Menu

Islam Jawa: Perlawanan Petani dan Ketersingkirannya

Dalam konteks penjajahan ekonomi sumber daya alam, kita bisa belajar dan menengok ulang bagaimana para aktor sosial maupun kelas sosial berelasi dengan kekuasaan di zaman Cultuurstelsel Belanda dahulu, yang kita tahu sejak kekalahan orang Jawa pada Perang Dipanegara (1825-1830), Jawa benar-benar telah menjadi di satu sisi ajang politik eksploitasi ekonomi pada level sumber daya alam melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870) yakni untuk mengganti biaya kerugian perang Belanda, maupun di sisi lain akan menjadi lahan eksperimen politik kebudayaan pecah-belah penyingkiran Islam (identitas pemersatu pribumi)—yakni dengan cara menampik identitas Islamnya orang Jawa, yang dibayangkan melalui kesolidan identitas agama ini tenaga “revolusioner” yang dibawanya akan terus-menerus menginterupsi dan menggugat kekuasaan Kolonial.

Seperti diceritakan Ricklefs dalam “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}”(2007), yakni tepat setelah kekalahan perang Dipanegara dimana akhirnya Jawa tunduk pada kuasa kolonial, polarisasi yang terjadi di masyarakat Jawa semakin menegas, saat (1) Para priyayi mulai dari regenten (bupati) hingga pejabat desa menjadi alat birokrasi yang ampuh untuk menerapkan eksploitasi sistem Tanam Paksa (coersed drudgery)—yang dari sistem ini para bangsawan pribumi mendapatkan keuntungan ekonomis dari prosentase hasil tanam—belakangan akan membentuk kelas khusus menjauh dari rakyat (Priyayi), juga (2) Kondisi mayoritas petani yang menjadi objek eksploitasi dalam penyelenggaraan sistem Tanam Paksa yang mengantarkan mereka pada kemelaratan (Abangan), dan yang terakhir (3) Para pedagang Islam dan Haji (kelas menengah), terutama di daerah pantai, yang sebenarnya relatif terlepas dari sistem ini, namun terlibat secara ekonomi juga politis, layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar Arab, China, dan sedikit India (Putihan).

Tidak aneh jika eksponen para pemberontak di tahun 1870 hingga 1880-an adalah para kyai dan tokoh desa pertanian di pedalaman Jawa, yang terlibat jauh dalam tarekat—dalam bingkai identitas Islam tradisional dan sufisme Jawa yang telah ditanamkan secara mendarah daging oleh Sultan Agung maupun para Wali (baca: Islam Jawa)—yakni yang memiliki ngelmu, mengamalkan suluk (laku) dan tirakat, memegang jimat-rajah, serta memegang keris-pusaka.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya.

***

Kita tahu, hari demi hari kelompok Islam Jawa ini semakin merenggang hubungannya dengan para pedagang-Haji yang semakin kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi”-nya di satu sisi (putihan), maupun semakin terpisahnya mereka dari kelompok elite priyayi yang di masa politik Etis (priyayi) yang kita tahu semakin menegaskan antusiasme pada kebudayaan dan nilai-nilai modern Belanda (kamilandanen), yang dalam suasana gamang meninggalkan identitas ke-Islaman mereka, yakni dengan cara menautkan identitas kejawaan dengan masa lalu Hindu-Budhanya (masa Majapahit) dengan bantuan temuan filologi dan arkeologi Belanda, maupun spiritualitas dunia yang sedang menjamur, juga rasionalitas pendidikan Politik Etis yang sedang berjalan.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya. Juga pemberontak bernama Kyai Hasan Maulani, Mas Malangyuda, Kyai Nur Hakim di pedalaman Jawa, atau Mas Cilik yang menyerukan pemberontakan para petani dengan keyakinan “ngelmu” dan “jimat”-nya di Tegal pada tahun 1864, yakni dengan cara menempelkan titel “Haji” meski tak pernah pergi ke Mekkah.

Serta kita juga dapat menemui pemberontakan Mas Rahmat—seperti dicatat apik dalam dalam autobiografi yang diedit oleh Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra: 1985)—yang mempunyai hubungan dekat dengan Malangyuda juga dengan seorang pangeran Yogyakarta, Suryenggala di tahun 1883. Ia memperoleh kesaktiannya dari mengunjungi mulai dari makam para wali Jawa-Madura, gua wingit, menjadi santri di pesantren, hingga ber-tepekur di petilasan wingit Candi kuno leluhur orang Jawa.

Prototipe pemberontakan ini juga ditemukan pada “mahakarya” Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang terkenal itu yang mewakili spirit Islam Jawa sebelum terdesak badai reformasi Islam yang sebenarnya mulai menjangkiti para kelas menengah Islam Haji pasisir dan pedalaman, maupun sebagian para kyai pedalaman—yang notabene pelanjut “Islam Wali” (Islam tradisional)—seiring meningkatnya jamaah Haji sejak pembukaan Terusan Suez di tahun 1869.

Gelombang reformasi Islam ini berjasa menggelontorkan tuntutan “ortodoksi yang terbaharui” dari tanah Arab, maupun sedikit-demi-sedikit menyumbang kerenggangan sebagian pesantren dari pengajaran tasawuf tingkat lanjut yang menjadi penyangga pandangan dunia Islam Jawa—Ricklefs menyebutnya “Mystic Synthesis”—dan akhirnya menjadikan sebagian pesantren terbonsai dan terkurung dalam kecakapan teknis bahasa Arab maupun paradigma fikih dengan tambahan tasawuf akhlaqi seperlunya, yang pelan-pelan menjauh dari akar kejawaan lama.

Pengajaran kesusateraan Jawa  yang menjadi modus lumrah di pesantren seperti terekam di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, Pesantren Jamsari di Madiun, maupun Pesantren Kyai Anggamaya di Kedu yang dibenarkan oleh catatan Belanda di masa sebelum Perang Dipanegara menjadi terkonfirmasi, karena memang merupakan Kawah Candradimuka tempat para pujangga Surakarta dari mulai Yasadipura I, Yasadipura II, maupun sang Pujangga panutup Ranggawarsita yang pernah menjadi santri di pesantren yang telah disebut di muka.

Di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional.

***

Dalam konteks masyarakat yang terpolarisasi hebat pasca kekalahan perang Jawa (1825-1830), yakni sejak diberlakukannya Cultuurstelsel dan berganti ke Politik Etis hingga awal abad 20, masyarakat Jawa mulai mengenal sistem ekonomi kapitalistik berjejaring dunia dengan skala yang sangat luas, peredaran masif ekonomi uang, pertanian varietas baru impor, kapitalisme perkebunan, pajak sewa, sistem transportasi yang bersambung di sepanjang Pulau Jawa, serta pendidikan sekolah modern Eropa yang lambat laun menggusur modus pendidikan pesantren—artinya juga menggeser pandangan dunianya—yang kita tahu menjadi penyangga identitas Islam Jawa, sungguh benar-benar semakin membelah masyarakat dalam kategori priyayi, abangan, dan putihan, yang sebenarnya tidak dikenal pada masyarakat Jawa setidaknya bermula pada akhir abad 19 hingga mengeras di awal abad 20. Pembelahan inilah yang kemudian didinamisir ke level terjauhnya melalui studi-studi antropologi seperti dilakukan Clifford Geertz, dan kawan-kawan.

Pembelahan ini tidak terjadi secara natural dalam pengertian strata sosial semata seperti dalam era-era sebelumnya, melainkan dalam hal ini telah menggeret pengkutuban tersebut ke posisi “saling konfrontasi” dalam konteks relasinya dengan kekuasaan ekonomi maupun politik kolonial. Yakni di mana posisi priyayi memerankan strata sebagai mesin birokrasi kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal yang diselenggarakan para petani dalam sistem Tanam Paksa, dan sebagian para pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan “cash money” seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan India, serta yang terakhir para petani yang menjadi “obyek tertindas” yang terus menerus menderita kemelaratan, kecuali para petani pemilik tanah yang juga ikut mencicipi keuntungan ekonomi Tanam Paksa.

Nanti di akhir abad 19 hingga awal abad 20, seperti dicatat Steenbrik (1984), kita akan segera tahu serangkaian kebijakan kolonial yang bertujuan untuk memangkas, menekan, dan menggencet kelompok Islam Jawa (Islam Tradisional) yang masih tersisa dan sebenarnya telah berada di “pinggiran” serta kehilangan pemimpin priyayi maupun agamanya setelah Perang Jawa. Misalnya di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional. Pemerintah kolonial dengan sengaja menjadikan para penghulu sebagai pejabat sipil negeri di bawah administrasinya, dan melarang para Kyai mengumpulkan zakat, agar para penghulu menjadi lebih “setia” kepada Belanda dan pengaruh para Kyai bisa terkurangi.

Juga di dekade tahun-tahun itu kebijakan kolonial dengan bersemangat mencurigai setiap aktivitas bergerombol jamaah tarekat maupun perkumpulan doa yang melibatkan banyak orang, melarang praktik mistik popular yang ramai di pasar-pasar, merampas buku-buku primbon ataupun kitab-kitab, maupun serat-serat yang menubuatkan datangnya Ratu Adil yang dirasa dapat merongrong, maupun pemenjaraan tokoh pengajar pesantren yang jelas-jelas menentang sistem pengadilan hukum agama kolonial (penghulu) yang telah tunduk pada sistem administrasi kolonial. Dalam hal ini pemberontakan Kyai Ahmad Rifa’i Kalisasak yang terkenal bisa kita tempatkan dalam konteks kebijakan ini.

Bahkan di tahun 1905 semua guru agama dan pesantren diminta mendaftarkan dirinya kepada Bupati, beserta laporan kurikulum pengajarannya, kitab-kitab yang diajarkannya, beserta jumlah santrinya, agar ia berada terus-menerus dalam “kendali” kekuasaan kolonial. Pesantren dan guru agama yang membangkang akan ditindak tegas.

Plus, meski awalnya berusaha untuk membentuk pendidikan berdasar sistem pendidikan pribumi (pesantren), namun selanjutnya Pemerintah kolonial benar-benar membikin sistem pendidikan modern yang terpisah dan memisahkan, alias lepas dari sistem pendidikan pribumi (Steenbrink; 1984). Yakni sebuah usaha untuk mengganti seluruh pandangan dunia tradisional lama (yakni dengan unsur mistisismenya yang sulit dikendalikan) dan mengintegrasikan pendidikan umum dan Islam ke spirit modernisme yang lebih tertata dan bisa dikontrol dan dijinakkan. Dengan nalar ini kita menjadi mafhum kenapa tujuan utama dan misi Pendidikan Politik Etis adalah menghapus Budaya takhayul, klenik, mistik, dan khurafat. Dan, akhirnya sistem pendidikan Islam asli pribumi (pesantren) di awal abad 20 tersuruk di pinggiran, terisolasi, dan terabaikan.

Tumbuhnya pemberontakan para petani yang dipimpin para pemimpin lokal yang terserap dalam nuansa identitas ke-Islam-an Jawa, bagi saya menandai fakta penting, bahwa para kawula atau rakyat kebanyakan telah ditinggalkan oleh para pemimpinnya, baik dari para aristokrat Jawa maupun dari para pemimpin agama kelas menengah.

Seperti telah banyak diulas, Perang Dipanegara (1825-1830) menandai perlawanan terakhir bergabungnya elemen masyarakat mulai dari para kyai pemuka masyarakat, santri, para bangsawan/priyayi pemberontak, rakyat biasa, petani, blandong, penyamun, perampok, gali, hingga para pencuri dalam barisan bendera perang “sabilollah” Dipanegara melawan “kafir” Belanda untuk mempertahankan harga diri terakhir bangsa Jawa.

Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya.

***

Sejak kekalahan perang ini, pemberontakan-pemberontakan rakyat telah menjadi insiden pinggiran yang dengan mudah ditangani oleh Pemerintah Kolonial. Karena kita tahu, bahwa Keraton beserta para bangsawannya praktis di satu sisi telah kehilangan kuasa politiknya secara paripurna, maupun secara bersamaan diikuti perilaku para priyayi semakin terserap dalam “rasionalitas” modern Belanda (baca: “agama Budi” (akal), seperti dinubuatkan oleh Serat Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Kedhiri), maupun di sisi lain keterkurungan mereka dalam benteng keraton sehingga dengan sendirinya terputus dengan mata-rantai sistem pengetahuan Islam tradisional yang diajarkan oleh guru-guru pesantren di Pedesaan, sehingga melecut kelompok yang disebut terakhir membentuk “jaringan Islam” internasional yang lebih massif di abad 19 hingga 20.

Pemberontakan para petani dan tokoh spiritual lokal ini juga mengungkap bahwa para tokoh yang masih membenamkan diri dalam denyut keagamaan dan penderitaan masyarakat-lah yang akan terus melawan. Masalahnya narasi trikotomi pembelahan masyarakat Jawa, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dampak yang ditimbulkan oleh politik pecah-belah kebudayaan Belanda masih terus-menerus dihidupkan para sarjana kolonial beserta murid-muridnya hingga hari ini, yang bahkan dalam kasus tertentu didinamisir untuk saling membenturkan dan mengekslusi. Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya. Juga terkait ide persatuannya untuk menyatukan tiga kelompok ini (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang digagas dari sejak muda dalam payung Indonesia, justru tenggelam dalam narasi sejarah, serta politik pembelahan masih terus dilanggengkan sebagai lanjutan politik kebijakan kolonial Belanda yang telah menyorongkan estafetnya pada penguasa penjajah kapital baru yang sedang berlangsung hari ini. Akhirnya para petani kita terus-menerus berada di “pinggiran” dan masih terbaluti lumuran kemelaratan di sekujur tubuhnya hingga hari ini.

Allahu A’lam.

Irfan Afifi, 31 Maret 2016


Dr. Karel A. Steenbrink, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

M.R.C. Ricklefs, “Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries”, (Norwalk, CT: EastBridge), 2006.

M.R.C. Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}” (Leiden: KITLV Press), 2007.

Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra, Australian University Monograph), 1985.

Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888”, (Brill Publisher, Series Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkund), 1966.

0
1005
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.