DONASI

Lali Sumber Ketiwasan: Refleksi Nilai-nilai Desa dalam Arus Modernitas

Saya sedikit heran—bercampur penasaran—ketika saya pertama kali bertandang ke Taman Baca Mahanani pada akhir tahun 2023 silam. Pak Sunarno atau akrab disapa Pak Narno, selaku...

ULASAN | TUESDAY, 9 DECEMBER 2025 | 19:48 WIB

Saya sedikit heran—bercampur penasaran—ketika saya pertama kali bertandang ke Taman Baca Mahanani pada akhir tahun 2023 silam. Pak Sunarno atau akrab disapa Pak Narno, selaku bapa pangemong teman-teman Mahananian, langsung menyapa saya dengan kata sapaan Gus. “Piye, Gus?” sapanya. Padahal saat itu saya baru pertama kali bertemu langsung dengan Pak Narno. Sebelumnya, ia hanyalah sosok yang sering diceritakan oleh teman-teman saya.

Panggilan Penyapaan Gus itu langsung mencairkan suasana perkenalan kami tanpa perlu berbasa-basi terlalu panjang. Pertemuan pertama itu seolah perjumpaan kawan lama yang sudah lama sekali tak berjumpa.

Saya menyadari bahwa bukan hanya saya yang dipanggil dengan sapaan Gus. Beberapa teman lain yang ada di sana pun sama. Salah seorang teman yang mengenalkan saya kepada Pak Narno pernah mengatakan bahwa Gus adalah sapaan Pak Narno kepada teman-teman Mahanani. Ketika sapaan gus itu dilekatkan kepada saya, saya langsung merasa disrawungi dengan baik di Mahanani.

Namun, timbul penasaran, mengapa harus Gus yang dijadikan kata sapaan dan bukannya yang lain. Semisal Kang, Mas, atau Bro. Saya tidak pernah menanyakan itu secara langsung dan ikut saja terbawa arus untuk kemudian saya kadangkala memanggil teman dengan sapaan Gus, tanpa tahu sebab-musababnya.

Setelah hampir satu setengah tahun berada di Mahanani, pertanyaan itu terjawab melalui buku yang ditulis oleh Pak Narno berjudul Lali Sumber Ketiwasan (2025). Buku ini merupakan kumpulan esai yang mencoba memotret kenangan Sunarno muda terhadap kampung halamannya di Dusun Teluk, Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Ngawi.

Basis dari rangkaian esai ini adalah hasil pengamatan, pengamalan, dan pengalaman dari Sunarno, sejak ia kecil hingga beranjak jejaka, bahkan ketika sudah menjadi bapak-bapak anak dua. Ia mencoba merefleksikan kembali nilai-nilai hidup yang ada di desanya dulu.

Kembali lagi pada sapaan Gus, lazimnya Gus selama ini identik melekat kepada seorang anak kiai. KH. Musthofa Bisri pada satu kesempatan pernah berkata bahwa Gus adalah sebutan bagi anak kiai yang masih belum pantas menjadi kiai. Sementara itu, di Mahanani, semua orang, termasuk kami, bisa menjadi seorang gus dengan secair itu, tak peduli apa latar belakang orang tua kami. Kami bisa, setidaknya merasakan, menjadi gus dengan tak perlu dilahirkan dari keluarga kiai.

Sapaan Gus di Mahanani sebenarnya di-gethok-tular-kan oleh Pak Narno yang dibawanya dari pergaulannya di Dusun Teluk, Mantingan dulu. Semasa itu, Sunarno muda saling bertegur sapa dengan teman-temannya menggunakan panggilan Gus. “Ning endi, Gus?”, “Piye kabare, Gus?”.

Sunarno, dalam buku ini, secara apik mencoba merefleksikan sapaan Gus  itu dalam tiga nilai makna, yaitu (1) meluluhan egoisme diri, (2) menubuhkan kesetaraan antar kekancan, dan (3) menumbuhkan rasa penghormatan yang saling (hal. 38–39). 

Sunarno menguraikan lebih lanjut, dengan memanggil Gus, maka identitas kedirian kita yang termanifestasi dalam sebuah nama, akan lebur dan menghilangkan ke-aku-an pada sosok individu. Setelah itu, lahirlah kesetaraan, tanpa ada yang merasa menguasai atau dikuasai dalam bingkai yang tua dan yang muda. Dan pada akhirnya, panggilan Gus itu akan memunculkan rasa saling menghargai antar teman, sebagaimana kata Gus itu adalah bentuk penghormatan kepada anak kiai dalam tradisi pesantren, dan fungsi ngemong Semar terhadap ndoro-nya dalam tradisi pewayangan.

Uraian Pak Narno tersebut membuat saya berpikir, “Weh, isa ngono, ya”. Bahwa panggilan Gus yang selama ini terkesan eksklusif dan melangit, bisa direfleksikan dan dirasionalkan secara sederhana untuk yang menyebut kami-kami ini yang bagus-saja-belum, yang mana ternyata kami selama ini diemong sekaligus diajari untuk ngemong, pada saat yang bersamaan.

Mengurai Makna Ketiwasan

Ketika buku ini akan dipublikasikan, saya tergelitik dengan judulnya: Lali Sumber Ketiwasan. Saya yang masih muda dan memiliki keterbatasan kosa kata Jawa ini iseng meraba-raba artinya atau setidaknya mencoba untuk membahasaindonesiakannya. 

Lali berarti “lupa” dan sumber bisa bermakna “mata air”, atau bisa juga diartikan sebagai “asal”. Sedang ketiwasan di sini cukup sulit untuk diartikan. Hemat saya, dalam penggunaan sehari-hari, ketiwasan berasal dari kata tiwas yang kadang digunakan dalam kalimat-kalimat bernada penyesalan, tetapi entah apa artinya. 

Saya masih bingung mengartikannya sampai kemudian saya teringat salah satu lagu koplo yang dipopulerkan oleh Massdho berjudul Kisinan

Tiwas tak gondheli tenanan 
Sayangku wes ora kurang-kurang
Jebul mung dadi pelampiasan
Tiwas tak banggakke
Tak pamer-pamerke
Jebule aku mung dadi badute

Dari lirik lagu tersebut, sebenarnya bisa kita pahami bahwa padanan Indonesia dari kata tiwas adalah “terlanjur”. Namun, terlanjur dalam hal ini bukan sekadar bermakna ia-telah-melakukan yang mana pengertian itu lebih tepat disandingkan dengan kata “kadung”. Tiwas, hemat saya, bukan sekadar kadung, dan pada beberapa kasus terlihat memang kurang tepat jika dua kata itu digunakan saling menggantikan.

Sampai kemudian saya menemukan padanan Indonesia yang lebih tepat untuk menggambarkan tiwas, adalah bermakna “terlanjur diusahakan” alias “dibela-belani”. Dalam banyak kasus, keadaan tiwas selalu dibarengi dengan kondisi jebul. Tiwas tak gondheli tenanan, jebul mung dadi pelampiasan (dibela-belain untuk dipertahankan, ternyata hanya menjadi pelampiasan). Nah, di situlah yang saya maksud di muka bahwa tiwas memiliki nada penyesalan atau kesia-siaan.

Setelah saya cek dalam Bausastra Jawa-nya Poerwadarminto, definisi tersebut cukup sesuai Berdasarkan kamus ini, makna tiwas yaitu tanpa guna, kangelan sing tanpa tanja (tiada guna, kesusahan tanpa hasil yang memuaskan).

Namun, setelah menemukan arti kata tiwas, saya masih kebingungan merangkai arti ungkapan “lali sumber ketiwasan”. Tentu akan sulit jika saya mengartikan sak-klek kata demi kata. Apakah ketiwasan di sini merupakan singkatan dari engko tiwasan menjadi kotiwasan/ketiwasan, sebagaimana ungkapan piye to ikih menjadi pitikih. Jika iya, maka “lali sumber ketiwasan”, akan saya maknai secara bebas menjadi “lupa asal, nanti menyesal”.

Saya berusaha keras menemukan arti dari lali sumber ketiwasan, sembari membaca satu per satu esai dalam buku ini. ibalah saya pada esai yang terakhir, yang ternyata judul buku ini diambil dari judul esai tersebut: Lali Sumber Ketiwasan.

Sunarno menjelaskan bahwa “lali sumber ketiwasan” merupakan penggalan lirik lagu ciptaan Ki Narto Sabdo berjudul Enthik-Enthik. Lebih lanjut, Sunarno menyebutkan ia memiliki pemaknaan ganda atas ungkapan tersebut. Bisa dilafalkan dengan “lali, sumber ketiwasan” yang bermakna bahwa lupa adalah sumber dari celaka, musibah, dan kerugian. Atau bisa juga dibaca dengan “lali sumber, ketiwasan” yang artinya (barang siapa) melupakan asal-muasalnya, niscaya akan menemukan penyesalan.

Sementara itu, suatu keadaan akan disebut tiwas ketika ia diikuti oleh dua unsur lainnya: jebul dan jathukno. Jika tiwas adalah kondisi di mana usaha telah dilakukan secara serius untuk mencapai sesuatu yang diidealkan, maka jebul adalah kondisi yang memutarbalikkan apa yang telah di-tiwas-kan, dan jathukno adalah upaya untuk menegasikan ulang tiwas dan pengharapan kembali atas apa yang telah terlambat disadari dari jebul. Itulah ketiwasan

Untuk mudahnya, saya akan membuat contoh pada kalimat berikut: Tiwas mumet-mumet goleki artine, jebul ning bagian mburi wes ana penjelasane, jathukno ora perlu mikir jeru aku (Terlanjur berpusing-pusing mencari artinya, ternyata ada di bagian belakang sudah ada penjelasannya, tahu begitu tidak perlu berpikir terlalu dalam)

Dari serangkaian konsep yang telah saya tawarkan di atas, maka saya akan mendefinisikan ketiwasan sebagai kondisi di mana kita sudah mengusahakan apa yang menjadi keinginan kita, ternyata kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang kita andaikan dalam usaha tersebut, dan setelah tahu hasilnya seperti apa, kita berharap waktu akan berulang kembali dan memperbaikinya. Itulah ketiwasan.

Kedesaan dan Nilai-nilai yang Ditawarkan

Purnawan Basundoro dalam buku Pengantar Sejarah Kota (2012) menyebutkan bahwa kota merupakan konsekuensi logis dari perkembangan sebuah desa. Hari ini, banyak desa yang telah menjadi kota seiring persentuhannya dengan entitas yang bernama modernitas. Ketika desa sudah beranjak menjadi kota-kecil, maka ia perlahan mulai melepaskan satu demi satu nilai-nilai kedesaannya.

Ketika mendengar kata desa, saya sudah tidak bisa lagi membayangkan apa yang digambarkan oleh Sunarno dalam buku Lali Sumber Ketiwasan. Bagi saya, desa dan kota sama saja. Sebagaimana apa yang saya alami di desa tempat saya tinggal, di mana telah banyak perubahan, dan kini beranjak menuju perkotaan. Bahkan untuk sekadar membayangkan suasana sejuk dan asrinya pun saya tak bisa, mengingat pepohonan di depan rumah saya telah lama ditebangi untuk alasan perluasan jalan raya.

Saya baru bisa membayangkan desa yang sebenarnya desa ketika mendengar sematan ndesa (kampungan). Bagi saya, sematan ndesa lebih mewakili desa dengan seperangkat alam dan pengetahuan lokalnya. Ironinya, hari ini sematan ndesa malah dijadikan bahan olok-olokan untuk menyebut orang yang udik dan norak.

Apa yang digambarkan oleh Pak Narno dalam bukunya, sebenarnya merupakan gambaran lazim suasana pedesaan, seperti di antaranya, sistem informasi yang disebut bok, ruang kolektivisme bernama rewang, etos kebersamaan dalam pager mangkok (saling berbagi), budaya saling percaya yang mewujud dalam ngemong, dsb. Lagi-lagi ketika saya membandingkan dengan hari ini berdasarkan pengalaman saya hidup di tempat desa saya, nilai-nilai kedesaan itu sudah hilang satu per satu.

Bangunan bok mungkin masih ada, tetapi kini sepi dan menjadi ruang pribadi. Wong ndue gawe tetap masih ada, tetapi rewang kini berganti kerja upahan atau malah digantikan oleh catering. Pager mangkok sudah pecah digantikan oleh pager tembok seiring dibangunnya pagar-pagar besi di rumah penduduk. Ngemong sekarang perannya hanya dipersempit dalam skala orang tua kepada anak, itu pun masih bisa digantikan oleh adanya baby sitter melalui lowongan kerja yang jamak kita temui di media sosial.

Pergeseran dan perubahan budaya masyarakat desa tersebut terjadi seiring persentuhan desa dengan modernitas, seiring industrialisasi dan komersialisasi masuk ke desa-desa, seiring akses informasi yang mudah dan serba cepat. Oleh karenanya, terjadilah apa yang disebut Kuntowijoyo dengan proses penguangan masyarakat. Kerja-kerja sambatan di desa yang dulu orang bisa urun apa saja yang dimilikinya, sak bisane, sak nduwene, isane urun tenaga, ya diurunke tenagane, nduwene bahu, ya diurunke bahune; sekarang berubah menjadi sistem transaksional atau kerja upahan.

Orang tidak lagi bekerja dalam bingkai nyengkuyung bareng, tetapi atas asas profesionalisme: isamu apa, njaluk bayaran pira. Dengan demikian, lagi-lagi saya harus menyitir Kuntowijoyo, bahwa desa telah mengasingkan diri dari ikatan-ikatan kekeluargaan, serta rasa aman sosial-ekonomis yang telah menghilang dari kehidupan orang desa. Padahal banyak dari nilai-nilai kedesaan, yang sebenarnya bisa dijadikan solusi atas permasalahan zaman kiwari. 

Sebagaimana yang ditawarkan oleh Sunarno dalam buku ini bahwa andaikan falsafah pager mangkok (saling berbagi) ini dipraktikkan secara luas menembus ruang perkotaan, ia bisa menjadi solusi alternatif pengentasan kemelaratan sehingga urip bareng bisa benar-benar terwujud (h. 93). Atau mungkin budaya ngemong, andaikan ia ada pada setiap diri masyarakat, maka akan terwujud masyarakat yang ayem, tentrem, selamet berbarengan (h. 98). Tentu itu hanyalah beberapa dari sekian nilai-nilai luhur yang sangat mungkin untuk menjawab permasalahan masyarakat modern.

Namun, justru kini, semakin modern suatu masyarakat, semakin mereka lupa akan nilai-nilai kedesaannya, semakin mereka meninggalkan guyub rukun kekeluargaannya. Merasa diri berkemajuan dengan meninggalkan seperangkat nilai bebrayan yang katanya usang dan kadaluarsa.

Saya tidak sedang menawarkan sikap anti-modernitas, sikap anti-kemajuan, atau konservatisme terhadap perkembangan zaman. Saya juga bukan berarti meromantisasi dan mengglorifikasi masa lalu. Modernitas memang tak terelakkan, tetapi tanpa disangga oleh nilai-nilai kedesaan, ia hanya melahirkan masyarakat yang rapuh. Di sinilah pentingnya mengingat bahwa desa bukan sekadar ruang geografis, melainkan sumber nilai yang membentuk watak kebersamaan kita. 

Jika kota adalah konsekuensi logis dari perkembangan sebuah desa, maka desa adalah asal-muasal, desa adalah akar, desa adalah sumber. Ketika modernitas masuk tidak dibarengi dengan gondhelan seperangkat nilai-nilai yang telah mengasal, mengakar, dan menyumber dari kita, yang telah diturunkan oleh orang tua kita, simbah-simbah kita, sesepuh dan pinisepuh kita, maka bersiaplah: lali sumber, ketiwasan.

Dan biarlah buku ini menjadi pengingat bagi kita, bagi saya pribadi setidaknya, bahwa jangan-jangan selama ini ternyata saya sedang membangun jalan menuju ketiwasan itu, atau malah jangan-jangan saya sudah menjadi bagian dari masyarakat ketiwasan itu. Tanyakan hal itu pula pada masing-masing dari diri kita.


Kolofon Buku

Judul: Lali Sumber Ketiwasan | Penulis: Sunarno | Penerbit: Rua Aksara x Taman Baca Mahanani [2025] | Jumlah halaman: xiv + 208 hlm. | ISBN: 978-623-6650-63-9

439

Mohammad Sirojul Akbar

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Tulungagung

Comments are closed.