DONASI

Sufi Merah: Menuju Titik Ordinat Kasunyatan

Relasi Subjek-Objek Sepasang suami-istri terhanyut oleh Le Radeau de la Méduse (Rakit Medusa) karya pelukis litografi, Théodore Géricault, di dinding Museum Louvre. Di kanvas berukuran...

ESAI | THURSDAY, 6 JANUARY 2022 | 18:54 WIB

Relasi Subjek-Objek

Sepasang suami-istri terhanyut oleh Le Radeau de la Méduse (Rakit Medusa) karya pelukis litografi, Théodore Géricault, di dinding Museum Louvre. Di kanvas berukuran 490×716 cm2 itu Géricault sukses menggambarkan perjuangan hidup mati 15 orang di atas serpihan kapal perang mereka yang tenggelam tanggal 5 Juli tahun 1816. Terapung selama 13 hari mereka berjuang melawan kelaparan, dehidrasi, bahkan kanibalisme.

Géricault menghabiskan banyak waktu untuk riset, mewawancarai korban hidup, dan membuat berbagai sketsa detail, sebelum akhirnya melukiskannya menjadi karya realisme yang kontroversial, yang terus memancarkan pamornya selama lebih 2 abad.

Bersama La Gioconda Monalisa (Senyum Monalisa) karya Leonardo da Vinci, lukisan Géricault menjadi magnet dan sihir Museum Louvre hampir sepanjang masa. Hanya jika daya tarik Monalisa terletak pada sisi misteri, Le Radeau de la Méduse lebih pada kontroversialnya.

Sebelum bertemu karya realis seperti lukisan Le Radeau de la Méduse juga patung-patung di Loggia dei Lanzi, Florence, saya berpikir hanya lukisan abstraklah yang mampu mengantarkan imajinasi dan refleksi. Karya abstrak tidak membatasi pengamat dengan gambar nyata, detail, dan pesan jelas sehingga tersedia ruang apresiasi estetis, imajinasi, dan pengalaman spiritual karena lukisan terbuka untuk ditafsirkan. Tetapi suami-istri yang dihanyutkan oleh Le Radeau de la Méduse di atas cukup menghentak kesadaran. Kesadaran yang sama saat menjumpai pemandangan serupa seperti di Museum der Bildenden Kunste, Leipzig, pada salah satu koleksinya — Still Life with Hunting Equipment karya Christoffel Pierson– yang menurut saya bercorak realisme namun sangat kuat menarik perhatian pengunjung.

Kekuatan lukisan dalam mengantarkan dan memperkaya pengalaman estetis pengamatnya, dengan demikian bukan ditentukan oleh jenis aliran –impresionisme, ekspresionisme, naturalisme, realisme, surealisme, painterly, abstrak, dan lain-lain — tetapi lebih pada alam batin, kejiwaan, struktur kepribadian, dan mungkin juga intelegensia pengamat. Dengan kata lain, keindahan lukisan terletak pada subjek pengamat. Bukan pada objek lukisannya.

Postulat yang mengatakan bahwa “Seseorang tidak dapat melihat lukisan jika ia berada dalam bingkainya” perlu dicermati dan dikoreksi. Postulat ini mengajarkan kita mustahil dapat melihat lukisan selagi kita menempel di bingkainya. Kita mesti melepaskan diri, menjauh, dan mengambil jarak, baru kita dapat melihat wajah utuh lukisan. Secara metaforis berarti untuk menangkap sinyal keindahan dan mengembarai sebuah lukisan, seseorang harus keluar dari bingkai ego, teori, tradisi, dan pengekang lainnya kemudian menyerahkan ke dalam dimensi batin lukisan. Hal ini mengasumsikan keniscayaan orientasi subjek ke objek, pengamat ke karya, baru makna atau keindahan diperoleh.

Secara metaforis berarti untuk menangkap sinyal keindahan dan mengembarai sebuah lukisan, seseorang harus keluar dari bingkai ego, teori, tradisi, dan pengekang lainnya kemudian menyerahkan ke dalam dimensi batin lukisan. Hal ini mengasumsikan keniscayaan orientasi subjek ke objek, pengamat ke karya, baru makna atau keindahan diperoleh.

Namun ternyata dengan orientasi yang dibalik pun — objek ke subjek, karya ke pengamat– sisi batin karya seni bisa didapatkan, bahkan lebih kaya makna karena objeknya mewartakan diri secara langsung, autentik, dan leluasa. Dalam konteks inilah Le Radeau de la Méduse menyihir dan menarik pengamatnya ke dalam imajinasi, pengembaraan batin, bahkan kemungkinan pengalaman Ilahiyah.

Begitu pula lukisan-lukisan abstrak yang tidak serta-merta tertangkap maksudnya saat kita melihatnya memiliki peluang sama dalam mengantarkan pengamat pada sisi batin lukisan. Prosesnya bisa lewat apa saja mulai dari judul, komposisi warna, teknis, ‘ketidakjelasan’ maksud, dan data-data abstraktif dari lukisan yang hadir ke dalam batin. Secara umum karya-karya Kaji Habeb berada dalam klasifikasi abstrak-simbolik sebagaimana saya maksud ini.

Muter Kitiran: Emanasi

Tema utama lukisan Kaji Habeb adalah cinta yang menggerakkan yang bersumber dari kerinduan dan keindahan transendental, yang dalam terminologi Sufisme Falsafi disebut emanasi.

Emanasi, artinya pemancaran atau pelimpahan, terjadi secara dinamis dan simultan mengikuti pola gerak berputar dari Tuhan yang melimpah menjadi semesta – kembali ke Tuhan – memancar melimpah lagi seterusnya berkat Eros, energi cinta Tuhan. Pola memutar ke dalam ada di lukisan Habeb, seperti pada “Manunggaling Ning”, “Tafakur Biru”, dan “Sufi Merah”. Dalam “Manunggaling Ning” Habeb mengartikulasikan ”gerak- ke-dalam” sebangun dengan filosofi Jawa Muter Kitiran, yaitu simbolisasi usaha manusia menggerakkan penala angin. Bukan memutar dan diputar angin melainkan angin dan gerak menyatu menciptakan harmoni menuju Ning : titik ordinat kasunyatan (kesejatian) yang menjadi tujuan akhir dari seluruh proses kejadian.

Tema pameran Sufi Merah, berkorelasi selain dengan tradisi sufisme juga secara khusus dengan kitab Kirbit Al-Ahmar (Belerang Merah) karya Ibnu Arabi (1165 – 1240 M), tokoh tasawuf falsafi Andalusia. Belerang Merah merujuk pada kelangkaan, karena belerang biasanya berwarna kuning. Kelangkaan mana dalam konteks sufi berarti ketenangan jiwa dan kedekatan dengan-Nya, yang tidak mudah diperoleh kecuali dengan riyadah dan laku lahir batin.

Tema pameran Sufi Merah, berkorelasi selain dengan tradisi sufisme juga secara khusus dengan kitab Kirbit Al-Ahmar (Belerang Merah) karya Ibnu Arabi (1165 – 1240 M), tokoh tasawuf falsafi Andalusia. Belerang Merah merujuk pada kelangkaan, karena belerang biasanya berwarna kuning. Kelangkaan mana dalam konteks sufi berarti ketenangan jiwa dan kedekatan dengan-Nya, yang tidak mudah diperoleh kecuali dengan riyadah dan laku lahir batin.

Ibnu Arabi seluruh narasinya adalah upaya menghadirkan cinta dan keindahan. Aspek kebenaran dan kebaikan tidak terpisahkan dari keindahan. Sesuatu disebut kebaikan dan kebenaran jika pada saat yang sama ia indah, serta memiliki daya pesona yang melahirkan rasa cinta dan kerinduan untuk mengalaminya. Keindahan merupakan aspek Ilahiyah, yang karenanya kebahagiaan hakiki hanya bisa dikembangkan jika tabiat manusia yang cinta dan rindu pada keindahan dapat tercapai.

Siti Jenar, Syekh Tanah Merah, dan Sufi Merah

Ibn Arabi termasuk pengembang paham Wahdatul Wujud. Semesta seisinya, baik benda atau hal-hal, yang tampak maupun tidak, dan keberagaman sesungguhnya tunggal, esa. Mereka beragam hanya pada permukaan, fisik lahiriah, tetapi pada hakikatnya tunggal. Berasal dan kembali dari Zat Allah yang tunggal. Semua wujud yang ada ini adalah penampakan Yang Tunggal, Allah. Tidak terpisahkan wujud Allah dan segala yang ada. “Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” merupakan ungkapan Ibnu Arabi yang terkenal.

Semua wujud yang ada ini adalah penampakan Yang Tunggal, Allah. Tidak terpisahkan wujud Allah dan segala yang ada. “Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” merupakan ungkapan Ibnu Arabi yang terkenal.

Meskipun Wahdatul Wujud sering dikaitkan dengan Ibnu Arabi tetapi sebetulnya sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelumnya. Al-Ghazali, misalnya, dalam sebuah karyanya mengatakan, “Sesuatu yang maujud hanyalah Allah, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah” dan ”Tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya yang azali dan abadi”. Ma’ruf Al-Karkhi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi menyatakan syahadat dengan kata-kata “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Ibnu Taimiyah, guru Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, yang menentang pemikiran Ibnu Arabi secara tidak sengaja berperan mempopulerkan istilah Wahdatul Wujud.

Namun demikian yang dianggap sebagai tokoh Wahdatul Wujud adalah Ibnu Arabi, ditambah 2 sufi lain yaitu Al-Hallaj (dari Persia pada abad 9) dan Siti Jenar (Lemah Abang atau Tanah Merah). Yang disebut terakhir nama aslinya Raden Abdul Jalil, lahir di Iran tahun 1404 M, kemudian menetap di Jepara, Jawa Tengah. Siti Jenar mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud yang telah disesuaikan dengan konsep Jawa menjadi Manunggaling Kawula Gusti. Paham ini dianggap bertentangan dengan ajaran Wali Songo yang menekankan aspek formal hukum fikih sementara Siti Jenar lebih pada aspek rohani agama.

Di balik warna, bentuk, komposisi, dan teknik melukis, Habeb melemparkan dirinya ke dalam karya-karyanya. Tanah Merah, Belerang Merah, dan Sufi Merah terepresentasi dengan jelas, detail, sekaligus abstrak dalam semua lukisan Habeb: keragaman, warna-warni, gerak-dalam yang memusat, serta bentuk-bentuk spasmodis adalah gambar hidup sehari-hari dan segala proses di dalamnya sejatinya adalah wujud tunggal-Nya.

Sebagai sintesis pemikiran, pencarian, dan laku spiritual yang dikanvaskan, menangkap lukisan Habeb tentunya bukan hanya dengan melihat atau mengamati, melainkan intens mengalami. Postulatnya pun kini berubah “untuk menangkap makna dan merasakan getar estetik lukisan kita tidak akan mengambil jarak dari bingkai. Sebaliknya justru menyatu: melarutkan diri”.

Referensi

Siregar, Annisa Fitriani (2019), Konsep Wahdatul Wujud Menurut Syamsuddin Assumatrani. Mukarromah, Oom (2017), Ittihad, Hulul, dan Wahdat Al-Wujud.

NB:

Tulisan untuk Pameran Tunggal Lukisan “Sufi Merah”, Kaji Habeb, Mei 2021.

Judul asli “Sufi Merah”, diubah sesuai dengan kepentingan website ini.

997

Farid Mustofa

Dosen Filsafat UGM

Comments are closed.