ELEGI BULAN MEI
: Ketut Suwidja
bagai terkayuh dermaga
bagai terkayuh laut
ketika kapal beringsut
menuju cakrawala barat sana
deru suara
memenuhi udara
tapi seru
aku pergi cintaku!
padaku berkali-kali tiba
terucap durja
saat kapal jauh sudah
di bawah angkasa yang merendah
barisan camar
mengarungi sinar kian pudar
kepak sayap mereka
dengan gerak kapal seirama
sayup kudengar lagu
camar, camar, kawal aku
sampai tiba
di pelabuhan negeri senja
ketika waktu sempurna remang
kapal tinggal noktah bayang
cintaku
cintaku
kau makin membayang
PERPUSTAKAAN KOTA TUA
pada semua rak buku tak berwarna
berjajar kitab air mata
menetes. tiap tetes menjelma
di lantai : lembaran cerita duka cinta
lembaran cerita cuka cita
potret tergantung di dinding
pudar dan menguning
ternukil kata-kata
di bawahnya, suram
yang berkunjung kemari
para pencari
tanda baca diri
berwajah muram
tanpa mengetahui
ke balik kalbu mereka lari
berganti rupa
berganti nama
pada pintu dan jendela
ada gambar perpustakaan lama
penuh serakan aksara dan kata
dipungut pemulung tua
mata basah. tatapan durja
terpana aku membaca tulisan tertera
pada buku pengunjung lembar terakhir
kitab di sini, semua
tanpa awal tanpa akhir
TERMINAL KATA
: Joko Pinurbo
kutunggu kau di terminal kata
di tepi kota sastra
berpagar pohon metafora
serupa cemara
dari pusat kota
jangan melaju ke utara
kau hanya bersua
makam tua tanda baca
melajulah ke selatan
di sebuah tikungan
belok kanan
di satu kawasan sunyi
belok kiri
melajulah terus. jangan berhenti
tak ada lampu sepanjang malam
bila kemalaman
aku cemas kau sesat
dalam kegelapan
pekat, bersekat-sekat
sangat luas, sangat lengang
sejak dulu jadi daerah terlarang
melajukan kendaraan
jangan dengan kecepatan tinggi, jangan
kecelakaan menimpa
bukan kecelakaan biasa
bersama yang dikendarai menjelma
aksara tak kasat mata
meneriakkan kesakitan di udara
kutunggu kau saudara
beri tanda ketika tiba
baju dan celana di tubuhmu
menghapal semua judul puisiku
MENARA CINTA
di pantaimu laut Lovina
akan kubangun menara cinta
senantiasa menggemakan suara
bercerita tanpa jeda
percintaan abadi perindu dan pencinta
perairan raya
jangan dera aku
aku bukan anak seterumu
si juru sihir
mengayuh biduk batu
kau kutuk jadi serpihan sampan beku
berserakan sepanjang pasir
sebelum menyihirmu
jadi bentangan air luas
senantiasa menggemakan
dengan keras
suara-suara kebencian
aku keturunan penyair mulia
penjelajah samudera
di air menulis tanpa jeda
larik dan bait bercahaya
mengumandang kata-kata mutiara
tentang mencintai dan dicintai
tentang dicintai dan mencintai
di pantaimu laut Lovina
akan kubangun menara cinta
tetap tegak walau berkali-kali langit menimpa
ANAK CAHAYA
: Doegde Pucangan
kampung halamanmu di balik matahari
jauh sudah kautempuh jalan kembali
anak cahaya
di sini kau dulu mengembara
menyusuri jejak hujan
menyusuri jejak gerimis
pada tanah bertebaran
serupa mata duka menangis
dalam hati berkata
bumi ini penuh sumber air mata
getar langkahmu menjalar
ke padang-padang
ke semak belukar
dan ladang-ladang
rumput semua
perdu semua
pohon semua
mengubah jadi peta
menuju rimba air mata
puisi kautulis
pada pawana
tiap jeda melangkah
selalu tentang manusia
gelisah
menahan tangis
pada badan dan sukma
menjahit air mata
diliputi keharuan
sebelum melanjutkan pengembaraan
berulang-ulang kaubaca
berulang-ulang kaubaca
kampung halamanmu di balik matahari
makin jauh kau tempuh jalan kembali
PANORAMA PUISI DUA BAIT
: Raudal Tanjung Banua
/1/
antara larik semua
terang terbentang laut
mengitar barisan nusa
semenanjung berpaut
kepada cakrawala
angin melepas isyarat bahagia
awan melangkah menerjemahkan
jadi nyanyian
berkilau udara
kemilau seluruh kawasan
/2/
antara bait pertama
dan bait kedua
semenanjung terbentang
menautkan barisan nusa
sepanjang laut terang menjulang
melepas senandung menjelma
resonansi lembut, mengalun
pelan berayun
dikitar cakrawala
penuh lukisan
awan melangkah menaburi udara
menaburi seluruh kawasan
serpihan gemerlapan
di akhir bait pertama
di akhir bait kedua
hamparan panorama warna