Seorang akademisi sekaligus seniman dari salah satu yang berdomisili di Yogyakarta, Prof. Suminto A. Sayuti, pernah mengemukakan cerita menarik ketika menjadi pembicara dalam sebuah forum ilmiah di suatu kampus. Prof. Sayuti mengemukakan bahwa dirinya pernah membuat marah banyak orang ketika dirinya menyatakan tidak terlalu bangga saat wayang kulit ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Prof. Sayuti memberikan alasan mengapa ia tidak merasa terlalu bangga dengan capaian tersebut. Memang benar sebagai atribut budaya, wayang kulit mendapat penghargaan global, tetapi apalah artinya penghargaan itu jika di dalam negeri sendiri wayang kulit tidak menjadi sebuah budaya yang “dihidup-hidupkan” oleh masyarakat luas atau bahkan dunia kampus. Pagelaran wayang kulit paling tidak hanya muncul setahun sekali untuk memeriahkan sebuah event tertentu.
Realitas ini bagi Prof. Sayuti menunjukkan bahwa capaian global tersebut hanya bersifat semu semata, karena wayang tidak lebih sebagai benda yang “difosilkan” –istilah ini murni dari penulis. Contohnya, ketika kita melihat fosil binatang purba di museum kita akan terkagum-kagum dengan fosil tersebut. Tetapi benda tersebut berjarak dengan kita, namun yang bisa kita lakukan hanyalah melihatnya dari balik kotak kaca atau garis pembatas agar benda tersebut tidaklah rusak.
Sebagaimana fosil dalam museum tadi, eksistensi wayang kulit juga begitu berjarak dari kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga keberadaanya justru menjadi absrud. Di satu sisi wayang kulit dianggap sebagai “masterpiece” kebudayaan dunia tetapi disisi lain karena “keagungannya” tersebut justru menghasilkan jarak dari kehidupan sehari-hari.
Lebih parah menurut Prof. Sayuti penghargaan dari UNESCO tersebut tidak berimplikasi pada peningkatan taraf hidup para dalang misalnya. Wayang boleh diakui dunia tetapi kesejahteraan dalang justru kian hari kian memprihatinkan. Lambat laun jika hal ini terus terjadi bisa jadi para dalang yang cekatan memainkan pertunjukan tersebut akan punah dan hilang sama sekali. Dan, apa yang tersisa hanyalah entitas wayang itu sendiri yang sepenuhnya menjadi “fosil”.
Fosil-isasi mungkin memiliki maksud untuk melindungi suatu entitas atau obyek yang dipandang memiliki nilai lebih, tetapi eksistensi dari entitas itu tidak diperhatikan sama sekali. Ia dipandang tidak lebih dari penanda masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan masa kini. Kalaulah ada posisinya, maka fungsi dari obyek tersebut adalah sebagai benda yang dapat mengantarkan kita untuk bernostalgia dengan masa lampau tersebut.
Kasus wayang kulit yang menjadi tema sentral dalam pembicaraan Prof. Sayuti –sejatinya– dapat dikontekstualisasikan untuk membaca kasus Resolusi Jihad yang dicanangkan para kyai sebagai landasan historis sumbangsih santri dalam pendirian negeri (termasuk tentunya melibatkan nama kyai kondang Nusantara Hasyim Asy’ari). Beberapa tahun yang lalu Resolusi Jihad mungkin hanya diingat di kalangan santri saja, tetapi kini pemerintah memaknai ulang Resolusi Jihad sebagai suatu peristiwa sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia dan –entah kepentingan apa yang melatar belakanginya– memilih menjadikannya hari nasional (dikenal dengan istilah Hari Santri).
***
Pengakuan Resolusi Jihad sebagai peristiwa nasional yang penting tentunya berpotensi menjadikan kita semua terlena bagitu saja dengan capaian tersebut. Sebagaimana kisah wayang yang diceritakan Prof. Sayuti, sangat mungkin kasus Resolusi Jihad menjadi sebuah ritual nostalgia belaka atas masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan keadaan masyarakat saat ini. Resolusi Jihad sebagai “maha karya” para santri (dan kyai) untuk melawan kolonialisme yang menyengsarakan rakyat hanya berhenti menjadi “secarik kertas” yang tersimpan dengan “mewah” dalam sebuah “museum”. Resolusi Jihad sekedar menjadi “fosil” untuk setiap tahun dirayakan oleh kalangan santri dan masyarakat secara umum dalam rangka bernostalgia mengenang sebuah kejadian yang “sakral” di masa lampau.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks Resolusi Jihad.
Mengacu pada data yang dimunculkan sejumlah intelektual dan aktivis muda NU yang tergabung dalam jaringan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), menunjukkan bahwa saat ini banyak masyarakat bawah –terutama di daerah yang didominasi oleh kalangan santri– menderita akibat berbagai ekspoitasi sumber daya alam. Di sebagian tempat tanah mereka diserobot paksa, di tempat lain sumber mata air diprivatisasi, di kawasan yang lain lagi lingkungan mereka tercemar oleh dampak-dampak dari kegiatan eksplorasi perusahaan-perusahaan asing (FNKSDA: 2013). Temuan tersebut menunjukkan bahwa pengakuan resolusi jihad yang dilakukan oleh pemerintah –sejak tahun 2015– ternyata tidak berimplikasi pada peningkatan keamanan dan kesejahteraan santri sebagai salah satu eksponen warga negara di negeri ini. Apalah artinya pengagung-agungan suatu “teks”, jika spirit anti penindasan yang termanifestasi dalam “teks” tersebut justru tidak teraplikasikan secara nyata di bumi Indonesia?
Bila Prof. Sayuti –dalam kasus wayang kulit– menawarkan sebuah jalan keluar untuk mengatasi realitas yang tidak ideal tersebut, dengan mengusulkan kepada kampus-kampus di Yogyakarta agar memberi ruang aktualisasi pada wayang kulit dengan cara mengadakan tangggap wayang setiap minggunya. Terlebih bagi kampus-kampus yang memiliki program studi/jurusan ilmu budaya di dalamnya, dibandingkan dengan mengadakan diskusi tentang wayang yang telah diakui UNESCO. Menurut Prof. Sayuti hanya dengan cara semacam itulah wayang menjadi tidak lagi berjarak dengan realitas masyarakat, karena hampir setiap saat bisa mereka saksikan tiap minggu. Begitu pula dengan kesejahteraan para dalang tentunya. Ketika permintaan akan pagelaran wayang semakin meluas tentunya justru semakin meningkatkan taraf hidup para dalang dan bahkan sangat potensial menumbuhkan dalang-dalang baru karena merasa dengan mendalami seni wayang maka dirinya dapat mengaktualisasikan jiwa seninya tanpa harus khawatir dengan problem finansial untuk menopang hidupnya.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks resolusi Jihad. Resolusi jihad haruslah ditransformasikan menjadi sebuah framework yang memandu logika kerja para akademisi, ataupun dalam dakwah para santri dan kyai. Dalam dunia kampus upaya menjadikan Resolusi Jihad sebagai framework berpikir para akademisi –terlebih akademisi Nahdliyin– akan menjadikan mereka kritis terhadap realitas yang tidak ideal di sekeliling mereka. Di kalangan pesantren logika Resolusi Jihad ini akan memperkuat rasa Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Ukhuwwah Wataniyah (cinta tanah air) serta menghasilkan gerakan perlawanan yang kuat membela kedaulatan agama, bangsa dan negara.
Wallahuallam.