DONASI

Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian III-Habis)

Historiografi pascakolonial menunjukkan bukan hanya Barat yang berkontribusi besar terhadap pembentukan legitimasi kekuasaan dalam narasi-narasi sejarah Islam Jawa, tetapi juga Muslim atau orang Jawa itu atau sejarahwan Indonesia sendirilah yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang kolonialisme itu sendiri

LEMBAR | WEDNESDAY, 2 OCTOBER 2019 | 09:57 WIB

Kritik atas Javanologi Kolonial

Akhirnya, pertanyaan yang lebih filosofis perlu diajukan: Bagaimana dan mengapa Javanologi terjebak pada logika kolonial? Kita bisa melacak jawabannya melalui logika dan epistemologi yang digunakan oleh para sarjana Barat dalam mengkaji Islam Jawa. Benarkah logika mereka konsisten dengan asumsi-asumsi teoretis yang diajukan? Benarkah epistemologi Islam Jawa mereka relevan dengan kondisi kultur Jawa itu sendiri?

(In)konsistensi Logika

Berbeda dari Islam di Jazirah Arab, Islam Jawa—menurut Geertz (1960)—merupakan agama yang terdistorsi dari Islam awal karena ia terkontaminasi oleh kebudayaan lokal Jawa, dan karena itulah—dari trikotomi itu—abangan merupakan profil Muslim Jawa “terbaik” dibanding santri dan priyayi. Abangan sebagai figur sosial yang direkacipta oleh Geertz mendapat sambutan dari Mark Woodward (1989) yang menurutnya Islam Jawa merupakan titik temu antara kesalehan normatif (normative piety) yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis dengan nilai-ritual lokal (local values and rituals) yang sebenarnya sesuai dengan tradisi mistisisme Sufi. Titik temu yang dimaksud oleh Woodward ini dicontohkan melalui tradisi slametan yang dipraktikkan oleh Mbah Marijan di Lereng Gunung Merapi. Menurut Woodward (1988: 23), Mbah Marijan adalah figur abangan terbaik yang—meminjam istilah Wessing (2010: 60)—“percaya pada ilmu sihir meskipun ia memeluk Islam” (belief in sorcery…, adherence to Islam notwithstanding).

Mengonfirmasi Geertz dan Woodward, Fauzan Shaleh (2001: 38) juga menyatakan bahwa “… menjadi Jawa tidak harus selalu berarti menjadi Muslim, melainkan menjadi Muslim abangan. … Menjadi abangan, dengan demikian, berarti menjadi Muslim hangat-hangat kuku (lukewarm Muslim).” Muslim hangat-hangat kuku (lukewarm Muslim, sekitar 3 kali disebut dalam buku Shaleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia) merupakan figur terbaik yang dibayangkan oleh Shaleh tentang Muslim Jawa. M.C. Ricklefs (2006), yang meskipun menawarkan mystic synthesis, sebagaimana yang telah dijelaskan singkat di awal dan akan dijelaskan lebih detail kemudian, pada hakikatnya merepresentasikan ide yang sama dengan Islam sinkretis. Dengan eulogi yang sederhana, Ricklefs membayangkan Muslim Jawa sebagai Muslim mistis (mystical Muslim), suatu istilah yang mengingatkan kita pada gerakan Sufisme lokal di berbagai belahan dunia.

Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi “streotipikal” di atas bisa diterima oleh akal sehat?

Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi “streotipikal” di atas bisa diterima oleh akal sehat? Kita bisa mengujinya melalui logika sederhana. Jika premis (1) A adalah sepenuhnya X dan premis (2) A adalah sebagian Y, maka kesimpulan yang mengatakan bahwa A dalam (1) dan (2) merupakan satu entitas dalam waktu yang sama tidaklah tepat; keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jika A lebih panjang dari B, dan B lebih panjang dari C, sedangkan C lebih panjang dari A, maka kesimpulan yang menyebutkan bahwa ketiganya tersebut merupakan satu entitas sekaligus juga keliru.

Logika sederhana ini sebenarnya bisa diterapkan pada premis dan proposisi yang diajukan oleh para sarjana Barat di atas.  Premis pertama (1) yang dibangun oleh mereka, tentu saja, adalah Islam Jawa—bagaimanapun juga—adalah Islam. Sebagai sebuah agama, Islam berkonsekuensi memiliki satu prasyarat minimal, yakni tauhid (keesaan Allah) (premis [2]). Premis ini kemudian memunculkan premis lain (3) yang tidak bisa terhindarkan bahwa Islam, berdasarkan tauhid, akan menolak praktik apapun yang berseberangan dengan tauhid itu sendiri, yang disebut syirik. Namun, muncul tiba-tiba premis (4) bahwa Islam Jawa merupakan kombinasi antara ajaran Islam dan praktik pra-Islam yang sebagian tidak kompatibel atau berseberangan dengan Islam itu sendiri. Pada akhirnya, kesimpulan (5) yang ditarik dari premis-premis ini adalah Islam Jawa adalah sebagian Islam dan sebagian non-Islam; Islam Jawa memungkinkan praktik atau kepercayaan yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam itu sendiri. Maka, kesimpulan seperti ini—sebagaimana yang telah disebutkan dalam premis sederhana sebelumnya—tidaklah tepat.  Menurut logika sederhana, premis (3) dan (4) tidak bisa berlaku dalam satu waktu yang bersamaan. Premis “sebagian” tidak bisa disimpulkan mewakili “keseluruhan.”

Sebagian orang mungkin akan segera menyatakan bahwa melawan logika sosiologi relasi-kuasa Weberian (para pewaris Geertz, seperti Woodward, Beatty, Hefner, hingga Ricklefs memang sangat dipengaruhi oleh paradigma Weberian, baik Marxian dan Neo-Marxian [Hilmy, 2008: 47)] dengan logika Filsafat Analitik semacam ini tentu bermasalah; sebagian lagi mungkin menyebut bahwa analisis logika yang digunakan di sini justru terjebak pada logical fallacy yang sama; atau—seperti yang sering dinisbatkan kepada Edward W. Said pasca-Orientalisme—penulis akan dianggap sebagai pendukung fundamentalisme Islam (?!). Respons atas kemungkinan pertanyaan-pertanyaan ini akan disajikan dalam bab khusus yang gambarannya akan diurai di bawah. Melalui uji logika ini, yang ingin ditegaskan pada hakikatnya adalah, selain bahwa kajian ilmiah mereka sebetulnya memiliki pertaruhan konsistensi metodologis dan teoretis, upaya untuk memahami praktik atau kepercayaan “sebagian” orang Jawa ini ternyata harus merujuk pada Islam Jawa sinkretis, suatu generalisasi (jika bukan esensialisasi) atas “sebagian” kenyataan yang sejak awal tertolak dalam uji logika sederhana.

(Ir)relevansi Epistemologi

Apa implikasi epistemologis dari logical fallacy yang diurai secara singkat di atas? Mengapa penulis perlu mengajukan uji logika dasar atas proposisi-proposisi yang diajukan oleh para sarjana Barat tentang Islam Jawa itu? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk mempertanyakan lebih jauh relevansi epistemologis dari premis yang telah diajukan sejak awal.

Pertama, perlu ditegaskan bahwa uji logika pada proposisi Islam Jawa di atas hanya bekerja pada level teoretis dan metodologis. Ia tidak dimaksudkan untuk menentukan apakah Islam Jawa itu sinkretis atau tidak, tetapi lebih untuk memperlihatkan bagaimana fenomena bernama Islam Jawa itu dideskripsikan oleh sarjana Barat, dan bagaimana ia dipahami oleh mereka. Kedua, apakah logika tersebut berkaitan dengan perilaku yang sebenarnya dari Muslim Jawa, itu adalah soal lain, yang nanti akan kita uji kembali secara sosiologis. Jika pun inkonsistensi logika itu ternyata memang menunjukkan inkonsisten perilaku masyarakat Jawa, maka penjelasan terhadap inkonsistensi tersebut seharusnya konsisten dan logis sejak awal. Masalahnya, formulasi teoretis untuk merepresentasikan Islam Jawa itu, entah benar-benar sesuai dengan kenyataannya atau tidak, dalam konteks sinkretisme Islam ternyata justru tidak konsisten. Sehingga, usaha untuk membuktikan apakah logika yang tidak konsisten atas Islam Jawa itu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka.

Masalahnya, formulasi teoretis untuk merepresentasikan Islam Jawa itu, entah benar-benar sesuai dengan kenyataannya atau tidak, dalam konteks sinkretisme Islam ternyata justru tidak konsisten. Sehingga, usaha untuk membuktikan apakah logika yang tidak konsisten atas Islam Jawa itu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka.

Ketiga, jika kita menerima kemungkinan lain bahwa perilaku Muslim Jawa pada hakikatnya memang tidak konsisten, tanpa harus mengujinya melalui rumus logika dasar, maka pertanyaan pertama yang harus dijawab dari kemungkinan ini adalah bagaimana menjelaskan secara logis perilaku Muslim Jawa yang tidak konsisten itu? Apa implikasi dari penjelasan ini? Misalnya, bagaimana kita menjelaskan bahwa seorang Muslim Jawa menyembah dan percaya pada keesaan Tuhan di satu sisi, namun di sisi lain ia juga percaya dan mempraktikkan tradisi pra-Islam? Ketika ada personalisasi atas Muslim Jawa melalui figur-figur “imajiner”, seperti abangan, santri, priyayi, Muslim mistis, Muslim sinkretis,Muslim hangat-hangat kuku, atau seorang Jawa yang percaya pada tradisi nenek-moyang meskipun ia Muslim, dan sebagainya, bagaimana personalisasi ini bisa dibuktikan kepada dan melalui orang Islam Jawa itu? Apakah menjadi Islam Jawa pada hakikatnya adalah menjadi Muslim namun tidak terlalu serius atau menjadi orang Jawa namun tidak otentik?

Keempat, perlu diingat bahwa di Jawa ini kita sedang berhadapan dengan kenyataan demografis yang tidak sederhana; sekelompok orang dalam jumlah yang sangat besar dan beragam, yang terdiri dari Muslim Jawa kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah; Muslim Jawa yang terdidik, tidak terlalu terdidik, atau sama sekali tidak terdidik; Muslim Jawa imigran, blasteran-diasporik, atau pribumi. Laporan dari Hefner (2011: 71) menunjukkan bahwa pada pertengahan abad 20, Muslim abangan menduduki 2/3 dari seluruh populasi Jawa. Ketika mendiskusikan mystic synthesis, Ricklefs juga melaporkan bahwa populasi kaum abangan pada saat itu termasuk yang sangat banyak (tanpa menyebutkan berapa estimasi angkanya) dalam sejarah, dan ia juga menegaskan ‘dengan nada yang sedikit mengeluh’ bahwa betapa sulitnya terlibat dalam perhitungan jumlah santri versus abangan di Jawa (Ricklefs, 2012: 81-86). Fakta demografis ini menunjukkan bahwa otentisitas dan figur ‘terbaik’ dari seorang Muslim Jawa ternyata masih perlu dipertanyakan lebih jauh. Transisi dari Majapahit-Hindu ke Demak-Islam lalu Sinkretis-Mataram telah melalui sekian puluh abad lamanya, sehingga konversi dari seorang priyayi menjadi abangan lalu menjadi santri, atau sebaliknya, memang terlalu riskan untuk digeneralisasi; ini belum dihitung dengan rezim politik negara seperti Orde Baru yang melalui kebijakan-kebijakannya soal anti-atheis-komunis, turut menuntukan seperti apa figur ‘otentik’ dari Muslim Jawa itu.

Kelima, kritik terhadap logika dasar Islam Jawa ini tidak berarti mengharuskan penulis untuk memberikan definisi alternatif atas Islam Jawa, karena hal itu hanya akan menjebakkan diri pada esensialisasi dan generalisasi dalam bentuknya yang lain. Kritik ini, sekali lagi, ditujukan untuk mengevaluasi pemahaman kita atas Islam Jawa dan dari mana pemahaman itu berasal, karena pemahaman kita selama ini atas Islam Jawa umumnya dipengaruhi oleh sumber-sumber ‘saintifik’ dari sarjana Barat. Itulah mengapa target dari kritik terhadap definisi Islam Jawa dengan segala atributnya itu bukanlah pengalaman objektif, melainkan sumber-sumber akademis, karena memang sumber-sumber itu umumnya ‘sangatlah teoretis’: berlandaskan pada teori, definisi, konsep, dan konstruk tertentu. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa alih-alih memberi definisi alternatif atas Islam Jawa, tulisan ini lebih ditujukan untuk mengoreksi dan mempertanyakan secara epistemologis pemahaman kita atasnya.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengurai seluruh respons dan kritik ini ke dalam temuan yang lebih ‘ilmiah’? Uraian lebih detail atas kelima respons ini akan disajikan pada bab khusus dengan melacak Genealogi Islam Jawa dalam teks-teks sarjana Barat. Namun, satu hal yang pasti adalah salah satu alasan mengapa genealogi Islam Jawa muncul sebagai diskursus kolonial disebabkan oleh dominannya Historiografi ‘elitis’ Islam Jawa yang ditulis oleh para sejarahwan Barat maupun Indonesia. Apakah ‘historiografi elitis’ Islam Jawa itu?

Baca: Dhaup Alu

Kritik atas Historiografi Kolonial

 Akhirnya, pertanyaan filosofis pun perlu diajukan: Bagaimana dan mengapa historiografi Islam Jawa tersebut terjebak pada logika kolonial? Merujuk pada problem epistemologis Javanologi, kita juga bisa melacak  jawabannya melalui kritik terhadap dua jenis historiografi yang telah diajukan di awal: historiografi residensial dan historiografi representasial. Mengapa kedua historiografi tersebut juga tidak dapat memberi alternatif yang memadai bagi penulisan sejarah Islam Jawa?

Legitimasi Kekuasaan Kolonial dalam

Historiografi “Residensial” Islam Jawa

Pada bahasan sebelumnya, salah satu karakteristik historiografi residensial (yang dalam hal ini diwakili oleh historiografi kolonial) adalah menggunakan kuasa kepengarangan secara vulgar atas narasi Islam Jawa; ia berusaha “mendudukkan” (to reside residential) Islam Jawa sebagai objek yang benar-benar inferior di hadapan pengetahuan Barat. Historiografi ini mengontrol, menentukan, sekaligus menguasai narasi Islam Jawa ke dalam suatu diskursus penafsiran tertentu. Ia adalah orientalisme paling purba yang ditandai oleh munculnya generalisasi atas objek sejarah dari sisi waktu, tempat, hingga selera. Historiografi kolonial ini bekerja layaknya Oriental Studies yang dilakukan pertama-tama dengan membangun suatu area dikursif melalui kerja-kerja taktis, seperti penemuan, pengumpulan, hingga penerjemahan teks-teks Timur.

Selain J.W. Stapel yang telah disinggung singkat di awal, sebagian sarjana Eropa juga berusaha melihat Islam Jawa dalam kriteria dan standar masyarakat Eropa. Islam Jawa merupakan objek yang eksotis dan feminim bagi mereka, sehingga perdebatan tentang heterodoksi dan ortodoksi Islam di Jawa selalu menjadi perdebatan tak kunjung usai. Dalam The Venture of Islam (1974 [2]: 551), Hodgson menyayangkan kajian Geertz yang menciptakan miskonsepsi tentang sifat Islam Jawa; ia mengkritik Geertz karena tidak bisa menunjukkan mengapa pengaruh Hindu di Jawa begitu kecil, sementara kerajaan Islam begitu sempurna (Geertz’s comprehensive data show how very little has survived from the Hindu past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was so complete). Di sini, meskipun Hudgson terkesan membela Islam Jawa dari versi ‘heterodoksi’nya Geertz, ia tampaknya memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama ortodoks yang dianut oleh masyarakat Jawa, suatu kesimpulan yang sayangnya juga menjebak Hudgson pada lubang yang sama.

Kesan ‘ortodoksi’ yang dimunculkan oleh Hudgson mengingatkan kita pada Hurgronje yang—oleh Baso dalam Islam Poskolonial (2005: 43)—disebut sebagai ‘polisi kolonial’, karena menganggap bahwa Islam Jawa tak ubahnya sebagai ‘rezim baru’ di Nusantara (Hurgronje, 1957: 295). Hudgson, dengan demikian, sebagaimana Baso adalah polisi kolonial yang—alih-alih mengerdilkan peran Islam—memperlihatkan dirinya memiliki pengetahuan lebih terhadap Islam Jawa dibanding masyarakat Jawa itu sendiri. Ortodoksi Islam ini bahkan sebagian disuarakan dengan nada ‘rasial’. Sir Henry Yule (1903 [2]: 284) dalam The Book of Marco Polo menceritakan bagaimana sang penjelajah Italia yang konon pernah menganggap badak Sumatera sebagai unicorn itu menyebut Islam Jawa sebagai sekelompok saracens yang telah berhasil mengislamkan orang kota Jawa (This island, you must know, is so much frequented by the Sarancen merchants that they have converted the natives to the law of Mohammad – I mean the town people only…).  Di sini bisa terlihat bagaimana ortodoksi dan heterodoksi Islam Jawa yang dibangun oleh sarjana Barat pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk legitimasi kekuasaan kolonial atas Jawa itu sendiri.

Ilustrasi-ilustrasi di atas ditujukan untuk memperlihatkan bahwa historiografi kolonial pada hakikatnya ingin memahami Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) bukan dalam tempat yang sebenarnya, melainkan dalam kerangka berpikir Barat; bukan teritorial, melainkan sistem pemikiran Barat. Islam Jawa adalah dunia Timur yang sama sekali lain (the wholly other) bagi Barat, dan karena itulah dibentuk lembaga-lembaga kajian atas Islam Jawa.

Ilustrasi-ilustrasi di atas ditujukan untuk memperlihatkan bahwa historiografi kolonial pada hakikatnya ingin memahami Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) bukan dalam tempat yang sebenarnya, melainkan dalam kerangka berpikir Barat; bukan teritorial, melainkan sistem pemikiran Barat. Islam Jawa adalah dunia Timur yang sama sekali lain (the wholly other) bagi Barat, dan karena itulah dibentuk lembaga-lembaga kajian atas Islam Jawa. Seperti yang telah diurai dalam pembahasan sebelumnya, historiografi kolonial atas Islam Jawa semakin kuat dengan dibentuknya Institute for Javanese Studies di Surakarta. Sayang sekali, lembaga yang belakangan dianggap gagal ini (Sears, 1996: 85) kemudian digantikan oleh Delft Academy tahun 1842, yang kemudian dipindah ke Universitas Leiden pada 1864. Menurut catatan Uhlenbeck dalam Critical Survey (1964: 59), perpindahan Delft Academy ke Leiden menandai munculnya suatu disiplin akademik tentang Indonesia, khususnya tentang bahasa, sejarah, dan etnologi Jawa, dan Universitas Leiden menjadi salah satu mercusuarnya pada abad 17.

Pada abad inilah, Oriental Studies atas Islam Jawa mulai digalakkan. Upaya mencari teks-teks dan terjemahan ‘otentik’ tentang Jawa mulai dilakukan. Hikayat-hikayat Jawa mulai dicari dan dirawat. Bahkan, ranah ekonomi, politik, religius, dan ekonomi Jawa benar-benar dikontrol di bawah kebijakan kolonial Belanda. Catatan Saw Swee-Hock (2009: 85; bdk. Sears, 1996: 85) menunjukkan bahwa pada abad 17 inilah awal titik temu antara ranah politik dan ranah pengetahuan mencapai puncaknya di Belanda, ketika pemerintah kolonial Belanda saat itu berusaha menekan Islam sedemikian rupa dengan memunculkan teks-teks Ramayana dan Mahabarata versi Hindu-Jawa (a conjunction of scholarly and political domains appears here as th colonial government attempted to suppress Islam and as Dutch scholars began to reproduce “Hindu-Javanese” Ramayana dan Mahabarata texts). Dari sini terlihat bagaimana legitimasi kekuasaan kolonial dilakukan secara terang-terangan melalui suatu penguasaan tertentu atas pengetahuan (dalam hal ini, narasi sejarah) tentang Islam Jawa.

Historiogafi Representasional sebagai

Representasi Diri Yang-Terjajah

Kritik terhadap historiografi kolonial ini mulai muncul di negeri terjajah. Sayangnya, kesadaran baru terhadap pentingnya historiografi nasional, historiografi Indonesiasentris, atau historiografi modern ternyata menyisakan problem representasi yang tak kunjung usai. Dalam beberapa tahun terkhir, upaya mencari historiografi Indonesiasentris itu terus diupayakan di antara para sejarahwan dalam berbagai buku akademis atau bunga rampai (misalnya, Purwanto, 2005; Purwanto, 2007; Sri Margana, dkk., 2017) maupun dalam seminar-seminar, konferensi-konferensi, atau simposium-simposium sejarah (yang mutakhir, misalnya, Seminar Nasional Sejarah untuk Kebhinekaan dan Keindonesiaan pada 14-16 Desember 2017). Isu yang dihadapi kini bukan hanya soal legitimasi kekuasaan kolonial dan dekolonisasinya, tetapi jauh lebih rumit dan kompleks: bagaimana sejarah nasional dan modern itu dituliskan dan apa saja representasi yang dihadirkan di dalamnya. Menguatnya politik identitas dan meluasnya penggunaan sumber daya internet menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi historiografi nasional itu sendiri.

Bagaimana seharusnya Islam Jawa ditulis dalam historiografi nasional? Tulisan ini tentu tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, melainkan justru ingin mengajukan pertanyaan lain yang lebih filosofis: Mengapa Islam Jawa menjadi sedemikian penting dibahas dalam historiografi nasional? Bukan bagaimana seharusnya, melainkan bagaimana selama ini Islam Jawa dideskripsikan dalam historiografi nasional? Islam Jawa menjadi relevan justru karena sejauh ini deskripsi historis nasional atas Islam Jawa masih berutang budi pada sumber pengetahuan Barat. Jebakan terhadap dominasi pengetahuan kolonial ini tidak terlihat nyata sebagaimana dalam historiografi kolonial; ia justru tampil dalam deskripsi yang kabur dan ambivalen. Ambivalensi adalah salah satu konsep penting untuk melihat representasi diri dari yang-terjajah; representasi atas Islam Jawa dari orang Jawa atau Muslim itu sendiri.

Ingatan kita akan segera tertuju pada 30 April 2015 ketika Hamengkubuwono X mendeklarasikan sabda raja, sabda yang kontroversial di lingkaran keraton saat itu, bukan hanya Sri Sultan menghapus assalamualaikum dan khalifatullah, mengganti buwono menjadi bawono, mengubah sadesa menjadi sepuluh, melainkan juga karena ia menunjuk Gusti Pembayun sebagai penggantinya, suatu penunjukan yang dianggap banyak orang melanggar ketentuan UU Keistimewaan Pasal 1 Ayat 18. Relevansinya dengan Islam Jawa terletak pada deklarasi Sri Sultan saat itu yang dalam konteks Pascakolonial bersifat ambivalen: di satu sisi ia menolak segala narasi tentang Islam Arab, seperti assalamualaikum dan khalifatullah, namun ia juga menegaskan bahwa sabda Sultan adalah sabda Tuhan. Jika ditarik lebih jauh, menurut Fawaid (2015: 237), ambivalensi dalam sabda raja tersebut mengakar dari ambivalensi tokoh Nyi Roro Kidul dan deskripsi Sunan Kalijaga dalam Babad Tanah Jawi. Penokohan Nyi Roro Kidul, dalam buku-buku sejarah nasional selama ini, berada dalam ambang batas antara mitos dan fakta; ia memitologisasi tokoh Nyi Roro Kidul sebagaimana deskripsi kolonial pada umumnya, sementara ia menolak usaha pembuktiannya secara ilmiah karena dianggap tidak sesuai dengan standar minimal penulisan sejarah modern. Begitu pula, Sunan Kalijaga dianggap sebagai penyebar Islam di satu sisi, namun ia juga tidak menolak untuk mendeskripsikannya sebagai wali yang menggunakan wayang kulit, tradisi pra-Islam, untuk syiar Islam di sisi lain, suatu deskripsi yang khas kolonial-sentris. Peristiwa kejatuhan Plered pada 1677 juga jelas menunjukkan ambivalensi itu: di mana Mataram menolak dikuasi oleh Belanda, tapi ia justru menggunakan VOC untuk melawan Trunojoyo. Cerita-cerita di atas memperlihatkan secara sekilas betapa representasi atas Islam Jawa dalam historiografi nasional justru memperlihatkan—apa yang disebut Bhaba (1993: 34) sebagai—ambivalensi (ambivalence).

Meskipun ambivalen, menurut Bhaba, representasi tersebut bisa dilihat sebagai suatu strategi negosiasi kultural tersendiri. Meminjam konsep Derrida (1978: 44) tentang repetition with a difference (berulang tapi berbeda), historiografi nasional pada hakikatnya menunjukkan suatu kesadaran akan politik representasi alternatif. Di satu sisi, sejarah nasional ditulis untuk memperlihatkan kesadaran akan kebangsaan dan jati diri, namun ia masih menggunakan literatur-literatur Barat dan laporan VOC sebagai titik pijak. Dalam buku Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), Slamet Muljana menceritakan bagaimana rakyat Indonesia berjuang agar merdeka dari ancaman bedil dan bayonet (hlm. 257 dan 258), namun di sisi lain mereka menjadikan bedil dan bayonet  sebagai senjata melawan Belanda (hlm. 51). Kini, bedil malah digunakan sebagai salah satu senjata yang digunakan oleh bragada prajurit Keraton dan dipamerkan dalam acara-acara besar kesultanan. Ini adalah strategi kultural, kata Bhaba (2000: 139), sekaligus mimikri: mereka menolak VOC, tapi menggunakan gaya perang VOC dalam kesehariannya. Cerita-cerita ini menunjukkan betapa kuatnya narasi kolonial dalam historiografi nasional Indonesia.

Takdir terakhir historiografi diberikan kepada historiorafi modern. Pada historiografi ini, kita akan menemukan daftar panjang narasi sejarah Islam Jawa ditulis oleh para intelektual Barat dan Indonesia. Narasi-narasi itu umumnya bersifat interdisipliner, membahas perkembangan Islam Jawa dan tantangannya di era modern. Konsep-konsep baru pun bermunculan, misalnya dari Deliar Noer (1973) dengan ‘Muslim tradisionalis vs Muslim modernis’, Donald Porter (2002) dengan ‘Muslim politis vs Muslim kultral’, William Liddle & Saiful Mujani (2004) dengan ‘Muslim fundamentalis vs Muslim liberal’, hingga berbagai perspektif binerian lain, seperti great tradition vs little tradition dalam Islam (Redfield, 1955) dan global vs local Muslim (Eickelman, 1982; Manger, 1999; van Bruinessen, 1999). Pertanyaannya, mungkinkah konsep-konsep ini mampu menghindari diri dari dominasi kolonial? Historiografi modern atas Islam Jawa secara khusus dan/atau Islam Indonesia secara umum di atas ternyata masih menyimpan—apa yang disebut Gayatri Spivak (1988: 271) sebagai—kekerasan epistemik (epistemic violence) karena ia masih menyimpan ‘pengetahuan yang sophisticated, sehingga gagal merepresentasikan mereka yang ingin direpresentasikan’ (Victor, 2010: 46). Tidak hanya itu, historiografi seperti ini juga menghadapi masalah tersendiri, seperti (a) asumsi yang sentralistik/universalistik atas Muslim Jawa yang sebenarnya heterogen; (b) ketergantungan terhadap pengetahuan Barat untuk merepresentasikan orang Timur (dalam hal ini, Muslim Jawa) dibanding membiarkan mereka berbicara atas diri sendiri. Spivak (1988: 296), misalnya, mencontohkan bagaimana pemberontakan petani (peasant’s insurgency) dielaborasi sedemikian rupa ke dalam narasi sejarah yang cenderung tunggal dan sophisticated, sehingga kesadaran mereka nyaris tidak bisa didengar (irretrievable consciousness). Sindiran Spivak ini persis mengingatkan kita, misalnya, pada sejarah pemberontakan petani di Banten oleh Kartodirjo (1966). Meskipun mengesankan suatu narasi sejarah yang Islam-Jawa sentris dengan para kiai sebagai tokoh utama, apakah narasinya benar-benar merepresentasikan Muslim Jawa  apa adanya atau justru menjadikan pemberontakan mereka sebagai—apa yang disebut Spivak—‘objek investigasi’ dan ‘model tiruan’ semata?

Penutup 

Tulisan ini memperlihatkan cara kerja dua metode sekaligus, genealogi dan historiografi, untuk menggambarkan bagaimana dan mengapa konsep Islam Jawa begitu sentral digunakan dalam studi atas Jawa dan/atau Islam. Berdasarkan pada kajian Foucault (1977), genealogi digunakan sebagai pendekatan untuk menunjukkan bahwa pemahaman kita atas Islam Jawa tampaknya menyimpan problem teoretis yang serius. Dimulai dari masalah logical fallacy yang muncul dalam berbagai definisi tentang Islam Jawa, penulis ingin memperlihatkan cacat-cacat epistemologis dan manuver-manuver teoretis yang digunakan dalam berbagai literatur tersebut untuk mengurai masalah di atas. Mulai dari soal otentisitas hingga pengkafiran, masing-masing manuver ini menyimpan problem teoretisnya tersendiri. Meskipun diskursus yang diangkat di dalam literatur-literatur itu relatif bervariasi, masing-masing menunjukkan muara yang sama. Pada akhirnya, konsep Islam Jawa tidak bisa, bahkan malah mensalahtafsirkan, kondisi agama Jawa yang sebenarnya. Sehingga, kita akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekaligus: Mengapa para sarjana itu terus membicarakan Islam Jawa? Jika memang Islam Jawa itu benar-benar salah-tafsir, lalu dari mana datangnya misinterpretasi tersebut? Dengan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu, kita akan menemukan kemungkinan jawaban pertanyaan pertama. Genealogi menunjukkan bukan hanya Barat yang berkontribusi besar terhadap pembentukan definisi dan pemahaman kita atas Islam Jawa, tetapi juga Baratlah yang menganalogikan Islam Jawa dengan kultur dan agama mereka. Dengan demikian, kita bisa memiliki jawaban praktis atas pertanyaan pertama: bahwa konsep Islam Jawa masih digunakan hingga saat ini karena ia memiliki tradisi penelitian yang sangat panjang.

Historiografi pascakolonial (Prakash, 1992) menunjukkan cara kerja para sejarahwan dalam mengkonstruksi narasi tentang Islam Jawa mulai dari tahun 1800 hingga 2017 saat ini. Dimulai dari masalah jebakan ‘kolonial’ pada hampir semua narasi sejarah Islam Jawa, tulisan ini ingin memperlihatkan problem legitimasi kekuasaan dan representasi diri yang-terjajah dalam berbagai sumber sejarah tersebut. Mulai dari narasi sejarah yang secara vulgar memperlihatkan legitimasi kekuasaan kolonial hingga sejarah yang diam-diam melakukan kekerasan epistemik melalui representasi diri, masing-masing narasi tersebut menyimpan relasi kuasanya sendiri. Meskipun tema yang diangkat dalam literatur-literatur itu relatif beragam, masing-masing menunjukkan cara kerja yang sama. Pada akhirnya, historiografi Islam Jawa masih terus berada dalam ‘bayang-bayang kolonial’. Sehingga, kita akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekaligus: Mengapa narasi-narasi sejarah tersebut masih terjebak pada logika kolonial? Jika narasi sejarah terjebak pada logika kolonial, lalu bagaimana asal-muasal ideologi kolonial masuk ke dalam narasi-narasi itu? Sebagaimana genealogi, dengan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu, kita akan menemukan kemungkinan jawaban pada pertanyaan pertama. Historiografi pascakolonial menunjukkan bukan hanya Barat yang berkontribusi besar terhadap pembentukan legitimasi kekuasaan dalam narasi-narasi sejarah Islam Jawa, tetapi juga Muslim atau orang Jawa itu atau sejarahwan Indonesia sendirilah yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang kolonialisme itu sendiri. Dengan demikian, kita bisa memiliki jawaban atas pertanyaan pertama: bahwa narasi-narasi sejarah masih terjebak pada logika kolonial karena hingga saat ini ia terus direproduksi oleh riset-riset yang bahkan berhaluan Indonesiasentris sekalipun.

*) Tulisan ini hanyalah pengantar untuk memasuki riset lain penulis tentang Islam Jawa dan Politik Estetika R.Ng. Yasadipura I dalam 31 jilid Babad Tanah Jawi yang saat ini masih dalam proses penerjemahan kata per kata.

 

Baca: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I) Baca juga: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian II)

 

DAFTAR BACAAN

Afifi, Irfan. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Pojok Cerpen.

Anderson, Benedict R. O’G. (1972).“The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt,Culture and politics in Indonesia (hlm. 3-24).Itacha: CornellUniversity Press.

Asad, Talal. (1993).Genealogies of religion: discipline and reasons of power inChristianity and Islam.Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Azra, Azyumardi. (2004).The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenthand Eighteenth Centuries.Leiden: KITLV Press.

Bambang, T.D. (ed.). (2015). Buruh Menuliskan Pengalamannya. Bogor: LIPS dan Tanah Air.

Baso, Ahmad. (2005). Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan.

Baso, Ahmad. (2015). Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2015). Pesantren Studies 2a. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2016). Pesantren Studies 4a. Jakarta: Pustaka Afid.

Baso, Ahmad. (2016). Postradisionalisme Islam. Jakarta: Pustaka Afid.

Beatty, Andrew. (1999). Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. Cambridge: Cambridge University Press, Cambridge.

Beatty, Andrew. (2009).A Shadow Falls in the Heart of Java. London: Faber & Faber.

Berg, C. C. (1955). “The Islamisation of Java”,Studia Islamica,4, hlm. 111-142.

Berg, C. C. (1955). “Twee nieuwe publicaties betreffende de geschiedenis en de geschiedschrijving van Mataram”,Indonesië, VIII, ‘s-Gravenhage, hlm. 97-128, 231-269, 361-400.

Berg, C. C. (1957).“Babad en Babadstudie”,Indonesië, X, ‘s-Gravenhage, hlm. 68-84.

Berg, C. C., (1964). “The Role of Structural Organisation and Myth in JavaneseHistoriography: Commentary” (hlm. 100-103),The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 1.

Bhabha, Homi K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

Bhabha, Homi K. (2000). “The Vernacular Cosmopolitan”, dalam F. Dennis dan N. Khan (eds.), Voices of the Crossing: The Impact of Britain on Writers of Asia, the Caribbean and Africa (hlm. 120-143). London: Serpent’s Tail.

Boogart, Jochem v. d. (2015). “Rethinking Javanese Islam: Towards New Description of Javanese Traditions”, Dissertation, Leiden: University of Leiden.

Brandes, J. L. A. (1987/1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majaphit. VBG 54.1, Batavia/‘s-Gravenhage.

Bruinessen, Martin van. (1999). “Global and Local Islam in Indonesia”, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No. 2, 46-63.

Cohn, Bernard. (1987). “Anthropology and History in the 1980s: Towards A Rapprochement”. An Anthropologist among the Historians and Other Essays, (hlm. 49-77). Delhi: Oxford University Press.

Danarto. (1994). Orang Jawa Naik Haji & Umroh. Jakarta: Grafiti Press.

Derrida, Jacques. (1978). Writing and Difference, trans. Alan Bass. London: Routledge.

Djajadiningrat, Hoesein. (1913). Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Haarlem:  Joh. Enschede en Zonen.

Drewes, G.W.J., ed. (1954). Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw, Opnieuw Uitgegeven En Vertaald. Leiden: E.J. Brill.

Eickelman, Dale F. (1982). “Study of Islam in Local Contexts”, Contributions to Asian Studies, Vol. 17, 1-18.

Fawaid, Achmad. (2015). “Contesting Double Genealogy: Representing Rebellion Ambiguity in Babad Tanah Jawi”, Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage, Vol. 4, No. 2, 2015, 213-242.

Florida, Nancy K. (1995). Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Michigan: Duke University Press.

Foucault, Michael. (1977). “Nietzsche, Genealogy, and History,” dalam Donald F. Bouchard (ed.),  Language, Counter-Memory and Practice. Ithaca: Cornell University Press.

Geertz, Clifford (1960). The Religion of Java. New York: Free Press Paperback.

Graaf, H. J. de. (1958). De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram en die van zijn Voorganger Panembahan Seda-ing-Krapyak.Den Haag: ‘s-Gravenhage.

Graaf, H. J. de. (1961). De Regering van Sunan MangkuRat I Tegal-Wangi, Vorst van Mataram. Den Haag: ‘s-Gravenhage.

Groeneveldt, W.P. (1880), “Notes on the Malay Archipelago and Malacca compiled from Chinese sources”, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Vol. 39, 1-144.

Guha, Ranajit. (1984). “On Some Aspects of Historiography of Colonial India,” Subaltern Studies 1: Writings on South Asian History and Society (hlm. 3-47). Delhi: Oxford University Press.

Guinness, Patrick. (2009).Kampung, Islam and State in Urban Java. Honolulu: Universityof Hawai’i Press.

Hefner, Robert W. (1985).Hindu Javanese: Tengger tradition and Islam. Princeton, N.J.: Princeton University Press.

Hefner, Robert. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princenton: Princenton University Press.

Hilmy, Masdhar. (2008). “Towards A Religiously Hybrid Identity? The Changing Face of Javanese Islam”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 12, No. 1, 45-68.

Hock, Saw S. (ed.). (2004). The Politics of Knowledge. London: ISEAS.

Hodgson, Marshall. (1974). The Venture of Islam: The Expansion of Islam in the Middle Periods. New York: University of Chicago Press.

Hurgronje, C. Snouck. (1957). Selected Works of C. Snouck Hurgronje. Leiden: Brill.

Jamhari. (2000). “Pasang Surut Hubungan Agama-Agama Jawa”, Studia Islamika, Vol. 7, Vo. 1, 56-76.

Jamhari. (2002). “The Flow of Creed”, Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 132-1Vol. 9, No. 2, 132-165.

Kartodirjo, Sartono. (1966/[1984]). The Peasents Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Terjemahan Indonesia: Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Kasdi, Aminuddin. (2003). Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa 1726-1745. Yogyakarta: Jendela.

Keeler, Ward. (1987). Javanese Shadow Plays: Javanese Selves. Princeton: Princenton University Press.

Knockleman. (2007). “Agency: The Relation between Meaning, Power, and Knowledge,” Current Anthropology, Vol. 48, No. 3, 375-401.

Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kumar, Ann. (2013). Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Surrey: Curzon.

Laffan, Michael F. (2011), The Makings of Indonesian Islam: Orientalismand the Narration of a Sufi Past. Princenton: Princeton UniversityPress.

Legge, John. D. (1973).Sukarno: APolitical Biography. London: Allen LaneThe Penguin Press.

Leur, J.C. van. (1955). Indonesian Trade and Cociety: Essays in Social and Economic History. The Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.

Luthfi, Nasih A. (2018). “Mencari Historiografi Islam yang Mandiri”, https://alif.id/read/ahmad-nashih-luthfi/mencari-historiografi-islam-indonesia-yang-mandiri-b210311p/, (Diakses 20 Maret 2019).

Manger, Leif (ed.). (1999). Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts. Richmond: Curzon Press.

Margana, Sri, dkk. (2017). Menemukan Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.

Margana, Sri. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marsono (ed. & penerj.). (2008). Serat Centhini. Yogyakarta: UGM Press.

Mujani, Saiful, & R. William Liddle. (2004). “Islamism in Democratic Indonesia: Findings of a New Survey”, Journal of Democracy, Vol. 15, No. 1, 109-123.

Mulder, Niels. (2005 [1998]).Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Yogyakarta: Yogyakarta.

Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.

Muljana, Slamet. (2008). Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKiS.

Noer, Deliar. (1973). The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. London: Oxford University Press.

Nordholt, Henk S. (2004). “De-colonising Indonesian Historiography,” Disampaikan dalam Seminar Internasional: Lecture Series “Focus Asia”, 24-27 Mei 2004 di Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University, Sweden.

Olthof, W.L. (1941/2012). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647.

Otterspeer, Willem. (1989). Leiden Oriental Connections: 1850-1940. Leiden: Brill.

Poeze, Harry A. (2008) Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Gramedia.

Porter, Donald J. (2002) Managing Politics and Islam in Indonesia. London & New York: Routledge Curzon.

Prakash, Gyan.(1992). “Postcolonial Criticism and Indian Historiography,” Social Text (hlm. 8-19. Durham:Duke University Press.

Pranowo, Bambang. (2009). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Praseto, Hendro. (1994). “A Javanese Response to Islamic Identity”, Studia Islamika, Vol. 1, No. 2, 156-173.

Purwadi, Maharsi. (2005). Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jakarta: Tunas Harapan.

Purwanto, Bambang & Adam, Asvi W. (2013). Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Purwanto, Bambang. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak.

Puthut Ea (ed.). (2010). Nyanyian dari Pinggir Hutan. Yogyakarta: Insist Press.

Raffles, Thomas S. (1965). The History of Java. Oxford: Oxford University Press.

Ras, J. J. (1987). “The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the  Javanese Court Chronicle”, Bijdraget tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,  Vol. 143, No. 2 dan 3, hlm. 343-356.

Ras, J. J., “The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle”, Bijdraget tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 143, No. 2 dan 3 (1987), hlm. 343-356.

Redfield, R. (1955). The Little Community. Chicago: University of Chicago Press.

Ricklefs, M. C. (1972). “A Consideration of Three Versions of the ‘Babad Tanah Djawi’, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 35, No. 2, 285-315.

Ricklefs, Marle C.  (2012), Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Culturaland Religious History, c. 1930 to the Present. Singapore: NUS Press.

Ricklefs, Marle C. (2006).Mystic Synthesis in Java: AHistory of Islamization from the Fourteenthto the Early Nineteenth Centuries. Norwalk CT: EastBridge.

Ricklefs, Marle C. (2007).Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, c. 1830-1930. Leiden: KITLV Press.

Said, Edward W. (1978). Orientalism. London: Pengin.

Salim, Agus. (2013). berjudul “Javanese Religion, Islam or Syncretism: Comparing Woordward’s Islam in Java and Beatty’s Varieties of Javanese Religion”, International Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 3, No. 2, 223-266.

Scott, James. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven/London: Yale University Press.

Sears, Laurie J. (1996). Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales. New York: Duke University Press.

Shaleh, Fauzan. (2001). Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey. Leiden: Brill.

Sila, Muhammad. (2011). “Memahami Spektrum Islam di Jawa”, Studia Islamika, Vol. 18, No. 3, 32-53.

Soenarto, Ermita. (2005). “From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in Contemporary Indonesia’s Popular Genres”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 78, No. 2, 33-82.

Spivak, Gayathri C. (1988). In Other Worlds: Essays in Cultural Politics. London: Routledge.

Spivak, Gayathri C. (1988). Subaltern Studies: Deconstructing Historiography,” dalam Ranajit Guha & Gayatri Spivak, Selected Subaltern Studies (hlm. 3-32). New York: Oxford University Press.

Spivak, Gayatri C. (1988). “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary Nelson and Lawrence Grossberg (eds), Marxism and the Interpretation of Culture (hlm. 271-313). Chicago: University of Illinois Press.

Stapel, F.W. (1938-1940). Geschiedenis van Nederlandsch-Indië: 5 Volume. Amsterdam: Joost van den Vondel.

Steenbrink, Karel A. (1993).Dutch Colonialism and Indonesian Islam.Contacts and Conflicts 1596-1950.Atlanta: Rodopi, Amsterdam.

Sunyoto, Agus (1990). Sejarah Perjuangan Sunan Ampel. Surabaya: LPLI-Sunan Ampel.

Uhlenbeck, E.M. (1964). A Critical Survey of Studies on the Language of Java and Madura. The Gaue: Nijhoff.

Victor, Royce M. (2010). “Colonial Education and Class formation in the Early Judaism: A Postcolonial Reading,” Journal of Postcolonial Theory and Theology, Library of Second Temple Studies. London and New York: T&T Clark.

Wessing, Robert. (2010). “Porous Boundaries. Addressing calamities in East Java, Indonesia”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, Vol. 166, No. 1, 49-82.

Woodward, Mark R. (1988). “The ‘Slametan’: Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam”, History of Religions, Vol. 4, No. 1, 54-89.

Yule, Sir H. (1903). The Book of Ser Marco Polo, the Venetian Concerning the Kingdoms and Marvels of the East (Vol. 2). London: Penguin Classics.

 

864

Achmad Fawaid

Pengajar di IAIN Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Comments are closed.