DONASI

Globalitas, Lokalitas: Cerita dan Realitas*

1 PADA tahun 90-an, sebagai seorang anak yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di sebuah daerah pantai Barat Sumatera, saya dihadapkan tiba-tiba pada...

LEMBAR | TUESDAY, 21 MAY 2019 | 23:17 WIB

1

PADA tahun 90-an, sebagai seorang anak yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di sebuah daerah pantai Barat Sumatera, saya dihadapkan tiba-tiba pada rumusan yang pelik tentang kenyataan, nama dan benda-benda. Apa yang membuat saya susah-payah merumuskan sebuah soal, tiada lain pola guru-guru kami yang seragam dan seolah berlomba mengingatkan tentang “era tinggal landas”, “globalisasi”, “westernisasi”, dunia tanpa batas, dan entah apalagi. Pendeknya, suatu era di mana kami harus mempersiapkan diri untuk ke luar dari tempurung kampung, bersiap melongok dunia yang lapang luas—tapi penuh paradoks.

“Rajin-rajinlah kalian belajar supaya tidak ketinggalan; dunia kian kecil, hilang batas, dan orang-orang berlomba menguasainya lewat persaingan, karena itu, jangan mudah terpengaruh budaya luar,” kata seorang guru. Sementara guru lain, dengan bersikap netral, berkata,”Apa yang datang dari luar mesti difilter; ambil yang baik, buang yang buruk,” serta sederet pesan bijak lainnya yang rada membingungkan, jika bukan menakutkan. Membingungkan, karena globalisasi menawarkan “dunia lapang luas”, namun bersamaan dengan itu, globalisasi pula yang menyempitkan dunia. Masa itu memang saat menguatnya paradigma pembangunan Orde Baru dengan jargon globalisasi yang diadopsi untuk melegitimasi proses pertumbuhan di satu sisi, dan memperlakukannya sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai di sisi lain.

Saya rasa, dalam situasi itulah perjumpaan pertama saya dengan globalisasi, meski jauh sebelumnya—saat di Sekolah Dasar dan dalam kehidupan sehari-hari—saya sudah masuk ke perpustakaan berjumpa buku-buku dan koran. Di kelas juga ada peta dan bola dunia. Di rumah ada radio, dan televisi hitam-putih di balai desa. Namun apa yang membuat perjumpaan itu baru saya sadari ketika sudah berada di bangku Sekolah Menengah Pertama? Ternyata tidak lain penanaman “kesadaran” yang terus-menerus, nyaris menggampar, sehingga membuat saya tahu bahwa saya hidup dalam zaman globalisasi yang penuh kecamuk dan tarik-ulur.

Sebaliknya, perjumpaan saya dengan Lokalitas justru jauh lebih belakangan, di luar kelas, yakni ketika saya sebagai pengarang menggarap Cerita seputar kampung-halaman, katakanlah dalam kumpulan cerpen Parang tak Berulu (Gramedia, 2005) atau kumpulan puisi Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005). Orang-orang menyebut cerpen atau puisi yang saya tulis mengandung warna lokal, hal yang kemudian juga saya curi-dengar dari wacana sastra yang berkembang di jagad kesusateraan tanah air.

Apa yang menarik di sini adalah, sesuatu yang lokal, yang dekat, tidak pernah diperkenalkan lewat pesan-pesan di kelas (kelas di sini merepresentasikan ruang-ruang lain yang lebih luas), kecuali sesekali ada ajakan bahwa “melestarikan budaya bangsa itu baik,” selebihnya membiarkannya berjalan alamiah. Jika pun ada himbauan atau ajakan untuk melestarikan budaya bangsa sendiri, gemanya tidaklah selantang promosi globalisasi yang dengan cepat dan nyaris serentak berdentang ke segala penjuru. Sebaliknya, yang jauh, yang global, masuk lewat himbauan “formal” yang secara tidak langsung justru kian memperkenalkan keberadaannya, meski sejurus dengan itu Globalitas dianggap sebagai ancaman. Indikasinya, kita selalu diingatkan untuk mencari formula perlawanan yang tepat, salah satunya dengan membangkitkan nilai lokal, baik yang terangkai dalam terminologi kearifan lokal, warna dan muatan lokal, atau secara umum “budaya luhur bangsa kita”.

Dua hal terjadi dalam situasi seperti ini. Pertama, globalitas dan lokalitas diposisikan berdiri di dua kutub, satu di masa depan satu di belakang; satu dari luar, satu di dalam; yang satu mesti diterima dengan hati-hati, dan satu dirangkul dengan dada lapang. Sungguh pun begitu, keduanya bisa bersanding setelah yang lokal berperan sebagai “filter” dan yang global disadari sebagai anak kunci masa depan—sebuah kompromi; betapa pun yang ideal mungkin hanya ada dalam angan.

Kedua, mempromosikan (atau mengingatkan) keberadaan globalitas secara terus-menerus, budaya lokal, diam-diam, justru bangkit lantaran ia menjadi oposisi atas yang global. Sebab, bagaimanapun rutinnya perkenalan akan yang global lewat jargon dan himbauan, hanya akan berakhir sebagai indoktrinasi yang kering imajinasi. Ketika yang lokal dibiarkan melekat apa adanya, tanpa jargon konfrontasi, tidak formal, saat itulah menurut saya ia bernilai esensial-sejati—tentu saja tanpa mengabaikan adanya studi, kajian atau pembelajaran, termasuk memproduksi wacana seputar lokalitas itu sendiri.

Perjumpaan dengan globalisasi melalui indoktrinsi, perjumpaan dengan lokalitas melalui imajinasi. Ini yang membuat saya meyakini, bahwa seorang pengarang akan lebih kuat berekspresi dengan ingatan akan lokalitasnya masing-masing, ketimbang globalitas yang menjustifikasinya secara asing.

Jika boleh disederhanakan: globalitas masuk lewat penggamparan, sementara lokalitas mengendap bersama ingatan. Antara ingatan dan penggamparan, di sinilah globalitas dan lokalitas mengambil peran. Perjumpaan dengan globalisasi melalui indoktrinsi, perjumpaan dengan lokalitas melalui imajinasi. Ini yang membuat saya meyakini, bahwa seorang pengarang akan lebih kuat berekspresi dengan ingatan akan lokalitasnya masing-masing, ketimbang globalitas yang menjustifikasinya secara asing.

Yang pertama lebih formal, yang kedua dalam ranah kultural: kenangan, tindakan, pengalaman. Persis asumsi negara-bangsa; negara dianggap formal, sedangkan bangsa tradisional. Parlemen, presiden, militer, anggaran belanja dan sejenisnya adalah idiom-idiom formal kenegaraan; sedangkan pulau-pulau, perahu layar, tanah ulayat, menjadi kamus kebangsaan. Akibatnya, aksesibilitas atas negara sangat terbatas, hanya identik dengan segelintir elit, sedangkan bangsa terasa sangat terbuka untuk diraba dan direka.

Imajinasi, dengan demikian, adalah kata kunci untuk memahami persoalan. Dan bukankah memang dengan ini pula nasionalitas abad 20 dibincang, salah satunya dari konsepsi Ben Anderson tentang “komunitas yang dibayangkan”?

2

BEGITULAH, globalitas tahun 90-an masuk ke kepala saya lewat penggalan, fragmen yang aus dan verbal, juga nyinyir, sehingga kepala saya berdengung tanpa imajinasi. Sementara lokalitas, kampung-halaman dan segala yang melekat, terasa intim, justru ketika saya tidak bermuka-muka secara sadar. Ia ibarat pacar, yang bahkan jika saya jauh darinya, ada kenangan dan ingatan yang bakal mempertemukan—meskipun dalam impian!

…..

Taratak gunung paseban

Kerinci mandi berbaju

Taragak (rindu) usah berpesan

Dalam mimpi kita bertemu

…..

Itulah sebuah pantun lama Minangkabau, di kampung saya, yang menyiratkan keyakinan bahwa yang berbau kampung-halaman (lokalitas) tidak bakal terhapus, bahkan ke dalam tidur pun merasuk, terbawa-bawa. Tak heran, setelah bertahun-tahun hidup di luar kampung, dalam pergaulan yang mulai meninggalkan bahasa ibu, kemudian ada pertanyaan nyeleneh,”Dalam bahasa apa engkau bermimpi?” Jawabannya tak terduga: dalam bahasa ibu. Padahal sudah lama bahasa ibu tak lagi digunakan dalam komunitas pergaulan saya yang baru. Bahkan adakalanya, disadari atau tidak, aktivitas berfikir berlangsung dalam bahasa ibu. Pantun semacam itu masih bisa direnteng, misalnya tentang si pulau pandan yang lebih spesifik pada ingatan: Pulau Pandan jauh di tengah/Di balik Pulau Angsa Dua/Hancur badan dikandung tanah/ Budi baik terkenang jua//. Atau dalam pengertian fisik ada adagium “setinggi-tinggi terbang bangau kembali jua ke kubangan.”

Lalu garansi apa yang membuat kita juga teringat globalitas, kampung-halaman bernama dunia lapang luas? Bukankah ia terasa abstrak ketika sebuah kelas mencoba mematerialkannya dalam himbauan-himbauan yang paradoks?

Lalu garansi apa yang membuat kita juga teringat globalitas, kampung-halaman bernama dunia lapang luas? Bukankah ia terasa abstrak ketika sebuah kelas mencoba mematerialkannya dalam himbauan-himbauan yang paradoks? Pengingkaran globalitas, dalam hal ini, saya rasa bukan karena ia tidak bersentuhan dengan kehidupan kita secara nyata. Bukan. Sudah saya katakan bahwa saya sudah berjumpa (jika bukan akrab) dengan buku dan koran sejak Sekolah Dasar; pun dengan radio dan televisi—simbol-simbol modernitas alias globalitas itu. Penyebabnya pertama-tama menurut saya adalah tidak adanya cukup jarak untuk memahami situasi. Semuanya harus bergegas. Bukankah negara dengan kekuasaan yang sentralistik jadi pusat komando yang memproduksi jargon “manusia siap pakai” atau “era tinggal landas abad 21”? Akibatnya, imajinasi tidak ikut bekerja dalam menyambut “fajar baru” yang didengungkan itu. Artinya, dalam posisi tertentu kita butuh jarak, dan jarak itulah yang justru akan mendekatkan. Membuat imajinasi lebih peka dan bekerja.

Imajinasi-yang-bekerja, inilah yang memunculkan kesadaran akan adanya “yang lain”; membayangkan Minang, misalnya, katakanlah lewat roman-roman Balai Pustaka, (seharusnya) mengingatkan kita pada Aceh, pada Timor atau Papua dan seterusnya, dan sebaliknya. Bukankah perlawanan atas kolonial, bibit awal globalitas itu, tidak serta-merta serentak dan mengatasnamakan Indonesia, melainkan berlangsung di kantong komunitas secara bertahap, dan terbatas di daerah-daerah? Lama-lama menjalar, membesar dari satu komunitas ke lain komunitas, dari daerah ke daerah, hingga memunculkan gejolak massal di Nusantara; patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Teuku Umar mengusir Belanda atas nama kehormatan Kesultanan Aceh, Panglima Polim bahkan atas nama federasi kampung. Begitu pula Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dan yang lain-lain, pertama-tama angkat senjata karena membela kehormatan puak dan tanah ulayat. Bukankah keindonesiaan lahir justru setelah kita menyadari kedaerahan kita?

Pergeseran atau proses ini bisa dengan terang kita rujuk pada Mohamad Yamin, salah satu inisiator Sumpah Pemuda. Pada awalnya, sesuai semangat zaman yang menghimpun para pemuda ke dalam persatuan masing-masing daerah (yang terkenal dengan istilah Jong), apa yang disebut “Bahasa, Bangsa” oleh Yamin tak lain Sumatera atau Pulau Perca sebagaimana tercermin dalam sanjak-nya:

…..

Merayap menangis bersuka raya

Dalam bahagia bala dan baya;

Bernafas kita pemanjangan nyawa

Dalam bahasa sambungan jiwa

Di mana Sumatera, di situ bangsa

Di mana Perca, di sana bahasa

…..

Andalasku sayang, jana bejana

Sejakkan kecil muda teruna

Sampai mati berkalang tanah

Lupa ke bahasa, tiadakan pernah

Ingat pemuda, Sumatera malang

Tiada bahasa, bangsa pun hilang

…..

Begitu pula “Tanah Air”, bagi Yamin juga Sumatera sebagaimana dapat dilihat dalam sanjak yang ia tulis pada tahun 1922:

…..

Di atas batasan Bukit Barisan

Memanjang beta ke sawah memandang:

Tampaklah hutan rimba dan ngarai

Lagi pun sawah, telaga nan permai:

Serta gerangan lihatlah pula

Langit yang hijau bertukar warna

Oleh pucuk daun kelapa;

Itulah tanah, tanah airku

Sumatera namanya tumpah darahku

…..

Dalam kurun waktu tak terlalu lama, atau sekitar enam tahun kemudian, tepatnya 1928, ia langsung memberi judul sebuah sandjak-nya “Indonesia, Tumpah Darahku” bahkan dibuka dengan kutipan populer: Bersatu kita teguh/ Bercerai kita jatuh. Selanjutnya, ia menulis:

…..

Duduk di pantai tanah yang permai

Tempat gelombang pecah berderai

Berbuih putih di pasir terderai,

Tampaklah pulau di lautan hijau,

Gunung-gemunung bagus rupanya,

Dilingkari air mulia tampaknya:

Tumpah darahku Indonesia namanya.

…..

Melihat “contoh ke yang sudah”, jelaslah perlu memberi pengakuan pada proses, pada “remeh-temeh” yang melekat: jarak, transisi, atau yang lebih megah: sejarah. Bukan kebetulan, bahwa dalam penciptaan karya sastra proses sangatlah penting, jika bukan yang terpenting. Bukan saja karena ia kebalikan dari yang instan, ujug-ujug, trend, juga lantaran ia menawarkan ruang pengendapan. Jika dalam proses penciptaan itu terjadi kemandegan, toh ada jeda, transisi, yang membuatmu tak memiliki target matematis.

Bagaimana jika yang lokal menjadi jargon, menjadi himbauan? Seperti formalisasi atas globalitas yang bikin mampat, jargon lokalitas juga bakal menyempitkan ruang jelajah seorang pengarang atau memaksakan hal yang belum tentu menjadi kebutuhan ekspresinya.

Dengan andaian semacam itu, saya bayangkan yang sebaliknya: bagaimana jika yang lokal menjadi jargon, menjadi himbauan? Seperti formalisasi atas globalitas yang bikin mampat, jargon lokalitas juga bakal menyempitkan ruang jelajah seorang pengarang atau memaksakan hal yang belum tentu menjadi kebutuhan ekspresinya. Yang diperlukan bukanlah formalisasi, tapi familiarisasi. Ini seiring dengan perkembangan wacana lokalitas yang bukan lagi sebatas kampung-halaman atau etnisitas. Melani Budianta menyebut batasan standar tentang lokalitas, yakni yang bersifat partikular (yang tertentu); kebalikan dengan globalitas yang bersifat umum dan menyeluruh. Dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, 26-30 November 2005, lokalitas mendapat padanan yang sangat luas. Selain Melani yang mengaitkan lokalitas dengan globalitas, ada Ahmad Tohari yang mengulik lokalitas desa; Hamsad Rangkuti dengan lokalitas urban-kota; Joni Ariadinata soal lokalitas gelandangan, bahkan Budi Darma yang menganggap lokalitas sebagai bagian dari obsesi (soliloqui) pengarang sehingga ia tak ragu-ragu menyebut lokalitas “Orang-orang Bloomington”. Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Agus R. Sarjono, menjadi lokal tidak lain tidak bukan menjadi pribumi bagi tema-tema yang diangkat pengarang.1

Maka jelas, berbicara lokalitas sekarang mesti mencari benang merah dengan lingkungan sosial tempatnya tumbuh. Kehidupan kian kompleks, globalitas sudah menjadi darah-daging Realitas keseharian (dan alangkah lucu-naif kalau masih ada himbauan mencurigai globalitas; jika pun ada tentu dalam sisi perlawanan yang lain, seperti masalah konsumsi dan eksploitasi alam!) sehingga lokalitas mesti memperluas diri. Identifikasi lokalitas sebatas etnisitas sudah saatnya dibongkar, dan memberi tempat pada hal-hal yang khas, yang partikular di sekitar. Tak perlu ada himbauan “formal” seperti pengalaman saya pada era 90-an, atau generasi sebelum saya pada tahun 70-80-an. Prosesnya mesti alamiah, seperti dinamisnya wacana seputar lokalitas yang disebutkan di atas.

Dinamisasi wacana dan penciptaan sebenarnya telah diperlihatkan dengan cukup elegan jika bukan ideal oleh dunia kesusasteraan kita periode 70-80-an. Ketika rezim pembangunan melesakkan globalitas sebagai “pusat tegangan” (industrial vs moralitas, keharusan vs kewaspadaan) dunia kesusastraan Indonesia justru melakukan penjelajahan kepada unsur-unsur tempatan. Sejumlah karya dan sosok pengarang yang kerap dirujuk sebagai anak kandung lokalitas—meski disaat bersamaan anak sah modernitas—dapat disebut. Roman Bako karya Darman Moenir, novel Warisan (Chairul Harun), drama Puti Bungsu (Wisran Hadi), puisi-puisi Rusli Marzuki Saria dan lain-lain, yang mengakar pada lokalitas Minangkabau. Di ranah lokalitas Jawa ada prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, kumpulan cerpen Godlob (Danarto), novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), puisi-puisi Darmanto Jatman, dan sebagainya. Lokalitas Melayu didedah Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan puisinya, O Amuk Kapak, sebagaimana Ibrahim Sattah lewat puisi-puisinya pula atau BM Syamsuddin melalui cerpen-cerpennya. Ramadhan KH dengan kumpulan puisi monumentalnya, Priangan Si Jelita, bukan hanya merentang panorama alam Priangan, tak kalah penting nilai-nilai hidup orang Pasundan. Hal yang sama kita jumpai dalam novel Upacara karya Korrie Layun Rampan (Dayak), D. Zawawi Imron (Madura), Nyoman Rastha Sindu (Bali), Gerson Poyk (Timor), Hijaz Yamani, Ajamudin Tifani (Banjar), dan seterusnya.2

Kini, globalitas tidak lagi berada pada tataran himbauan, saya rasa bukan karena runtuhnya otoritarian Orde Baru, namun keniscayaan zaman yang membuatnya menjadi pakaian keseharian.

Kini, globalitas tidak lagi berada pada tataran himbauan, saya rasa bukan karena runtuhnya otoritarian Orde Baru, namun keniscayaan zaman yang membuatnya menjadi pakaian keseharian; sesuatu yang dulu asing dan menakutkan, sekarang menjadi biasa dan bermuka-muka. Pada saat seperti ini, yang terjadi malah sebaliknya: himbauan untuk kembali kepada yang lokal. Ini berlangsung berbarengan dalam berbagai bidang, salah satunya yang marak adalah realitas politik lokal. Orang kembali kepada simbol-simbol tempatan dengan mengajukan proposal pemekaran daerah administratif.

Pertanyaannya, jika sastra dan kesenian umumnya juga mengalami “himbauan” kembalilah kepada yang lokal, apakah bedanya dengan “himbauan” ala guru saya di kelas lebih dua dasawarsa lalu? Bukankah ia juga menyorongkan “pakaian adat” pada sastrawan, seperti pada zaman Balai Pustaka dengan motif peruntungan dan kawin paksa? Bahkan akan lebih berbahaya, sebab jika globalitas dihimbau dalam nada kewaspadaan, lokalitas dalam nada lepas-bebas seolah taqliq bukan musuh utama sang kreator. (Belajarlah pada “nasib” sastra Malaysia yang berada dalam kancah fanatisme Melayu-Raya!). Atau lihatlah seni pertunjukan, seperti tari atau teater; tari dengan pretensi “melestarikan budaya bangsa” umumnya menghasilkan karya-karya “muhibah” yang kurang menggugah, dan teater mencari-cari pemaknaan pada eksotisme isu/tema untuk ditonjolkan.

Saya rasa kita bisa belajar pada gerakan sastra/budaya tahun 70-80-an di atas, ketika paradigma pembangunan menguat, menguat pula minat mengangkat nilai-nilai tempatan. Ini memunculkan budaya tanding. Yakni, upaya bermuka-muka, sekaligus beroposisi dengan “pusat”, baik dalam pengertian politik-kekuasaan dan legitimator kesenian, maupun sebagai “pusat tegangan” yang mereproduksi pro-kontra globalitas. Kaum budayawan lantas meluruhkannya sedemikian rupa, yang dalam bahasa Emha Ainun Nadjib “Indonesia bagian penting dari desa saya.”3 Bukan “desa saya” bagian penting dari Indonesia, namun sebaliknya. Budaya tanding itu kemudian tidak hanya menghasilkan karya-karya sastra “serius” di luar lirisisme yang kanonik—misalnya puisi bunyi/mantra Sutardji; atau dalam teater ada mini-kata Bengkel Teater—namun juga melahirkan puisi mbeling atau gerakan “kaum urakan”. Artinya, di dalam budaya tanding ada lagi budaya tanding yang melahirkan alternatif pilihan. Pergulatan ini saya rasa, tidak kalah alot, jika bukan analog dengan Polemik Kebudayaan tahun 30-an. Dan diakui atau tidak, oposisi kultural inilah yang menjadi salah satu sokoguru penguatan perlawanan generasi 90-an, yang memuncak pada Gerakan Reformasi.

Kran demokratisasi yang terbuka lebar, masyarakat urban meningkat pesat, otonomi menumbuhkan kota-kota, dan wacana global gampang diakses. Semua ini adalah modal yang bisa disandingkan dengan nilai-nilai berbau kampung halaman yang juga masih dirindukan.

Potensi menciptakan formulasi yang tepat dengan kondisi kita sekarang tentu saja tidak kalah luas. Kran demokratisasi yang terbuka lebar, masyarakat urban meningkat pesat, otonomi menumbuhkan kota-kota, dan wacana global gampang diakses. Semua ini adalah modal yang bisa disandingkan dengan nilai-nilai berbau kampung halaman yang juga masih dirindukan. Dalam prakteknya, terjadi pembauran signifikan antara yang lokal dan global, misalnya jika kita mencermati novel-novel tahun 2000-an. Ya, kita  tak  berdiri di satu kaki, namun melintasi semua tempat dan wilayah. Membaur. Ulang-alik. Begitu pula pola dan media publikasi sastra, format komunitas, alur jaringan, dan sebagainya. Media publikasi sastra misalnya, tidak lagi sebatas koran, tapi melebar ke dunia maya dengan segala variannya, termasuk akses menerbitkan buku yang sedemikian mudah.

Dalam situasi ini, kiranya kecerdasan, kalau bukan kecerdikan orang Minang niscaya sebuah solusi,”taimpik handak diateh, takuruang handak di lua—terhimpit hendak (minta) di atas, terkurung hendak (minta) di dalam.” Lokalitas yang khas tak hendak digilas modernitas, sebaliknya menjadikannya trandsetter, di atas; terkurung dalam partikularitas, tapi tidak terperangkap, dan justru ia ada di “pusat”, di inti kreatifitas.

3

DALAM proses kreatif saya beberapa tahun terakhir, pasca Parang Tak Berulu, saya menulis cerita seri tentang kota-kota kecil yang mengangkat latar dan ruang-ruangnya sebagai lokalitas. Lebih sebagai transisi penciptaan, ini workshop kecil yang saya lakukan secara personal untuk menjadikan realitas ruang sebagai “keseluruhan” atau unsur utama pembentuk cerita; sekaligus menguji lokalitas di luar etnisitas. Meskipun kota-kota itu tumbuh relatif seragam (trotoarisasi, bundaran, perkantoran, dan seterusnya), namun tetap ada yang perlu dicatat dari geliatnya. Secara tematik apa yang mendorong saya melakukan itu adalah kesadaran politik bahwa pada era otonomi seperti sekarang ini, kota-kota tumbuh dengan gencar lewat “proyek” pemekaran sehingga membutuhkan cara baru untuk memotretnya di luar laporan media berupa feature atau berita.

Narasi di atas saya ambil dari pengantar buku cerpen terbaru saya, Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (Akar Indonesia, 2018), atau sebaliknya, pengantar tersebut yang mengambil versi awal esei saya ini—sebuah ulang-alik.

Apa pun, dalam ranah politik lokal kita hari ini muncul kesadaran paling spesifik, nyaris partikular, meski tentu saja tidak mungkin menggunakan istilah ini sebab klaim yang dipakai adalah demokrasi (non-partikular), misalnya sumber daya alam. Kesadaran ini muncul begitu gencar, dengan berbagai latar yang kadang tidak selalu berbanding lurus dengan alasan sesungguhnya, dan otonomi pun tidak otomatis demokratis. Sebab, dalam prosesnya tidak selalu mulus, bahkan tak jarang berdarah-darah!4

Daerah, dengan demikian tidak boleh hanya sibuk oleh kepentingan ekonomi dan politik, apalagi instan, namun perlu ditopang secara kultural. Ini yang memungkinkan imajinasi bisa ditegakkan. Gerakan literatur lokal perlu disinergikan. Maka cerpen, menurut saya bisa memotret periode transisi ini, termasuk mengakomodasi suara yang mempertanyakan nasionalisme di tengah menguatnya daerahisme.

Salah satu paragraf cerpen saya terkait kota-kota kecil di daerah, seperti berikut:

…..

KARYA seni adalah persimpangan jalan, tulis Milan Kundera, saat ia kubaca dalam perjalanan. Bahuku terguncang karena batu dan lubang jalanan, tapi kuteruskan membaca, menyusuri sebuah pikiran. Jumlah jalan yang bertemu, lanjut Kundera, akan menentukan mutu seninya. Aku berpikir, jika kota dapat dikatakan sebagai karya seni, jalanan seperti apakah gerangan yang akan menentukan mutu sebuah kota?5

…..

“Karya seni” dalam cerpen di atas bisa saja kita ganti dengan nasionalisme, untuk merujuk kenyataan betapa nasionalisme berada di persimpangan. Ini seperti meneguhkan kekhwatiran sejumlah pihak tentang nasib nasionalisme di tengah transisi demokrasi. Ya, ketakutan nasionalisme berada di persimpangan jalan tersebab berbagai kepentingan. Sebenarnya apa yang ditakutkan? Dengan mengkhawatirkan “nasionalisme (di) persimpangan jalan” secara berlebihan, lagi-lagi tak ubahnya seperti peringatan paradoks yang saya terima di kelas tentang globalisasi lebih dua dasawarsa lalu itu.

Ketahuilah, sebagai paham besar yang merangkum soal bangsa dan negara, tentu saja nasionalisme terletak di tengah lintasan orang ramai, segala bangsa dan kepentingan.

Ketahuilah, sebagai paham besar yang merangkum soal bangsa dan negara, tentu saja nasionalisme terletak di tengah lintasan orang ramai, segala bangsa dan kepentingan. Itu realitas pertama yang perlu disadari sehingga kita tidak takut atau khawatir pada keadaan yang sebenarnya. Nasionalisme hakikatnya memang berada di persimpangan, bahkan ia persimpangan itu sendiri. Sebagai persimpangan, ia akan ditempuh masing-masing orang mau ke mana gerangan. Ada sejumlah jalan seperti “globalitas” dan “lokalitas”, dan seseorang tidak perlu lagi gamang untuk memilih jika ia punya visi; ia bisa menempuh salah satunya atau bolak-balik di antara keduanya. Berbeda dengan zaman “berjoang”, sungguh pun ada dua pilihan, ujung-ujungnya adalah satu, misal yang tercermin dalam pekik heroik,”Merdeka atau Mati!” Atau, yang agak diplomatis,”Kita cinta damai, tapi lebih mencintai kemerdekaan”. Itu zaman ketika situasi memang mengharuskan menempuh kemerdekaan sebagai satu-satunya jalan.

Jauh sebelumnya, nasionalisme Indonesia, kita tahu, justru berkah yang diterima oleh sekelompok elit yang mendapat pendidikan kolonial. Namun, betapa pun mereka memperoleh “pembayangan” bangsa lewat surat kabar dan novel (cerita dan berita) sebagaimana yang diandaikan Anderson, proses pembayangan di akar rumput lebih banyak dalam bentuk “fiksi lisan” berupa cerita rakyat, gosip, ciloteh emak-emak, obrolan warung kopi, dan paling heroik pada orasi politik yang berapi-api model Soekarno atau yang kalem seperti Hatta dan Syahrir. Tapi toh nasionalisme tetap terkukuhkan, bukan bertumpu pada apa yang dicetak, namun dari apa yang dirasakan; rasa senasib-sepenanggungan!

Dalam konteks kesusasteraan, surat kabar dengan “sastra koran”-nya niscaya suatu keunikan yang perlu tetap dimaksimalkan, tapi jalinan komunitas sastra di berbagai tempat dan wilayah (yang rada-rada lisan-tradisional) menjadi piranti yang tidak kalah pentingnya untuk dikembangkan. Pun, otonomi daerah sebenarnya memberi peluang bagi tegaknya literatur lokal, baik dalam pengertian muatan sebuah karya maupun pola-pola pengelolaan litaratur, misalnya dalam distribusi bacaan dan perpustakaan daerah. Penguatan daerah berarti penguatan wilayah, dan ujungnya tentu negara-bangsa. Akan tetapi, apakah itu sudah berjalan, masih jauh panggang dari api, masih transisi.

Di samping itu, jika geo-politik lokal makin menajam dalam mengajukan daya tawarnya pada proyek pemekaran era otonomi-desentralisasi, maka sastra seharusnya juga mempertajam kepekaan untuk melirik lokalitas alternatif yang tidak mainstream. Saya pernah mengajukan soal ini dalam esei tentang siasat para sastrawan dalam lokalitas.6 Yakni, sastrawan yang menulis lokalitas di luar mainstream tempatan. Misalnya, lokalitas Jawa yang umumnya berpusat di kraton dengan anjungan bahasa tinggi (baca: ala Mataraman), diserpih Ahmad Tohari dalam lokalitas Jawa ngapak-Banyumasan. Lahirlah Ronggeng Dukuh Paruk yang tidak mengharamkan bahasa “kasar” semacam “anjing buduk” atau “asu buntung”. Juga latar pedesaan dengan pola pikir masyarakat yang sederhana namun bukannya tanpa power di mana seni kolektif dihidupkan sang ronggeng dengan dukungan penuh masyarakatnya tanpa harus munafik pada harapan terhindarnya kutukan serta beroleh barokah kesuburan. Bandingkan dengan Para Priayi-Umar Kayam yang bersetting Jawa Mataraman yang dianggap terdidik dan agung, tetapi terlihat betapa totalitas “pengabdian” mereka terasa tanggung jika bukan canggung. Meski perbandingan di sini bukan hendak mempersoalkan perkara nilai, baik-buruk, melainkan untuk menunjukkan bahwa lokalitas sastra bukan hanya urusan pusat-mainstream, tetapi juga menemukan ladang yang subur di wilayah-wilayah kultural “pinggiran”.

Ini pula yang berhasil dilakukan Wildan Yatim lewat novel Pergolakan dan kumpulan cerpen Jalur Membenam. Lokalitas yang dihadirkan Wildan menyerpih dari dua kutub mainstream, Batak atau Minang. Ia justru mengangkat lokalitas Tapanuli/Padang Sidempuan yang “bukan” Batak dan “bukan” Minang. Memang, secara administratif wilayah Tapanuli/Sidempuan yang menjadi latar karya Wildan terletak di perbatasan Sumut-Sumbar, namun keberadaannya semacam “enclave budaya” yang memiliki nilai dan tata-caranya sendiri. Ini sekaligus menorehkan perhatian publik pada sesuatu yang terabaikan. Selama ini, jika menyebut Batak atau Minang, seolah tangan-tangan kulturalnya membentang mutlak ke semua kawasan, padahal ada kawasan tertentu yang betapa pun memiliki kesamaan/kemiripan, namun toh juga memiliki perbedaan-perbedaan. Demikian halnya Sidempuan dengan Batak, Minang dengan budaya darek, pesisir dan rantaunya;  Bali Utara yang “berbeda” dengan Bali Selatan, Aceh dengan Gayo-nya atau Cirebon-Indramayu yang “bukan Jawa dan bukan Sunda”. Bisa dilihat pula upaya Toha Mohtar dengan sejumlah karyanya—satu di antaranya novel Pulang—yang menampilkan lokalitas masyarakat sekitar Gunung Wilis yang beraroma pedesaan pada zaman “berjoang”. Ia tidak menggarap kultur arek yang lebih bersifat urban dan dikenal luas di Jawa Timur. Ia tertarik menggarap sesuatu yang tidak dominan, mungkin sama menariknya jika ia menggarap kultur lain khas Jawa Timuran seperti abangan atau Using (Blambangan). Persoalan pusat-pinggiran dalam konteks ini diluruhkan.

Terakhir, saya membaca novel Hans Gagas Tembang Tolak Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) tentang reog Ponorogo. Tidak sekedar penampilan reog yang atraktif dan indah, kehidupan di “belakang panggung” yang lebih menantang didedah; gemblak, pesta para jawara, jual-beli jejaka, dan seterusnya. Dengan mengambil reog dan enclave Gunung Lawu, Hans Gagas telah mempertajam varian lokalitas di luar yang selama ini dikenal; Jawa sebagai Jawa, atau (Negara-manca) Mataram sebagai Mataram, seolah di luar itu tidak ada Jawa yang lain atau Mataram yang lain, di luar yang nampak.7

Dalam puisi, lokalitas juga melimpah, menampilkan panorama kultur tempatan, seperti puisi-puisi dari Sumatera Barat, Riau, Jawa Timur, Bali atau Lampung.

Dalam puisi, lokalitas juga melimpah, menampilkan panorama kultur tempatan, seperti puisi-puisi dari Sumatera Barat, Riau, Jawa Timur, Bali atau Lampung. Meski keasyikkan bermain-main dengan yang partikular, kadang membuat penyairnya lupa diri dan meluputkan visi lebih besar: daya tawar partikular atas yang global. Sementara itu, globalitas juga terus mereproduksi wacana yang tak kalah menggiurkan. Realisme magis, mimikri, feminisme, ekologi, diaspora, eksil dan entah apalagi datang silih berganti. Sayangnya, sebagaimana di dalam lokalitas keasyikan kita masih sangat terbatas, pada globalitas posisi kita juga masih banyak sebagai Pak Turut, bukan sebagai sumber asal-usul, atau setidaknya menyumbang segala sesuatu pada wacana yang ada. Kita lebih mengejar apa yang diindoktrinasi oleh globalisasi berbentuk wacana-wacana luar, beberapa di antaranya instan dan partisan. Ah, Indonesia selalu merayakan fase di mana wacana dijadikan trend sesaat, life style, bukan trendsetter!

4

PADA akhirnya saya sampai pada renungan: jika globalitas menyempitkan dunia lewat distribusi benda-benda, komunikasi dan informasi sejagad; lokalitas pada hakikatnya upaya meluaskan dunia yang sempit (terbatas) dengan menyuguhkan kompleksitas dan merengkuh universalitas. Sebuah karya sastra yang memuat unsur lokalitas, katakanlah istilah daerah/etnik tertentu, akan dimengerti publik yang lebih luas bukan soal keterangan kosa kata atau catatan kaki, melainkan sejauhmana karya itu berbicara dengan “bahasa universal” (betapa pun ini akan berhadapan dengan sastra kontekstual, tapi itu lain soal). Jika seseorang menulis dalam sastra nasionalnya (dalam konteks kita, bahasa Indonesia), maka perangkat utamanya pertama-tama adalah bahasa nasional itu sendiri. Hanya dengan bahasa “lingua-franca” itulah sastrawan dengan lokalitas Minangkabau misalnya, bisa dipahami pembaca Jawa atau Papua, dan sebaliknya, dan seterusnya.

Jika globalitas menyempitkan dunia lewat distribusi benda-benda, komunikasi dan informasi sejagad; lokalitas pada hakikatnya upaya meluaskan dunia yang sempit (terbatas) dengan menyuguhkan kompleksitas dan merengkuh universalitas.

Itu artinya, seorang pengarang mesti ikut aturan main dan konvensi bahasa nasionalnya—tentu tanpa menutup kemungkinan adanya lisensi poetika.  Yang tidak kalah penting adalah menyangkut makna dan nilai-nilai yang mesti juga berkapasitas universal. Sebab, sebuah karya sastra bukan hanya sebatas dimengerti secara bahasa, namun juga dirasakan makna kehadirannya. Tugas seorang pengarang yang memiliki lokalitas adalah menghadirkan suasana, atmosfir dan aksentuasi lokalnya sebaik-baiknya. Artinya, secara bahasa lokalitas Sunda, Dayak atau Bugis sudah dibungkus dalam bahasa Indonesia, namun secara estetika tidak menghilangkan “ruh” lokalitas berupa nilai-nilai dan keunikannya masing-masing. Dalam konteks inilah, “negara” (diwakili bahasa persatuan) bertemu dengan “bangsa” (diwakili muatan lokal, tanpa harus pakai embel-embel “puncak-puncak kebudayaan daerah”) sehingga menjadi sahihlah nasionalisme negara-bangsa!

Meski bagaimanapun, ingat, nasionalisme hanyalah alat, sebuah paham, bukan tujuan. Tentu saja nasionalisme meminimalisir friksionalitas, menyederhanakan segala paham, untuk menyatukan semua kehendak. Di sini menjadi paradoks, bahwa nasionalisme yang mengakui lahirnya sebuah bentangan wilayah dengan segala isinya secara luas, namun juga meringkus segala sesuatu tanpa tedeng aling-aling: istana-istana ditutup, pangeran hilang suara, dan tidak mendapat tempat. Itulah sebabnya, negara menjadi problematis ketika wilayah di daerah kehilangan junjungannya, sebab berkiblat pada junjungan yang satu: bertanah air satu, tanah air Indonesia. Meskipun tersirat bukan satu-satunya, sebagaimana diperkuat Bhineka Tunggal Ika, toh kekuasaan telah membuatnya tunggal semata. Kasus perpecahan Kraton Solo, proses alot Undang-undang Keistimewaan Yogya, penolakan masyarakat adat pada tambang dan perusakan alam, dan seterusnya, adalah akumuluasi dari ketiadaan eksistensi kekuasaan lokal. Puncak dari ketiadaan eksistensi budaya lokal yang beragam terlihat dari rumusan kebudayaan nasional, sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” itulah. Apa yang disebut sebagai “puncak” sungguh problematis, karena hanya mengambil hal-ihwal yang gampang tampak, melupakan yang mungkin tak nampak atau tersembunyi. Bahkan nasionalisme sebenarnya problematis tidak hanya ketika menghadapi yang global, namun juga unsur yang membentuk dirinya sendiri. Misalnya bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, tidak jarang menutup bahasa daerah untuk menjalankan peran maksimalnya.

Kini, persimpangan nasionalisme itu makin besar, ramai, semarak. Di sana massa dari berbagai elemen berkumpul, meneriakkan yel-yel dan pilihannya. KFC bersanding dengan Warung Ndeso; McDonald berhadapan dengan Mak Donal, sehingga pilihan adalah keniscayaan. Di tengah persimpangan besar itulah sastra mesti ambil bagian. Sebagian sastrawan mengambil jalan pulang, merengkuh lokalitas tempatan di wilayah masing-masing. Namun, ada pula yang menempuh jalan lempang untuk masuk ke dunia global dengan meneruka latar “negeri-negeri asing”. Sebagian bertahan di persimpangan itu, menyerap realitas urban atau kehidupan kota besar. Sebagian bolak-balik di antara keduanya. Apa pun, yang terpenting bukan lagi soal ia memilih jalan, namun cara ia berjalan dan konsistensinya untuk merasa nyaman dan intim dengan jalan yang ia tempuh. Jika tidak, seluhur apa pun yang diniatkan dari lokalitas, tetap saja hanya tempelan lantaran hilangnya keintiman dan penghayatan terhadap lokalitas itu sendiri. Tidak kalah banyak pula karya-karya berpretensi modern, yang dianggap global, tapi tidak bunyi sebab hanya pengulangan dari yang sudah ada atau hasrat untuk dianggap lebih nge-Eropah!

Kini, dan selamanya, kita ditakdirkan untuk berjaga di dua kutub penuh gairah ini: lokalitas, globalitas, bertarung dengan cerita dan realitas!**


* ) Pokok pikiran esei ini pernah saya sampaikan dalam Seminar “Nasionalisme di Persimpangan Lokalitas dan Globalisasi” yang diadakan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 30 Mei 2012. Saya tulis ulang dengan revisi yang signifikan.

1.) Lihat  Jurnal Cerpen Indonesia edisi 08/2007 dan Perayaan Kematian Liu Sie (Sekumpulan Cerita Lokal) editor Raudal Tanjung Banua & Hairus Salim HS (Tikar Publishing, 2011).

2.) Lihat esei saya, “Lokalitas dalam Lokalitas”, Harian Haluan,  20 Maret 2011.

3.) Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding (Pustaka Pelajar, 1995), pengantar Halim  HD.

4.) Lihat Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia (YOI, 2007). Juga karya Gerry yang lain, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan  Demokratisasi di Indonesia (YOI, 2007).

5.) Lihat “Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil” (Jawa Pos Minggu, 7 Maret 2010).

6.) Lihat “Lokalitas dan Siasat Sastrawan” (Lampung Post, 2011) versi lain dari esei “Lokalitas dalam Lokalitas”.

7.) Pembacaan ini saya tulis dalam pengantar diskusi “Membaca Tembang Tolak Bala” di i:Bokoe Yogyakarta, 24 Desember 2011.

1518

Raudal Tanjung Banua

Penyair, koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta

Comments are closed.