Suatu pagi di hari Jumat, saya merasa mendapatkan berkah yang mendalam. Bukan karena dapat uang, atau sebuah penerimaan atas lamaran yang telah saya ajukan. Namun perjumpaan saya dengan sebuah buku kuna, berjudul Kunci Swarga yang membuat saya merasa bahagia. Karena berkat membaca buku tersebut, saya merasa diajak berpikir, merenung, sekaligus berefleksi jauh ke dalam, atas identitas ke-Islaman dan kejawaan yang selama ini saya genggam. Maka izinkanlah saya bercerita tentang buku tersebut pelan-pelan.
Adalah Bratakesawa Al-Faqir Billah penulis buku itu. Seorang penulis berbahasa Jawa yang berusaha sekuat tenaga mencantolkan kembali corak keberagamaan masyarakat Jawa modern dengan corak keislaman di masa sebelumnya. Yakni, masa para pujangga di abad 17-18 M, bahkan hingga jauh ke belakang di masa para Wali penyebar Islam pertama di tanah Jawa. (Serat I.T.M.I. Hlm: 4)
Sebagai seorang kiai, demikian saya ingin menyebutnya, namanya memang tak terlalu dikenal layaknya HM. Rasyidi, Buya Hamka, atau KH. Wahid Hasyim. Tokoh-tokoh Islam yang sebenarnya hidup dalam satu generasi dengan beliau. Dalam konteks kebudayaan Jawa, namanya pun tak terlalu muncul kalau dibandingkan dengan nama-nama seperti Ki Hajar Dewantara, atau Ki Ageng Suryamataram, yang juga mashur di era-era tersebut (1918-1972). Namun dilihat dari sederet karya yang pernah ditulis dan dicetak berulang-kali sepanjang tahun 1930-1972 an, bagi saya cukuplah bukti bahwa kiprah kepengarangan dan pikiran-pikiran beliau soal falsafah Islam bisa sangat diterima oleh masyarakat Jawa saat itu. Dan belakangan saya bertemu beberapa tokoh sepuh yang ada di Jogya, sayup-sayup juga masih mengingat nama tersebut. Kiai Bratakesawa seorang penulis berbahasa Jawa yang melahirkan banyak buku primbon, kitab pitungan condra sengkala, dan filsafat Islam.
Kiai Bratakesawa sendiri lahir pada tahun 1897 di Wonopati. Sebuah desa kecil di kecamatan Suwungalur, kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY. Saat kecil, beliau lebih dikenal dengan nama Gatot Sastrodiharjo. Nama yang cukup mewah untuk kalangan masyarakat Jawa saat itu. Dan benar dari berbagai sumber yang saya dapatkan, secara nasab sosok Kiai Bratakesawa merupakan keturunan dari seorang pujangga besar abad ke-18 Keraton Surakarta dari jalur ayah Raden Ngabehi Wonosastro yakni, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873). Dan tercatat wafat pada 17 Oktober 1972, dalam usia 75 tahun.
Sebagai seorang anak pribumi yang lahir di era pra kemerdekaan, saat kolonialisme Belanda masih menguasai Indonesia, Kiai Bratakesawa hanya berkesempatan mencicipi bangku pendidikan tingkat dasar, Sekolah Rakyat (SR). Meski demikian karena semangat belajarnya tinggi, Kiai Batatakesawa mampu menguasai berbagai pengetahuan baik umum maupun agama yang dipelajari secara otodidak dengan cukup baik. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat catatan yang saya temukan beliau juga mempunyai penguasaan bahasa yang cukup banyak meliputi bahasa Belanda, Inggris, Bahasa Arab bahkan bahasa Sansekerta. Maka tak ayal inilah yang memudahkan beliau mengakses banyak sumber pengetahuan.
Selain gairah intelektual yang memang tinggi, hal lain yang menyebabkan kapasitas intelektual dan keluasan wawasan Kiai Bratakesawa, adalah kecakapan dan kepribadiannya yang cair, mudah bergaul sehingga memungkinkan beliau bisa mengenal sosok penting dan berpengaruh saat itu. Prof. Nicolas Driyangkara SJ (1913-1967) dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka adalah beberapa tokoh penting saat itu yang tercatat menjadi kawan karibnya. Ditambah keterlibatan beliau di berbagai organisasi sosial politik dan agama, seperti Budi Oetomo, Teosofi, Perkumpulan Kawula Yogyakarta, Muhammadiyah hingga Sarekat Islam yang memang sedang tumbuh menjamur saat itu. Persinggungan inilah yang kemudian memudahkan beliau untuk menyerap pengetahuan dari banyak kalangan.
Sebelum dikenal sebagai seorang wartawan dan penulis buku yang populer. Beliau memulai karirnya dengan menjadi guru bantu di Sekolah Rendah Negeri dan Pesantren Budi Luhur di wilayah Klaten, Jawa Tengah, pada tahun 1914. Lima tahun kemudian melanjutkan merintis karier menjadi sekretaris kedua Insulide Surakarta. Pada proses inilah bakat menulisnya mulai kelihatan, beliau cukup rajin menulis kolom dan artikel di sejumlah surat kabar baik yang terbit harian, Mingguan bahkan bulanan. Dari sini kemudian beliau menekuni profesi sebagai seorang jurnalis di sejumlah media cukup terkemuka hingga hampir sepanjang hidupnya.
Pada proses inilah bakat menulisnya mulai kelihatan, beliau cukup rajin menulis kolom dan artikel di sejumlah surat kabar baik yang terbit harian, Mingguan bahkan bulanan. Dari sini kemudian beliau menekuni profesi sebagai seorang jurnalis di sejumlah media cukup terkemuka hingga hampir sepanjang hidupnya.
Hal ini bisa dilacak pada tahun 1920, ketika Kiai Bratakesawa tercatat menepati posisi penting sebagai komisaris sekaligus menjadi pemimpin redaksi surat kabar Sinar Harapan Yogyakarta. Dalam waktu bersamaan, beliau juga menjadi redaktur mingguan Pengunggah Yogyakarta yang dibina oleh R.M. Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan sebutkan Ki Hajar Dewantara. Pernah juga menjadi redaktur Putri Kediri di Kediri Jawa Timur, redaktur Setya Tama di Yogyakarta, termasuk juga surat kabar mingguan Dunia Baru di Yogyakarta. Melihat biografi singkat ini, maka terlihat dunia literasi lebih akrab dengan beliau dibandingkan dengan dunia pemikiran filsafat Islam, atau ketokohannya sebagai seorang Kiai.
Namun yang menjadi pertanyaan saya, entah kenapa namanya lebih banyak dikenal sebagai guru kebatinan Jawa daripada sebagai seorang kiai, atau sebagai penulis. Terutama beberapa sarjana yang belakangan mempelajari dan mengutip pikiran Kiai Bratakesawa (baca; Harun Hadiwiyono, Manusia dalam Kebatinan Jawa). Sebuah penyebutan yang cukup problematik bagi kalangan pengkaji Islam Jawa, yang membuat saya bertanya-tanya. Benarkah seorang yang menulis serat tentang kuncinya masuk surga ini, bisa disebut dengan mudah sebagai guru kebatinan yang selalu diasosiasikan dengan dukun (seorang penggiat mistik yang selalu dituduh keluar dari nilai-nilai Islam), atau juga sering disebut sebagai pembawa aliran kepercayaan baru yang berusaha memisahkan diri dari ajaran Islam formal?.
Munculnya Kebatinan
Membicarakan pemikiran Kiai Bratakeswa tanpa terlebih dahulu mengidentifikasi kebudayaan Jawa yang melingkupinya akan kurang tepat rasanya. Apalagi melihat framing yang selalu dilekatkan dengan beliau, seperti yang telah saya sebutkan di atas. Maka untuk melihat kenapa pandangan-pandangan tersebut muncul, maka penting kiranya sejenak kita menengok ke belakang.
Kebudayaan Jawa yang jejaknya masih ada saat ini, disadari ataupun tidak, adalah kebudayaan Islam tasawuf. Dimulai dari era wali penyebar awal Islam di Jawa, kemudian era Demak, hingga puncaknya masa Mataram Islam yang selanjutnya menyimpan warisannya di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta hingga akhirnya meresap di tengah masyarakat Jawa secara umum. (Serat I.T.M.I, Hlm : 3), jelas, Jawa yang dimaksud adalah Jawa yang terikat dengan Islam. Bahwa belakangan kita mengenal berbagai istilah tentang ke-Jawa-an seperti “kejawen”, “Agama Jawi”, dan beragam aliran kebatinan yang lain, yang sering kali oleh para penggiatnya diposisikan secara diametral atau bahkan antagonistic dengan Islam (apalagi Islam Arab) misalnya, sebenarnya adalah perkembangan yang muncul belakangan terutama pasca perang Dipanegara (1825-1830).
Perang Dipanegara atau sering orang mengenal sebagai perang Jawa dalam hal ini layak ditandai sebagai titik krusial dalam perkembangan masyarakat Jawa. Baik dalam aspek ekonomi-politik, yang mana pasca perang Jawa inilah kekuasaan penjajahan Belanda menancap penuh. Belanda menguasai dan menggantikan peran penguasa lokal raja dan sultan yang berkuasa di masa sebelumnya. Dengan diterapkannya cultuurstelsel (tanam paksa) perbudakan terselubung sebagai imbas kalahnya sang Pangeran dari penguasa kolonial di lancarkan.
Selanjutnya aspek kebudayaan, yang meski dalam kepenulisan sejarahnya amatlah tabu, namun jejaknya masih bisa kita kenali dari yang dialami oleh pujangga penutup Ranggawarsita, yang juga merupakan salah satu leluhur Kiai Bratakesawa. Pendirian Institute Javanologi di Surakarta, hingga munculnya karya-karya problematik seperti Babad Kadhiri, Suluk Gatholoco, Serat Dharmagandhul, Sabdapalon Nayagenggong, dan masih banyak lainnya yang secara garis besar bisa dibaca sebagai upaya kolonial untuk menceraikan Islam dengan Jawa.
Siasat kebudayaan yang dilakukan Belanda ini dapat dipahami mengingat bagaimana “trauma” kolonial atas Jawa, karena Jawa yang dianggap sudah ambyar oleh pertikaian internal sehingga menyebabkan jatuhnya tahta Mataram, yang dikunci dalam perjanjian Giyanti (1755) dimana semua pecahan kerajaan bertekuk lutut kepada VOC, namun ternyata masih mampu bersatu di bawah panji-panji “Islam” dan mengobarkan perang sabil melawan kapir landa di bawah pimpinan Pangeran Dipanegara. Dititik itulah kemudian kolonial mengidentifikasikan musuh utama dalam rangka kolonialisme di Jawa adalah “hantu Islam pribumi”. Sehingga mereka menganggap rekayasa kebudayaan harus dilakukan agar “hantu Islam pribumi” ini tak lagi manifes seperti yang terjadi di era Dipanegara.
Dalam waktu bersamaan Terusan Suez dibuka, sehingga membuat banyak orang Jawa mempunyai akses lebih mudah untuk pergi ke tanah Arab. Maka tidak bisa dipungkiri di era inilah kemudian corak keberagamaan di Jawa lamat-lamat berubah menjadi lebih fiqhi daripada sufi atau tasawuf sebagaimana yang telah berkembang di masa-masa sebelumnya.
Hingga kemudian di ujung abad 19, siasat tersebut diakhiri dengan diberlakukannya politik etis yang kemudian memunculkan sosok manusia Jawa terpelajar yang berbeda dengan generasi Jawa sebelumnya. Namun berkat pergumulan dari entitas manusia Jawa yang lahir di era sebelumnya dan masa baru inilah yang kemudian menghantarkan Jawa masuk ke zaman baru. Dan wajah baru Jawa ini bisa dilihat dari kemunculan banyaknya organisasi modern, seperti Boedi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). Dan jika kita teliti lebih dalam orang-orang yang terhimpun di dalamnya, maka akan terlihat orang-orang terbaik dari golongan-golongan tersebut. Ketika di dalam BO banyak menampung para priyayi, maka SI menjadi rumah bersama kaum pribumi non priyayi. Hal yang sama juga terjadi di ormas keagamaan, yang mempunyai prinsip bahwa Islam harus dibawa ke arah modern masuk ke Muhammadiyah, yang berpendapat bahwa tradisi dan lokalitas menjadi basis keagamaan terhimpun dalam NU, bahkan dalam perkembangnya dalam aspek ini nantinya akan muncul banyak aliran kepercayaan yang terhimpun dari prefensi tokoh yang membawa ajarannya masing-masing.
Dan wajah baru Jawa ini bisa dilihat dari kemunculan banyaknya organisasi modern, seperti Boedi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). Dan jika kita teliti lebih dalam orang-orang yang terhimpun di dalamnya, maka akan terlihat orang-orang terbaik dari golongan-golongan tersebut. Ketika di dalam BO banyak menampung para priyayi, maka SI menjadi rumah bersama kaum pribumi non priyayi.
Perlakuan kolonial terhadap organisasi yang muncul tersebut tentu saja berbeda-beda, jika kepada BO seperti tidak ada masalah, dengan SI dan kalangan ormas agama tradisional yang banyak muncul saat itu, Belanda menaruh penuh kewaspadaan, mengingat “hantu Islam pribumi” abad lalu banyak bersemayam di kedua organisasi tersebut. Belum lagi infiltrasi dari “hantu Eropa” komunisme yang juga mulai menancapkan pengaruhnya di kalangan masyarakat akar rumput terutama dikalangan SI. Maka sebagaimana diketahui ketika masyarakat sudah mengkrucut menjadi golongan-golongan inilah, siasat adu domba yang telah lama dilakukan kolonial digalakkan kembali. Dan benar saja, awal dekade 1920-an, SI mengalami keruntuhan akibat konflik internal antara kubu putih dan merah yang bahkan tak mampu didamaikan oleh HOS Tjokroaminoto sendiri sebagai ketua. Hal ini terjadi akibatnya pemberontakan yang dilancarkan pada 1926 dengan mudah dibersihkan oleh Belanda.
Kemunculan Soekarno, murid Tjokroaminota yang menyadari kelemahan bangsanya, bahwa perpecahan yang terjadi berulang kali dalam sejarah perjuangan bangsa hanya akan melemahkan pergerakan dalam mengusir penjajah. Dan terbukti terobosan yang dilakukan dengan mantra persatuan dan gotong royong yang diserukan terus-menerus ke pelosok negeri oleh Bung Karno akhirnya mampu menghantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Namun sayangnya hal ini juga tak bertahan lama, konflik kepentingan pasca kemerdekaan serta warisan mental kolonial yang belum sepenuhnya hilang dalam benak masyarakat sering kali memunculkan perpecahan antar golongan, baik atas dasar kepentingan politik, golongan, identitas dan kepercayaan yang memuncak dalam tragedi 1965, di mana sesama manusia Jawa saling membantai diantara saudaranya sendiri dan meluber dalam krisis multidimensional yang jejaknya masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Dan di tengah krisis mental tersebutlah kemudian aliran kebatinan muncul seperti jamur di musim hujan, dan seringkali di tengah krisis yang terjadi, lunturnya kepercayaan terhadap agama-agama formal “kebatinan” dianggap sebagai jawaban atas silang sengkarut persoalan.
Selain uraian panjang lebar mengenai munculnya aliran-aliran di atas, bantahan mengenai apakah Kiai Bratakesawa itu bagian dari pembawa aliran kebatinan tersebut muncul dari beliau sendiri melalui bukunya di bagian purwaka serat Kunci Swarga beliau menjelaskan seperti ini:
“saking pemanah kula: Mubalipun penindak warna-warni ingkang mitunani masyarakat twin praja, ngerbdanipun penindak nulayani wulangan agami ingkang dipun siyaripun para Rasul, tuwin tuwuhipun gerombolan “Kebatiosan” pinten-pinten ingkang sisip sembiripun cacad cinacad: andadosaken karingkihaning bangsa punika, mboten sanes, jalaran kita kasupen dating purba wisesaning Pangearan, tuwin beda-beda iktikad kitadateng ingkang sebut asma Allah.”
Artinya: Menurut pemahaman saya munculnya tindakan yang beraneka ragam baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, menunjukkan usaha banyaknya kelompok masyarakat saat itu untuk bertindak di luar ajaran agama yang telah disiarkan oleh para Rasul, serta munculnya gerombolan “Kebatinan” yang saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga hal ini membuat rapuhnya persatuan bangsa, dan itu tidak lain disebabkan karena lupa dengan asma Allah. (Kunci Swarga, Hlm 4)
Dari sini simpul pertama saya dapatkan. Bahwa usaha yang dilakukan Kiai Bratakesawa benar tidak sesuai dengan frame yang selama ini berkembang. Justru berangkat dari problem dekadensi kebudayaan dan munculnya aliran-aliran yang dianggap kebatinan tersebutlah mendorong beliau untuk menulis, atau setidaknya ikut sumbang saran dalam rangka mencerahkan masyarakat yang ditimpa kerumitan berpikir di masa awal kemerdekaan
Serat Kunci Swarga
Bagi saya yang menarik dari Kiai Bratakesawa selain konteks dimana beliau tumbuh dan berkiprah, adalah keluguan serta kesederhanaannya dalam menjelaskan konsep-konsep penting dalam Islam, yang tercermin dalam tulisan beliau dalam Serat Kunci Suwarga. Beliau seakan bisa memotong kesadaran yang berjarak antara Tuhan dan manusia. Sekaligus menghadirkan realitas ketuhanan dalam kehidupan manusia. Ia tidak lagi terjebak antara yang profan dan sakral karena baginya kenyataan berjalan di antara kedua hal tersebut secara bersamaan dan beriringan di dalam satu tarikan nafas (lahir-batin).
Hal ini tercermin dari salah satu karya beliau yang cukup popular di zamannya yakni Kunci Swarga. Ditulis menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan metode cerita, dialog dua orang kakak beradik. Buku ini dibawakan dengan renyah dan mengalir.
Kunci Swarga Miftahul Djannati demikian judul lengkap buku tersebut, terbit pertama kali 1 juni 1952 dan cetakan terakhir, cetakan ke 8 pada April tahun 1979 yang diterbitkan sendiri oleh keluarga Kiai Bratakesawa di Yogyakarta. Buku ini sendiri terdiri dari 120 halaman.
Dari purwaka atau kata pengantar yang ditulis oleh Kiai Bratakesawa kita bisa melihat kesederhanaan beliau, bahwa niat utama untuk menulis karya tersebut bukan karena ingin menunjukkan kelebihannya dalam bidang filsafat maupun tasawuf yang berdasarkan Islam, karena memang beliau merasa tidak punya kompetensi di bidang tersebut. Namun hanya karena getaran dalam hati, ingin ikut berkontribusi dalam pembangunan akhlak bagi bangsa Indonesia yang baru saja lepas dari belenggu penjajahanlah yang menggerakkan beliau untuk menulis. (Hlm: 3)
Karena menurutnya munculnya tindakan yang bermacam-macam dari masyarakat umum hingga kalangan pemerintah, yakni mulai munculnya praktik penyimpangan dari ajaran agama yang telah disiarkan oleh Rasul, hingga ke bentuk saling mencaci satu sama lain yang muncul saat itu justru akan membuat rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan ini terjadi disebabkan karena ketidaktahuan umat saat itu akan kuasanya Tuhan, termasuk perbedaan iktikad dan hakikat mengenai apa yang disebut dengan nama-namanya Tuhan (Allah).[1]
Dari latar ini saya merasa bahwa proses penciptaan karya yang telah dicetak sebanyak 11 kali ini tidak semata karena dorongan pribadi, atau semata dorongan intelektual. Lebih dalam dari itu ada upaya untuk merespon keadaan sosial dengan menawarkan satu prespektif baru dalam melihat dunia secara lebih utuh dan jernih. Dari hal itu selengkapnya mari kita lihat sekilas apa yang dituliskan beliau di setiap babnya.
Bab I, Wedaran Bab Sejatine Dateng Pangeran Kang Wajib Ananane (Babu Haqiqati Dzati Wajibi’l Maujuudi) artinya: penjelasan bab yang menerangkan keberadaan Tuhan yang wajib adanya. Pada bagian ini Kiai Bratakesawa berusaha menjelaskan tentang ke Esa-an dan keberadaan Tuhan beserta dalil dan penalaran-penalaran yang disusun secara rasional, logis dan argumentatif. Mendasarkan kepada sumber-sumber keagamaan yang otoritatif, seperti sifat 20 Tuhan yang umum dijelaskan di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu beliau juga mencoba menggali maknanya satu per satu setiap nama Tuhan yang telah disebutkan. Dengan terlebih dahulu menjelaskan pengkelompokan nama-nama sesuai kategori yang telah disusun oleh para Ulama sebelumnya, seperti sifat Nafsiyah, Salbiyah, Ma’ani, serta Ma’nawiyah. Tak hanya itu beliau juga menjelaskan bagaimana wirid-wirid di Jawa menjelaskan tentang sifat Tuhan dengan sebutan Jalal, Jamal, Kamal, dan Qahar.
Dalam bab ini ada satu hal yang menarik bagi saya, selain penjelasan beliau terkait makna ke-Tuhanan yang amat terasa dekat, ketika beliau menjelaskan soal ilmu “kasunyatan” yang sering disamakan dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu kejiwaan, kasampurnan, kebatinan. yang memang diantara banyak term tersebut banyak yang mirip artinya, namun pemahaman umum soal itu sering kali disalah gunakan. (Hlm: 14) Kata kasunyatan sendiri menurut beliau berasal dari asal kata “nyata” yang artinya “haq”. Namun “kasunyatan” yang berasal dari bahasa Sansekerta ini mempunyai makan “sunyata” ( suatu masalah yang kosong adanya) yang mengandung arti sudah sampai ke tataran Makrifat (Arifin).
Sementara itu ilmu “kasunyatan” ini juga banyak disebut dengan ilmu “kejiwaan” atau “kerohanian” yang sebetulnya keduanya mempunyai makna yang sama, yakni pengetahuan tentang jiwa atau orang Jawa sering menyebut “badan alus”. Namun belakangan kata “jiwa” ini hanya bermakna budi pekerti, semangat, atau bahkan ada yang memaknai sebagai nafsu yang dari sana bisa dilihat bahwa yang dimaksud itu bukan “kaweruh Ka-Allahan” atau kasunyatan. Karena roh (jiwa) itu bukan Allah.
Ada juga yang menyebut bahwa kaweruh kasunyatan itu sama artinya dengan ilmu kasampurnan yang berasal kata “sampurna” yang bermaksud sempurna matinya seorang manusia. Sementara yang disebut sempurna itu umumnya, Kiai Bratakesawa menjelaskan yang kembali asal. Yakni, mula-mulanira, innalillahi wainnaillaihi rajiun. Hal ini meski bersigungan dengan ilmu kasunyatan namun masih terasa kurang tepat.
Terakhir, juga yang sering disalahpahami adalah makna kebatinan. Di atas sudah dijelaskan panjang lebar, bahkan kata ini sudah menjadi sebutan dari sebuah golongan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini beliau menjelaskan seperti ini, “Kebatinan” iku lugune tegese sekabihing kaweruh kang dudu babagan lahir. Dadi sawernaning aji-aji lan kaluwehan iku kalebu kaweruh Kabatinan kabeh. Hla iku pancen ora klebu kaweruh ka-Allahan. Artinya: Kebatinan itu secara sederhana artinya pengetahuan yang bukan persoalan lahir. Jadi bermacam-macamnya aji-aji dan kelebihan itu masuk dalam pengetahuan kebatinan semua. Dan itu tidak termasuk di dalam pengetahuan Ke-Allahan. Maka jika kebatinan selalu disamakan dengan ilmu kasunyatan atau tentang Ke-Tuhanan itu salah sasaran.
Bab II, Wedaran Bab Siksa Kubur Lan Dina Kiyamat (Babu ‘adzaabil Qabri Wa Jaumi’l Aqiyaamati) artinya: penjelasan bab siksa kubur dan hari kiyamat. Pada bagian kedua ini Kiai Bratakesawa masuk lebih dalam terkait dengan eksistensi ke Tuhanan beserta konsekuensi-konsekuensi kepercayaan manusia terhadap Tuhan. Keimanan kepada Tuhan menurut beliau harus pula membuahkan kepercayaan kepada hal-hal lain yang sama gaibnya dengan Tuhan. Seperti percaya kepada nabi dan rasul-rasul Allah swt, percaya kepada Al-Qur’an, kepada qadha dan qadar, hari akhir atau hari kiyamat, serta kehidupan setelah kematian. Menurut Kiai Bratakesawa kepercayaan yang benar ialah dengan didasari ilmu yang komperensif terhadap apa yang diyakini sehingga menjadikan nilai-nilai agama bener-benar bisa oprasional di dalam kehidupan, tidak terjebak kepada gugon tuhon (kepercayaan yang didasarkan semata hanya ikut-ikutan kepada orang lain, maupun kepercayaan umum), yang justru akan kontra produktif dengan nilai-nilai yang bawa itu sendiri.
Keimanan kepada Tuhan menurut beliau harus pula membuahkan kepercayaan kepada hal-hal lain yang sama gaibnya dengan Tuhan. Seperti percaya kepada nabi dan rasul-rasul Allah swt, percaya kepada Al-Qur’an, kepada qadha dan qadar, hari akhir atau hari kiyamat, serta kehidupan setelah kematian.
Pada bagian yang kedua ini, ada penjelasan yang membuat bergetar hati saya ketika beliau menerangkan soal kalimat syahadat. Ketika orang berucap aku bersaksi atau dalam bahasa Jawa-nya “aku nekseni; setuhune…..” itu berarti orang harus mengetahui dengan sungguh-sungguh sesuatu yang disaksikan (sekkseni). Dalam kalimat ini yang disaksikan berarti Allah swt dan kerasullannya Nabi Muhammad saw. Artinya mengerti dengan sungguh-sungguh sampai ke tingkatan yakin (kenyataan), di dalam rasanya, tidak hanya tiru-tiru.
Lanjut beliau menjelaskan meskipun hanya satu ucapan kalimat pendek, syahadat tersebut sangatlah penting. Dalam bahasa Kiai Brata wedineng jagad kang banget gawate. Maka diwajibkanlah kedua kalimat tersebut untuk dibacakan berulang-ulang, dilatih agar benar-benar masuk di dalam hati sanubari, sehingga bisa menjadi hikmah tinarbuka ing pengeran (keterbukaan di dalam ke-Tuhanan). Jiwanya dilatih bekti dan ingat kepada Tuhan di dalam lima waktu dalam sehari. Beribadahnya melalui sesuci dan menggerakkan badan yang sangat bermanfaat sekali bagi sehatnya badan. Dan inilah rukun Islam yang ke dua, yang disebut salat atau (sembahyang) sebagai kewajiban dalam Islam.
Bab III, Wedaran Bab Makripat Ing Pangeran Lan Anane Kang Gaib-Gaib (Bab Ma’rifatullahi Wa Ghaib’il Maujudi) artinya: penjelasan bab mengenai ma’rifat kepada Tuhan dan adanya hal-hal gaib. Pada bagian ke tiga ini, terakhir Kiai Bratakesawa berusaha mendedah proses manusia menapaki jalan meraih ma’rifat sebagai puncak dari keberagamaan dan kemanusiaan seseorang dengan cukup gamblang dan jelas. Dalam proses ini biasa orang Jawa menyebutnya Kasampurnan Jati (kesempurnaan yang sejati), Insan Kamil (manusia sempurna), atau meraih Kasedan Jati (kematian yang sempurna). Namun dalam bagian ini, beliau tidak semata menjelaskan hasil akhir apa yang akan didapatkan, lebih dalam beliau justru menjelaskan apa saja yang perlu disiapkan, dilakukan serta kendala atau rintangan apa yang perlu diwaspadai. Karena menapaki tangga ma’rifat ini proses yang tidak mudah dan penuh dengan jebakan maka beliau selalu mengingatkan untuk selalu memunculkan sifat rendah hati dalam dada dan selalu belajar ketika seseorang benar-benar ingin meraih ma’rifat.
Demikianlah Kiai Bratakesawa mengajak saya mengenal Islam dengan lebih mudah, tidak hanya ke pada level kulitnya namun juga masuk ke inti terdalamnya. Selain itu dari mengenal beliau juga saya kemudian masuk ke lapis-lapis identitas dan golongan yang selama ini seakan menjadi sekat yang tabu dan saling mencurigai satu sama lain. Dan saya pikir beliau dalam hal ini seolah menjadi juru bicara yang baik, bagaimana sebenarnya orang Jawa menggumuli identitas keislamannya sendiri.
Pinggir Kaliopak, 18 Oktober 2022
Daftar Bacaan:
Baratakesawa, Wirid I.T.M.I (Iman, Tauhid, Ma’rifat, Islam). Surabaya: Djajabaja,1975.
Bratakesawa, Serat Daim Mulat Sarira. Surabaya: Djojobojo,1965.
Bratakesawa, Kunci Swarga, Miftahul Djannati. Yogyakarta: Kawedalaken Keluarga Bratakesawa; 1979
Hadiwijono, Harun; Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta; Sinar Harapan
———- Kebatinan dan Injil. Jakarta; Gunung Mulia, 2009.
Nur Kholis, Ilmu Makrifat Jawa sangkan Paraning Dumadi, Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Kejawen, Kunci Swarga Miftakhul Djanati. Ponorogo; Nata Karya, 2018.
Riklef. M.C, Mengsilamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Jakarta: Serambi, 2013.
Folida, Nancy, Jawa Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021.
Afifi, Irfan, Saya, Jawa dan Islam Yogyakarta; Tanda Baca, 2018.
Maula, Jadul, Islam Berkebudayaan, Yogyakarta; Pustaka Kaliopak, 2019.
[1] Ibid, Hlm 3
Leave a Reply