DONASI

Prime Time Berita Duka: Episode Kramadangsa Wedi Mati

Belum berapa lama, nenek saya pergi: meninggal dunia. Kabar duka ini begitu tiba-tiba. Saat berita itu tiba, posisi nenek saya di (tanah-air-darah kelahiran) saya, Pati,...

LEMBAR | THURSDAY, 25 FEBRUARY 2021 | 13:11 WIB

Belum berapa lama, nenek saya pergi: meninggal dunia. Kabar duka ini begitu tiba-tiba. Saat berita itu tiba, posisi nenek saya di (tanah-air-darah kelahiran) saya, Pati, Jawa Tengah. Sedangkan saya sedang di (tanah domisili KTP sekarang) Bantul, Yogyakarta. Keterpisahan jarak yang tidak pendek, kurang lebih 5-6 jam-an perjalanan sepeda motor dengan kecepatan wajar.

Praktis rasa kehilangan dan kesedihan membuat saya memacu kencang motor Beat putih ber-STNK nama istri saya yang asli Mbantul, sebisanya menebus kehilangan. Di sepanjang perjalanan Yogya-Pati, motor matic itu melaju hampir selalu mentok spidometer. Bersamaan dengan itu, air mata terus berleleran. Mampat sebentar, mengalir lagi. Hampir seluruh jalur itu, saya meruang-mewaktu bersama tangis.

Banyak kenangan yang berseliweran. Tentang waktu kanak dan SD saya, yang lebih banyak tidur dengan nenek daripada dengan ibu-bapak. Tentang rebutan remote TV, karena perang sinetron INDOSIAR vs layar emas RCTI. Tentang alasan saya kuliah yang sebetulnya didorong nenek, daripada keinginan sendiri. Tentang pemberian uang jajan yang dikumpulkannya dari menabung hasil jualan terasi. Tentang segala hal, tentang beragam momen yang terlalu banyak, terlalu membaur karena banyaknya. Lalu semuanya tiba-tiba menjadi air mata, begitu saja.

Namun tak ada yang berubah. Kecuali fakta bahwa “yang pergi” telah menepati janjinya: wani urip, wani mati.

Namun tak ada yang berubah. Kecuali fakta bahwa “yang pergi” telah menepati janjinya: wani urip, wani mati.

Belum surut kesedihan karena ditinggal nenek, menyusul kabar duka dari Semarang: pak dhe Prie GS., tokoh yang saya kagumi, juga pergi. Belum kering dua duka itu, warta duka datang lagi. Kiyai Minan Abdillah, Kajen-Pati, meninggal dunia. Kiyai Minan, atau santri-santri beliau biasa memanggilnya Abuya Minan adalah tokoh kharismatik yang saya anggap sebagai guru dalam arti sebenarnya. Dia khumul, menolak ketenaran demi tegaknya kemurnian (pendidikan) agama.

Sampai akhir Februari ini, berita duka datang bagai topik berseri. Satu kabar duka dengan kabar duka lain, begitu rapat. Manusia-manusia hebat, agamawan, budayawan, sampai keluarga sendiri pamit. Pergi ke seberang lain kehidupan: kematian. Saya tidak sedang bicara ihwal Covid-19, tapi murni sengkaian momentum yang penuh rentetan berita duka.

Bahasa Kematian

Kematian selalu menolak mati. Ia dikutuk dan ditangisi. Namun selalu kembali, lagi dan lagi. Bersamaan dengan kita yang terlambat menyambutnya; lambat dan terlambat. Karena memang ia tidak pernah bicara. Bahasanya, bisu.

Kematian itu wajar. Yang tidak wajar adalah kengototan untuk menolaknya, menampiknya. Sebagaimana saya di sepanjang Yogya-Pati kemarin, serta kecengengan-kecengengan lain sebelum dan setelahnya.

Disadari atau tidak, kita seringkali terbersit untuk memutar waktu. Menghidupkan kembali, orang-orang yang telah mati. Para nabi, orang-orang suci, pahlawan besar atau kecil, menggoda kita ‘membayangkan’ mereka kembali hidup dari kematian. Namun, toh kita sama-sama tahu kalau ruang-zaman kita ini, punya hukumnya sendiri: bergerak hanya mengenal melaju ke depan. Tidak ada tayangan ulang. Alih-alih dikembalikan sekeinginan kita.

Pernah satu-dua detik, di masa pandemi ini, saya membayangkan Isa. Nabi agung yang kondangnya kaloko sebagai ‘penyembuh’, bahkan terhadap kematian. Di kelebatan, saya membayangkan dia mengusapkan ‘welas asihnya’ mengusir keresahan wabah. Namun sekali lagi, itu cuma bayangan: bayang dan angan-angan.

Ilusi hadirnya sosok pahlawan tersebut, pernah disindir Zen RS (04/05/2020), seorang peminat sejarah dan esais, bahwa di masa kini—pandemi dan permasalahan yang menyertai—kita sama sekali tidak membutuhkan pahlawan. Menurut Zen, yang dibutuhkan adalah ‘langkah sederhana’ kita sendiri. Sikap awas dan hati-hati dalam menyikapi persebaran wabah, lebih suci dan lebih heroik daripada bermimpi turunnya messiah. Langkah nyata orang biasa di situasi luar biasa, justru yang paling berharga.

Monolog Duka

Setelah ada waktu menjeda kesedihan, saya menyimak percakapan—yang sebenarnya monolog—antara Sri Krisna dengan Arjuna, dalam Bhagawadgita. Waktu itu Arjuna sedang gentar dengan kematian. Bukan kematiannya sendiri, tetapi kematian keluarga dan orang-orang terkasihnya. Gentar berarti goyah, butuh pegangan.

Kepada Arjuna, Krisna memberikan semua yang perlu diberikan, berupa prinsip-prinsip kesejatian dan kebijaksanaan hidup. Prinsip itu memuara pada satu garis utama, menggerakkan diri menuju kesejatian: ke-tuhan-an. Setelah benar-benar sampai di kesejatian itu, baru ‘manusia’ bisa benar-benar terbebas dari segala kekhawatiran yang melekat-mengitarinya, termasuk atas kematian. Tanpa tiba di kondisi itu, maka kehawatiran, nuansa goyah dan semacamnya adalah kewajaran belaka.

Setelah benar-benar sampai di kesejatian itu, baru ‘manusia’ bisa benar-benar terbebas dari segala kekhawatiran yang melekat-mengitarinya, termasuk atas kematian. Tanpa tiba di kondisi itu, maka kehawatiran, nuansa goyah dan semacamnya adalah kewajaran belaka.

Saya melihat ada kemiripan, kondisi duka saya ini dengan yang dialami Arjuna itu. Ada rasa gentar saat melihat satu demi satu orang-orang terkasih wafat. Saya bukan Arjuna, maka tidak ada Krisna. Bhagawadgita pun harus dinarasikan berbeda.

Sampai pada “ning” tertentu saya menyadari. Saya butuh lebih dari sekedar ujar-ujar. Saya butuh yang lebih mendalam dan aplikatif, dari sebatas men-cengeng-i serial duka. Lalu tibalah pada merasai jangka sengkalan kematian saya sendiri. Wah, cukup ngeri-ngeri sedap. Tetapi demi hidup yang mesti terus berlanjut, saya perlu menjernihkan refleksi untuk menolak kalah: terlentang oleh duka berpanjang-panjang.

Kramadangsa Wedi Mati

Di tengah-tengah pusaran gerak antara gentar dan menolak kalah, saya menziarahi Ki Ageng Suryomentaram. Sebagai seorang yang tidak banyak mengenal para bijak bestari, saya mengenal Ki Ageng Suryomentaram. Saya mengenalnya sebagai pemandu kesejatian yang rasional, telaten, dan cukup mudah dipahami. Dipahami bukan sebagai teori tinggi, tapi lebih pada refleksi dan jurus baca terhadap pengalaman sehari-hari.

Dalam khazanah Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962), kematian adalah keniscayaan yang pasti, sepasti-pastinya kepastian. Namun bersamaan dengan itu terjadi paradoksa laten: semua yang hidup—terlebih manusia, ya—menghindari mati sebisa mungkin. Karena pada dasarnya hidup adalah lawan lawas dari kematian. Yang satu menolak yang lain. Tetapi, yang menarik dari kawruh Ki Ageng, yang bisa mati bukanlah ‘manusianya’ tetapi Kramadangsa yang ada pada dirinya.

Kramadangsa adalah kesan—dalam istilah Ki Ageng Suryomentaram disebut catetan atau data—yang muncul dari memori sejarah dan pengalaman hidup. Kesanini begitu dekat, begitu nyata, karena berbarengan dengan seluruh jangka kehidupan. Inilah identitas yang biasanya (secara sembrono) begitu saja dianggap sebagai ‘diri’ sebenarnya. Saya, atau Aku dalam bahasa Ki Ageng Suryomentaram, seringkali luput menyadari bahwa ia bukanlah secukup “nama resmi akta kelahiran, produk keluarga, sejarah hidup” yang melekat, atau dilekatkan oleh masyarakat kepadanya. Sebenarnya, Aku adalah bukan itu.

Kehidupan yang terlakoni melalui lahir, tumbuh, berteman, bergaul, berpasangan, dan mati, adalah Kramadangsa. Inilah yang bisa dan pasti mati. Kramadangsa adalah sisi lain yang sebenarnya terpisah dari kesadaran eksistensial, yang berupa kesadaran “aku tahu aku bukan yang itu”.

Tegasnya, manusia selalu punya kecenderungan “Aku” yang merasa dan menyadari. Nah, kesadaran ini berbeda dan berpilah dengan Kramadangsa. Jika Kramadangsa begitu lekatnya dengan dunia di luar diri, sebaliknya kesadaran “Aku” lebih pada sisi manusia yang di dalam dirinya sendiri. “Aku” tersebut justru yang melihat, mengawasi, dan akhirnya menyimpulkan keberadaan dan kecenderungan pola gerak dan watak Kramadangsa. Kramadangsa selalu bergerak ke luar. Ingin mendapatkan pencapaian atau perengkuhan yang melibatkan dimensi liyan. Dia tidak pernah cukup, dan selalu memperbaharui diri (solan-salin, malih rupa).

Akhirnya, bukankah segala kesedihan karena kabar kematian, sebenarnya adalah menyedihi ‘diri sendiri’? Saya tidak rela ditinggalkan. Saya tidak legowo melepas ‘catatan kenangan’. Semuanya, adalah tentang “saya” belaka. Saya, aku, Kramadangsa “wedi mati” juga wedi bila orang-orang di lingkaran hidupku mati.

Salumahing bumi, sakurebing langit, tidak ada yang layak dingototi sedemikian berlebihan” kata Ki Ageng Suryomentaram. Walau masih berduka, saya berduka dengan bahagia. Bahagia karena masih diberi waktu untuk mengisi kehidupan ini dengan gairah pemaknaan, yang bukan sebatas mandek di Kramadangsa. Aku bukanlah aku yang itu. Sedih, tangis, kecengengan itu bukanlah Aku. []

576

Akhmad Faozi

Penulis adalah peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Momong anak lanang dan penikmat literasi. Lahir di Pati, nyantri di Kajen, tinggal di Bantul.

Comments are closed.