Menu

Jejak Makam Syekh Nur Kalam

Ritus Ziarah

Dalam pengamatan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, praktik ziarah di Pulau Jawa memainkan peran penting dalam dua cakupan, yaitu: kunjungan ke makam-makam, sekaligus peranannya di kehidupan spiritual masyarakat. Henri Chambert dan Claude Guillot beranggapan bahwa praktik ziarah di Jawa terjadi ketika datangnya agama Islam. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa memiliki kecenderungan mengeramatkan makam para penyebar agama Islam, seiring dengan terus berkembangnya tipologi (ortodoks, reformis, dan santri) dalam mempraktikkan ziarah. Di antara perkembangan tipologi itu ialah melengkapi makam-makam dengan hiasan dekoratif serta bangunan arsitektural.

Kecenderungan tersebut menjadikan praktik ziarah di Jawa khususnya, menjadi hidup dan berkembang pesat. Konon, jumlah geneaologi makam keramat di Jawa mencapai puluhan ribu dan relatif terpetakan dengan baik. Ada yang disebut kuburan keramat desa, makam wali, makam tokoh-tokoh historis, hingga makam tokoh rekaan dan petilasan.[1] Namun, pesatnya praktik ziarah tersebut belum diimbangi penelaahan para pegiatnya untuk membuat catatan khusus tentang perjalanannya. Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat praktik ziarah yang begitu lama berakar di Jawa dan cukup merata di berbagai belahan dunia Islam.

Salah satu pegiat ziarah yang telah memberikan teladan mengenai pembuatan catatan khusus perjalanannya ialah Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, seorang ulama mazhab Hanafi yang lahir pada tahun 1050 H/ 1641 M, di Damaskus, Suriah. Syekh Abdul Ghani menuliskan semua perjalanan ziarah selama 45 hari dalam buku yang berjudul “Al-Hadhrah al Unsiyyah Fi Ar-Rihlah Al-Qudsiyyah,” (merupakan catatan anjangsana sang Syekh asal Damaskus ke sejumlah makam Nabi, Wali dan orang-orang saleh di daerah Palestina). Buku Rihlah Syekh Abdul Ghani mendapat apresiasi oleh Henri Chambert Loir, sebagaimana dalam prakata buku “Ziarah dan Wali di Dunia Islam” mengatakan bahwa Syekh Abdul Ghani mengunjungi tidak kurang dari 128 makam Wali dan Nabi, jarak rata-rata satu makam ke makam berikutnya sekitar dua kilometer. Ia menulis catatan perjalanannya dengan rinci, detail, serta menjelaskan semua daerah yang dikunjungi dalam bentuk nazam (puisi) dan natsar (prosa).

 Melalui Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, saya mencoba berikhtiar meneladaninya lewat perjalanan ziarah dengan mengunjungi satu makam pilihan, yakni makam Syekh Nur Kalam. Alasannya sebagai ikhtiar sublimasi tokoh-tokoh yang cenderung terpinggirkan karena dianggap kecil. Makam Syekh Nur Kalam terletak di Dusun Brobot, Desa Tambaksogra, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Saya mengenal makam Syekh Nur Kalam dari proses penelusuran tanpa sengaja di internet tentang makam-makam ulama di Banyumas, salah satu makam yang membuat saya penasaran ialah Makam Syekh Nur Kalam. Rasa penasaran tersebut mendorong saya untuk menjelangi ke lokasi makamnya.  Ikhtiar ini saya sesapi dari kisah Denys Lombard yang meriwayatkan makam tungkus lumus, yaitu makam Kiai Telingsing di Kudus. Kiai Telingsing adalah seorang tukang kayu keturunan Tionghoa. Nama aslinya The Ling Sing, seorang ulama keturunan Tionghoa yang ikut membantu Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus.

 Bagi peziarah yang ingin mengunjungi makam Syekh Nur Kalam, jalan yang paling mudah bisa melalui Jalan Raya Tambaksogra-Sumbang. Tepat di Dusun Brobot, Gang Hidayah 2, kompleks makam Syekh Nur Kalam. Bagi pengunjung pertama, lebih baik menggunakan Google Maps bila ingin sampai ke makam tersebut. Pasalnya, tidak ada papan nama atau petunjuk jalan yang memberi informasi letak makam tersebut. Kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup senyap dari peziarah, meskipun terletak di tepi jalan dan dekat dengan pemukiman warga. Mungkin karena kompleks makam Syekh Nur Kalam terletak di pemukiman kaum fundamentalis Islam (baca: muslim yang tidak suka pada ritus ziarah). Kiranya mereka menuduh para peziarah tidak lebih dari perbuatan syirik. Agaknya tuduhan mereka berlebihan, karena pada galibnya para peziarah memohon kepada Allah, bukan langsung dialamatkan kepada wali. Pengejawantahan itu sebagaimana pengamatan Garcin de Tassy, dalam ungkapannya:

“Fatihah tidak dialamatkan langsung kepada Wali: ini dapat dibandingkan dengan doa “collecte” yang diucapkan pada akhir missa untuk menghormati para santo, yaitu doa tidak pernah dialamatkan langsung kepada Santo. Mereka sesungguhnya tidak pernah menjadi tujuan langsung dari doa (yang dipanjatkan ke Tuhan). Walaupun orang Islam di India memberikan penghormatan yang amat besar kepada Wali, tidaklah dapat dikatakan bahwa doa sebenarnya ditujukan kepada Wali (Garcin de Tassy, 1831: 26).”

Setibanya di lokasi makam, saya bersegera mengambil air wudhu dan berziarah. Sesaat saya sempat mencari-cari, adakah sumur tua atau sumber air peninggalan Syekh Nur Kalam? sebagaimana pada kompleks makam lainnya yang memiliki peninggalan keramat. Namun, saya tidak menjumpai. Kompleks makam Syekh Nur Kalam dibangun dengan gaya arsitektur sederhana pada umumnya, yaitu makam dengan bangunan persegi yang dicat kapur putih, beratap genteng, terdiri atas satu ruangan, dan terdapat sebuah kelambu (tirai) yang menyelubung di atas nisan. Dan beberapa, untuk wali-wali yang “beruntung”, terdapat sebuah kubah yang dibuat ala kadarnya: terbuka untuk siapa saja, hingga menjadi tempat tidur bagi peziarah yang setia. Namun, bangunan persegi kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup minimalis, hanya mampu memuat 8 orang saja. Meski begitu, peziarah tetap dapat mencapai ekses-ekses yang mendebarkan.  

Pada umumnya, kompleks makam keramat acapkali bersifat eksklusif, terjaga dengan pintu yang terkunci. Sebaliknya, kompleks makam Syekh Nur Kalam bersifat inklusif: pintu tidak terkunci dan peziarah diberi kebebasan untuk masuk. Dengan dorongan kesopanan spiritual, saya masuk dengan membungkukkan badan, lantas memberi salam pada sang wali: “Salamullah Ya Saadah…. ila akhirihi”.[2] Di dekat Makam Syekh Nur Kalam, saya lantunkan baris-baris doa. Dalam ekses geletar angin yang hening, pikiran imajinatif saya bergelayut pada sang Syekh: menghayati kebesaran, kemuliaan, kebaikan, keluhuran, hingga kekeramatan. Imaji ini seperti pada puisi “Makam Syekh Mahfudz Gurang-Garing” (2022) karya A. Warits Rovi:

“Cahaya sore mewakili ucap bibirmu, menjawab salamku
dalam geletar angin menjahit hening di senyap kening

Di dekat makammu, dipayungi lebat daun bidara
doaku menakik diam dada dengan baris Basmalah

Dalam kegaiban, aku yakin kau sedang mendengarkan
tetabuhan jiwaku yang kadang gendang, kadang gamelan

Berbunyi membentuk orkestrasi suara guguran melati
di kedalaman diri yang dijarum sepi, dirajam perih

Kutatap epitafmu, damai memeluk batu penantang waktu
mengurai asma dan cerita dari perkamen hari lalu yang rahasia”

Apapun bentuk praktik ziarah, hakikatnya adalah prinsip pertukaran antara peziarah dan Wali: permohonan (thalab), penyerahan (‘ata), pemberian (zyara), pertukaran kata, pertukaran material dan spiritual. Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan sosok penting dan terhormat. Praktik ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahasa sehari-hari, kata ini digunakan dalam ungkapan “pergi menemui seseorang yang dipertuan.” Dalam pengertian yang khusus, istilah ziarah memiliki makna melawat makam. Ziarah merupakan suatu rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci dan berdoa. Rentetan pertukaran lain yang berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling membantu, berbagi makanan), membuat ziarah menjadi khidmat.

Prasyarat mutlak dalam praktik ziarah adalah kesucian batiniah, atau disebut sebagai niat. Para “Wali” hanyalah salah satu perantara agar bisa mencapai Allah. Pengejawantahan niat ditunjukan oleh kesungguhan pemohon dan kesediaannya untuk tunduk pada sosok yang dimintai bantuan dan berkah. Wujud konkret dari sikap itu adalah tindakan fisik yang menunjukkan kerendahan hati, yakni menyilangkan tangan dan menundukkan kepala di depan makam sang Wali seraya mengucapkan kalimat taslim (kepasrahan).

Soal pertanyaan mengapa seorang mukmin tidak langsung meminta kepada Allah, malah menghadap Wali dan menghadap ke makamnya masih menjadi pertanyaan bagi kaum fundamentalis Islam. Paham perantaraan atau wasilah sangat teguh dipegang oleh kaum tradisionalis Islam. Firman Allah dalam al-Qur’an (2:186), “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

 Kaum tradisionalis Islam lebih memilih memohon kepada Allah melalui perantara sosok saleh atau Wali.  Dengan demikian, makam Wali merupakan tempat suci sekunder dan kurang sempurna, namun dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat: hasrat memiliki akses yang nyata pada Allah, kesulitan membelakangi masa lalu dan melepaskan diri dari konsep-konsep lama, keperluan syafaat/berkah akibat rasa kecil hati atau tidak berdaya. Kaum fundamentalis Islam atau kaum terdidik sekuler sangat menentang ritus ziarah, hal itu menunjukkan betapa orang yang bertumpu berpikir dengan pola abstraksi akal cenderung meremehkan mereka yang sebaliknya menggunakan instrumen rasa.

Mencari Juru Kisah dan Asal-Usul Syekh Nur Kalam

            Seusai menziarahi makam Syekh Nur Kalam, saya dan kawan saya, Zaenul Anwar, mencoba mencari orang yang bisa kami ajak bercerita tentang asal-usul makam tersebut. Kami ditunjukkan oleh warga sekitar supaya bertemu Bapak Edi. Namun, setelah mengutarakan maksud kedatangan kami yang ingin menggalurkan Syekh Nur Kalam, kami disarankan bertemu Mbah Arjosukarto. Sebab menurutnya, Mbah Arjosukarto yang lebih mengerti perihal sejarah dan seluk-beluk Syekh Nur Kalam. Lalu saya mengikuti saran itu. Jarak rumah Bapak Edi dengan Mbah Arjosukarto hanya seufuk mata. Kami menyusuri jalan desa sambil melepas pandang ke ladang-ladang dan memandang Ancala Slamet.

Foto penulis bersama Mbah Arjosukarto
Sumber: Dokumen pribadi

            Sebentar saja kami sampai di rumah Mbah Arjosukarto. Ketika kami datang, lelaki tua itu tengah duduk santai di pelataran rumahnya yang luas. Saya bergegas menghampiri untuk bersalaman dan memperkenalkan diri lebih lanjut. Mbah Arjosukarto tersenyum sumringah dan lekas bangkit pergi ke dalam rumah. Agaknya sang juru kisah tergugah dengan kedatangan kami yang menaruh minat pada jejak Wali, sekonyong-konyong ia mencarikan manuskrip perihal susur galur Syekh Nur Kalam. Manuskrip itu rupanya silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam. Usut punya usut, Mbah Arjosukarto merupakan keturunan ke-6 (udeg-udeg) dari Syekh Nur Kalam. Sambil menyodorkan kertas (genealogical chart) silsilah nasab, sang juru kisah bertanya kepada kami perihal siapa kami? Apakah kalian masih memiliki ikatan darah dengan Syekh Nur Kalam? Dan kami hanya tersenyum sentimentil. Lalu berceritalah Mbah Arjosukarto.

Menurutnya, Syekh Nur Kalam adalah seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di desa ini. Berdasarkan silsilah legendaris yang dimiliki oleh Mbah Arjosukarto, Syekh Nur Kalam atau Kyai Munada Muhammad Khasan merupakan keturunan dari Syekh Nur Ali, seorang ulama asal kerajaan Mataram. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17 di keraton Mataram, Yogyakarta. Ia sering melakukan kelana (lelono) dalam rangka menyebarkan agama Islam, hingga akhirnya ia bertempat tinggal di Desa Tambaksogra, Sumbang, Kabupaten Banyumas. Konon, ia merupakan salah satu bagian dari laskar perang sabil Pangeran Diponegoro. Perihal waktu lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, diperkirakan meninggal sekitar abad ke-18. Dalam berbagai legenda, kepribadiannya diliputi berbagai suasana ajaib dan karomah.          

Biografi di atas boleh dianggap sangat singkat, namun itulah data terlengkap yang ada tentang salah seorang wali. Tidak ada sumber sejarah satupun tentang Syekh Nur Kalam, bahkan tidak ada pula sumber rujukan hagiografis. Hanya ada sumber tradisi lisan dan kerangka silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam yang kiranya bisa dianggap otoritatif. Memang tidak dapat dipungkiri, jika sumber sejarah sangat langka kita jumpai dalam bentuk tulisan. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat literasi masyarakatnya, dalam penelitian Rijklof van Goens dikatakan bahwa di antara tahun 1648-1654, masyarakat Jawa mampu membaca dan menulis. Itu pun hanya dimiliki oleh orang-orang yang hidup di lingkungan Keraton. Barulah pada abad ke-19 kemampuan baca-menulis bisa didapatkan secara lebih meluas. (lihat Anthony Reid “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, 2014: 254).

Silsilah Nasab Syekh Nur Kalam dari Nabi Adam A.S
Sumber: Dokumen pribadi
Silsilah Nasab Syekh Nur Kalam
Sumber: Dokumen pribadi

Sifat, Bentuk, dan Fungsi Kewalian

            Istilah Wali dengan kata jamaknya Awliya, dalam arti harfiah semacam kelompok elite spiritual. Kata dasar Wali memiliki kata dasar yang berarti “kedekatan”, bila meminjam istilah dari Michel Chodkiewicz: Wali adalah “Friends of God” (mereka yang mencintai dan dicintai oleh Allah).Bagi kaum tradisionalis Islam, percaya bahwa Wali boleh dikatakan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidakhadiran”: mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini, karena mereka lepas dari maut, dan tidak terikat lagi pada waktu. Terdapat suatu perkembangan fenomena Wali yang hingga kini belum diteliti secara baik, dan tampaknya pada setiap periode historis terdapat tipe Wali yang berbeda. Acapkali Wali tidak lebih dari suatu nama yang tertulis pada pintu masuk makamnya, tidak diketahui kapan mereka hidup dan siapa mereka sebenarnya. Jika bangunan persegi kuburannya runtuh, lenyaplah sisa terakhir dari keberadaan mereka. Namun, ada juga Wali yang merupakan tokoh historis dengan asal-usul yang dapat ditelusuri.

            Sosok Syekh Nur Kalam merupakan sosok Wali yang dapat ditulis dengan pendekatan hagiologi (ilmu Wali). Syekh Nur Kalam merupakan tipe Wali pelindung dusun/desa, hal ini karena dari sang Wali lah pemberian dusun/desa tersebut disematkan, yakni “Dusun Brobot”. Konon, penamaan desa Brobot berasal lantaran kawasan tersebut sering terjadi praktik genosida (pembantaian) pribumi oleh penjajah Belanda. Kemudian di kawasan itu terdengar desing anak bedil yang beruntun, yang dalam lingua-franca mereka berbunyi: “Brobot!!!…Brobot!!!”. Jadilah dusun itu diberi nama “Dusun Brobot”. Menurut Mbah Sarno, sang Wali lah yang menumpas kebengisan kapir Belanda sekaligus meneroka kawasan tersebut.

Tempat dan Waktu Ziarah

            Perangai keagamaan di makam-makam juga menarik untuk diamati. Ada berbagai varian ritus ziarah di berbagai dunia Islam; mulai dari waktu ziarah, prosesi ziarah, dan segala ubo rampenya. Di Indonesia, pengunjung makam tidak terlalu peduli pada pada waktu apa mereka berziarah. Namun, ada beberapa waktu yang menjadikan tempat ziarah selalu ramai, yakni: pada bulan Rajab; Sadran; dan Maulud. Pada prosesi ziarah, para peziarah menunjukan sikap yang amat beragam: ada yang berdoa dengan lantang atau justru berdiam diri; ada yang duduk di dekat batu nisan; ada yang menyentuh dan memegang pagar. Lawatan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa pun.

Namun, sebagaimana pengamatan F. de Jong (1976), para wali seolah-olah mempunyai hari khusus untuk menerima tamu. Seperti di Mesir: makam Sayyidah Nafisah (gurunya Imam Syafi’i) diziarahi pada hari Ahad, sedangkan Imam Syafi’I pada hari Jumat. Konon, makam Syekh Nur Kalam memiliki hari yang disukai oleh sang wali, yakni: hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Bagi peziarah yang beruntung mendapat “berkah wali”, sang wali dapat menampakan diri dihadapannya.

Karomah Syekh Nur Kalam

            Seperti galibnya Wali, ada berbagai hal-hal ikonik (karamah) yang melekat pada sosok Syekh Nur Kalam. Dituturkan langsung dari Mbah Arjosukarto, berbagai kisah anekdot Syekh Nur Kalam, di antaranya: Pertama, ia memiliki semacam hal ikonik berupa “Ajian Bolo Sewu”, yakni dapat memperbanyak wujud. Konon, hal itu pernah terjadi ketika Syekh Nur Kalam tengah berkelana di daerah Pemalang untuk bersyiar Islam, sekonyong-konyong pasukan Belanda menghadang. Syekh Nur Kalam hanya seorang diri melawan pasukan Belanda. Merasa terdesak, Syekh Nur Kalam arkian menampakkan hal ikonik berupa “Ajian Bolosewu” dengan menyebar entah itu kacang ijo, kedelai, kacang tolo, dapat berubah menjadi pasukan perang.

 Kisah heroik semacam ini memiliki kesepadanan dengan kisah Mbah Longko, seorang lurah pasukan perang laskar Diponegoro yang ada di Dusun Tiban, Sendangmulyo, Minggir, Sleman, Yogyakarta.[3] Salah satu wujud dari “Ajian Bolosewu” Syekh Nur Kalam terbunuh, dan pasukan Belanda meyakini inilah wujud asli Syekh Nur Kalam. Oleh Bupati Pemalang, jasad tersebut disemayamkan di dekat alun-alun Pemalang. Jadi, sejatinya makam Syekh Nur Kalam yang berada di Pemalang, adalah makam kosong. Tapi saya tak bisa menganggap seperti fenomena “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti pada ulasan bukunya Chambert dan kawan-kawan.

Entah, makam Syekh Nur Kalam di Pemalang masih menyisakan ironisme dan paradoks dalam kesejarahan. Apakah Syekh Nur Kalam yang dalam memori kolektif masyarakat Pemalang adalah sosok yang sama atau justru sosok yang berbeda dengan yang dikisahkan oleh Mbah Arjosukarto, hal itu masih menjadi misteri. Dalam khazanah keislaman masyarakat Pemalang, sosok Syekh Nur Kalam adalah Wali yang berperan besar dalam Islamisasi di wilayah Pemalang.[4]

Menurut Mbah Arjosukarto, sosok Syekh Nur Kalam yang ada di Pemalang bisa jadi adalah ayah dari Syekh Nur Kalam, yakni Syekh Nur Ali. Konon, ia juga kerap disebut Syekh Nur Kalam. Fenomena makam kosong menjadi penanda dari popularitas dari seorang Wali. Dalam amatan Catherine Mayeur Jaouen, bahwa Wali-wali yang popular acap mempunyai beberapa makam kosong (tabut) di beberapa tempat: di pemakaman Aswan yang terkenal itu terdapat makam kosong berbagai Wali, Badawi (yang sebenarnya dimakamkan di Tanta, Afrika Timur). Di Indonesia seperti Mbah Sholeh, tukang sapu Masjid Ampel cum santri Sunan Ampel, yang makamnya banyak di beberapa tempat. Makam-makam kosong tersebut memungkinkan bagi peziarah sebagai monumen sakral kehadiran kesucian yang setara dengan makam aslinya. Kedua, hal ikonik (keramat) dari Syekh Nur Kalam yaitu setiap Jum’at ia berjumatan di tanah Makkah.

Keramat Wali dan Sakralitas Makkah

Anekdot tentang kota Makkah acap menyelimuti berbagai orang-orang saleh. Salah satu padanan kisah Jumatan di Makkah  sebagaimana dicatat oleh Martin van Bruinessen (2015: 5-6), perihal cerita sebuah lorong gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan, Jawa Barat), lokasi pusat persebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa. Menurut penjelasan juru kunci setempat, konon, gua tersebut setiap Jumat dilalui Syekh Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah. Ada pula kisah Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong, santri kinasih Sunan Ampel yang dapat pergi ke Makkah lewat liang kuburan. Barangkali satu-dua kisah ajaib yang melingkupi sosok-sosok linuwih ini sebagian memang benar terjadi, namun sebagian yang lain ada yang sengaja dibentuk dan dimitoskan oleh komunitas masyarakat tertentu.

Khusus mengenai kisah Jumatan di Makkah, kemungkinan patron kisahnya telah menyebar luas ke seluruh penjuru Nusantara sejak lama, seturut dengan proses penyebaran Islam di tanah Jawa, dan lebih luasnya Nusantara. Berbagai anekdot kota Makkah menunjukkan betapa sakralnya kota itu. Di tanah Makkah terdapat bangunan paling sakral dalam khazanah Islam, yakni Ka’bah. Saya berspekulasi bahwa, anekdot tersebut mencuatkan sebuah pertanyaan bukankah kesakralan dekat dengan hal-hal ajaib? Sebagaimana kata Eliade, bahwa setiap aktivitas yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tertentu merupakan aktivitas ritual (sakral). Sebaliknya, setiap aktivitas atau kegiatan yang tidak memiliki model untuk dicontoh adalah bagian dari aktivitas profan. Dengan begitu, aktivitas profan adalah aktivitas yang tidak memiliki makna sakral.

Bahkan, obyek atau perilaku dikatakan nyata hanya bila perilaku tersebut meniru atau mengulangi arketipe. Realitas diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memiliki model untuk ditiru, dengan sendirinya menjadi tidak bermakna, sebab tidak memiliki realitas (Eliade, 2002: hlm 35).  Agaknya anekdot tentang salat jumat di Mekkah adalah amsal untuk mengembangkan berbagai tradisi/kearifan warisan pengetahuan awal. Tapi, kepingan-kepingan cerita yang beredar di tengah masyarakat pada tahap-tahap selanjutnya, sebagiannya belum tentu sungguh-sungguh terjadi (nyata): jikapun terjadi, bisa jadi masuk wilayah metafisis. Sebuah wilayah gaib yang hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu. 

Pengisahan Mbah Arjosukarto ihwal makam Syekh Nur Kalam sangat menarik. Meskipun saya agak getir, karena tidak ada benda atau manuskrip yang mengisahkan Syekh Nur Kalam. Hanya ada silsilah nasab (genealogical chart) dari sang Wali. Tradisi literasi masyarakat kita yang lebih mengandalkan lisan daripada tulisan, kerap tidak berlanjut ketika juru kisah pergi menghadap Sang Khalik. Akibatnya, kisah dan sejarah makam keramat pun tamat atau menjadi paradoks. Salah satu usaha untuk melanggengkan dan melestarikan ingatan makam keramat tersebut, ialah dengan menuliskannya.

Khusushon ila Syaikhina Mbah Wali Nur Kalam, al-Fatihah…..

Aamin. Wallahu a’alam.


[1] Lihat, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333, Komunitas Bambu, Depok.

[2]  Lihat kitab Sabil ash Shalihin Fi Tartib Ziyarah al-Qubur – anggitan Ust. Husin Nabil Assegaf.

[3] Lihat di https://www.harianmerapi.com/kearifan/pr-40447535/sisasisa-laskar-diponegoro-1-mbah-longko-punya-ajian-bala-sewu.

[4] Sejarah singkatnya dapat diakses di https://joglojateng.com/2021/12/03/pesarean-agung-soeronatan-makam-bupati-dan-tokoh-berpengaruh-di-pemalang/


Editor: Moh. Hagie

0
1694
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.