Kolonialisme dan Budaya Campuran
Keragaman kesenian tradisional dan budaya Indonesia tidak pernah habis saya kagumi. Mulai dari bahasa daerah, syair, tarian, musik, hingga ke seni pertunjukkannya. Mungkin tidak akan cukup seumur hidup saya untuk mengenali masing-masing kesenian dan produk budaya itu. Bahkan untuk kesenian tradisional di satu daerah saja, katakanlah di Yogyakarta, menawarkan sumber yang tidak akan pernah habis untuk digali. Rasa kagum terhadap budaya sendiri itu pun semakin terasa ketika saya jauh dari Indonesia. Perasaan kagum yang kemudian berubah menjadi rasa bangga, terutama jika kawan-kawan dari negara lain mulai bertanya macam-macam tentang Indonesia pada saya.
Awal semester di musim panas lalu saya mengambil satu program seminar yang judulnya kurang lebih adalah “kolonialisme, globalisasi dan teater”. Seminar ini menjadi sebuah dialektik tersendiri, untuk pandangan pribadi, maupun dalam konteks keilmuan saya. Seminar ini fokus pada situasi neo-kolonial di negara-negara bekas jajahan, terutama Afrika. Dibawah dikte globalisasi neoliberal, diperlakukan analisis untuk memahami proses sejarah dan aspek spesifik dari efek budaya kolonial di negara-negara bekas jajahan. Pada saat yang sama kemunculan teater di negara-negara tersebut menjadi sebuah bentuk perlawanan kreatif. Profesor pengampu seminar tersebut telah malang-melintang di Afrika untuk melakukan penelitian tentang teater setempat. Dari beliau saya tahu bahwa Jerman juga memiliki tanah jajahan di Afrika. Selain itu saya juga mendapat fakta menarik tentang teater populer di masa kolonial di Ghana yang bernama Concert Party. Struktur pertunjukkan Concert Party mirip seperti Ludruk di Jawa Timur: selalu dimulai dengan tarian, nyanyian, dagelan kemudian ada drama pada bagian terakhir. Hal ini karena kedua teater tersebut menadapat pengaruh dari teater atau budaya “asing “ yang datang bersamaan dengan masa kolonial. Proses asimilasi dan akulturasi budaya di negara-negara jajahan menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Sehingga budaya yang bersifat hibrida menjadi fenomena yang seringkali ditemui di negara-negara bekas jajahan. Schechner berpendapat bahwa, “[n]o culture is ‘pure’ –that is, no culture is ‘itself’”.[1] Kalau saya tidak hati-hati dengan rasa bangga terhadap budaya sendiri, saya bisa terperangkap dalam mitos kemurnian budaya yang tidak hanya membuat saya ingin nampak istimewa, tapi juga merendahkan mereka dengan budaya yang “lain”.
Rasa kagum terhadap budaya sendiri itu pun semakin terasa ketika saya jauh dari Indonesia. Perasaan kagum yang kemudian berubah menjadi rasa bangga, terutama jika kawan-kawan dari negara lain mulai bertanya macam-macam tentang Indonesia pada saya.
Feminis dalam Dialektika Budaya
Saya pernah dituduh sebagai feminis karena terlalu banyak membaca buku-buku Barat. Dia beranggapan bahwa feminis itu tidak selaras dengan budaya Indonesia. Feminis seringkali dikaitkan dengan perempuan yang tidak mengerti adat atau terjerumus dalam pergaulan bebas. Dia bilang itu melanggar “kodrat“ sebagai perempuan. Ada tuduhan berlapis yang perlu saya urai disini. Pertama, apakah adat atau budaya itu, lalu apakah kodrat itu? Jika yang dimaksud dengan kodrat adalah hal yang tidak bisa dirubah atau sudah dari “sononya“, akan lebih masuk akal jika yang dimaksud adalah fungsi biologis. Misalnya, meskipun jaman sudah semakin canggih, ilmu pengetahuan saat ini belum bisa membuat tubuh laki-laki bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu, ketiga hal tersebut masih menjadi kodrat perempuan. Selebihnya, misal dalam konteks keluarga yakni mengurus anak dan rumah tangga atau mencari nafkah, hal itu bisa dilakukan oleh semua manusia. Terutama masalah mendidik dan merawat anak, tentu itu adalah kewajiban kedua orang tua, atau bapak dan ibu. Juga masalah moral, misal menjaga kehormatan rumah tangga, tentu bukan hanya wilayah satu orang dengan jenis kelamin tertentu saja di sebuah keluarga, tapi tanggung jawab semua anggota keluarga (yang sudah dewasa tentunya). Jika menyinggung masalah kemampuan intelektual dan emosional, bersikap lemah lembut atau kuat, sebagai pelindung atau pengayom, kemampuan itu tidak serta-merta dibawa manusia sejak lahir oleh satu manusia dengan jenis kelamin tertentu saja. Namun, hal itu bisa diajarkan pada setiap manusia, terlepas dari jenis kelaminnya. Jika kodrat adalah hal yang mutlak, maka hanya fungsi biologis yang bisa mendekati mutlak. Sementara budaya adalah hal yang lain. Manakah yang ada duluan, manusia atau budaya? Apakah budaya jatuh dari langit, atau tumbuh seperti tanaman? Jika budaya muncul setelah manusia membangun peradaban, apakah budaya kemudian menjadi hal yang mutlak seperti hukum alam? Jika budaya sebagai produk pikiran manusia, apakah budaya tidak bisa berubah atau disesuaikan dengan konteks keadaan pada zamannya? Sementara hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Manakah yang ada duluan, manusia atau budaya? Apakah budaya jatuh dari langit, atau tumbuh seperti tanaman? Jika budaya muncul setelah manusia membangun peradaban, apakah budaya kemudian menjadi hal yang mutlak seperti hukum alam? Jika budaya sebagai produk pikiran manusia, apakah budaya tidak bisa berubah atau disesuaikan dengan konteks keadaan pada zamannya? Sementara hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Saya sempat mengobrol dengan kawan dari Sumba yang bernama Diana[2]. Di Sumba, beberapa orang percaya pada pembagian kasta yang telah ditetapkan sejak kelahiran manusia. Maramba, adalah kelompok bangsawan, yang berada di puncak dalam struktur masyarakat. Kabihu adalah kasta nomer dua, sebagai orang bebas atau merdeka. Dan terakhir, Ata atau Hamba yang berada distrata paling bawah. Sistem kasta ini masih dijalankan hingga kini. Di samping itu, mereka juga menerapkan adat tidak tertulis lain, seperti Ata Ngandi atau Hamba Bawaan. Ata Ngandi adalah pembantu yang dibawa dari seorang perempuan dari kelas Maramba ketika dia dipersunting oleh lelaki Maramba dari daerah lain. Ketika mereka menikah, lelaki Maramba memboyong mempelai perempuan Maramba tersebut ke daerah asal si lelaki. Dan Maramba perempuan harus membawa seorang dari kasta Ata (kebanyakan dari mereka masih dibawah umur) untuk dijadikan pelayan. Ata Ngandi harus melayani dan mematuhi tuannya (Maramba). Karenanya, praktek ini disebut Ata Ngandi yang mana berarti ‘hamba yang dia bawa’.
Saya mendengar banyak cerita sedih tentang Ata Ngandi. Banyak dari mereka tidak diijinkan untuk kembali kerumahnya. Mereka harus tinggal dengan tuannya, Maramba perempuan tersebut. Ata Ngandi mungkin dipisahkan selama bertahun-tahun dari keluarganya. Beberapa dari mereka bahkan tidak pernah melihat keluarganya lagi. Apakah mereka mendapat bayaran atau tidak, apakah mereka masih bisa bersekolah, apakah mereka masih boleh bertemu atau berkawan dengan orang lain, apakah mereka mendapat hari libur, apakah mereka bisa keluar dan mendapat hidup bebas, semua bergantung pada tuannya. Dan kehidupan seperti apa yang dimiliki oleh Ata Ngandi? Apakah mereka yang dilahirkan sebagai Ata Ngandi harus seumur hidupnya menerima nasibnya? Apakah mereka tidak bisa mendapatkan hak seperti kita semua: mempunyai kebebasan untuk memberi makna pada hidupnya? Jika kita berani sedikit saja untuk mengurai kembali esensi budaya, kita tidak akan terjebak pada sebuah keadaan dimana budaya adalah hal yang mutlak dan membentuk kita, tapi kita juga memiliki posisi tawar dalam menerima budaya itu sendiri.
Adat lain yang masih dilakukan di Sumba adalah kawin culik. Praktek ini mengijinkan laki-laki untuk menculik perempuan yang dia suka namun perempuan itu menolak mereka. Mereka menculik perempuan tersebut dan membawa ke rumahnya dengan mobil atau truk. Jika perempuan tersebut melawan, lelakinya (seringkali tidak sendirian) mungkin akan menyuruhnya diam dengan membentak dan memukulinya bahkan memperkosanya. Kemudian mereka membawa perempuan tersebut ke sebuah kamar di rumah si laki-laki. Di kamar tersebut, keluarga si laki-laki akan membujuknya, mengatakan padanya bahwa dia tidak lagi perawan, tidak suci, dia kotor, dan dia harus menerima takdirnya untuk dinikahi laki-laki yang telah memperkosanya tersebut. Mereka membujuk sedemikian rupa sehingga perempuan tersebut tidak memiliki pilihan lain lagi, selain menikahi laki-laki tersebut. Banyak perempuan mengalami depresi karena budaya ini. Beberapa dari mereka, dengan usaha yang gigih, melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Namun hukum, bahkan polisi tidak bisa memutuskan karena memandangnya sebagai adat. Hal itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi banyak perempuan, karena mereka akan menghabiskan hidupnya dengan laki-laki yang telah melakukan kekerasan itu. Apakah budaya atau adat adalah hal yang mutlak dan tidak tergoyahkan? Saya setuju ada banyak budaya yang perlu dilestarikan, karena tidak semua budaya buruk atau tidak pas lagi dengan keadaan sekarang. Namun justru disinilah diperlukan adanya sebuah pemikiran kritis itu, untuk mempertanyakan kembali apakah hakekat budaya itu, kenapa dia dibuat dan apakah akan memberi manfaat atau justru merugikan manusia. Budaya adalah produk pemikiran manusia, dan selayaknya segala produk buatan manusia, selalu ada celah yang bisa diperbaiki atau diperbaharui.
Ada kawan yang memperingatkan bahwa segala aturan, adat, budaya atau apapun itu adalah untuk kebaikan perempuan itu sendiri, untuk kebaikan saya. Dengan demikian saya bisa melihat kearifan budaya Indonesia, yang berbeda dengan cara pandang Barat. Apakah budaya Timur itu lebih bijaksana dari budaya Barat? Apakah hidup secara “Barat“ berarti hidup tidak bermoral? Menurut saya contoh perbuatan tidak bermoral itu seperti yang diceritakan kawan saya Diana. Ketika dia dan kawannya sedang di jalan, mereka melihat anak SMA berjalan sendirian pulang sekolah. Anak SMA itu masih mengenakan seragamnya. Namun tiba-tiba sebuah truk bergerak melambat ke arahnya, kemudian pengemudi truk itu mengeluarkan tangannya dari kaca mobil, dan meremas dada pelajar tersebut. Diana dan kawannya tidak bisa tinggal diam melihat kejadian tersebut. Mereka akhirnya mengejar pengemudi truk tersebut sampai mereka berhenti di sebuah toko kemudian memaki-makinya. Diana dan kawannya ingin agar pengemudi truk itu sadar diperingatkan bahwa apa yang dia lakukan adalah hal yang tidak salah dan tidak bermoral. Entahlah, apa yang ada dikepala pengemudi truk itu, mungkin karena dia mengira anak SMA itu sendirian sehingga bisa diperdaya? Dari cerita tersebut saya belajar bahwa pelecehan itu bukan hanya sekedar karena laki-laki tidak bisa menjaga pandangan atau perempuan yang tidak bisa menjaga dirinya, ini masalah siapa yang tidak berdaya dan siapa yang berkuasa. Namun setidaknya ada Diana dan kawannya yang berani bergerak saat itu.
Feminis selalu berbicara tentang perempuan, gender, jenis kelamin, dan segala yang melingkupinya. Masalah-masalah tersebut adalah hal yang sangat nyata dan sangat berpengaruh dalam hidup manusia. Saya menjadi teringat satu pertanyaan yang mengganggu saya yakni kapan saya bisa disebut perempuan? Ada satu lagi cerita dari Diana yang bisa terkait hal ini. Diana lulus dari ilmu Kesehatan Masyarakat, dan kini sering bersinggungan dengan permasalahan kesehatan di daerahnya. Suatu hari dia mendampingi seorang bidan yang sedang bertugas membantu proses kelahiran. Semuanya baik- baik saja, dan ibu yang ditolong tersebut memiliki anak yang cantik. Namun ibu itu nampak tidak bahagia dan menyalahkan dirinya sendiri karena dia melahirkan secara sesar. Ibu itu merasa bukan sebagai perempuan karena tidak dapat melahirkan dengan normal. Dia menyalahkan dirinya sendiri seumur hidupnya. Mungkin bagi saya, atau perempuan-permpuan di lingkungan saya, melahirkan secara sesar tidak mengurangi sedikit pun status saya sebagai seorang perempuan. Namun rupanya, di belahan dunia yang lain, banyak perempuan yang masih terjebak oleh mitos. Mitos ini macam-macam bentuknya. Selain perkara melahirkan sesar seperti kasus tersebut, ada yang bilang sebagai perempuan tidak boleh tertawa keras, tidak boleh berotot, tidak boleh terlalu pintar, tidak boleh terlalu kuat, dan sebagainya. Mitos tersebut telah tertanam begitu kuat dan seolah menjadi kebenaran yang tidak tergoyahkan. Feminis merupakan satu titik untuk menijau kembali mitos-mitos tersebut. Dengan menguraikan apakah itu gender, apakah itu jenis kelamin, dan seberapa besar pengaruhnya kepada hidup seseorang, gerakan feminis mencoba mengidentifikasi mengapa gender dan jenis kelamin menjadi alasan diskriminasi, membatasi ruang gerak hidup seseorang atau justru sebaliknya, membuatnya lebih unggul dari yang lain, atau diperlakukan secara istimewa.
Lalu, apakah feminis bertentangan dengan budaya, terutama budaya di Indonesia? Saya sempat meminta pendapat Diana tentang hal ini. Dia menjelaskan dengan mengambil contoh pembuatan kain tenun tradisional Sumba. Kain yang dibuat dari bahan alami, dengan pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan, juga dipintal secara manual. Kain yang dihasilkan punya corak yang khas dan berkualitas. Setiap produk tenun tradisional memiliki keindahan tersendiri, tidak seperti produksi massal industri. Perempuan Sumba berperan besar dalam melestarikan pembuatan kain tenun ini. Merekalah yang paling tahu tentang kain itu. Namun, saat ini perempuan masih belum diberi ruang untuk berbicara, karena meski pembuat tenun kebanyakan perempuan, pembicara tentang tenun kebanyakan laki-laki. Bagi Diana, hal itu menjadi contoh bahwa ada praktek budaya yang sudah memikirkan kesetaraan, hanya saja perempuan belum diberi ruang untuk berbicara.
Jika saya dihadapkan pada pertanyaan yang sama, menurut saya feminis bukan masalah menentang budaya atau tidak. Tidak ada yang perlu dipertentangkan antara feminis dengan budaya, justru pemikiran feminis menjadi pemantik, memberi ruang untuk meninjau kembali konstruksi budaya yang membentuk manusia. Ketika saya membaca pemikiran Judith Butler[3] tentang gender biologis dan gender konstruksi budaya, saya tersadar untuk membuka jarak antara fenomena sosial yang membentuk diri saya dengan keadaan saya sekarang. Hal ini membuat saya mempertanyakan kembali, jika masih ada praktek budaya yang dinilai tidak adil terhadap manusia dengan suatu jenis kelamin tertentu, kenapa kita tidak berendah hati untuk mengoreksinya? Jika pun harus dikoreksi, bukan berarti budaya itu salah secara keseluruhan. Budaya adalah produk manusia, dan seperti layaknya manusia, tidak ada budaya yang sempurna, tidak ada budaya yang absolut tanpa cacat.
Jika saya dihadapkan pada pertanyaan yang sama, menurut saya feminis bukan masalah menentang budaya atau tidak. Tidak ada yang perlu dipertentangkan antara feminis dengan budaya, justru pemikiran feminis menjadi pemantik, memberi ruang untuk meninjau kembali konstruksi budaya yang membentuk manusia.
Sudah barang tentu bahwa budaya itu telah tertanam dalam diri dan membentuk manusia. Lewat didikan, pergaulan, dan segala informasi yang didapatkan manusia hingga akhirnya sadar atau tidak mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku manusia. Ketika dihadapkan pada pemikiran yang baru, yang seolah-olah bukan dari budaya dimiliki, ada kecenderungan untuk skeptis atau sebaliknya, ingin menirunya. Sikap skeptis bukan serta-merta sebuah penolakan. Justru sikap ini merupakan sebuah kewaspadaan yang menjadikan hasrat untuk mengkritisi. Lalu apa yang perlu dipertimbangkan ketika dihadapkan pada sebuah pemikiran baru, seperti gerakan feminis misalnya? Dasar pertimbangan saya adalah rasa kemanusian. Rasa kemanusian menurut saya lebih universal, bukan bergantung pada gender, jenis kelamin, warna kulit, darimana manusia berasal, atau bahasa apa yang dia ucapkan. Feminis merupakan satu hentakan bagi saya, mempertanyakan lagi rasa kemanusian manusia, yang seringkali tertutup kabut materi atau kebendaan seperti bentuk fisik atau jenis kelamin.
Lalu, apakah berarti jika setuju dengan feminis, berarti saya tidak Indonesia? Jika ada perubahan dalam cara pandang saya, yang mungkin berbeda dengan orang-orang Indonesia lainnya, apakah saya lantas menjadi tidak Indonesia? Apakah jika ada perubahan dalam budaya berarti identitas juga berubah? Apakah budaya hanya milik orang dari daerah tertentu? Misalnya masalah tepat waktu, apakah itu hanya budaya Jerman dan menjadi milik Jerman? Jika orang Indonesia tepat waktu, apakah dia bukan orang Indonesia? Apakah ukuran untuk menjadi Indonesia? Terlalu banyak pernyataan yang jawabannya bisa menjadi perenungan. Sebagai bahan tambahan, yang mungkin bisa direnungkan juga, saya ingin kembali ke pernyataan saya dia paragraph awal dalam tulisan ini, mitos akan kemurnian budaya, kalau tidak hati-hati, bisa membuat kita membanggakan diri, bahkan merendahkan budaya yang lain. Jadi, feminis bukan perkara Barat dan Timur, bukan perkara menentang budaya atau adat, dia hanya muncul sebagai pemantik untuk meninjau kembali konstruksi budaya dalam hubungannya dengan gender dan jenis kelamin. Apakah kita siap untuk menerima pantikan itu sebagai titik perubahan, jawabannya tergantung pada seberapa adilkah keadaan sosial dan pikiran kita dalam melihat permasalahan gender dan jenis kelamin.
[1] Schechner, R. (1989). Intercultural Themes. Performing Arts Journal, 11/12, 151–162. https://doi.org/10.2307/3245433. Hal. 151.
[2] Diana Timoria, seorang aktivis Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) di Sumba.
[3] Lihat Butler, J. (1999). Gender Trouble : Tenth Anniversary Edition. Routledge. Hal. 188.