DONASI

Menyusuri Jalan Pulang dengan Mata Damar

kami adalah mata-mata damar yang remang tak cukup terang melihat seberapa luas halaman kami dan halaman orang resikonya, seoknya kami adalah katak-katak yang keluar dari...

CATATAN HARIAN | TUESDAY, 9 NOVEMBER 2021 | 18:29 WIB

kami adalah mata-mata damar yang remang

tak cukup terang melihat seberapa luas halaman kami dan halaman orang

resikonya, seoknya kami adalah katak-katak yang keluar dari tempurung

tapi jika kalian mencoba menawarkan hukum baru

segera kami menjelma si buta yang menafsirkan gajah

(“Mata Damar”)

ular dalam diriku

telah sampai di langit-langit pondokmu

sawang-sawang terus memanjang

lantainya berpasir dan berdebu

dengarlah, “jika kau terbit dari rahim

sudah seharusnya di sana kau terbenam”

(“Jalan Pulang”)

Manusia terlahir dua kali, dari rahim ibu dan rahim kebudayaan. Bedanya, dari rahim ibu manusia hanya lahir sekali, dari rahim kebudayaan manusia mengalami kelahiran (dan kematian) terus-menerus, yang bahkan melewati kehancuran “tubuh biologis” yang ia miliki.

Antara ibu dan kebudayaan membentang suatu pergumulan di mana seorang manusia menjalani laku hidupnya, yang bergerak di antara membentuk dan dibentuk. Itulah yang dikenal dengan “mengada”. Dan, puisi adalah medium terbaik untuk melihat bagaimana manusia mengada.

Pada masa silam, syair-syair yang ditulis penyair adalah wujud kemengadaannya yang tak terpisahkan dari “darah kedua”-nya. Keluarga, marga, suku, etnis, atau “bangsa”, tercermin jelas di situ. Mungkin sebab itu juga, posisi penyair adalah “pancer”, bukan semata “individu otentik”.

Pada masa silam, syair-syair yang ditulis penyair adalah wujud kemengadaannya yang tak terpisahkan dari “darah kedua”-nya. Keluarga, marga, suku, etnis, atau “bangsa”, tercermin jelas di situ. Mungkin sebab itu juga, posisi penyair adalah “pancer”, bukan semata “individu otentik”.

Di Jawa yang silam, pancer itu bernama kawi, lalu pujangga. Maka raja yang “pancer” adalah yang juga seorang pujangga. Seperti Sultan Agung dengan “Sastra Gending”-nya.  

Ketika “individualisme” mulai merasuk ke Nusantara, status “pancer” penyair itu perlahan terbetot. Dalam puisi “Aku” Chairil Anwar misalnya, bisa dinilai sebagai titik sejarah Indonesia di mana keterbetotan penyair dari “darah kedua” itu nampak nyata, dan begitu disadari oleh penulisnya. “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” (“Aku”)

Chairil “yang terbuang” itu kemudian memang tetap dihormati dalam jagat kesusastraan Indonesia. Presiden Soekarno bahkan mengutip puisinya dalam orasi. Tapi, letak penghormatan itu lebih pada perjuangan si “Aku” dalam menahan “pedih peri” sebab “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Status Chairil tetap bukanlah “pancer” bagi bangsa baru, Indonesia, sebagaimana penyair masa silam yang merupakan pancer “darah kedua”nya.

Saya membaca antologi puisi Lamuh Syamsuar “Mata Damar” dengan kompleksitas di atas. Bagaimana Lamuh yang memasuki usia 27 (usia di mana Chairil wafat) menulis puisi-puisi dengan rentang penulisan sekitar 3 tahun (2014-2016), dengan tema yang erat kaitannya dengan “kebudayaan” asalnya, Lombok, dan nyaris semua ditulis di Lombok, yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam antologi ini.

Di dalam buku ini ada 50 puisi yang disekat menjadi dua bagian oleh penyunting “menurut kecenderungan obyek puisi” begitu pengakuan Lamuh di bagian pengantar. Mata Damar dengan 24 puisi yang cenderung bernuansa sufistik/universal, dan Bumi Gora 26 puisi bernuansa lokal Lombok.

Saya tidak tahu mengapa perlu disekat begitu, sebab rupanya toh di dalam yang “lokal” bersemayam yang universal. Mungkin saja untuk memudahkan pembaca luar Lombok khususnya. Sebab dalam bagian Bumi Gora, memang bertebaran diksi-diksi khas dari Sasak yang mungkin akan membuat kepala pening bagi pembaca non Sasak, sehingga di akhir buku penulis perlu membubuhkan Glosarium, yang berisi daftar 35 kata.

Tapi, kepala saya menolak pening. Maka biar saya kupas puisi-puisi itu secara lompat-lompat suka-suka saya, seperti katak yang menolak terus berdiam dalam tempurungnya.

Bumi Gora

Perkenalan saya dengan Lombok atau suku Sasak begitu terbatas. Sampai saat ini belum pernah menginjakkan kaki di “Bumi Gora” itu. Maka persentuhan saya hanya dengan kenalan beberapa teman yang bersuku Sasak (termasuk dengan penulis antologi ini sendiri), dan membaca beberapa tulisan tentang Lombok dari buku-buku atau media massa.

Sementara itu, puisi Lamuh Syamsuar adalah puisi yang menampilkan ke-Lombok-an yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang artinya hendak menjangkau semua pembaca berbahasa Indonesia, bukan hanya untuk yang berbahasa Sasak.

Lamuh adalah orang terpelajar, dan sekolah kita adalah produk modernisme/kolonialisme. Bahasa Indonesia Lamuh dapatkan dari dunia modern itu, yang punya daya begitu kuat untuk membetot seseorang dari “tempurung” kesukuan/kebudayaan suku asalnya, menjadi individu. Dan Lamuh sepertinya sangat menyadari itu, sehingga,

“… resikonya, esoknya kami adalah katak-katak yang keluar dari tempurung//… segera kami menjelma si buta yang menafsirkan gajah” (“Mata Damar”)

Dalam bait itu Lamuh tidak menyesali menangisi keluarnya pilihannya itu. Amsal katak dalam tempurung adalah suatu dekadensi, dan itu bukan hidup yang hidup. Maka keluar dari tempurung adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk bertahan hidup, meskipun tantangannya tak kalah berat, yakni “menjelma si buta yang menafsirkan gajah”.

Dalam bait itu Lamuh tidak menyesali menangisi keluarnya pilihannya itu. Amsal katak dalam tempurung adalah suatu dekadensi, dan itu bukan hidup yang hidup.

Namun itu juga bukan perkara yang mulus. Sebab bayang-bayang masa lalu terkadang menyeruak datang sambil mengancam agar jangan merasa diri sebagai “binatang jalang” yang terbuang dari kumpulan.

“kau berkata: //jangan seperti Chairil//nanti kucomot dua bolamu, dan kusantap dengan malu-malu”(“Kucing Terbang”)

Saya penasaran dengan “dua bola” yang dimaksud, apakah bola itu maksudnya adalah mainan, yang jika dicomot si anak jadi menangis, atau bola testis yang kalau dicomot jadi mandul? Tapi yang lebih mungkin adalah bola mata, sebab “segera kami menjelma si buta yang menafsirkan gajah” (“Mata Damar”).

Maka Lamuh berusaha keras untuk tidak lupa dengan sejarahnya, melainkan membawanya sebagai bagian melekat dalam dirinya. Dan untuk itulah, Lamuh meneguhkan bumi yang dipijaknya, yang di dalamnya ia hidup dan menghidupi: Bumi Gora.

oh Pramesywari//beri hamba tanah yang luput dari pantau Patih Gajah Mada

diluar mitos gajah putih//gigi-gigi dan tapak Budha//peti permata dalam pagodha//dan Ganesa ornamen rumah kaca

kumau hanya Bumi Gora//padi jagung gugurancah//puji Gunung Pujut

(“Bumi Gora”)

Ahai, ada Patih Gajah Mada di situ. Saya jadi bertanya-tanya, apakah Sasak juga menyimpan trauma sejarah terhadap Gajah Mada layaknya Sunda? Atau hanya penulis saja yang termakan konstruksi sejarah yang ditulis kolonial?

Mengapa penulis tidak menulis “tanah yang luput dari pantau Van Heust” yang belum sampai dua abad lalu menjajahnya? Atau mengapa bukan “tanah yang luput dari pantau para investor” penggerak kapitalisme yang saat ini sedang merajang-rajang Bumi Gora itu? Saya membiarkan pertanyaan itu tanpa mencari jawaban. Biarlah Lamuh menjawab itu nanti kalau ia mau.

Selanjutnya, Lamuh menulis banyak tentang kebudayaan Bumi Gora itu. Seolah mengajak sesama penghuninya untuk kembali menengok hal-hal indah yang dimiliki dan layak dibanggakan, tetapi barangkali mulai diabaikan generasi mudanya. Kampung, pekarangan, sawah, ladang, bukit, lubuk pandan, gogo rancah, kendule, bau nyale, Mandalika, jemba’, kelansah, inaq-inaq, roah, kelantek, dan sebagainya, ia tebar ke sekujur puisi-puisi Bumi Gora.

Saya jadi seperti turis yang diajak sang penulis untuk muter-muter ke kampungnya. Ah, apakah saya sudah benar-benar menjadi turis? Yang hanya mau yang indah-indah saja untuk selpi-selpi? Atau sudah menjelma peneliti, yang mulai melirik keindahan Bumi Gora untuk saya kuasai?

Tidak, saudara. Tentu saja tidak. Saya seperti diajak berkaca, pada mata Lamuh yang mungkin berkaca-kaca. Bahwa kami adalah sama-sama berangkat dari tanah kebudayaan tak lagi utuh, oleh penjajahan atau oleh pelupaan. Lalu kami mengembara ke seoantero dunia untuk mencari apa-apa yang bisa kembali menyempurnakan tanah kebudayaan kami.

ya aku tahu//kau pulang untuk menjahit luka Mandalika…” (“Kucing Terbang”)

Tapi, pengembaraan kadang memang mengasyikkan sehingga kamu mungkin lupa jalan pulang. Meski begitu, kami tetap butuh pulang. Dan kami yakin akan menemukannya.

ular dalam diriku//telah sampai di langit-langit pondokmu//sawang-sawang terus memanjang//lantainya berpasir dan berdebu tebal…” (“Jalan Pulang”)

Dari Rahim Kembali ke Rahim

Pencarian pulang memang melalui penemuan terus menerus, yang tak jarang harus berangkat dari kehilangan demi kehilangan, penolakan demi penolakan, pengasingan demi pengasingan, diri yang terbakar habis oleh kenyataan, sampai menemukan kepulangan yang sejati: Tuhan.

Pencarian pulang memang melalui penemuan terus menerus, yang tak jarang harus berangkat dari kehilangan demi kehilangan, penolakan demi penolakan, pengasingan demi pengasingan, diri yang terbakar habis oleh kenyataan, sampai menemukan kepulangan yang sejati: Tuhan.

“… aku hanya cekungan di oase yang asing//segala yang diluar//segala yang di dalam//tiada berpaut denganku//aku hanya sebenang sigi lilin yang habis terbakar” (“Habis Terbakar”)

Saya merasakan kesakitan Lamuh ketika dipaksa keadaan untuk keluar dari rahim awalnya, rahim kebudayaannya, yang butuh terus dilengkapi dengan pencarian panjang di luar tempurung, juga pencarian jalan pulang di rumah sejati yang bukan lagi tempurung.

Terkadang dalam proses itu Lamuh melamunkan masa silamnya yang nyaman. “… tubuhku dipeluk jasad ibu//aku menggantung bagai jantung//… sebelum aku hidup di alam luar//tubuhku terus membulat, putih dan empuk//juga molek bagai bulan puan penjaga kolam” (“Tombok Nyiur”)

Maka Lamuh mencari ibunya, yang sampai ditulis dua kali. Entah ibu biologis, atau ibu kebudayaannya, atau keduanya memang tak perlu dipilah-pilah sebab hakikatnya tunggal. “aku mencari ibu ke masa depan//alang-alang memeram sejuk…” (“Mencari Ibu I”). “aku menggali ibu di musim bubuk bambu…//lambung tua di rumah semang//mengambang di pagar ilalang// ‘aku mengenalmu, aku mengingatmu’” (“Mencari Ibu II”).

Lamuh adalah orang yang lahir dari rahim ibu yang diberkati Tuhan. Sebab itu, dalam menjalani kenyataan di luar yang “membakar habis” itu, Lamuh mengingat Tuhannya. Barangkali juga mengingat nabinya, Nabi Muhammad SAW, yang juga mengalami kehilangan, penolakan, pengasingan, yang saya yakin jauh lebih hebat dari yang dialami umatnya. Hingga Nabi dihibur Tuhan, yang kini kita kenang dengan peristiwa Isra Mi’raj. Lamuh pun berdoa, sebab, “hanya tangkup doa yang dapat terbang meninggalkan bumi//berdirilah seolah-olah engkau akan mati besok” (“Pendoa Malam”).

Nabi di langit bertemu para nabi sebelumnya, Adam, Ibrahim, Musa, dsb, hingga bertemu Tuhannya. Lalu Nabi kembali ke bumi, meneguhkan jalan kenabiannya. “Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Dan Lamuh menyusuri peziarahan-peziarahan, dengan tetap membawa “Mata Damar”-nya, bertemu Adam, “mata Adam yang indah//setajam rekah tanah//kembalilah//dengan langkah basah” (“Mazmur Adam”). Lalu bertemu fragmen kelam pertama di bumi, pertikaian anak Adam, “Labuda meinggalkan pertikaian paling gelap//sehalus bulu gagak di malam hari//seolah ia hanya penyukup amsal hikayat pembunuh” (“Hikayat Pembunuh”). Bertemu Musa yang berguru pada Khidir, “tongkat tertunduk, mengetahui ada yang lebih mengetahui dari dirinya” (“Tanzil untuk Musa”)

Lamuh juga menziarahi Anjani, “tapi cinta serupa cupu manik yang hilang di Telaga Nirmala” (surat Rinjani), bertemu tukang parkir di masjid, “… mengenakan baju Che Guevara//memarkir kata di bawah kubah…” (“Di Depan Masjid”), dan sebagainya.

Lamuh terus berziarah, dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dari cinta ke cinta, rahasia ke rahasia, hingga menyadari bahwa perjalanan hidup adalah serupa perjalanan Nabi. Terus menyempurnakan diri, menyempurnakan kemanusiaan, sebab itu memang tugas manusia.

Ela-elo, wong Jawa gari separo, begitu titah guru waskita di Jawa. Bahwa diri yang tinggal separo, bukan untuk selamanya diratapi, melainkan direlakan, atau malah disyukuri. Sebab kesadaran akan ketidakutuhan diri justru memungkinkan kita terus membutuhkan yang lain, untuk saling belajar, untuk saling mengisi, untuk saling mengingatkan, untuk saling mengasihi. Itulah yang kita kenal dengan silaturrahim, sebab hidup serupa perjalanan dari rahim kembali ke rahim.

Hanya dengan itu, kita akan merasakan manisnya hidup, rahasianya hidup, hidupnya hidup. “jika erang berhasil menghujam lubuk//maka batu rahasiaku sunyi rahasia//embun suluk. buah gading yang manis//turas tetes tangis Rengganis” (“Jatiswara”)

Selamat menjalani hidup baru, Lamuh Syamsuar. Samawa.

679

Taufiq Ahmad

Redaktur langgar.co. Penulis lepas.

Comments are closed.