Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dengan proses sejarah yang panjang. Dalam perjalanan sejarah tersebut, dinamika masyarakat di dalamnya memiliki ciri khas kebudayaannya sendiri. Masyarakat Indonesia pernah mengalami berbagai macam pemerintahan yang berbeda-beda. Bermula dari pemerintahan kerajaan yang berbasis agama, hingga pemerintahan modern dengan basis kedaulatan rakyat dalam tatanan demokrasi. Kosmologi hadir dalam upaya memahami dinamika kehidupan alam semesta dan keyakinan manusianya (Imam, 2014). Melalui pemahaman kosmologi, kehidupan perpolitikan di Indonesia memiliki nuansa khas tersendiri dalam unsur kebudayaan. Pandangan hubungan kosmologi dan Politik ini dinilai relevan sebagai mitigasi kepemimpinan di masa yang akan datang.
Hubungan kosmologi dan politik di Indonesia memiliki banyak corak sesuai dengan budaya dan ras yang meninggali suatu daerah. Salah satu kosmologi-politik Indonesia yang paling fenomenal adalah kosmologi politik Jawa. Arief Poyuono (2021), berpandangan bahwa kosmologi politik Jawa merupakan bentuk petunjuk calon presiden yang cocok memimpin Indonesia dengan mengacu pada kata istilah ‘Notonegoro’. Dalam kosmologi politik itu, Istilah kata ‘Notonegoro’ merupakan penggalan ramalan Raja Majapahit yang bernama Prabu Jayabaya. Dalam Serat Jangka Jayabaya, Prabu Brawijaya meramal segala hal yang berkaitan dengan kehidupan Jawa dan Indonesia di masa depan. Melalui ramalan tersebut, masyarakat Jawa mempercayainya dan menjadikan ramalan itu sebagai petunjuk tentang masa depan khususnya dalam kehidupan politik.
Makna Istilah ‘Notonegoro’
Prabu Jayabaya meramal kehidupan masyarakat Jawa dalam Serat Jangka Jayabaya. Melalui serat tersebut Prabu Jayabaya membuat rujukan tentang pilar prinsip kebijakan. Prabu Jayabaya membuat pilar kebijakan itu dengan bersumber pada lima prinsip yang disebut dengan “Panca Notonegoro” (Panca Natanegara). Dalam kelima prinsip itu Prabu Jayabaya meramalkan bahwasanya, masyarakat Jawa dapat mengalami masa keselamatan dan kemakmuran ketika seorang pemimpin mampu mengamalkan Panca Natanegara. Adapun prinsip dari Panca Natanegara itu antara lain:
- Nataning Ngawur
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai berbicara. Prabu Jayabaya meramal bahwasannya, seorang pemimpin suatu negara perlu menjadi pribadi yang pandai berbicara. Kemampuan ini dinilai penting dikarenakan komunikasi yang bijak dan efektif seorang pemimpin, akan menuntun masyarakat ke tujuan yang baik.
- Nataning Jaman
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai menyesuaikan diri dengan waktu. Prabu Jayabaya meramalkan seorang pemimpin itu harus mampu menyesuaikan diri dengan waktu. Melalui ramalan ini, makna keselamatan dan kemakmuran terletak pada seorang pemimpin yang mampu menempatkan bagaimana sebuah negara menghadapi zaman.
- Nataning Laku
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai bertindak. Prabu Jayabaya meramalkan seorang pemimpin di suatu negara perlu memiliki kepandaian bertindak. Melalui tindakan tersebut, Prabu Jayabaya percaya bahwasannya masyarakat dan negara akan mencapai sebuah tujuan kemakmuran serta keselamatan jika tindakan seorang pemimpin negeri mampu tepat dan efektif.
- Nataning Ati
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai mengendalikan hati. Prabu Jayabaya meramal bahwasanya, seorang pemimpin harus mampu mengontrol emosi dan sikapnya khususnya dalam menghadapi masa-masa sulit. Dalam hal ini, Prabu Jayabaya menilai seorang pemimpin akan mengalami masa rentan ketika sebuah krisis terjadi. Oleh karena itu, Prabu Jayabaya meramal pemimpin yang bisa mengontrol emosi itu penting.
- Nataning Budi
Penggalan istilah pada kata tersebut memiliki arti pandai berpikir bijaksana. Prabu Jayabaya meramal seorang pemimpin merupakan sosok yang akan menentukan keselamatan dan kemakmuran masyarakat. Maka jika ingin menjadikan negara dan masyarakat baik, pemimpin yang harus dipilih ialah pemimpin yang memiliki akal sehat dan pikiran bijak dalam mengambil keputusan.
Dalam prinsip Panca Natanegara ini, masyarakat Jawa memaknai seorang pemimpin merupakan imam yang memberikan petunjuk. Masyarakat Jawa menilai dengan pemimpin yang mampu mengamalkan Panca Natanegara, maka pemimpin tersebut akan membawa negara dari krisis dan mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Seiring dengan berkembangnya zaman, pemikiran masyarakat jawa pun juga ikut berkembang. Dalam Kosmologi Politik Jawa ramalan Jayabaya tersebut, masyarakat memaknai ramalan itu dengan memfokuskan pada istilah Natanegara. Masyarakat Jawa tidak lagi menggunakan prinsip istilah Panca Natanegara, dikarenakan di zaman modern ini setiap pemimpin pasti memiliki prinsip tersebut.
Dalam prinsip “Panca Natanegara” ini, masyarakat Jawa memaknai seorang pemimpin merupakan imam yang memberikan petunjuk. Masyarakat Jawa menilai dengan pemimpin yang mampu mengamalkan “Panca Natanegara”, maka pemimpin tersebut akan membawa negara dari krisis dan mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Masyarakat Jawa menilai dalam hal politik memandang Natanegara ini merupakan pemaknaan sebagai penata negara yang bijaksana. Dalam kosmologi politik Jawa secara historis disusun oleh Prabu Jayabaya sebagai perancangan kebaikan bersama. Walaupun sebagian orang menganggap bahwa kosmologi politik Jawa adalah takhayul belaka. Kenyataan mengenai kosmologi politik Jawa ini dapat diuji kebenarannya dengan menarik garis historis peradaban masyarakat Jawa.
Kosmologi politik Jawa ini juga dapat dikatakan sebagai subjektivisme-antroposentristik melalui pengasumsianya dalam menempatkan manusia sebagai subjek aktif kosmos yang ditandai dengan sejarah dan aktivitas berpikirnya (Iqbal, 2014:32). Dengan demikian, pemaknaan kosmologi politik Jawa memberikan upaya dalam bidang politik untuk berpikir secara bebas dengan alam raya sebagai derajat manusia. Kosmologi politik Jawa walaupun menjadi akal budi pemikiran lokal, namun keberadaannya mampu diperdebatkan selayaknya kosmologi yang berada di dunia Eropa.
Kosmologi politik Jawa mendominasi luas untuk mengatur manusia. Kosmologi politik Jawa ini tercipta pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Selain itu, kosmologi politik Jawa juga kerap dikaitkan dari masa ke masa, sehingga kosmologi politik Jawa kerap mengalami adaptasi dan perubahan seperti halnya kosmologi lain di dunia pada umumnya. Dalam kosmologi politik Jawa, peranannya dalam dunia politik memiliki sifat untuk menunjukkan eksistensi secara terpusat pada ego-subjektivisme sekaligus menandakan peralihan filsafat dari “kekaguman kenyataan”. Dasar mengenai peralihan ini merupakan “kekaguman ilmu pengetahuan” yang menciptakan apresiasi pengetahuan yang mengembalikan pengetahuan manusia dengan subjek manusia itu sendiri (Iqbal, 2014:32).
Selain itu, kosmologi politik Jawa juga dapat dikatakan sebagai kosmologi lama (kuno), namun tetap relevan di era modern hari ini. Pandangan tentang eksisnya kosmologi politik Jawa dapat diasumsikan dengan pemikiran dari Rene Descartes. Menurut Descartes (Iqbal, 2014:34), dalam penciptaan kosmos sebenarnya tidak terlalu bertentangan dengan paham kalangan agamawan. Tuhan mengalami penempatan yang instrumental dan mampu menjamin pengetahuan manusia terhadap adanya realitas eksternal (Iqbal, 2014 :34). Demikian pula pada kosmologi politik Jawa, telah memberikan ruang istilah Natanegara dengan tidak bertentangan dari agama. Karena pada mulanya kosmologi ini terciptakan melalui keyakinan agama Hindu pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Relasi Kosmologi Politik Jawa Dalam Sejarah Kepemimpinan Presiden
Dengan mengacu konversi ‘ruang dan waktu’ kosmologi politik mengaitkan perbedaan esensial antara ruang dan waktu berkontraksi karena kedua esensial ini berkontraksi dan menciptakan produk intelerasi sosial. Dengan demikian, peranan kosmologi politik merupakan masuknya kosmos dalam budaya. Seperti halnya pada kosmologi politik Jawa, dalam ini budaya Jawa masuk pada konsep-konsep kosmos yang memberikan kajian pentingnya subjek dan objek manusia dalam berdinamika. Dengan demikian, dalam kosmologi politik Jawa, konsep ruang dan waktu memiliki potensi untuk menjadi evaluasi dan perencanaan kehidupan manusia dalam politik pada kosmos.
Kosmologi politik Jawa juga dibuktikan dalam catatan sejarah kepemimpinan presiden. Dalam kosmologi politik Jawa ini istilah “Natanegara” merupakan anggapan paling valid jika dikaitkan dengan sejarah kepemimpinan presiden. Istilah “Notonegoro” ini merupakan bentuk penggalan kata dari “No”, “To”, “Ne”, “Go”, “Ro”. Melalui penggalan kata tersebut, jika dikaitkan dengan sejarah kepemimpinan presiden di Indonesia maka, penggalan kata itu merupakan 1 kata terakhir dari nama presiden yang memimpin dari masa lampau. Indonesia telah memiliki sebanyak 7 presiden dengan pergolakan dinamika kenegaraan yang cukup berbeda. Diantara 7 presiden itu, jika dikaitkan dengan istilah kata “Notonegoro” maka, hanya ada 3 kepala negara yang memiliki kecocokan.
Adapun kecocokan itu diawali dengan Presiden Indonesia yang pertama, yaitu Soekarno. Pada nama Soekarno terdapat kata “No” dalam penggalan kata pada bagian terakhir namanya. Dengan mengacu pada kosmologi politik Jawa, keberadaan tokoh Soekarno merupakan tokoh yang paling berjasa besar pada negara. Hal ini tidak terlepas juga pada peranan Soekarno dalam menjaga stabilitas negara. Walaupun dikenal sebagai tokoh pendiri bangsa, Soekarno dapat dikategorikan sebagai pemimpin negara yang cukup berhasil membawa keselamatan dan kemakmuran pada rakyat Indonesia. Salah satu keberhasilanya ialah, Soekarno mampu dikenal menjadi satu diantara beberapa tokoh dunia yang berpengaruh dalam perlawananya dengan imperialisme. Selain itu, Soekarno juga merupakan orang Jawa yang memperkenalkan Islam di mata dunia tepatnya pada era 1940 an. Pada era tersebut dunia sedang mengalami transformasi perdamaian dan Soekarno menjadi salah satu tokoh yang cukup berhasil.
Kemudian, tokoh kedua ialah Soeharto. Dalam nama Soeharto terdapat kata “To” yang merupakan kata terakhir pada namanya. Dengan mengacu pada kosmologi politik Jawa, Soeharto adalah pemimpin yang mampu menjaga prinsip Panca Natanegara. Di masa kepemimpinannya selama 32 tahun berbagai gejolak kenegaraan telah terjadi. Dimulai dari pemberontakan G30S PKI dan pengaruh globalisasi cukup menjadi tamparan keras bagi negeri ini. Berkat kepemimpinan presiden kedua ini, kondisi di Indonesia dapat dikatakan cukup baik karena mampu menjaga stabilitas nasional selama 32 tahun. Selain itu, Soeharto juga dikenal sosok yang mampu berkomunikasi dengan efektif untuk memajukan masyarakat pembangunan. Beragam pembangunan cukup pesat dilakukan khususnya dalam memberikan rancangan kehidupan manusia dengan alam. Seperti anggapan Plato, sistem politik cukup penting menjadi patokan keteraturan masyarakat dalam kosmos. Pada kepemimpinan presiden Soeharto inilah banyak sekali kebijakan yang menciptakan keteraturan masyarakat. Walaupun pernyataan ini kerap menimbulkan kontroversi, kaitan kosmologi politik Jawa ini hanyalah sebatas analisis kepermukaan.
Kemudian, tokoh yang ketiga ialah presiden keenam Indonesia yaitu, Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kata terakhir nama presiden tersebut terdapat penggalan kata lagi yang menghasilkan kata “No”. Walaupun penggalan kata dalam nama presiden ini tergolong sebagai kata yang telah ada pada nama presiden Soekarno. Namun, penggalan kata “No” pada presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini masih dinilai relevan. Hal ini dikarenakan di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat beberapa keberhasilan dalam menunjang keselamatan dan kemakmuran masyarakat. Keberhasilan yang dimaksud ialah keberhasilan pada pengelolaan pemerintahan Indonesia pasca masa orde baru.
Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Akan tetapi, pengujian kelayakan demokrasi di masa Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Serat Jenggala mengenai sosok-sosok yang layak memimpin negara Indonesia. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, banyak gejolak yang dimulai dari krisis kepercayaan hingga terorisme. Dengan demikian, kenyataan yang terjadi ialah banyak masyarakat yang puas dengan kepemimpinan. Walaupun presiden ini dinilai kurang oleh segelintir politisi, tetapi Susilo Bambang Yudhoyono telah mampu memberikan warna baru pada pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam tiga keterkaitan kosmologi politik Jawa di atas, kosmologi politik Jawa merupakan satu-satunya kosmologi politik yang mengkulturkan budaya dan politik di Indonesia. Walaupun begitu, keberadaan kosmologi Politik Jawa juga perlu mengalami berbagai macam evaluasi. Pada kosmologi politik Jawa manusia merupakan subjek peranan kosmos yang digerakan oleh pikiran. Dengan demikian, dalam menjaga keberlangsungan kedepan terhadap kosmos manusia dinilai perlu lebih hat-hati.
Dalam tiga keterkaitan kosmologi politik Jawa di atas, kosmologi politik Jawa merupakan satu-satunya kosmologi politik yang mengkulturkan budaya dan politik di Indonesia. Walaupun begitu, keberadaan kosmologi Politik Jawa juga perlu mengalami berbagai macam evaluasi
Kosmologi politik Jawa juga tidak bisa dikatakan sebagai acuan keberhasilan negara seutuhnya. Hubungan kosmologi pada kemungkinan keberhasilan negara tidak dapat dikatakan sebagai takhayul atau negatif. Tapi kemungkinan ini merupakan bentuk tentang kolaborasi kosmos dengan objek yang akan terjadi di masa yang akan datang. Permasalahan keyakinan penggunaan kosmologi politik Jawa ini selalu muncul menjelang pemilu, merupakan bentuk perencanaan bakal calon presiden dan evaluasi masyarakat terhadap presiden sebelumnya.
Pemaknaan Kosmologi politik Jawa sebagai keyakinan keberhasilan merupakan bentuk pengajaran akal budi dari eksploitasi. Walaupun begitu orang Jawa yang merupakan masyarakat mayoritas, tidak bisa memiliki ambisi dalam kosmologi terutama untuk terus mendominasi segala sektor kehidupan. Dengan demikian, kosmologi ini menjadikan pengajaran dan penempatan bagaimana cara manusia sebagai subjek kosmos dalam berelasi.
Editor: Mohammad Hagie
Bahan Bacaan:
Abdullah, L. (1991). Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa. Jurnal Humaniora, no. 2, 1991., 87-101.
Campion, N. (2017). The Importance of Cosmology in Culture: Contexts and Consequences. INTECH: Trends in Modern Cosmology, 1-16.
Chalik, A. (2011). Islam Mataram dan Orientasi Politiknya dalam Sejarah Pemilu di Indonesia. ISLAMICA, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, 269-278.
Iqbal, I. (2014) Kosmologi, Sains, dan Teknologi: Pergeseran Paradigmatik dan Implikasinya terhadap Studi Agama. Kala; Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, No 1,Juni 2014, 27-42.
JawaPos.com (2021). Airlangga dan Ganjar dalam Kosmologi Politik Jawa di Pilpres 2024. (2021, Desember 6). Retrieved from JAWAPOS.COM: https://www.jawapos.com/nasional/politik/06/12/2021/airlangga-dan-ganjar-dalam-kosmologi-politik-jawa-di-pilpres-2024/
Jayabaya. (1741). Serat Jongko Jayabaya.