“Dengan cara apa Tuhan seharusnya kita didekati?” “Dengan cara feminin atau dengan cara maskulin?” tanya saya dalam sebuah diskusi kecil di rumah kontrakan teman. Sontak, diskusi—atau tepatnya obrolan—yang memang sedang membincangkan ihwal Spiritualitas itu kemudian senyap. Juga termasuk saya, yang sebenarnya tak begitu sadar kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terlontar. Teman-teman seketika segera membalikkan pertanyaan itu pada sang penanya. Sang penanya diam, tak tahu jawabnya.
Selang beberapa hari, saya berfikir. Saya lalu teringat beberapa wejangan para Faqir. Kata para guru sufi, sifat “feminin” Tuhan, kata mereka, selalu mengatasi sifat “maskulin”-nya, atau seperti tersitir dalam sebuah hadist qudsi, “Rahman dan Rahim Tuhan selalu melebihi atau mendahului murkanya”. Lalu saya teringat “nama-nama indah” (baca: asma’ul husna) Tuhan yang sering dihafalkan waktu kecil itu, yang setelah saya cermati memang membenarkan dugaan saya. Maha Penghukum, Maha Pemaksa, Maha Kuat, juga Maha Perkasa “tenggelam” dalam sifat-sifat Maha-Pemurah, lembut, welas, asih, pengampun, pembuka rahmat, pemelihara, adil, bijaksana, mulia, dll. Singkatnya, saya menemukan segudang “feminitas” di dalamnya, melebihi aspek “maskulin”-Nya.
Saya sebenarnya tak benar-benar tahu, apa yang sedang tampil di dunia hari ini. Yang jelas, banyak media memberitakan perang dan kekerasan, bahkan mengatas-namakan agama juga ras. Sungguh cara-cara yang “maskulin”. Saya sungguh menyukai metafor ini, “Di saat para lelaki bersorak usai kemenangan perang, para Wanita sebaliknya menangisi kematian para putera-putera yang mereka besarkan dengan kasih-sayang.”
Saya juga, sekali lagi, tak tahu apakah Ashin Wirathu—biarawan Budha Burma penghasut kebencian etnis-agama di Myanmar atas sekelompok muslim etnis Rohingya yang beritanya beredar hari-hari kemarin—bersepakat dengan saya. Tapi, banyak media membenarkan, jika ia tak keberatan disebut “Bin Laden-nya Burma”. Ia, katanya terlibat dalam “Gerakan 969” yang menyerukan pemutusan bisnis dan pernikahan dengan Muslim Burma di tahun 2001, juga pemindahan etnis Rohingya di “negeri ketiga”. Ia tidak sendiri, kabarnya 2600 biarawan Budha juga ribuan pengagum di media sosial mendukungnya. Setelah masa pemenjaraannya (2003-2010), Wiratu dibebaskan. Sejak itu, ia sering disebut-sebut sebagai dalang pemicu kerusuhan, pembunuhan, penjarahan, dan pengusiran Muslim Rohingya pada juni 2013, yang menewakan 200 orang, dan lebih dari 100.000 muslim Rohingya terusir. “Mungkin anda bisa hidup dengan kebaikan dan cinta, tapi anda tidak akan bisa tidur di samping ‘anjing gila’,” katanya.
Dari Wirathu kita belajar bahwa (kepicikan) agama bisa bertaut dengan nasionalisme juga “maskulinitas”. Mungkin saya juga terlalu menyederhanakan dan mengabaikan latar sejarah mereka. Tapi yang jelas, tidak kurang beberapa biarawan Budha lain mengecam praktik “maskulinitas” Wirathu yang bertentangan dengan ajaran Budha. Mungkin perkaranya bukan semata agama tapi juga kekhawatiran. Ya kekhawatiran, bahwa “negeri Buddist” akan berubah menjadi “negeri Muslim”. Ketakutan yang dihadapi dengan ketakutan, kata Aung San Kyi. Pada akhirnya, lingkaran kekerasan terus berlangsung.
Saya juga, kali kedua, tak benar-benar tahu bagaimana lingkar kekerasan dan “maskulinitas” ini terus beroperasi. Dalam soal Wirathu, Ia sering menyatakan ia tidak ingin menikah. “Saya tidak ingin bersanding dengan wanita,” katanya singkat dalam sebuah wawancara dimuat di The Guardian. Masa pahit dan kelamnya saat kecil, memaksanya berhenti sekolah dan segera bergabung menjadi biarawan Budhist di umur 14.
Apakah “feminitas” semakin menjauhi dirinya, saya juga tak benar-benar paham. Ini mirip, jika kita cermati, bagaimana para fundamentalis Taliban dalam memperlakukan wanita. Obyek pertama sasaran pertama penerapan hukum “syari’ah”-nya adalah wanita. Para wanita menjadi sasaran cambuk atas praktik perzinaan, dieksklusi dari ruang publik, ditertibkan karena dianggap sumber mala, hingga mereka musti dibungkus ke-“persona”-an dengan burqah. Mungkin pengkaitan ini agak ngawur dan serampangan. Tapi yang bisa saya amini, bahwa tampilan praktik beragama kita hari ini memang benar-benar maskulin. Bahkan Tuhan pun dibayangkan semata-mata dari sifat “maskulin”-Nya: penghukum juga pemberi azab bagi yang melanggar perintahnya.
Jika Tuhan, oleh para guru suci kita dulu, sering “ditemukan” dan “didekati” dengan rasa cinta (baca: mahabbah), kenapa itu tidak sedikitpun menggugah kita. Tuhan benar-benar telah kita tempeli baju Keagungan dan Keperkasaan , sehingga melupakan sifat “Keindahan”-Nya. Kita seru sekeras-kerasnya Ke-“Jalal”-an serta ke-“Qahar”-an Nya, sembari menyingkirkan ke-“Jamal”-an Nya. Apakah Tuhan benar-benar telah menjadi “laki-laki”?
Saya jadi ingat, pernyataan ekskatik Ibn Arabi bahwa “perempuan” adalah epifani-Nya (baca: tajalli) paling sempurna di bumi ini. Karena, tanpa wanita, kita benar-benar tak punya preseden untuk mengalami keindahan “wajah”-Nya. Mungkin ini signifikansi pernyataan Nabi kita ihwal tiga hal yang paling ia cintai: kesejukan mata saat sholat, parfum, dan wanita—yang sering dibelokkan oleh para orientalis Islam awal bahwa nabi seorang womenizer. Tapi tidakkah—jangan-jangan—pengertian saya tentang “maskulinitas” juga sebenarnya kurang tepat.
Dulu, syahdan seorang Yogini keluar dari pertapaannya melewati kerumunan orang di sebuah pasar dengan bertelanjang. Orang-orang ribut dan mencercanya. Namun, saat sang pertapa perempuan tersebut melewati seorang Wali-Faqir yang dimuliakan di India, segera ia buru-buru menutupi tubuh dengan pakaiannya.
Ada cerita serupa yang terjadi di Baghdad. Di masa Mansyur Al Hallaj, sufi syahid itu, kerumunan orang gempar karena melihat seorang wanita yang dikenal salihah di kota itu berjalan di tengah-tengah orang ramai dengan membuka burqa-nya. Seseorang memberanikan diri menanyakannya: “Kenapa kau membuka kerudungmu?” Sang wanita menjawab: “Saya tak lagi melihat ‘laki-laki’ di kota ini.” “Seandainya tak ada Mansyur, maka saya akan membuang seluruh kain yang menempel di tubuh ini.”
Saya semakin bingung. Apalagi harus menjawab bagaimana Tuhan seharusnya “didekati”, lewat bakti-ketaatan, pengetahuan, atau cinta? Lewat jalan “maskulin” atau “feminin”? Namun, saya jadi sedikit tahu, bahwa untuk menyebut kata ganti dia (laki-laki), Qur’an masih memberi ruang pada kata “dzat” (yang memang menunjuk pada Allah), yang kita tahu itu adalah bentuk kata “feminin” dalam tata bahasa Arab. Jadi apakah saya sudah menjawab pertanyaan di muka. Saya kira belum.
Karangduren, 22 mei 2015.