Hikayat Masjid Saka Tunggal
seorang kuncen
membaca riwayat
totem:
“bocah-bocah
yang menanam sujud
di batinmu tiada
lagi mentakzimi laku
di kesunyianmu”
terketuklah salam bagimu Saka Guru
tegak tiang kokoh nan shaleh
mencipta keajaiban
telah tertabur ketertiban
di langit yang tersangga dengan alif-mu
empat panjang sayap mengibar
dibentangkan menaung risau
bertumpah ruah pada hingar
angin menggahar muruahmu
calung adalah bubung
kesaksian bahwa sebelum
kanjeng walisanga
berkiprah tentang agamamu
nafs-mu telah melahirkan
kawanan kera berambut perak
yang diasuh cakrawala
dunung ing Pangeran
di pohonan rindang
burung-burung bersembahyang
tubuhku yang masih
termangu hanya terpukau
memandang langit
dan bumi terpaut
oleh satu tiang sabda
di hutan mentaok ini
bocah-bocah yang
berubah menjadi kera
membuat sarang
untuk senantiasa pulang
prasasti meriwayatkan
kerisauan yang tertanam
di masa silammu
hutan membuatku merimba
daun-daun tak bersusun
kembang-kembang mekar
dan wangian tanah telah tertebar
oleh gerimis yang liar
telah kuhirup udara fitrah
sebelum orang-orang menjaroh arwah:
sejarah mengajariku ura ura
sebagai tarekat kau kenakan
udeng hitam sebelum azan
dari empat mata angin
dan persimpangan sana
terdengar riuh oleh ruh dan
orang-orang yang menyunggi
sudut-sudut kiblat:
api, angin, air, dan bumi
menjadi tujuan hidup
mengiringi restu sebelum
ritual ibu menyimpan hidupmu
di gunung windu
bedug dan kenthongan kuna
yang kau tabuh menjadi
pertanda bahwa orang-orang
akan berjalan ke utara
alas kakimu menjadi tabu lepaskanlah
bersama ammarah, lawwamah,
sufiyah, dan mutmainnahmu
dari segala penjuru inderamu
saat langit meminta sayapmu
membentangkan cahaya:
mengepaklah doa-doa
Cikakak, 2019
~~~
Kareksan Rayyan
‘dang tak dang tak
ning nong ning gung’
bocah kecil menghitung nyawa yang hadir bersama kepulan dupa saat dalang memimpin ritual dan legenda. selepas matahari tenggelam ke dalam matamu, kau pergi sembahyang purnama melewati jalan sunyi berhias kembang melati. anak lanangmu berbaju hitam berselendang batik kawung, kau mengajarinya menabur wangian, tangan menyembah di dada, sebelum ritual nini mengajarinya mengenal kiblat yang suri.
doamu kandar lewat kemenyan: aroma sakau sekujur tembakau menyembunyikan risau di dadamu, dari pohonnya yang tinggi berguguran sepi, burung-burung yang bertengger di reranting umurmu berkicau tentang moyang dan kelahiran kasih sayang. jika kau percaya: di rindang daunan itu arwah mereka singgah di antara rayyan dan wangian.
seorang romo menutup langit dengan tabir waktu. kau akan memulai pertunjukkan sebagai dalang: akulah wayangnya! maka orang-orang begadang menyusun malam sembari menggelar hatinya yang jembar untuk menerima wejangan jiwa yang akbar. para biyung mengantar anaknya menuju malam lewat tangga nada gending dan kidungan:
‘tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung
tak lelo lelo lelo ledung’
orang-orang yang setia padamu mengucap sepasang kalimat paling sakral sebelum memasuki pendopo usia tiada kekal: kau boleh duduk di pangkuan malam menyaksikan langit yang menyimpan catatan takdir paling wingit. di seberang punden itu, gong yang berseteru dengan suaramu menjadi tanda bahwa malam tengah dipentaskan, tubuhku dimainkan sesuai nasib di garis tanganmu, dan orang-orang yang melempar wajahnya ke arahmu telah melihat sesosok cahaya. maka mulailah lantunan kidungmu mengajariku makna cinta yang satu: gamelan kembali merayakan keselamatan ruh moyang, suara sinden semakin sakral mengingatkanmu pada segenap waktu yang berdetak di jantung biyung.
tangan nayaga begitu santun menabuh rindu sembari mengiringi tembang laku dan kepak sayap angin menggugurkan bulu-bulu malam pengibas banyak air mata dan luka dari orang-orang yang dikutuk cerita dan dikorbankan demi legenda yang dicipta untuk merenungi semesta. kini, sebagai jiwa yang kau dalangi, aku menari-nari serupa api untuk membakar kantuk. namun dingin adalah isyarat yang muskil ditangkal: tubuhmu mulai susut dari suasana, pun gemintang di langit seberang turut menyaksikan orang-orang pulang membawa lengang di dalam batinnya.
Banyumas, 2019