DONASI

Tentang Lelaki Laut dan Perempuan yang Mengenangnya

Apa kabar kau laut? Sudah lama keakraban kita pudar tercerai menjadi serpihan ingatan yang mengundang kesedihan. Apa kabar kau laut? sudah lama aku menutup telinga...

LEMBAR | SUNDAY, 1 SEPTEMBER 2019 | 19:11 WIB

Apa kabar kau laut? Sudah lama keakraban kita pudar tercerai menjadi serpihan ingatan yang mengundang kesedihan. Apa kabar kau laut? sudah lama aku menutup telinga tentang gelegar samudra, mengingat keakraban ditelan antara batas  dan  puing-puing batu bata…

Masih ada yang tertinggal semenjak kepergian bapak, kenangan kasih dan hasil peluh kerja yang tersaji dalam hidangan makan keluarga. Ikan-ikan yang dibawanya pulang melaut adalah salah satu menu makan hari-hari kami. Mungkin bukan hanya keluarga kami, tapi juga keluarga lain yang tinggal di pesisir pantai, tempat melaut menjadi pekerjaan utama yang mampu mencukupi setiap musimnya.

Namun lebih. Laut adalah kekayaan yang selalu kami syukuri. Ia adalah laut, hal lain yang tersedia begitu saja saat alam raya terbangun oleh kasih Tuhan yang Maha Kasih. Ia adalah hal lain dengan segala kekayaannya, untuk alasan dan kepercayaan itulah  tak ada yang keluarga kami risaukan sekalipun musim ikan belum sampai, belum waktunya datang kembali. Karena selalu ada hal lain yang laut wariskan untuk kemudian kami kais saat kami butuhkan, ia mampu menghidupi banyak keluarga lewat warna-warni pesona dan kedalaman isinya.

***

Rumah kami adalah cerminan kesederhanaan bagi keluarga pantai. Ia lahir dari isyarat angin yang memberi jadwal para pelaut dan deburan ombak yang mengantar cita-cita berlayar menuju samudra yang terbentang. Tidak cukup, rumah kami serupa panorama surga bagi awak kapal yang letih menari di atas air dan harapan pulang atas ketidakberuntungan nasib yang  terombang-ambing oleh debur gelombang. Saat musim libur tiba, di mana daftar kunjung dari masyarakat kota membeludak, rumah kami yang sederhana mampu penampung banyak kendaraan mereka. Begitulah rumah kami yang menghadap pantai, ia memilih nasibnya sendiri.

Rumah kami adalah cerminan kesederhanaan bagi keluarga pantai. Begitulah rumah kami yang menghadap pantai, ia memilih nasibnya sendiri.

Belum selesai. Seperti keluarga lain, ibuku menambah penghasilah keluarga dengan berjualan beraneka kudapan untuk para wisatawan pantai, kalau lagi senggang tangannya mampu menyelesaikan berbagai pernak-pernik kerang dan anyaman topi pantai. Hidup kami adalah cerminan masyarakat pantai, segala kesenangan menyaksikan segala keasingan orang-orang yang datang dan kegelisaan yang justru akrab saat debur ombak akrab datang.

Dan benar, debur ombak yang selalu akrab mendatangi adalah kegelisahaan yang menyisakan kerinduan pada bapakku, kenangan akan pantai tempat kami bermain pasir, teman-teman kecilku yang belum malu bermain tanpa alas dan baju, dan puing-puing rumah yang pernah menjadi tempat berteduh saat dingin pantai datang hampir setiap malamnya.

***

Tubuhku lunglai diantara puing bangunan, terdampar pada jarak yang jauh, dibawa air laut dan gelombang nasib pada hidup yang lebih panjang. Ditemukan Tim SAR dan dikumpulkan dalam posko pengungsian, dengan mereka yang entah dengan siapa. Yang ada hanya keterasingan sekeliling dengan kualitas hampa yang hampir sama dan kepedulian orang asing yang berkunjung dengan kecemasan-kecemasan yang lain. Benar, aku masih hidup, ada rasa sakit pada tulang dan tubuhku seperti remuk terbanting dan terbawa tanpa arah sapuan gelombang. Dan benar, aku masih hidup. Rasa perih pada luka di siku tangan dan pipiku mungkin akibat benda tajam yang aku lewati.

Dari jauh aku lihat Arjun, temanku bermain pasir. Matanya nanar dalam rasa takut, kaget, dan suasana teror dari kematian yang hampir saja merenggut masa kanak-kanaknya, masa kanak-kanak kita. Tapi dalam ketakutan pun, ia teramat beruntung sebagai bocah usia 10 tahun, padanya ada pelukan hangat seorang ibu. Orang tua yang tak kalah pilu karena rasa takut kehilangan anak dan keluarga lain yang entah masih hidup atau sudah tiada.

Lalu aku? sejak tadi baru Arjun dan ibunya yang aku kenali dari jauh. Hal paling dekat dari diriku tak sedikitpun aku dapati.  “ Di mana ibuku? Bapak?”, teriakku pecah bersama tangis anak lain yang kesakitan karena luka dan rasa takut karena kesendirian.

Ramai memang, tapi keramaian yang kudapati lebih mirip kehampaan hidup yang lebih nyata. Aku tak menemukan ibu, bapak, juga tetangga lain yang bisa aku tanyai di mana mereka. Pada mataku mengalir tangis, dan darinya pancaran kematian yang gagal menemukan jalan pulang.

“ Di mana ibuku? Bapakku? Ibuuuuuu, bapaaakkk. Laily takut.” teriakku kembali lagi dan berulang kembali.

Tangisan dan suasana susah adalah pemandangan yang tak asing dari posko pengungsian, semua tumpah tanpa kejelasan yang berarti, tanpa jawaban yang menghibur.

Tangisan dan suasana susah adalah pemandangan yang tak asing dari posko pengungsian, semua tumpah tanpa kejelasan yang berarti, tanpa jawaban yang menghibur. Seorang tim relawan menghampiriku, membawa harapan, rasa aman, dan sepucuk kepedulian akan wujud  rasa kekeluargaan yang dapat tercipta dari posko bencana.

“Adik, siapa namanya? Jangan menangis ya, kami dan tim relawan masih mengidentifikasi seluruh korban, bapak dan ibu adik masih dalam pencarian tim kami”, dipeluknya tubuhku, air mataku diusap. Banyaknya korban dan minimnya jumlah relawan, baik tim medis maupun tim SAR membuat semua orang kalang kabut dalam menangani semua keluhan. Aku baru berumur 12 tahun, kelas enam di salah satu sekolah dasar yang bangunannya luput dari terjangan ombak.

“Laily, namaku Laily”, jawabku gigil dalam rasa khawatir dan sedu tangis yang tidak tertahan. Rasanya langit runtuh, aku melihat banyak sekali orang dalam posko yang lusuh dalam tubuh luka-luka, pakaian yang sobek di mana-mana dan beberapa orang yang menangani kami dengan membalut luka dan mengantar beberapa korban yang baru ditemukan.

“Itu ibuku kak, itu ibuku”, teriakku sambil mengacungkan telunjuk menuju bagian depan para relawan yang berjalan menggandeng perempuan usia tiga puluh lima tahun.

“Yang itu? Siapa namanya? Ayo kita temui, ibumu pasti sangat mengkhawatirkanmu”, digendongnya tubuhku oleh perempuan dengan rompi relawan tersebut menuju relawan lain yang menggandeng ibuku.

“Iya kak”, kegirangan membuatku lupa menyebut nama ibuku. Perempuan itu dengan semangatnya mengantarkanku pada ibuku.

“Ibuuuu”, teriakku. Seketika ibu yang mengenali suara anaknya langsung mencari sumber suara. Tangisnya pecah saat mendapati wajahku, rasa syukur atas keselamatan anak dan rasa sedih atas musibah yang menimpa. Diraihnya tubuhku dengan hangat dan rasa senang. Tubuh kami merangkai pelukan kasih, dua orang yang terpisah akhirnya dipertemukan.

“Terima kasih mbak”, ucapnya pada tim relawan dengan penuh syukur yang berlipat-lipat. Awan gelap sedikit menyingsih, berganti haru dan pertanyaan-pertanyaan baru.

“Bapak mana bu?”, ucapku polos. Bersamanya tangis kami kembali menelaga pada kelopak-kelopak mata panda yang hampir tumpah membanjiri pipi. Tim relawan yang menangani kami segera mengambil sikap, menenangkan kami.

“Sama-sama bu, sudah menjadi tugas kami untuk membantu. Dan bencana ini duka kita bersama”, ucapnya hati-hati.

“Adik dan ibu sabar dulu ya, tim kami di lapangan masih mencari dan mengidentifikasi korban. Sambil menungu tim bagian pencatat data korban. Mari bu istirahat dulu, ibu perlu duduk santai agar luka ibu bisa kami obati”, pintanya halus.

***

“Nama saya Nida Aini tiga puluh lima tahun, dan anak saya Kamila Laily, Dua Belas tahun, dan….”, suara ibu berhenti, hujan di air hatanya kembali pecah memutus kata-kata.

“Iya ibu, bagaimana?”, ucap relawan.

“Suami saya apa sudah masuk data korban yang ditemukan?”

“Suami saya, Abdul Hamid, perawakannya tinggi, hitam, rambutnya cepak” lanjutnya

“Ibu yang sabar dulu ya, sementara tim masih bekerja, semoga bapak segera ditemukan bersama korban lain yang selamat”, jelas relawan bencana.

Pagi berjalan lambat, duka bertubi serasa bertahan, ia enggan beranjak. Di Posko Pengungsian, aku bersama beberapa anak lain tak ada beda, tubuh kami lusuh, kusam. Aku dan Arjun; anak pengusaha ikan di kampung juga tak jauh berbeda, ibunya yang kaya dan ibuku yang sederhana juga tak jauh beda. Wajahnya lusuh, matanya serupa jalan kematian yang memilih bertahan. Yang sedikit berbeda hanya, beberapa perhiasan emas yang menggantung di leher dan berhias di pergelangan tangan yang belum lepas sejak dikenakan sebelum bencana datang. Mungkin itu harta yang selamat dari sekian hartanya yang hilang bersama karamnya almari dan laci.

Pagi berlalu dengan nafas harapan, ia milik orang-orang yang bekerja mencari korban dan mereka yang berharap cepat beranjak, berlalu, berganti hari baru. Makanan dari dapur umum telah matang, sarapan kami telah menunggu mengganjal perut. Kata ibu, posko pengungsian tidak jarang membuat banyak penyakit mudah tertular, apabila daya tahan tubuh kita tidak prima. Aku yang sulit makan diminta untuk tetap berusaha menjaga pola makan sesuai jadwal pemberian. Semua berduka dengan derita yang hampir sama, kecuali kualitas dari rasa kehilangan atas anggota keluarga yang belum kunjung ditemukan.

***

Trauma bencana bukan hanya milik kami, anak-anak pantai. Tapi juga bagi orang tua yang ditinggal keluarga, orang tua, anak, suami atau istri tercinta. Kami harus siap menerima kabar tentang kemungkinan kematian orang terkasih, seperti mataku dari kejauhan yang melihat tim relawan silih berganti membawa korban meninggal baik yang sudah terbungkus maupun masih dalam pakaian biasa saat ditemukan. Kabar kematian sekalipun menyedihkan, selalu lebih melegakan dari pada kehilangan tanpa jejak, tanpa kabar kejelasan.

Di tempat lain aku sudah mulai mengenali banyak orang yang biasa aku temui di kampung, di sekolah dan di pesisir. Ada guruku, ada petugas pariwisata, ada pegawai kelurahan, ada pula beberapa orang yang akrab aku kenali wajahnya sementara aku tak mengenal namanya. Semua orang dewasa yang aku kenal adalah korban, seperti ibu Arjun yang kaya dengan perhiasan yang dipakainya, para pegawai berseragam juga tak luput dari bencana. Di sana, aku juga bertemu dengan Bu Ida, guru kelasku. Ia yang demikian susah hati karena anak balitanya pagi tadi telah diidentifikasi sebagai korban meninggal yang ditemukan.

Dan aku juga bertemu Pak Bambang, petugas sensus di kantor kelurahan. Ia diam di antara puing ruko permanen milik Dinas Pariwisata. Kata teman ibu di posko, istrinya ditemukan meninggal di hari pertama, sementara anaknya belum juga ada berita. Sementara waktu beranjak, aku masih terus melihat ibuku menangis, sekalipun begitu ia adalah ketabahan yang aku punya di dunia. Mungkin ibu memandangku dengan harapan yang sama.

Aku masih terus melihat ibuku menangis, sekalipun begitu ia adalah ketabahan yang aku punya di dunia.

Dan di sana, kami para anak-anak bencana menjalani trauma healing untuk memulihkan tekanan psikologi kita atas musibah. Di barisan ini aku tidak cuma bertemu Arjun, tapi juga Cintya, Rinda, dan Citra, mereka teman sekolahku. Ada juga mbak Ayu dan Kak Yuda tetanggaku yang sudah SMP.

“Bapakku juga belum ditemukan, Jun”, ucapku pada Arjun yang bapaknya sebagai pengusaha ikan  juga belum ditemukan di hari ke dua. Arjun mengangguk, anak itu sudah mulai menampakkan sisi misteriusnya sebagai lelaki bahwa kesedihan kerap memilih untuk sembunyi.

Hari berjalan cepat bagi para pekerja lapangan, tapi begitu lama bagi penantian kami akan kabar kejelasan. Dan sore ini aku dapati wajah ibu menangis lagi, hanya kali ini lebih keras. Bapak ditemukan bersama bapak Arjun, tepat di reruntuhan tempat penimbangan ikan. Sulitnya lokasi dengan puing yang hampir rata memungkinkan sulitnya jenazahnya ditemukan. Benar saja jika kejelasan kabar sekalipun menyedihkan selalu lebih melegakan daripada ketidakadaan kejelasan. Dan tangisku datang bersama kabar bapak yang telah ditemukan meninggal bersama beberapa nelayan lain, di tempat penimbangan ikan.

“Bapak sudah pergi, nak”, ucap ibu memeluk tubuhku mematung.

***

Perjalanan sore ini memungkinkan aku untuk menemui laut, mengingat beberapa kehilangan mendalam yang pernah aku rasakan saat usiaku baru dua belas tahun berjalan. Di pesisir lain,  Pantai Timur telah mengingatkanku akan debur ombak yang mengantar hilang. Di sana, air mataku lahir kembali sebagai anak kandung atas musibah yang menyapu banyak kenangan, bapak dan keakraban pantai. Ia adalah basah yang pecah setelah sempat kutipu hatiku dengan beku lewat kesedihan mendalam.

Pantai Timur, adalah panorama lain yang menggelar ingatanku kembali. Ia menampilkan ingatan akan Arjun dan ibunya, akan pak Bambang yang entah kemana perginya, mengingat bu Ida; guru ceria yang hilang tawanya saat anaknya telah tiada, dan tentu saja mengingat bapak tempatku merajuk sepulang melaut.

Jantung berdegup, mataku menelaga, tangisku pecah. Keindahan Pantai Timur adalah keindahan laut yang menghibur pemuja pantai, namun ingatan atas bencana membawaku pulang pada ingatan lain bahwa laut demikian sakti merenggut banyak nyawa di pesisir kami.

Sayang, sudah jangan menangis lagi. Ayo kita pulang, ibu sudah menunggu kita di rumah”, dipeluknya tubuhku oleh suamiku. Pantai Timur berteman jingga senja, dengan siluet pantai menjelang malam tiba. []/.//

596

Dian Meiningtias

Litbang di PPMI Dewan Kota Tulungagung, pegiat Dimensi Institut,

Comments are closed.