DONASI

Wayang Purwa: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara (Bagian II)

Lihatlah kepada kelir, cermin kehidupan ini. Bayang-bayang siapakah yang terpantul di dalamnya? Apakah kita asing terhadapnya? Lihatlah dan perhatikan tindakan dan ucapan kita. Mari kita...

LEMBAR | THURSDAY, 6 DECEMBER 2018 | 02:33 WIB

Lihatlah kepada kelir, cermin kehidupan ini. Bayang-bayang siapakah yang terpantul di dalamnya? Apakah kita asing terhadapnya? Lihatlah dan perhatikan tindakan dan ucapan kita. Mari kita kenali. Kewajiban manusia yang pertama dan utama adalah meyakini dan mengenal Tuhan dengan sepenuh hati, jiwa, pikiran, dan tenaganya. Betapa krusial masalah pengenalan akan Tuhan ini, namun banyak manusia yang tidak tahu, lupa, abai maupun ingkar. Tanpa keyakinan dan pengenalan, maka bagaimana manusia akan mencapai kesejatian dirinya?

Tergerak oleh kasih sayang terhadap manusia yang terhijab ini, para Walisanga, terutama Sunan Kalijaga menciptakan suatu seni pertunjukan Wayang purwa yang menghibur, namun sangat intens dalam mengajak dan mendidik masyarakat mengenali asal-usulnya dan memperoleh jati dirinya.

Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu

(Siapa yang mengenal dirinya, maka dia sungguh mengenal Tuhannya)

 

Wayang adalah bayang-bayang diri dalam kehidupan, sekaligus spektrum perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Oleh karena itu, kalau orang menonton pagelaran wayang, sebetulnya bukan melihat semata gerak-gerik gambar wayang, melainkan bayangan dirinya sendiri.

Sebagai cermin, pagelaran wayang menggambarkan suatu pergulatan keras di dalam diri setiap manusia untuk mencari dan mencapai kesempurnaannya. Medan Kurusetra, tempat pertarungan para ksatria melawan semua kecenderungan jahatnya, tidak bertempat di mana-mana, melainkan di dalam diri manusia. Bharatayudha bukanlah perang antar saudara di luar sana, melainkan peperangan melawan nafsu angkara murka di dalam diri, karena kerinduan ruhani kepada Tuhan (Brantayudha). Wayang adalah medium pengenalan sekaligus otokritik diri. Menggelar wayang adalah perjalanan ziarah di dalam diri, untuk introspeksi, menggali nilai-nilai diri sekaligus mencari jalan pelepasan ruhani dari belenggu dan tipu daya hawa nafsu, baik hewani maupun syaithani.

Mari kita cari dan kenali. Sembilan tokoh utama dalam lakon-lakon wayang menggambarkan 9 (sembilan) unsur atau organ utama di dalam diri. Sebagaimana 9 tokoh ini merupakan pelaku utama di dalam pagelaran wayang, maka 9 unsur diri ini pula yang menentukan kepribadian kita. Apakah kita mengenalinya? Kalau kita perhatikan karakteristik Pandawa Lima pemeran utama dalam sebagian besar lakon-lakon wayang Brantayudha, maka akan berkelibatlah bayangan atau simbol dari lima indra, organ luar dari diri kita, yang merupakan tampilan utama dalam pembentukan dan perwujudan dari kepribadian kita. Yudistira, yang pantang berbuat salah dan jalannya melayang di atas tanah adalah gambaran dari Pernafasan (hidung) kita, yang tidak sudi mencium bau busuk dan senantiasa menghidupi diri kita dengan menghirup udara yang melayang di atas tanah. Bima, yang cenderung langsung bertindak begitu mendengar suatu berita, adalah Pendengaran (telinga) kita yang cenderung terpengaruh oleh informasi yang masuk tanpa mau repot-repot membuktikan kebenarannya terlebih dahulu. Arjuna yang tampan dan banyak mengawini perawan cantik putri begawan yang ditemuinya, adalah lambang Penglihatan (mata) kita, yang tatapannya sering menjadi acuan ketampanan/kecantikan kita dan membuat kita kokoh menyatu (kawin) dengan lingkungan sekitar tempat kita berada. Kembar Nakula, sang penjaga istal kuda dan utusan untuk menyampaikan pesan-pesan penting kerajaan, adalah gambaran indra Perasa dan Bicara (lidah) kita. Dan kembar Sadewa yang sering tinggal untuk menjaga rumah adalah pralambang indra Perasa/Peraba/Pelaksana (kulit) kita yang setia menjaga diri kita dari panas-dingin cuaca dan melaksanakan tindakan-tindakan segala rupa.

Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan.

Sementara itu, para Pandawa di atas, tidak akan menjadi satu kesatuan utuh yang tangguh di dalam menghadapi musuh-musuh, kalau tidak ditunjang secara langsung atau tidak langsung, tampak atau tersembunyi, oleh peran rumit dan kompleks dari 4 (empat) tokoh utama lainnya. Dia adalah Karna, saudara sulung Pandawa yang dibuang dan hidup di lingkungan para Kurawa. Kompleksitas situasi yang dihadapi dan bagaimana menempatkan diri di tengah silang sengkarut percaturan posisi yang diperankan oleh Karna, melambangkan Keseimbangan diri kita. Karna menyadari keterbuangan diri tetapi tidak kehilangan kasih sayangnya terhadap para saudara di satu sisi, dan di sisi lain menjalani keharusan hidup di lingkungan Kurawa yang serba jahat dengan tanpa kehilangan orientasi diri kepada kebenaran sejati. Itulah peran kompleks dan tersembunyi dari Keseimbangan, organ diri kita yang paling sering diabaikan, yang terletak di dalam dan di antara dua telinga (karno) kita.

Kemudian Sembadra, adalah seorang putri yang cantik, berkulit kuning langsat dan berperangai sangat halus. Terkenal dalam kisah Sembadra Larung, cerita tentang Sembadra yang dihanyutkan mengikuti aliran sungai agar terbebas dari nasib buruk. Putri cantik yang halus ini adalah Perasaan atau Rasa Hati kita, yang sangat sensitif yang mudah tersinggung, mudah marah, sehingga perlu dilarung agar lebih tahan uji terhadap godaan yang kita dengar maupun yang kita lihat. Selanjutnya, Kresna tak diragukan lagi adalah tokoh yang menentukan. Ia menjadi sumber rujukan dan kekuatan Pandawa di dalam memahami situasi, mengatur siasat dan strategi, juga menjadi senjata pamungkas dalam situasi tak terkendali. Tak pelak, Kresna melambangkan Pikiran (akal) kita, organ dalam yang pintar, cerdik, bijak, namun terkadang licik. Tokoh kesembilan adalah Baladewa, berbentuk putih bersih, memiliki senjata Nenggala, adalah tokoh yang tidak ada bandingannya. Andai saja di dalam Baratayudha, Baladewa sampai berpihak pada Kurawa, tak mungkin Pandawa akan mampu memenangkan perang itu. Putih bersih yang tak tertandingi inilah yang harus kita upayakan bagi Batiniah kita.

Itulah kesembilan tokoh dalam kisah wayang, pralambang dari kesembilan unsur utama diri kita. Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan, adalah Ruh yang hadir sebagai unsur kesepuluh, menggerakkan diri kita untuk mengarungi jagat kehidupan.

Apakah kita selama ini menyadari kehadiran dan gerak-gerik 10 tokoh atau unsur itu di dalam diri kita? Bagaimana mereka saling menunjang harmonis atau saling mengabaikan, bertentangan dan konflik? Kesatuan harmonis di antara mereka tentu akan membuahkan perilaku kita yang mengarah kepada kebenaran, dan sebaliknya pertentangan di antara mereka cenderung akan menghasilkan tindakan kita yang mengarah kepada kesalahan/kesesatan, yaitu kepada kemenangan para Kurawa yang merupakan simbol dari kecenderungan jahat di dalam diri kita yang berjumlah 100 ini.

Melalui Pagelaran Wayang, para wali memberikan kepada kita kunci-kunci untuk mengharmoniskan kesatuan unsur-unsur utama diri, dan bagaimana memenangkan pertarungan terhadap para Kurawa yang penuh dengki. Dalam hal ini, Jamus Kalimasada adalah pusaka utama Pandawa, yang mesti melekat pada Yudistira, yang membuat mereka tak terkalahkan. Jamus Kalimasada adalah simbol dzikir, eling atau ingat kepada keagungan Tuhan, sementara Yudistira adalah Pernafasan kita. Hal ini mengandung ajaran bahwa kunci utama kesatuan unsur di dalam diri kita adalah apabila dalam setiap tarikan nafas kita mesti dibarengi upaya dzikir atau ingat kepada Tuhan, sebagai ungkapan syukur yang melekat dalam diri.

Dzikir atau ingat kepada Tuhan bukanlah ucapan Lidah, tetapi mesti menggema di dalam Batin. Oleh karena itu, di dalam wayang, batin kita yang dilambangkan oleh tokoh Baladewa, ia berkulit putih, dan selama berlangsungnya Bharatayudha dia mesti diikat di dalam goa “Grojogan Sewu” (seribu air tejun). Sebuah ajaran kunci, bahwa untuk mengalahkan angkara murka yang berjumlah 100 itu, batin kita mesti putih/suci oleh guyuran “air terjun dzikir” yang kekuatannya 1000 atau 10 kali lipatnya.

Kesatuan harmonis antara Yudistira dan Baladewa, atau Pernafasan dengan Batin di dalam diri kita ini pada gilirannya akan menerangi dan mendorong unsur-unsur lain di dalam diri supaya menyatu harmonis. Karna atau Keseimbangan kita akan bekerja keras untuk menyatukan hubungan-hubungan kompleks antara Penglihatan, Pendengaran, Perasaan, dan Pikiran. Buah dari keseimbangan itu semua adalah keputusan-keputusan yang mengarahkan kepada ucapan dan tindakan diri kita yang seimbang dan berorientasi kebenaran.

Demikianlah, kalau misalnya kita menghayati lakon wayang “Petruk Jadi Ratu”, sambil terhibur kita sebetulnya secara ironis sedang diajak untuk melakukan otokritik bagi diri kita sendiri. Sindiran yang jenaka, menyangkut perilaku kita semua yang (mungkin) sering berwatak seperti Prabu Whelgeduwelbeh. “Whelgeduwelbeh” adalah lambang dari perilaku heboh, menang-menangan, tidak peduli nasehat orang, namun pada saat bersamaan hampa makna, nihil nilai-nilai. Atau, perilaku yang nonsens. Itu semua lahir dari diri kita sebagai akibat dari hilangnya Jamus Kalimasada, yang tercuri persis pada saat para Pandawa dengan dibantu Kresna dan Baladewa sedang sibuk membangun candi, yang melambangkan bahwa orientasi dari diri kita sedang terarah pada ambisi kemegahan duniawi. Pada saat itu, kita lupa kepada Tuhan, dan tercerai berailah kesatuan unsur kita, karena kehilangan orientasi. Pada gilirannya, para pelindung ruhani kita pun menjauh, dan jadilah kita “Whelgeduwelbeh”. Na’udzu billah min dzalik.

 

Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Punokawan Itu?

Mereka adalah Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Seperti dapat kita pahami dari sebutan dan peran mereka sebagai punokawan (panakawan) di dalam pagelaran wayang, maka mereka adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan. Berbeda dengan Togog yang mendampingi para ksatria jahat, maka punokawan (Semar dan anak-anaknya) ini diceritakan selalu mendampingi para ksatria yang baik, yang selalu melakukan tapabrata dan berjuang menegakkan kebenaran.

Para punokawan digambarkan sebagai abdi atau penjaga, namun di lain sisi para dewa selalu bersikap hati-hati terhadap mereka. Siapakah sesungguhnya mereka? Punokawan itu bukanlah bayang-bayang kita, mereka tidak berada di dalam diri kita, tetapi berada di luar diri dan memang berperan sebagai penjaga perilaku kita. Di dalam hal ini, wayang tidak dimaknai sebagai bayang-bayang, melainkan mesti ditempatkan dalam makna aslinya sebagai “Ma Hyang” yang berarti: menuju pada ruh spiritual. Dalam penghayatan spiritual, punokawan adalah pralambang dari malaikat penjaga laku, yang menitis sebagai karang yang kokoh (Karang Tumaritis) menjaga ke-kesatria-an laku (perilaku yang baik). Secara singkat, dapat dikatakan bahwa inilah pralambang yang menggambarkan perwujudan dari janji Tuhan di dalam al-Qur’an: “wa man jahada fina lanahdiyannahum subulana, (barang siapa bersungguh-sungguh di dalam mencari(kebenaran)Ku, maka Aku sungguh akan membimbing mereka kepada jalan-jalan yang mendekatkan kepada-Ku).

Semar, bermata redup dengan mulut berhias senyuman, adalah lambang dari penjaga lidah dan keseimbangan kita. Redup karena terbiasa menerima kedukaan dengan kesabaran, dan selalu tersenyum karena ungkapan kesederhanaan syukur saat menerima kenikmatan. Semar selalu berujar lembut, bijak, menuntun arah tata krama, membimbing laku rendah hati dan bersikap tak akan surut menghadapi ujian yang dihadapkan pada kita. Bentuk wayang Semar yang memiliki perut dan pantat yang besar merupakan bulatan, sebagai simbol kemampuan semar nguntal jagat (menelan dunia). Lambang ini mesti dibaca terbalik, sebagai peringatan agar lidah kita selalu bijak untuk tidak berlebihan melahap makanan yang disukai, yang justru bisa berakibat sakit yang panjang.

Petruk, yang berperawakan tinggi dan berhidung mancung, berjuluk “kantong bolong”. Ia melambangkan panjangnya jangka yang bisa kita tangkap dan cepat mencium gelagat, yang maksudnya kemampuan menyaring mana yang manfaat untuk dipikirkan dan mana yang tak perlu ditanggapi (bukan karena keputusan akal). Iya, Petruk adalah pralambang dari Penjaga telinga dan akal kita. Gareng, yang bertubuh pendek, bermata juling, berhidung besar, bertangan ceko, berkaki pincang dan bicaranya tak jelas, melambangkan Penjaga mata kita, supaya selalu instrospeksi. Ia selalu menyarankan kepada kita untuk hanya melihat yang pantas dan berorientasi pada kekurangan diri sendiri, tidak melihat segala kejelekan hanya ada pada orang lain. Bagong, diceritakan sebagai bayang-bayang dari Semar, tapi bertubuh lebih kokoh, figur wayangnya dilukiskan mirip Semar yang kelelahan, seperti terlalu banyak beban sehingga suaranya sangat berat. Bagong adalah pralambang kulit kita, tubuh kita. Ia terlihat kelelahan, adalah sebuah saran agar kita selalu ingat terhadap beban yang dipikul oleh kulit/tubuh kita sendiri, dan agar kita selalu berusaha menghadirkan keseimbangan (Semar) untuk meringankan beban kulit (Bagong) kita.

Punokawan (panakawan) adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan.

Demikianlah, orang Jawa meringkas kehadiran empat Punokawan yang mendampingi perjalanan kita di dalam mengarungi kehidupan ini dengan nama “Sedulur Papat Limo Pancer” (Empat Saudara, Kelima Pusat), yang menjadi pusatnya adalah sosok/pribadi yang berorientasi kepada kebenaran dan kebaikan, seorang ksatria. Selama seseorang berupaya keras mengharmoniskan 10 unsur dirinya, sehingga dia sungguh-sungguh di jalan kebenaran, maka 4 punokawan itu datang mendekat. Akan tetapi jika seseorang keluar atau mengabaikan jalan kebenaran itu, maka 4 punokawan pun akan menjauh.

 

Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Para Dewa Itu?

Mari kita cari, golekana. Banyak orang dari berbagai kalangan menganggap pagelaran wayang bersifat Hinduistik, karena di samping mengambil setting cerita Ramayana dan Mahabharata, di dalamnya juga banyak dimainkan tokoh-tokoh dewa, seperti Wisnu, Brahma, Indra dan lain-lain. Dan kemudian tanpa berpikir jernih dan mendalam segera mereka menganggapnya sebagai Hindu. Benarkah pendapat demikian?

Kalau kita cermati dan ikuti keseluruhan cerita/lakon wayang, maka akan kita dapati bahwa nama-nama “para dewa” disebutkan, namun tidak ada kultur pemujaan sebagaimana dalam konteks Hindu. “Para dewa” terus tampil dalam pertunjukan wayang, sedemikian rupa sehingga sejak berabad-abad lalu, orang-orang Jawa yang mengikuti dan menikmati pagelaran wayang tidak ada yang menjadi Hindu karenanya. Kenapa? Karena memang di dalam pagelaran wayang tidak ada pesan atau praktik kultus/pemujaan terhadap dewa. Bahkan, di dalam lakon-lakon wayang digambarkan Bathara Guru dan dewa-dewa lainnya berada di bawah supremasi dari Semar (yang sering dianggap sebagai representasi dari kepercayaan lokal).

Mereka tahu itu, karena di dalam cerita wayang “para dewa” itu digambarkan sebagai titah (makhluk), yang hubungan antar satu dengan lainnya itu berada dalam suatu genealogi (silsilah) turun temurun yang berpangkal pada Nabi Adam. Jadi, misalnya Bathara Wisnu dan Brahma itu merupakan anak-anak dari Bathara Guru. Bathara Guru (Sanghyang Manikmaya), bersaudara dengan Sanghyang Ismaya (Semar) dan Sanghyang Antaga (Togog), mereka adalah anak-anak dari Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal anak dari Sanghyang Wenang, anak dari Sanghyang Nurrasa, anak dari Sanghyang Nurcahya, anak dari Sayid Anwar, anak dari Nabi Sis, anak dari Nabi Adam AS. Silsilah semacam ini sama sekali tidak terdapat indikasinya di dalam kultur India maupun Hindu. Dan membingungkan para orientalis, namun tidak bagi orang (Islam) Jawa.

Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya.

Di samping itu, para dewa sering digambarkan berperilaku “sangat manusiawi”, bisa salah dan lupa, atau bahkan tidak berdaya/berkuasa. Seperti misalnya, Bathara Narada salah memberikan senjata Konta kepada Adipati Karna padahal maksudnya kepada Arjuna. Atau,”para dewa” di Kahyangan mereka tidak berdaya melawan Prabu Niwatakawaca yang menyerang dan bermaksud memperistri Dewi Supraba, dan mereka mesti minta bantuan kepada Arjuna untuk mengalahkannya. Atau, Bathara Guru tidak kuasa menahan hasrat seksual kepada istrinya Dewi Uma, dan memaksanya berhubungan intim di atas lembu Andini, kendaraan mereka yang sedang terbang di angkasa. Dewi Uma tentu saja menolak, dan akhirnya sperma Bathara Guru tumpah jatuh di samudera yang kemudian berubah menjadi Bathara Kala. Demikian seterusnya, sehingga di dalam kesadaran dan keyakinan orang-orang Jawa, tidak terdapat kultus dan sistem kepercayaan terhadap dewa seperti halnya di dalam keyakinan Hindu di India.

Oleh karena itu, hal-hal di atas mengarahkan kita untuk melihat kelebat bayang-bayang “para dewa” tersebut sebagai sebuah simbol atau pralambang yang acuannya bukan kepada sistem keyakinan Hindu di India, melainkan kepada konteks cerita di dalam lakon-lakon wayang itu sendiri. Maka akan kita dapati, di dalam lakon “Wahyu Makutharama” terdapat wejangan Begawan Kesawawidhi kepada Arjuna mengenai Hastabrata, yang merupakan ajaran untuk mendekat dan berterimakasih kepada 8 (delapan) unsur-unsur alam, yaitu angin, atau maruta (Bathara Bayu), tanah atau bantala (Bethara Wisnu), samudra atau tirta (Bathara Baruna), api atau agni (Bethara Brahma), matahari atau surya (Bethara Surya), awan/langit atau akasa (Bathara Indra), rembulan atau candra (Bethari Ratih), bintang atau kartika ( Bethara Ismaya).

Digambarkan pula di dalam pagelaran wayang bahwa kesatuan harmonis 8 unsur-unsur alam itu sebagai Cupu Manik Astagina, yang di dalamnya orang bisa melihat gambaran masa depan maupun masa lalu, kebahagiaan maupun kemalangan, di dalam kehidupan manusia. Ini mengandung pesan bahwa Kesucian, Transendensi, dan Kasih Sayang Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia unsur-unsur alam tersebut sebagai penunjang kehidupan, yang mana di dalam sejarahnya yang panjang, kesejahteraan maupun kebinasaan manusia tergantung bagaimana hubungannya dengan 8 unsur alam itu. Bahagia atau celaka, tergantung dari apakah ia berbuat baik dan semestinya terhadap alam atau sebaliknya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sorga dan neraka dunia ini adalah unsur-unsur alam tersebut. Kalau manusia berbuat baik, maka alam akan membuat manusia bahagia. Sementara kalau manusia berbuat jahat dan merusak, maka alam akan mengingatkan dan menghukum manusia dengan bencana.

 

Menikmati Wayang: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara

Tentunya kita tidak berangkat dari ruang kosong, pagelaran Wayang Kulit sebagai mana format, anatomi dan lakon-lakonnya yang kita kenal sekarang, benar-benar dirancang dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Walisanga. Antara bentuk dan isinya merupakan kesatuan utuh yang tidak terpisahkan, yang merupakan jejak dari kearifan para wali baik di dalam mengembangkan metode maupun menetapkan tujuan dari dakwah mereka, di dalam membangun peradaban Islam di bumi Nusantara, yaitu hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam (kesatuan Tuhan, manusia dan alam). Dan yang menarik adalah: hal ini telah menjadi keyakinan sebagian besar muslim Jawa hingga hari ini. Sebuah lentera pembimbing bagi muslim Jawa menjalani “suluk” laku hidup kesehariannya.

Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya. Dimulai dari upaya yang sungguh-sungguh di dalam menyatukan keselarasan dan kerjasama yang solid antara 10 (sepuluh) unsur diri, yang akan menghadirkan bimbingan (punokawan). Kemudian dengan mengarungi persahabatan dengan 8 (delapan) unsur alam, manusia akan ditunjang perjalanan ruhaninya untuk mendekat dan mencapai kebenaran Illahi.

 

Wallahu A’lam bis Showab

 


(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).

771

Muhammad Jadul Maula

Budayawan dan pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta.

Comments are closed.