DONASI

Mbah Dullah

Mbah Dullah, atau Kiai Dullah adalah manusia samudra: begitu luas, dalam, tak terperi. Dengan memandang saja, bahkan melalui potret, seketika kita akan terhubung dengan cakrawala...

LEMBAR | MONDAY, 19 JUNE 2023 | 23:35 WIB

Mbah Dullah, atau Kiai Dullah adalah manusia samudra: begitu luas, dalam, tak terperi. Dengan memandang saja, bahkan melalui potret, seketika kita akan terhubung dengan cakrawala keteduhan. Melalui beliau, hidup menjadi tak mudah goyah oleh godaan ngaku-ngaku lebih alim, lebih saleh, lebih santri—dan lebih kiai dari liyan. 

Tahun 1998 adalah titik balik. Seorang anak petani, cucu petani, berpindah mukim dari rumah ke pondok pesantren. Pondoke mbah Dullah, itu yang dia tahu. Setelah cukup lama tinggal di sana baru ia tahu kalau pondok itu bernama “Pesantren Mathali’ul Huda Polgarut Selatan” atau PMH Pusat. Itu kenangan, saat saya pertama kali ke pesantren. 

Mbah Dullah sebagai pengasuh pondok, saat itu sudah sepuh. Urusan administrasi dan tata kelola pondok sudah mulai berpindah ke Abah, putra beliau. Abah bagi kami, para santri, saat itu adalah KH Nafi’ Abdillah (Allahu yarham), KH Minan Abdillah (Allahu yarham), dan KH Zakky Fuad Abdillah. Ketiga abah tersebut selalu menegaskan bahwa pondok PMH Pusat adalah pondoknya Mbah Dullah. “Iki pondoke bapak”, begitu sering kata itu tersampaikan.

Walaupun pernah nyantri di pondoknya Mbah, tetapi saya masih selalu merasa sebagai santri adoh: santri yang berjarak dengan kiai. Kendati demikian, bagi saya, sudah lebih dari cukup. Karena bukankah jauh-dekatnya jarak adalah keniscayaan tertitah? Dan saya menerima titah itu dengan penuh rasa begja dan syukur tak putus-putus.

Dari kondisi ini praktis hanya dari jauh saya bisa mengasup ketokohan Mbah Dullah. Tetapi kehadiran Mbah sebagai poros ruhani tidak pernah terasa jauh, bahkan sampai titimangsa ini.

Teladan Laku

Model pendidikan yang diberikan oleh Mbah adalah pendidikan laku. Yaitu keteladan yang khas kiai mumpuni. Pendidikan laku adalah model pendidikan yang bertumpu pada keteladanan (uswah), bukan pada petuah dan ceramah. Perbedaan antara petuah dan uswah bagai jarak langit dan bumi. Kita tahu, bumi sudah bisa diprediksi luas, batas-batas, dan kedalamannya. Sama halnya dengan petuah-ceramah, baik tertulis maupun tertutur, ada pola dan batasnya. Tetapi langit, bagaimana mengukurnya, menakarnya? Langit tak mengenal batas. Bagi saya, begitulah Mbah Dullah, sosok yang melangit sebab keteladan laku beliau.

Batas langit adalah sudut pandang, cara pandang, resolusi pandang, dari pelihat sendiri. Dari sini, saya mendapati setidaknya tujuh keteladan yang terpakem dari diri Mbah Dullah.

Pertama, kemandirian. Pondok kami sangat merawat kemandirian. Kepengurusan dan pengelolaan pondok sepenuhnya diagendakan sekaligus dijalankan sendiri oleh para santri. Biaya listrik, jadwal ngaji, serta kegiatan-kegiatan kesantrian disusun oleh santri. Tentunya kemandirian (otonom) tersebut selalu berada dalam peng-awas-an lahir dan batin dari beliau.

Foto Pribadi KH. Abdullah Zain bin Abdussalam (Mbah Dullah)

Kedua, kesederhanaan. Mbah Dullah mengambil jalan kesalehan melalui intensi “ke dalam diri”, sehingga semua kenampakan dari luar begitu sederhana. Ndalem dan ageman beliau jauh dari kesan keglamoran dan kemewahan. Tampilan beliau ura nganeh-nganehi. Hal ini berbeda dari beberapa figur pemuka agama yang ndalem dan ageman-nyaterlihat mencolok “lebih dari” santri-santri dan pondoknya.

Ketiga, keajekan atau istiqomah. Mbah Dullah adalah tipikal kiai yang konsistensi kesyari’atannya begitu gamblang. Beliau menjaga sholat lima waktu dengan berjama’ah bersama santri-santri. Di masa-masa beliau sudah begitu sepuh pun, masih rutin berjama’ah. Dengan dituntun, beliau ke musala, sholat dengan lenggah karena sudah tak kuasa berdiri. Keistiqomahan beliau yang lain adalah saat mendaras Alquran. Melalui Gus Baha’, kita dapat mengenang Mbah dari jejak pesan beliau: “nek nderes kui seng sregep, seng ajeg, supaya ketika dapat undangan hataman cuma berpindah tempat saja”.

Keajekan beliau dalam merawat syari’at, memberitahu kita bahwa tanpa wadah (syari’at) yang kuat dan indah, isi (hakikat) menjadi rentan ternista. Misal, rokok yang terlolos dari bungkus, akan mudah kotor, ngabar aroma dan rasanya. Begitulah didikan beliau kepada santri-santri dan muhibbin: wadah dan isi yang pas adalah kesempurnaan (kamil) seorang salik.

Keempat, kesufian. Posisi beliau sebagai seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, menjadikan dimensi kesufian begitu resap pada diri beliau. Satu di antara banyak weweling beliau: “Ojo gelo. Nek iyo mosok ura, nek ura mosok iyo o”. Pesan ini berarti jangan pernah terbersit kejanggalan batin sedikit pun akan takdir hidup yang dijalani. Semua sudah diatur, diarahkan, ditetapkan oleh Allah. Sikap ini merupakan kesadaran hidup yang sumeleh total kepada Allah: ridha kepada takdir. Sikap batin semacam ini, di dalam khazanah kesufian menjadi satu kelaziman belaka.

Kelima, kedermawanan. Mbah Dullah begitu ringan tangan dan ringan hati dalam berderma. Satu misal: santri-santri majelis rutinan (tawajuhan thariqhah) tiap Selasayang jumlahnya ratusan orang, dijamu makan siang semua. Ongkos dan seluruh prosesnya ditangani langsung oleh ndalem. Hal ini rutin, berpuluh-puluh tahun.

Keenam, netralitas politik: berjarak dengan kekuasaan. Mbah Dullah dikenal sebagai tokoh yang total berkhitmah keumatan melalui pendidikan (tarbiyah) tanpa bercampur kepentingan politis. Penolakan demi penolakan tegas selalu beliau sampaikan kepada pejabat yang hendak berdonasi ke pondok. Sikap ini berlaku sama terhadap semua pejabat politik, dari jenjang manapun, termasuk level presiden. Tak lama setelah dilantik sebagai presiden ke-4 RI, Gus Dur berniat berkunjung ke ndalem, Mbah Dullah menolaknya: pintu depan ditutup tanda “tidak menerima tamu”. Di masa Orde Baru, beliau juga menolak pemberian mobil sedan (Timor) yang dihaturkan oleh keluarga presiden saat itu kepada beliau.

Ketujuh, welas asih. Welas asih bukanlah ‘rasa kasihan’ belaka. Welas asih merupakan keikhlasan untuk tatag berlaku “keras” kepada diri sendiri dan longgar-toleran kepada liyan. Beberapa kisah di sub selanjutnya, akan menjadi dalil tentang corak kewelas-asihan beliau. Dengan sembunyi-sembunyi, dalam kesunyian yang sulit dipahami, beliau memancang pathok keislaman. Khususnya di wilayah Pati dan sekitarnya.

Dari Petala Ketersembunyian

Seorang pengunjung di pantai, hanya dapat mengamati, menikmati dari pinggir. Walaupun santri adoh, karena sering tercenung di pinggir pantai, kadangkala beberapa pelaut dan penyelam membagikan kisah samudra. Pelaut dan penyelam itu adalah santri-santri betulan yang kesungguhan tadzim dan khitmah mereka kepada Mbah Dullah bukan kebetulan, tetapi dengan kesadaran utuh. Mereka adalah para santri yang terberkati oleh kiai, sehingga saat ini sudah pula menjadi “kiai”. Dari mereka itulah saya mendapati kisah-kisah tersembunyi tentang penggalan hidup Mbah Dullah. Seluruh kisah adalah tentang samudra yang tersigi dari pinggir jauh.

Kisah pertama tentang mimpi dan pertemuan ruhani antara Mbah Dullah dengan pendeta Katholik.

Pernah di satu masa, saat Mbah Dullah masih yuswa, di Pati (wilayah perkotaan) datang seorang pastur Katholik yang memiliki kecakapan dakwah (missi) linuwih. Pastur atau pendeta ini begitu menarik hati masyarakat. Banyak orang-orang yang awalnya muslim berpindah agama. Pengaruh pendeta ini semakin menguat dan meluas dari hari ke hari, sampai akhirnya terjadi “pertemuan mimpi”.

Di satu malam, pendeta itu bermimpi. Dia umbal bus ke desa Kajen. Satu desa yang baginya tak dikenal. Setelah sampai di jalur masuk desa, melalui trayek Pati-Tayu, ia turun. Di pinggir jalan, sudah menunggu seseorang yang mengaku sebagai santri utusan Mbah Dullah. Bersama dengan santri utusan itu, ia diantar bertamu kepada Mbah Dullah, seorang kiai pengasuh pesantren. Nama “Dullah” sendiri baginya adalah asing. Sesampainya di ndalem kiai Dullah, pendeta tersebut berdialog perihal keimanan, tentang ceruk-ceruk Kristen dan Islam. Alhasil, ia menjadi muslim. Tersentaklah ia ketika bangun: “Mimpi apa ini?!”.

Di malam berikutnya, ia bermimpi persis sama, plek dengan mimpi sebelumnya. Nama bus yang ditumpangi, sama. Posisi duduk di dalam bus, sama. Sampai santri penjemput dan sosok “Dullah” yang ditemui pun, semuanya serupa dengan mimpi di malam sebelumnya. Ketika bangun, ia tersentak kedua kali.

Malam ketiga, pendeta itu bermimpi lagi. Mimpi kali ini seperti tayangan ulang dari dua mimpi sebelumnya. Sebagai seorang rohaniawan, tentu pendeta itu tidak abai pada tengara—mimpi janggal selama tiga malam berturut-turut—terlewat begitu saja. Akhirnya ia memutuskan untuk napak tilas jejak mimpinya. Ia mempersiapkan perjalanan menuju Kajen, menemui “Dullah” yang misterius itu.

Keheranan semakin menguat ketika selama perjalanan telisik mimpi itu ternyata persis dengan mimpinya. Bus yang ditumpangi, suasana turun dari bus, santri penjemput, sampai ndalem dan sosok kiai Dullah pun persis sama dengan tiga mimpi yang dialaminya. Memang tidak seketika itu ia menjadi muslim, tetapi tak berselang lama pendeta tersebut benar-benar masuk Islam. Dan seluruh jemaat Katholik yang mengikutinya banyak menjadi muslim pula.

Kisah kedua tentang santri yang dipancang oleh Mbah Dullah sebagai kiai melalui likuan trayek misterius (khusus kisah ini pernah dimuat di Alif.id dengan narasi berbeda). 

Adalah perkara lumprah ketika seorang santri ditugasi njejeri (menempati) satu wilayah tertentu oleh kiainya. Tetapi menjadi ultra lumprah ketika santri yang ditugasi merupakan santri dari kiai lain yang bahkan tanpa pernah bertemu sebelumnya dengan “pemberi tugas”.

Pada satu momen, Mbah Dullah nimbali seorang santrinya. Santri tersebut diberi tugas berangkat ke Jawa Timur (Malang) menemui satu kiai tertentu. Santri ini dipesan oleh Mbah Dullah, mengajak seseorang dari santri kiai tersebut untuk diajak ke Pati.

Santri utusan Mbah Dullah ini pun berangkat. Setelah sampai di tujuan, ia menyampaikan semua isi pesan kepada pak kiai. Singkat cerita, bertemulah santri utusan tersebut dengan orang yang dituju. Sebut saja namanya Abdul. Keduanya tidak saling kenal, tentu saja.

Dalam suasana yang aneh dan canggung keduanya berangkat ke Pati, naik bus. Setelah sampai di terminal Pati, Abdul ditinggal begitu saja. Tanpa bekal dan pesan khusus, Abdul ditinggal sendirian di terminal. Sekali lagi, ditinggal begitu saja!

Sendirian di tempat asing, Abdul kebingungan: harus ngapain? Tetapi karena telah menerima mandat dari kiai, ia pun membetahkan diri. Tanpa kenalan, tanpa keluarga, tanpa misi yang jelas, Abdul tinggal di terminal. Ia lantas tinggal di masjid dekat terminal. Seiring waktu Abdul mulai terbiasa hidup di masjid. Ia sebisa mungkin mengakrabi masyarakat setempat dan membantu merawat masjid.

Berbulan-bulan Abdul menunggu, santri yang katanya utusan dari Mbah Dullah itu tidak pernah menyambanginya. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang tua yang dipanggil “Dullah” datang ke masjid tempat ia tinggal. Dengan mengumpulkan keberanian, Abdul menyapa orang tua itu.

“Mbah, leres njenengan yang menyuruh saya tinggal di sini?”

“Iya, kenapa?”

“Terus apa tugas saya di sini?”

lha, isamu opo?

Lantas orang tua itu pergi. Abdul kembali merasa sendiri.

Ternyata setelah bertahun-tahun tinggal di masjid itu, Abdul menyadari satu hal bahwa tugas santri adalah mengukuhi dan mengajar ilmu agama. Lambat laun Abdul semakin diaruhke oleh masyarakat. Ia diterima sebagai warga di sana. Setiap harinya ia merawat masjid dan mengajari anak-anak mengaji.

Sealir dengan waktu, Abdul menikah, berkeluarga dan memiliki tempat tinggal sendiri di dekat terminal itu. Sekarang ia telah menjadi tokoh kunci dan pemuka agama (kiai) terkemuka.

Pertama kali saya menerima riwayat kisah ini, saya geleng-geleng. Lama-lama saya manthuk-manthuk sendiri. Memang begitulah model dakwah seorang kiai khos. Tanpa banyak atribut yang tak penting, strategi dakwah dilakonkan sedemikian khas.

Kisah ketiga tentang pertemuan ‘frekuensi ruhaniah’ antara Mbah Dullah dengan seorang kiai kampung.

Sewaktu Mbah Dullah masih aktif menghadiri undangan ke desa-desa sekitar Kajen, beliau rawuh di acara pernikahan, di daerah Trangkil (tetangga kecamatan dengan Margoyoso). Sebagaimana lazimnya resepsi pernikahan, banyak tamu yang hadir. Dan kebanyakan tamu-tamu itu tidak saling kenal, kecuali beberapa orang saja.

Di antara tamu-tamu undangan, ada seorang kiai kampung. Kiai ini sangat menghindari tampil menonjol. Ia biasa memilih tempat duduk di belakang, kecuali memang sudah disediakan tempat khusus di depan. Ketika mengetahui kalau salah satu tamu khusus di resepsi tersebut adalah Mbah Dullah, ia semakin mencari tempat mencil. Sampai akhirnya ia terperanjat.

Saat Mbah Dullah sudah berpamitan dengan shohibul bait, beliau berjalan menuju pintu keluar. Anehnya, beliau tidak langsung bergegas keluar. Mbah Dullah malah pelan-pelan menyibak tamu-tamu menuju kiai kampung yang mencil tadi.

Ketika sudah dekat dengan kiai kampung tersebut, Mbah Dullah berhenti. Beliau mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mengetahui Mbah Dullah datang kepadanya, kiai ini pun heran sekaligus senang. Dijabatlah tangan Mbah Dullah. Setelah bersalaman, Mbah Dullah menarik dan memeluk kiai ini. Sambil merangkul, Mbah Dullah berbisik lirih:

“Akhirnya aku bertemu bolo

Kue karo aku podho

Lalu beliau melanjutkan keluar dan pulang. Kiai itu pun tersenyum, menelusuri alam makna.

Merawat Sunyi

Sependek kenangan saya terhadap semua perjumpaan dengan Mbah Dullah Salam, baik memandang dari jauh, salim sungkem, maupun sebatas menyimak kisah-kisah beliau, satu hal yang saya yakini: Mbah Dullah adalah Kiai Pathok Agami. Pathok bisa diartikan sebagai jejer, simbol, sekaligus rujukan.

Beliau selalu anteng dengan tatapan abai kepada keduniawian. Namun di balik itu semua, beliau sangat aktif menguatkan dan menjaga agama melalui jalan sunyi. Babak perjumpaan mimpi dengan pendeta Katholik, menegaskan bahwa beliau selalu awas terhadap potensi pelemahan akidah di masyarakat. Dan strategi yang diambil sangat mempertimbangkan efektivitas telak dan ekses konflik seminimal mungkin.

Lalu penugasan Abdul yang misterius, menunjukkan bahwa beliau adalah pathok-nya Pati. Krisis tokoh agama yang mumpuni sebagai pengayom dan pendidik masyarakat perkotaan, menjadikan langkah tersebut diambil. Dan perjumpaan mesra dengan kiai kampung di acara resepsian, menjadi penegas bahwa kematangan ruhaniah beliau sudah sebegitu mapan.

Hadirnya cerita-cerita di dalam tulisan ini, hanyalah sebuah usaha merawat kecintaan kepada seorang kinasihnya Allah. Semoga semua ini bukan sebuah langkah kewanen kepada pihak mana pun. Kepada seluruh dzurriyah Mbah, saya meminta doa dijauhkan dari segala kemelencengan niat dan sasarnya laku hidup.

Dengan segala-gala takdzim, linnabi wa li murabbi ruuhina Mbah Dullah Zain bin Abdussalam, Al Fatihah … []

1017

Akhmad Faozi

Penulis adalah peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Momong anak lanang dan penikmat literasi. Lahir di Pati, nyantri di Kajen, tinggal di Bantul.

Comments are closed.