2018.
Saya tak tahu sejak kapan Ijah akrab dengan (kata) Pasemon. Yang saya tahu, hidupnya, terutama separuh hidupnya terakhir, penuh dengan gejala-gejala yang membuat orang sekelilingnya menangkap bahwa ia hidup dan menghidupi lelakunya dalam pengertian penuh kata Jawa itu.
Kata itu, Pasemon, memang sering merujuk pada semacam cara ekspresi dalam kebudayaan jawa, bisa dalam sebuah cakapan verbal, tingkah, gestur, tindakan, atau sindiran, yang orang diminta menangkap pesan di balik apa yang tampak. Kata “semu” sendiri—sebagai kata dasar Pasemon/Pasemuan—memang berarti “samar” atau “yang mirip seperti (mengacu) itu, tapi (sekaligus) bukan itu”. Ya apa yang ada dibalik peristiwa, apa yang dibalik perbuatan juga pernyataan.
Mungkin ijah tak sendiri. Orang Jawa—mungkin juga sudah merembes dalam kebudayaan Indonesia secara umum—dari sejak dini dikenalkan untuk menerobos apa yang tampak. Ia dipaksa mengakrabi yang tersirat, metafora, sasmita, ketaklinieran, dan sanepa. Wujud puncak pasemon ini termanifes dalam bangun utuh Kesusasteraan Jawa yang sering ditembangkan secara populer di desa-desa itu. Ijah sepertinya tertanam dalam kebudayaan tersebut, dan sepertinya ia menyesap habis “kearifan” itu.
Beberapa momen, sejauh saya ingat, menunjukkan tanda yang menunjuk “gejala” itu. Dulu, ia sering bercerita, setiap orang, seperti diyakininya, mau tak mau harus memanen buah dari hasil perbuatannya. Ngunduh wohing pakerti, katanya. Mirip konsep kausalitas moral bernama “Karma” itu. Bukan dalam pengertian awam, jika anda mencuri, besok Anda akan dicuri. Melainkan, setiap perbuatan baik (pasti) akan memberi dampak baik atau menghasilkan konsekuensi baik, baik dalam waktu bersamaan maupun di kemudian hari. Begitu juga sebaliknya. Ringkasnya, setiap perbuatan—bahasa kerennya “Karma”—pasti akan menumbuhkan buah (phala, pahala): Karmaphala. Dan orang pasti memanen buah dari setiap perbuatan yang dijalankannya. Sebuah hukum kausalitas moral universal.
Pernah suatu kali, ia bercerita bahwa tetangga yang dulu menjadi aktor jagal PKI tahun ‘65 mati dengan cara mengenaskan. Ada yang mati terjatuh, menelungkup di kandang tahi bebek, menderita stroke yang melumpuhkan sekujur tubuhnya selama puluhan tahun, dan lain-lain. Menurutnya ini adalah pasemon dari perbuatan. Orang harus pintar-pintar menyesap pasemuan yang merentang dan terpapar dalam urip.
Mungkin Tuhan hendak mengajari kita dengan menyediakan lanskap agung semesta ini, sebagai sebuah pasemon Agung, sebagai sebuah sanepa, sasmita, serta tanda (baca: ayat), agar orang menembus yang tampak, agar orang tak berhenti pada yang tampak. Ijah selalu merindukan sasmita ini. Ya sebuah pasemon yang bisa mengantarkan pada-Nya.
Di sebuah acara pernikahan anaknya di Kebumen, misalnya, ia memarahi rombongan tetangga yang diajaknya ngiring manten di kota itu. Pasalnya, para rombongan tetangga, yang secara otomatis mewakili rombongan keluarganya, menyantap dua kali makan dan dengan bersemangatnya mengambil apa saja segala ragam jenis makanan yang tersedia.
Bagi Ijah, tindakan ini adalah pasemon yang buruk bagi keluarga besannya. Namun, kita tak tahu persis, apa respon besan itu apakah sedih, merendahkan, atau malah cukup senang. Bagi Ijah apa yang akan disiratkan dari sebuah tindakan harus dijaga sebaik mungkin agar tak menimbulkan siratan pasemon yang buruk oleh lawan. Dan itu sudah cukup alasan, dan orang-orang dituntut menerima logika itu.
Tak hanya perbuatan, bahkan baginya, kebenaran hanya, dalam konteks tertentu, selalu hadir dalam keadaan sublim juga subtil. Orang yang tak akrab dengan pasemon, alias selalu melihat dalam nuansa hitam-putih, akan gagal menerjemahkan ayat tuhan, sebuah pasemon agung semesta. Dengan cara itu tidak hanya keadilan akan direnggut, melainkan kearifan juga bisa disesap.
Ia pernah rasan-rasan tetangganya, yang menurutnya gagal menyerap kearifan dari peristiwa kecil. Tetangganya, seperti diceritakannya, suatu kali memperingatkan tetangga lain perihal ranting besar pohon yang menjuntai di atas gentingnya. Ia meminta ranting tersebut dipapras, karena takut patah menimpa gentingnya. Belum sempat terpotong, peringatannya terbenarkan, ranting patah menimpa deretan genting hingga pecah. Sang empu genteng menuntut. Dan sang tetangga lain segera mengganti genteng baru. Permasalahan selesei. Namun Ijah melihat, sembari menyindir sang korban genting yang juga merupakan pemuka agama, gagal berlaku arif. Ia, menurut ijah, seharusnya mengganti sebagian uang sebagai kompensasi berubahnya genteng lawas ke genteng baru.
Tindakan tokoh agama tersebut benar, tetapi kurang trap dan pener, alias kurang tepat, ungkapnya dalam sebuah kesempatan berbincang dengan saya.
Saya tak tahu persis kearifan apa yang sebenarnya ia ingin ajarkan pada saya. Saya samar-samar mencoba menangkapnya. Tak benar-benar bisa utuh. Mungkin bagi Ijah, kebenaran, dalam patrap tertentu, memang samar, seperti samar-nya Al Haqq, alias Tuhan itu sendiri. Belum lagi, pengetahuan manusia selalu berusaha menjerat ide-ide agung, layaknya kebenaraan, keindahan, kesusilaan, cinta, dan lain-lain, dalam bentuk definisi, yang sebenarnya pada saat bersamaan merupakan kategori yang memilah dan mengekslusi kenyataan bahkan kehidupan yang sebenarnya satu-kepaduan konsep yang tak terpilah.
Oleh karenaya, mungkin Tuhan hendak mengajari kita dengan menyediakan lanskap agung semesta ini, sebagai sebuah pasemon Agung, sebagai sebuah sanepa, sasmita, serta tanda (ayat), agar orang menembus yang tampak, agar orang tak berhenti pada yang tampak. Ijah selalu merindukan sasmita ini. Ya sebuah pasemon yang bisa mengantarkan pada-Nya.
Waktu dulu menunaikan haji, Ijah sering bercerita mengenai visi-visi spiritual. Tak semua gamblang ia ceritakan. Tapi, samar-samar ia bercerita, perilaku seluruh teman dan saudara yang berangkat bersama ke tanah haram menampilkan pasemon perilaku, tahapan, dan level perjuangan membakar ego yang telah tercapai, dan itu tergambar jelas saat mereka di kota suci ini. Ada seorang yang sering meningggalkan rombongan untuk memenuhi dan memperbanyak ibadah-ibadah yang diserukan, ada yang sibuk berbelanja, ada yang sibuk mengurusi sertifikat haji hingga obat perkasa khas tanah Arab.
Ijah bahkan bercerita tentang rombongan malaikat yang berjalan dengan gemuruh di atas-nya. Terlepas itu, ia sampai punya refleksi yang apik: orang yang tak menangkap pasemon saat menunaikan haji di tanah haram, bukanlah seorang Haji yang “mabrur”. Saya tak tahu apakah Ijah berkata dalam nada menyimpulkan, atau ia sedang ingin berbagi pengalaman.
Yang jelas di puluhan hari terakhir kehidupannya, Ijah bahkan mulai “meninggalkan” teks fikih yang dulu menjadi panduan yang menuntun detail-detail kehidupannya. Ini tak harus mengandaikan aktivitas mendaras Qur’an di sepanjang pagi dalam hampir seluruh hidupnya, ia tinggalkan. Juga aktivitas nafilah-nafilah yang lain, yang ia perlakukan sebagai kewajiaban. Ia ingin menilai kehidupan dengan pasemon-pasemon yang melingkunginya. Dan ia sadar fikih tak menjangkau pasemon-pasemon itu.
Di setiap penghujung malam, seperti diceritakannya, ia sering meminta pandu dan penilaian dari Tuhan, yang tidak ia peroleh lagi dari pendapat fikih, kyai desa di sekelilingnya, juga tokoh-tokoh agama yang dulu ia sangat hormati. Sinar hijau, merah, putih, dan kuning yang sering ia minta sebagai tanda percakapannya dengan Tuhan, sering ia dapatkan.
Puluhan tanda-tanda lain sering mengintrupsi keheningan riyadhoh ruhaniyah malam-malamnya. Namun lagi, meski begitu, Tuhan pun selalu menuntut kita tak berhenti pada “kejelasan”. Toh Tuhan selalu menantang hambanya, dalam sebuah tanda tanya yang tak pernah selesei. Sebuah pasemon berlapis, dan hamba diminta terus mengelupasnya, pelan-pelan, istiqomah, penuh takut dan penuh harap. Mungkin agar tuhan selalu hadir dan “menggetarkan” juga sekaligus “memesona” hati kawula-Nya. Ia adalah misteri yang menggetarkan yang terus mengundang sahaya-Nya (bandingkan dengan kata Saya) untuk menangkap keindahan juga kebenaran-Nya dalam lokus (madh-har) yang berpendar dari seluruh predisposisi (isti’dad) makhluk dan elemen semesta, tempat ejawantah-Nya.
Menjelang hari-hari wafatnya, Ijah memanggil salah satu anaknya: “Kamu hendak pulang ke Magelang kapan?” “Seminggu lagi, Buk,” jawab Nanang putra lanangnya. “Mbok jangan keburu, dua hari lagi keluarga kita ada gawe (acara).” Sang anak tak terlalu menghiraukan. Ia merasa ibu sudah lupa tanggal, karena tidak ada jadwal acara di hari itu. Waktu Bulik Sumil bertandang, Ijah juga bercerita dengan bungahnya: “Wah, saya gembira, seminggu lagi kita ada acara.” Bulik Sumil membalas senyuman Ijah dengan tanda tanya. Bulik Sumil buru-buru menemui putri Ijah, Titin, dan menanyakan apakah acara tadarus keliling puasa tiba pada minggu dan tanggal seperti disebutkan oleh Ijah. Titin menggeleng. Bukan.
Di hari terakhir, saat kalut karena gerakan-gerakan Ijah yang tak normal, yakni seperti tangannya yang bergerak seperti melakukan gerakan takbiratul ikhrom, kepala yang mengangguk layaknya bersujud, juga engah nafas yang mulai sengal, anak-anaknya memutuskan membawanya ke rumah sakit. Anak-anaknya yang mengerubunginya di pembaringan melihat dengan jelas di detik-detik terakhir saat mereka menuntun kalimah tayyibah di kupingnya, Ijah meneteskan air mata sembari tersenyum. Ia bahagia.
Setelah kepergian Ijah, anak-anaknya mulai paham di hari seperti yang disinggunggnya, yakni di sepuluh akhir hari-hari puasa, Keluarga besar Siti Chadijah punya gawe. Doa tahlil dan tadarus keliling yang dibarengkan. Dan seperti diutarakan sendiri, Ia bahagia dengan acara itu. Saya tak tahu sebenarnya ia sedang memberi pasemon apa?
Irfan Afifi
Tempursari, 4 Oktober 2015
Mengenang 100 hari kepergian Ibunda Siti Chadijah.
Dalam konteks penjajahan ekonomi sumber daya alam, kita bisa belajar dan menengok ulang bagaimana para aktor sosial maupun kelas sosial berelasi dengan kekuasaan di zaman Cultuurstelsel Belanda dahulu, yang kita tahu sejak kekalahan orang Jawa pada Perang Dipanegara (1825-1830), Jawa benar-benar telah menjadi di satu sisi ajang politik eksploitasi ekonomi pada level sumber daya alam melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870) yakni untuk mengganti biaya kerugian perang Belanda, maupun di sisi lain akan menjadi lahan eksperimen politik kebudayaan pecah-belah penyingkiran Islam (identitas pemersatu pribumi)—yakni dengan cara menampik identitas Islamnya orang Jawa, yang dibayangkan melalui kesolidan identitas agama ini tenaga “revolusioner” yang dibawanya akan terus-menerus menginterupsi dan menggugat kekuasaan Kolonial.
Seperti diceritakan Ricklefs dalam “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}”(2007), yakni tepat setelah kekalahan perang Dipanegara dimana akhirnya Jawa tunduk pada kuasa kolonial, polarisasi yang terjadi di masyarakat Jawa semakin menegas, saat (1) Para priyayi mulai dari regenten (bupati) hingga pejabat desa menjadi alat birokrasi yang ampuh untuk menerapkan eksploitasi sistem Tanam Paksa (coersed drudgery)—yang dari sistem ini para bangsawan pribumi mendapatkan keuntungan ekonomis dari prosentase hasil tanam—belakangan akan membentuk kelas khusus menjauh dari rakyat (Priyayi), juga (2) Kondisi mayoritas petani yang menjadi objek eksploitasi dalam penyelenggaraan sistem Tanam Paksa yang mengantarkan mereka pada kemelaratan (Abangan), dan yang terakhir (3) Para pedagang Islam dan Haji (kelas menengah), terutama di daerah pantai, yang sebenarnya relatif terlepas dari sistem ini, namun terlibat secara ekonomi juga politis, layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar Arab, China, dan sedikit India (Putihan).
Tidak aneh jika eksponen para pemberontak di tahun 1870 hingga 1880-an adalah para kyai dan tokoh desa pertanian di pedalaman Jawa, yang terlibat jauh dalam tarekat—dalam bingkai identitas Islam tradisional dan sufisme Jawa yang telah ditanamkan secara mendarah daging oleh Sultan Agung maupun para Wali (baca: Islam Jawa)—yakni yang memiliki ngelmu, mengamalkan suluk (laku) dan tirakat, memegang jimat-rajah, serta memegang keris-pusaka.
Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya.
***
Kita tahu, hari demi hari kelompok Islam Jawa ini semakin merenggang hubungannya dengan para pedagang-Haji yang semakin kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi”-nya di satu sisi (putihan), maupun semakin terpisahnya mereka dari kelompok elite priyayi yang di masa politik Etis (priyayi) yang kita tahu semakin menegaskan antusiasme pada kebudayaan dan nilai-nilai modern Belanda (kamilandanen), yang dalam suasana gamang meninggalkan identitas ke-Islaman mereka, yakni dengan cara menautkan identitas kejawaan dengan masa lalu Hindu-Budhanya (masa Majapahit) dengan bantuan temuan filologi dan arkeologi Belanda, maupun spiritualitas dunia yang sedang menjamur, juga rasionalitas pendidikan Politik Etis yang sedang berjalan.
Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya. Juga pemberontak bernama Kyai Hasan Maulani, Mas Malangyuda, Kyai Nur Hakim di pedalaman Jawa, atau Mas Cilik yang menyerukan pemberontakan para petani dengan keyakinan “ngelmu” dan “jimat”-nya di Tegal pada tahun 1864, yakni dengan cara menempelkan titel “Haji” meski tak pernah pergi ke Mekkah.
Serta kita juga dapat menemui pemberontakan Mas Rahmat—seperti dicatat apik dalam dalam autobiografi yang diedit oleh Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra: 1985)—yang mempunyai hubungan dekat dengan Malangyuda juga dengan seorang pangeran Yogyakarta, Suryenggala di tahun 1883. Ia memperoleh kesaktiannya dari mengunjungi mulai dari makam para wali Jawa-Madura, gua wingit, menjadi santri di pesantren, hingga ber-tepekur di petilasan wingit Candi kuno leluhur orang Jawa.
Prototipe pemberontakan ini juga ditemukan pada “mahakarya” Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang terkenal itu yang mewakili spirit Islam Jawa sebelum terdesak badai reformasi Islam yang sebenarnya mulai menjangkiti para kelas menengah Islam Haji pasisir dan pedalaman, maupun sebagian para kyai pedalaman—yang notabene pelanjut “Islam Wali” (Islam tradisional)—seiring meningkatnya jamaah Haji sejak pembukaan Terusan Suez di tahun 1869.
Gelombang reformasi Islam ini berjasa menggelontorkan tuntutan “ortodoksi yang terbaharui” dari tanah Arab, maupun sedikit-demi-sedikit menyumbang kerenggangan sebagian pesantren dari pengajaran tasawuf tingkat lanjut yang menjadi penyangga pandangan dunia Islam Jawa—Ricklefs menyebutnya “Mystic Synthesis”—dan akhirnya menjadikan sebagian pesantren terbonsai dan terkurung dalam kecakapan teknis bahasa Arab maupun paradigma fikih dengan tambahan tasawuf akhlaqi seperlunya, yang pelan-pelan menjauh dari akar kejawaan lama.
Pengajaran kesusateraan Jawa yang menjadi modus lumrah di pesantren seperti terekam di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, Pesantren Jamsari di Madiun, maupun Pesantren Kyai Anggamaya di Kedu yang dibenarkan oleh catatan Belanda di masa sebelum Perang Dipanegara menjadi terkonfirmasi, karena memang merupakan Kawah Candradimuka tempat para pujangga Surakarta dari mulai Yasadipura I, Yasadipura II, maupun sang Pujangga panutup Ranggawarsita yang pernah menjadi santri di pesantren yang telah disebut di muka.
Di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional.
***
Dalam konteks masyarakat yang terpolarisasi hebat pasca kekalahan perang Jawa (1825-1830), yakni sejak diberlakukannya Cultuurstelsel dan berganti ke Politik Etis hingga awal abad 20, masyarakat Jawa mulai mengenal sistem ekonomi kapitalistik berjejaring dunia dengan skala yang sangat luas, peredaran masif ekonomi uang, pertanian varietas baru impor, kapitalisme perkebunan, pajak sewa, sistem transportasi yang bersambung di sepanjang Pulau Jawa, serta pendidikan sekolah modern Eropa yang lambat laun menggusur modus pendidikan pesantren—artinya juga menggeser pandangan dunianya—yang kita tahu menjadi penyangga identitas Islam Jawa, sungguh benar-benar semakin membelah masyarakat dalam kategori priyayi, abangan, dan putihan, yang sebenarnya tidak dikenal pada masyarakat Jawa setidaknya bermula pada akhir abad 19 hingga mengeras di awal abad 20. Pembelahan inilah yang kemudian didinamisir ke level terjauhnya melalui studi-studi antropologi seperti dilakukan Clifford Geertz, dan kawan-kawan.
Pembelahan ini tidak terjadi secara natural dalam pengertian strata sosial semata seperti dalam era-era sebelumnya, melainkan dalam hal ini telah menggeret pengkutuban tersebut ke posisi “saling konfrontasi” dalam konteks relasinya dengan kekuasaan ekonomi maupun politik kolonial. Yakni di mana posisi priyayi memerankan strata sebagai mesin birokrasi kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal yang diselenggarakan para petani dalam sistem Tanam Paksa, dan sebagian para pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan “cash money” seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan India, serta yang terakhir para petani yang menjadi “obyek tertindas” yang terus menerus menderita kemelaratan, kecuali para petani pemilik tanah yang juga ikut mencicipi keuntungan ekonomi Tanam Paksa.
Nanti di akhir abad 19 hingga awal abad 20, seperti dicatat Steenbrik (1984), kita akan segera tahu serangkaian kebijakan kolonial yang bertujuan untuk memangkas, menekan, dan menggencet kelompok Islam Jawa (Islam Tradisional) yang masih tersisa dan sebenarnya telah berada di “pinggiran” serta kehilangan pemimpin priyayi maupun agamanya setelah Perang Jawa. Misalnya di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional. Pemerintah kolonial dengan sengaja menjadikan para penghulu sebagai pejabat sipil negeri di bawah administrasinya, dan melarang para Kyai mengumpulkan zakat, agar para penghulu menjadi lebih “setia” kepada Belanda dan pengaruh para Kyai bisa terkurangi.
Juga di dekade tahun-tahun itu kebijakan kolonial dengan bersemangat mencurigai setiap aktivitas bergerombol jamaah tarekat maupun perkumpulan doa yang melibatkan banyak orang, melarang praktik mistik popular yang ramai di pasar-pasar, merampas buku-buku primbon ataupun kitab-kitab, maupun serat-serat yang menubuatkan datangnya Ratu Adil yang dirasa dapat merongrong, maupun pemenjaraan tokoh pengajar pesantren yang jelas-jelas menentang sistem pengadilan hukum agama kolonial (penghulu) yang telah tunduk pada sistem administrasi kolonial. Dalam hal ini pemberontakan Kyai Ahmad Rifa’i Kalisasak yang terkenal bisa kita tempatkan dalam konteks kebijakan ini.
Bahkan di tahun 1905 semua guru agama dan pesantren diminta mendaftarkan dirinya kepada Bupati, beserta laporan kurikulum pengajarannya, kitab-kitab yang diajarkannya, beserta jumlah santrinya, agar ia berada terus-menerus dalam “kendali” kekuasaan kolonial. Pesantren dan guru agama yang membangkang akan ditindak tegas.
Plus, meski awalnya berusaha untuk membentuk pendidikan berdasar sistem pendidikan pribumi (pesantren), namun selanjutnya Pemerintah kolonial benar-benar membikin sistem pendidikan modern yang terpisah dan memisahkan, alias lepas dari sistem pendidikan pribumi (Steenbrink; 1984). Yakni sebuah usaha untuk mengganti seluruh pandangan dunia tradisional lama (yakni dengan unsur mistisismenya yang sulit dikendalikan) dan mengintegrasikan pendidikan umum dan Islam ke spirit modernisme yang lebih tertata dan bisa dikontrol dan dijinakkan. Dengan nalar ini kita menjadi mafhum kenapa tujuan utama dan misi Pendidikan Politik Etis adalah menghapus Budaya takhayul, klenik, mistik, dan khurafat. Dan, akhirnya sistem pendidikan Islam asli pribumi (pesantren) di awal abad 20 tersuruk di pinggiran, terisolasi, dan terabaikan.
Tumbuhnya pemberontakan para petani yang dipimpin para pemimpin lokal yang terserap dalam nuansa identitas ke-Islam-an Jawa, bagi saya menandai fakta penting, bahwa para kawula atau rakyat kebanyakan telah ditinggalkan oleh para pemimpinnya, baik dari para aristokrat Jawa maupun dari para pemimpin agama kelas menengah.
Seperti telah banyak diulas, Perang Dipanegara (1825-1830) menandai perlawanan terakhir bergabungnya elemen masyarakat mulai dari para kyai pemuka masyarakat, santri, para bangsawan/priyayi pemberontak, rakyat biasa, petani, blandong, penyamun, perampok, gali, hingga para pencuri dalam barisan bendera perang “sabilollah” Dipanegara melawan “kafir” Belanda untuk mempertahankan harga diri terakhir bangsa Jawa.
Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya.
***
Sejak kekalahan perang ini, pemberontakan-pemberontakan rakyat telah menjadi insiden pinggiran yang dengan mudah ditangani oleh Pemerintah Kolonial. Karena kita tahu, bahwa Keraton beserta para bangsawannya praktis di satu sisi telah kehilangan kuasa politiknya secara paripurna, maupun secara bersamaan diikuti perilaku para priyayi semakin terserap dalam “rasionalitas” modern Belanda (baca: “agama Budi” (akal), seperti dinubuatkan oleh Serat Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Kedhiri), maupun di sisi lain keterkurungan mereka dalam benteng keraton sehingga dengan sendirinya terputus dengan mata-rantai sistem pengetahuan Islam tradisional yang diajarkan oleh guru-guru pesantren di Pedesaan, sehingga melecut kelompok yang disebut terakhir membentuk “jaringan Islam” internasional yang lebih massif di abad 19 hingga 20.
Pemberontakan para petani dan tokoh spiritual lokal ini juga mengungkap bahwa para tokoh yang masih membenamkan diri dalam denyut keagamaan dan penderitaan masyarakat-lah yang akan terus melawan. Masalahnya narasi trikotomi pembelahan masyarakat Jawa, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dampak yang ditimbulkan oleh politik pecah-belah kebudayaan Belanda masih terus-menerus dihidupkan para sarjana kolonial beserta murid-muridnya hingga hari ini, yang bahkan dalam kasus tertentu didinamisir untuk saling membenturkan dan mengekslusi. Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya. Juga terkait ide persatuannya untuk menyatukan tiga kelompok ini (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang digagas dari sejak muda dalam payung Indonesia, justru tenggelam dalam narasi sejarah, serta politik pembelahan masih terus dilanggengkan sebagai lanjutan politik kebijakan kolonial Belanda yang telah menyorongkan estafetnya pada penguasa penjajah kapital baru yang sedang berlangsung hari ini. Akhirnya para petani kita terus-menerus berada di “pinggiran” dan masih terbaluti lumuran kemelaratan di sekujur tubuhnya hingga hari ini.
Allahu A’lam.
Irfan Afifi, 31 Maret 2016
Dr. Karel A. Steenbrink, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
M.R.C. Ricklefs, “Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries”, (Norwalk, CT: EastBridge), 2006.
M.R.C. Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}” (Leiden: KITLV Press), 2007.
Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra, Australian University Monograph), 1985.
Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888”, (Brill Publisher, Series Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkund), 1966.