Ritus Ziarah
Dalam pengamatan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, praktik ziarah di Pulau Jawa memainkan peran penting dalam dua cakupan, yaitu: kunjungan ke makam-makam, sekaligus peranannya di kehidupan spiritual masyarakat. Henri Chambert dan Claude Guillot beranggapan bahwa praktik ziarah di Jawa terjadi ketika datangnya agama Islam. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa memiliki kecenderungan mengeramatkan makam para penyebar agama Islam, seiring dengan terus berkembangnya tipologi (ortodoks, reformis, dan santri) dalam mempraktikkan ziarah. Di antara perkembangan tipologi itu ialah melengkapi makam-makam dengan hiasan dekoratif serta bangunan arsitektural.
Kecenderungan tersebut menjadikan praktik ziarah di Jawa khususnya, menjadi hidup dan berkembang pesat. Konon, jumlah geneaologi makam keramat di Jawa mencapai puluhan ribu dan relatif terpetakan dengan baik. Ada yang disebut kuburan keramat desa, makam wali, makam tokoh-tokoh historis, hingga makam tokoh rekaan dan petilasan.[1] Namun, pesatnya praktik ziarah tersebut belum diimbangi penelaahan para pegiatnya untuk membuat catatan khusus tentang perjalanannya. Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat praktik ziarah yang begitu lama berakar di Jawa dan cukup merata di berbagai belahan dunia Islam.
Salah satu pegiat ziarah yang telah memberikan teladan mengenai pembuatan catatan khusus perjalanannya ialah Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, seorang ulama mazhab Hanafi yang lahir pada tahun 1050 H/ 1641 M, di Damaskus, Suriah. Syekh Abdul Ghani menuliskan semua perjalanan ziarah selama 45 hari dalam buku yang berjudul “Al-Hadhrah al Unsiyyah Fi Ar-Rihlah Al-Qudsiyyah,” (merupakan catatan anjangsana sang Syekh asal Damaskus ke sejumlah makam Nabi, Wali dan orang-orang saleh di daerah Palestina). Buku Rihlah Syekh Abdul Ghani mendapat apresiasi oleh Henri Chambert Loir, sebagaimana dalam prakata buku “Ziarah dan Wali di Dunia Islam” mengatakan bahwa Syekh Abdul Ghani mengunjungi tidak kurang dari 128 makam Wali dan Nabi, jarak rata-rata satu makam ke makam berikutnya sekitar dua kilometer. Ia menulis catatan perjalanannya dengan rinci, detail, serta menjelaskan semua daerah yang dikunjungi dalam bentuk nazam (puisi) dan natsar (prosa).
Melalui Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, saya mencoba berikhtiar meneladaninya lewat perjalanan ziarah dengan mengunjungi satu makam pilihan, yakni makam Syekh Nur Kalam. Alasannya sebagai ikhtiar sublimasi tokoh-tokoh yang cenderung terpinggirkan karena dianggap kecil. Makam Syekh Nur Kalam terletak di Dusun Brobot, Desa Tambaksogra, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Saya mengenal makam Syekh Nur Kalam dari proses penelusuran tanpa sengaja di internet tentang makam-makam ulama di Banyumas, salah satu makam yang membuat saya penasaran ialah Makam Syekh Nur Kalam. Rasa penasaran tersebut mendorong saya untuk menjelangi ke lokasi makamnya. Ikhtiar ini saya sesapi dari kisah Denys Lombard yang meriwayatkan makam tungkus lumus, yaitu makam Kiai Telingsing di Kudus. Kiai Telingsing adalah seorang tukang kayu keturunan Tionghoa. Nama aslinya The Ling Sing, seorang ulama keturunan Tionghoa yang ikut membantu Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus.
Bagi peziarah yang ingin mengunjungi makam Syekh Nur Kalam, jalan yang paling mudah bisa melalui Jalan Raya Tambaksogra-Sumbang. Tepat di Dusun Brobot, Gang Hidayah 2, kompleks makam Syekh Nur Kalam. Bagi pengunjung pertama, lebih baik menggunakan Google Maps bila ingin sampai ke makam tersebut. Pasalnya, tidak ada papan nama atau petunjuk jalan yang memberi informasi letak makam tersebut. Kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup senyap dari peziarah, meskipun terletak di tepi jalan dan dekat dengan pemukiman warga. Mungkin karena kompleks makam Syekh Nur Kalam terletak di pemukiman kaum fundamentalis Islam (baca: muslim yang tidak suka pada ritus ziarah). Kiranya mereka menuduh para peziarah tidak lebih dari perbuatan syirik. Agaknya tuduhan mereka berlebihan, karena pada galibnya para peziarah memohon kepada Allah, bukan langsung dialamatkan kepada wali. Pengejawantahan itu sebagaimana pengamatan Garcin de Tassy, dalam ungkapannya:
“Fatihah tidak dialamatkan langsung kepada Wali: ini dapat dibandingkan dengan doa “collecte” yang diucapkan pada akhir missa untuk menghormati para santo, yaitu doa tidak pernah dialamatkan langsung kepada Santo. Mereka sesungguhnya tidak pernah menjadi tujuan langsung dari doa (yang dipanjatkan ke Tuhan). Walaupun orang Islam di India memberikan penghormatan yang amat besar kepada Wali, tidaklah dapat dikatakan bahwa doa sebenarnya ditujukan kepada Wali (Garcin de Tassy, 1831: 26).”
Setibanya di lokasi makam, saya bersegera mengambil air wudhu dan berziarah. Sesaat saya sempat mencari-cari, adakah sumur tua atau sumber air peninggalan Syekh Nur Kalam? sebagaimana pada kompleks makam lainnya yang memiliki peninggalan keramat. Namun, saya tidak menjumpai. Kompleks makam Syekh Nur Kalam dibangun dengan gaya arsitektur sederhana pada umumnya, yaitu makam dengan bangunan persegi yang dicat kapur putih, beratap genteng, terdiri atas satu ruangan, dan terdapat sebuah kelambu (tirai) yang menyelubung di atas nisan. Dan beberapa, untuk wali-wali yang “beruntung”, terdapat sebuah kubah yang dibuat ala kadarnya: terbuka untuk siapa saja, hingga menjadi tempat tidur bagi peziarah yang setia. Namun, bangunan persegi kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup minimalis, hanya mampu memuat 8 orang saja. Meski begitu, peziarah tetap dapat mencapai ekses-ekses yang mendebarkan.
Pada umumnya, kompleks makam keramat acapkali bersifat eksklusif, terjaga dengan pintu yang terkunci. Sebaliknya, kompleks makam Syekh Nur Kalam bersifat inklusif: pintu tidak terkunci dan peziarah diberi kebebasan untuk masuk. Dengan dorongan kesopanan spiritual, saya masuk dengan membungkukkan badan, lantas memberi salam pada sang wali: “Salamullah Ya Saadah…. ila akhirihi”.[2] Di dekat Makam Syekh Nur Kalam, saya lantunkan baris-baris doa. Dalam ekses geletar angin yang hening, pikiran imajinatif saya bergelayut pada sang Syekh: menghayati kebesaran, kemuliaan, kebaikan, keluhuran, hingga kekeramatan. Imaji ini seperti pada puisi “Makam Syekh Mahfudz Gurang-Garing” (2022) karya A. Warits Rovi:
“Cahaya sore mewakili ucap bibirmu, menjawab salamku
dalam geletar angin menjahit hening di senyap kening
Di dekat makammu, dipayungi lebat daun bidara
doaku menakik diam dada dengan baris Basmalah
Dalam kegaiban, aku yakin kau sedang mendengarkan
tetabuhan jiwaku yang kadang gendang, kadang gamelan
Berbunyi membentuk orkestrasi suara guguran melati
di kedalaman diri yang dijarum sepi, dirajam perih
Kutatap epitafmu, damai memeluk batu penantang waktu
mengurai asma dan cerita dari perkamen hari lalu yang rahasia”
Apapun bentuk praktik ziarah, hakikatnya adalah prinsip pertukaran antara peziarah dan Wali: permohonan (thalab), penyerahan (‘ata), pemberian (zyara), pertukaran kata, pertukaran material dan spiritual. Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan sosok penting dan terhormat. Praktik ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahasa sehari-hari, kata ini digunakan dalam ungkapan “pergi menemui seseorang yang dipertuan.” Dalam pengertian yang khusus, istilah ziarah memiliki makna melawat makam. Ziarah merupakan suatu rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci dan berdoa. Rentetan pertukaran lain yang berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling membantu, berbagi makanan), membuat ziarah menjadi khidmat.
Prasyarat mutlak dalam praktik ziarah adalah kesucian batiniah, atau disebut sebagai niat. Para “Wali” hanyalah salah satu perantara agar bisa mencapai Allah. Pengejawantahan niat ditunjukan oleh kesungguhan pemohon dan kesediaannya untuk tunduk pada sosok yang dimintai bantuan dan berkah. Wujud konkret dari sikap itu adalah tindakan fisik yang menunjukkan kerendahan hati, yakni menyilangkan tangan dan menundukkan kepala di depan makam sang Wali seraya mengucapkan kalimat taslim (kepasrahan).
Soal pertanyaan mengapa seorang mukmin tidak langsung meminta kepada Allah, malah menghadap Wali dan menghadap ke makamnya masih menjadi pertanyaan bagi kaum fundamentalis Islam. Paham perantaraan atau wasilah sangat teguh dipegang oleh kaum tradisionalis Islam. Firman Allah dalam al-Qur’an (2:186), “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kaum tradisionalis Islam lebih memilih memohon kepada Allah melalui perantara sosok saleh atau Wali. Dengan demikian, makam Wali merupakan tempat suci sekunder dan kurang sempurna, namun dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat: hasrat memiliki akses yang nyata pada Allah, kesulitan membelakangi masa lalu dan melepaskan diri dari konsep-konsep lama, keperluan syafaat/berkah akibat rasa kecil hati atau tidak berdaya. Kaum fundamentalis Islam atau kaum terdidik sekuler sangat menentang ritus ziarah, hal itu menunjukkan betapa orang yang bertumpu berpikir dengan pola abstraksi akal cenderung meremehkan mereka yang sebaliknya menggunakan instrumen rasa.
Mencari Juru Kisah dan Asal-Usul Syekh Nur Kalam
Seusai menziarahi makam Syekh Nur Kalam, saya dan kawan saya, Zaenul Anwar, mencoba mencari orang yang bisa kami ajak bercerita tentang asal-usul makam tersebut. Kami ditunjukkan oleh warga sekitar supaya bertemu Bapak Edi. Namun, setelah mengutarakan maksud kedatangan kami yang ingin menggalurkan Syekh Nur Kalam, kami disarankan bertemu Mbah Arjosukarto. Sebab menurutnya, Mbah Arjosukarto yang lebih mengerti perihal sejarah dan seluk-beluk Syekh Nur Kalam. Lalu saya mengikuti saran itu. Jarak rumah Bapak Edi dengan Mbah Arjosukarto hanya seufuk mata. Kami menyusuri jalan desa sambil melepas pandang ke ladang-ladang dan memandang Ancala Slamet.

Sumber: Dokumen pribadi
Sebentar saja kami sampai di rumah Mbah Arjosukarto. Ketika kami datang, lelaki tua itu tengah duduk santai di pelataran rumahnya yang luas. Saya bergegas menghampiri untuk bersalaman dan memperkenalkan diri lebih lanjut. Mbah Arjosukarto tersenyum sumringah dan lekas bangkit pergi ke dalam rumah. Agaknya sang juru kisah tergugah dengan kedatangan kami yang menaruh minat pada jejak Wali, sekonyong-konyong ia mencarikan manuskrip perihal susur galur Syekh Nur Kalam. Manuskrip itu rupanya silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam. Usut punya usut, Mbah Arjosukarto merupakan keturunan ke-6 (udeg-udeg) dari Syekh Nur Kalam. Sambil menyodorkan kertas (genealogical chart) silsilah nasab, sang juru kisah bertanya kepada kami perihal siapa kami? Apakah kalian masih memiliki ikatan darah dengan Syekh Nur Kalam? Dan kami hanya tersenyum sentimentil. Lalu berceritalah Mbah Arjosukarto.
Menurutnya, Syekh Nur Kalam adalah seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di desa ini. Berdasarkan silsilah legendaris yang dimiliki oleh Mbah Arjosukarto, Syekh Nur Kalam atau Kyai Munada Muhammad Khasan merupakan keturunan dari Syekh Nur Ali, seorang ulama asal kerajaan Mataram. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17 di keraton Mataram, Yogyakarta. Ia sering melakukan kelana (lelono) dalam rangka menyebarkan agama Islam, hingga akhirnya ia bertempat tinggal di Desa Tambaksogra, Sumbang, Kabupaten Banyumas. Konon, ia merupakan salah satu bagian dari laskar perang sabil Pangeran Diponegoro. Perihal waktu lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, diperkirakan meninggal sekitar abad ke-18. Dalam berbagai legenda, kepribadiannya diliputi berbagai suasana ajaib dan karomah.
Biografi di atas boleh dianggap sangat singkat, namun itulah data terlengkap yang ada tentang salah seorang wali. Tidak ada sumber sejarah satupun tentang Syekh Nur Kalam, bahkan tidak ada pula sumber rujukan hagiografis. Hanya ada sumber tradisi lisan dan kerangka silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam yang kiranya bisa dianggap otoritatif. Memang tidak dapat dipungkiri, jika sumber sejarah sangat langka kita jumpai dalam bentuk tulisan. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat literasi masyarakatnya, dalam penelitian Rijklof van Goens dikatakan bahwa di antara tahun 1648-1654, masyarakat Jawa mampu membaca dan menulis. Itu pun hanya dimiliki oleh orang-orang yang hidup di lingkungan Keraton. Barulah pada abad ke-19 kemampuan baca-menulis bisa didapatkan secara lebih meluas. (lihat Anthony Reid “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, 2014: 254).

Sumber: Dokumen pribadi

Sumber: Dokumen pribadi
Sifat, Bentuk, dan Fungsi Kewalian
Istilah Wali dengan kata jamaknya Awliya, dalam arti harfiah semacam kelompok elite spiritual. Kata dasar Wali memiliki kata dasar yang berarti “kedekatan”, bila meminjam istilah dari Michel Chodkiewicz: Wali adalah “Friends of God” (mereka yang mencintai dan dicintai oleh Allah).Bagi kaum tradisionalis Islam, percaya bahwa Wali boleh dikatakan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidakhadiran”: mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini, karena mereka lepas dari maut, dan tidak terikat lagi pada waktu. Terdapat suatu perkembangan fenomena Wali yang hingga kini belum diteliti secara baik, dan tampaknya pada setiap periode historis terdapat tipe Wali yang berbeda. Acapkali Wali tidak lebih dari suatu nama yang tertulis pada pintu masuk makamnya, tidak diketahui kapan mereka hidup dan siapa mereka sebenarnya. Jika bangunan persegi kuburannya runtuh, lenyaplah sisa terakhir dari keberadaan mereka. Namun, ada juga Wali yang merupakan tokoh historis dengan asal-usul yang dapat ditelusuri.
Sosok Syekh Nur Kalam merupakan sosok Wali yang dapat ditulis dengan pendekatan hagiologi (ilmu Wali). Syekh Nur Kalam merupakan tipe Wali pelindung dusun/desa, hal ini karena dari sang Wali lah pemberian dusun/desa tersebut disematkan, yakni “Dusun Brobot”. Konon, penamaan desa Brobot berasal lantaran kawasan tersebut sering terjadi praktik genosida (pembantaian) pribumi oleh penjajah Belanda. Kemudian di kawasan itu terdengar desing anak bedil yang beruntun, yang dalam lingua-franca mereka berbunyi: “Brobot!!!…Brobot!!!”. Jadilah dusun itu diberi nama “Dusun Brobot”. Menurut Mbah Sarno, sang Wali lah yang menumpas kebengisan kapir Belanda sekaligus meneroka kawasan tersebut.
Tempat dan Waktu Ziarah
Perangai keagamaan di makam-makam juga menarik untuk diamati. Ada berbagai varian ritus ziarah di berbagai dunia Islam; mulai dari waktu ziarah, prosesi ziarah, dan segala ubo rampenya. Di Indonesia, pengunjung makam tidak terlalu peduli pada pada waktu apa mereka berziarah. Namun, ada beberapa waktu yang menjadikan tempat ziarah selalu ramai, yakni: pada bulan Rajab; Sadran; dan Maulud. Pada prosesi ziarah, para peziarah menunjukan sikap yang amat beragam: ada yang berdoa dengan lantang atau justru berdiam diri; ada yang duduk di dekat batu nisan; ada yang menyentuh dan memegang pagar. Lawatan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa pun.
Namun, sebagaimana pengamatan F. de Jong (1976), para wali seolah-olah mempunyai hari khusus untuk menerima tamu. Seperti di Mesir: makam Sayyidah Nafisah (gurunya Imam Syafi’i) diziarahi pada hari Ahad, sedangkan Imam Syafi’I pada hari Jumat. Konon, makam Syekh Nur Kalam memiliki hari yang disukai oleh sang wali, yakni: hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Bagi peziarah yang beruntung mendapat “berkah wali”, sang wali dapat menampakan diri dihadapannya.
Karomah Syekh Nur Kalam
Seperti galibnya Wali, ada berbagai hal-hal ikonik (karamah) yang melekat pada sosok Syekh Nur Kalam. Dituturkan langsung dari Mbah Arjosukarto, berbagai kisah anekdot Syekh Nur Kalam, di antaranya: Pertama, ia memiliki semacam hal ikonik berupa “Ajian Bolo Sewu”, yakni dapat memperbanyak wujud. Konon, hal itu pernah terjadi ketika Syekh Nur Kalam tengah berkelana di daerah Pemalang untuk bersyiar Islam, sekonyong-konyong pasukan Belanda menghadang. Syekh Nur Kalam hanya seorang diri melawan pasukan Belanda. Merasa terdesak, Syekh Nur Kalam arkian menampakkan hal ikonik berupa “Ajian Bolosewu” dengan menyebar entah itu kacang ijo, kedelai, kacang tolo, dapat berubah menjadi pasukan perang.
Kisah heroik semacam ini memiliki kesepadanan dengan kisah Mbah Longko, seorang lurah pasukan perang laskar Diponegoro yang ada di Dusun Tiban, Sendangmulyo, Minggir, Sleman, Yogyakarta.[3] Salah satu wujud dari “Ajian Bolosewu” Syekh Nur Kalam terbunuh, dan pasukan Belanda meyakini inilah wujud asli Syekh Nur Kalam. Oleh Bupati Pemalang, jasad tersebut disemayamkan di dekat alun-alun Pemalang. Jadi, sejatinya makam Syekh Nur Kalam yang berada di Pemalang, adalah makam kosong. Tapi saya tak bisa menganggap seperti fenomena “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti pada ulasan bukunya Chambert dan kawan-kawan.
Entah, makam Syekh Nur Kalam di Pemalang masih menyisakan ironisme dan paradoks dalam kesejarahan. Apakah Syekh Nur Kalam yang dalam memori kolektif masyarakat Pemalang adalah sosok yang sama atau justru sosok yang berbeda dengan yang dikisahkan oleh Mbah Arjosukarto, hal itu masih menjadi misteri. Dalam khazanah keislaman masyarakat Pemalang, sosok Syekh Nur Kalam adalah Wali yang berperan besar dalam Islamisasi di wilayah Pemalang.[4]
Menurut Mbah Arjosukarto, sosok Syekh Nur Kalam yang ada di Pemalang bisa jadi adalah ayah dari Syekh Nur Kalam, yakni Syekh Nur Ali. Konon, ia juga kerap disebut Syekh Nur Kalam. Fenomena makam kosong menjadi penanda dari popularitas dari seorang Wali. Dalam amatan Catherine Mayeur Jaouen, bahwa Wali-wali yang popular acap mempunyai beberapa makam kosong (tabut) di beberapa tempat: di pemakaman Aswan yang terkenal itu terdapat makam kosong berbagai Wali, Badawi (yang sebenarnya dimakamkan di Tanta, Afrika Timur). Di Indonesia seperti Mbah Sholeh, tukang sapu Masjid Ampel cum santri Sunan Ampel, yang makamnya banyak di beberapa tempat. Makam-makam kosong tersebut memungkinkan bagi peziarah sebagai monumen sakral kehadiran kesucian yang setara dengan makam aslinya. Kedua, hal ikonik (keramat) dari Syekh Nur Kalam yaitu setiap Jum’at ia berjumatan di tanah Makkah.
Keramat Wali dan Sakralitas Makkah
Anekdot tentang kota Makkah acap menyelimuti berbagai orang-orang saleh. Salah satu padanan kisah Jumatan di Makkah sebagaimana dicatat oleh Martin van Bruinessen (2015: 5-6), perihal cerita sebuah lorong gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan, Jawa Barat), lokasi pusat persebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa. Menurut penjelasan juru kunci setempat, konon, gua tersebut setiap Jumat dilalui Syekh Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah. Ada pula kisah Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong, santri kinasih Sunan Ampel yang dapat pergi ke Makkah lewat liang kuburan. Barangkali satu-dua kisah ajaib yang melingkupi sosok-sosok linuwih ini sebagian memang benar terjadi, namun sebagian yang lain ada yang sengaja dibentuk dan dimitoskan oleh komunitas masyarakat tertentu.
Khusus mengenai kisah Jumatan di Makkah, kemungkinan patron kisahnya telah menyebar luas ke seluruh penjuru Nusantara sejak lama, seturut dengan proses penyebaran Islam di tanah Jawa, dan lebih luasnya Nusantara. Berbagai anekdot kota Makkah menunjukkan betapa sakralnya kota itu. Di tanah Makkah terdapat bangunan paling sakral dalam khazanah Islam, yakni Ka’bah. Saya berspekulasi bahwa, anekdot tersebut mencuatkan sebuah pertanyaan bukankah kesakralan dekat dengan hal-hal ajaib? Sebagaimana kata Eliade, bahwa setiap aktivitas yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tertentu merupakan aktivitas ritual (sakral). Sebaliknya, setiap aktivitas atau kegiatan yang tidak memiliki model untuk dicontoh adalah bagian dari aktivitas profan. Dengan begitu, aktivitas profan adalah aktivitas yang tidak memiliki makna sakral.
Bahkan, obyek atau perilaku dikatakan nyata hanya bila perilaku tersebut meniru atau mengulangi arketipe. Realitas diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memiliki model untuk ditiru, dengan sendirinya menjadi tidak bermakna, sebab tidak memiliki realitas (Eliade, 2002: hlm 35). Agaknya anekdot tentang salat jumat di Mekkah adalah amsal untuk mengembangkan berbagai tradisi/kearifan warisan pengetahuan awal. Tapi, kepingan-kepingan cerita yang beredar di tengah masyarakat pada tahap-tahap selanjutnya, sebagiannya belum tentu sungguh-sungguh terjadi (nyata): jikapun terjadi, bisa jadi masuk wilayah metafisis. Sebuah wilayah gaib yang hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu.
Pengisahan Mbah Arjosukarto ihwal makam Syekh Nur Kalam sangat menarik. Meskipun saya agak getir, karena tidak ada benda atau manuskrip yang mengisahkan Syekh Nur Kalam. Hanya ada silsilah nasab (genealogical chart) dari sang Wali. Tradisi literasi masyarakat kita yang lebih mengandalkan lisan daripada tulisan, kerap tidak berlanjut ketika juru kisah pergi menghadap Sang Khalik. Akibatnya, kisah dan sejarah makam keramat pun tamat atau menjadi paradoks. Salah satu usaha untuk melanggengkan dan melestarikan ingatan makam keramat tersebut, ialah dengan menuliskannya.
Khusushon ila Syaikhina Mbah Wali Nur Kalam, al-Fatihah…..
Aamin. Wallahu a’alam.
[1] Lihat, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333, Komunitas Bambu, Depok.
[2] Lihat kitab Sabil ash Shalihin Fi Tartib Ziyarah al-Qubur – anggitan Ust. Husin Nabil Assegaf.
[3] Lihat di https://www.harianmerapi.com/kearifan/pr-40447535/sisasisa-laskar-diponegoro-1-mbah-longko-punya-ajian-bala-sewu.
[4] Sejarah singkatnya dapat diakses di https://joglojateng.com/2021/12/03/pesarean-agung-soeronatan-makam-bupati-dan-tokoh-berpengaruh-di-pemalang/
Editor: Moh. Hagie