DONASI

Sufisme al-Hallaj dalam Kawruh Manembah Ki Ageng Suryomentaram

Pengetahuan tentang menyembah selalu menarik diperbincangkan. Kendati persoalan klasik, wacana ini terus hadir dan mendapat ruang khusus dalam khazanah teologi, ilmu kalam, dan sufisme dari...

LEMBAR | SUNDAY, 9 JULY 2023 | 20:09 WIB

Pengetahuan tentang menyembah selalu menarik diperbincangkan. Kendati persoalan klasik, wacana ini terus hadir dan mendapat ruang khusus dalam khazanah teologi, ilmu kalam, dan sufisme dari waktu ke waktu. Pada posisi yang demikian, motif-motif manusia dalam menyembah menduduki persoalan penting pula. Ia akan terus bergerak sampai titik yang entah. Lalu, mengapa persoalan tersebut mendapat perhatian yang penting? Bagaimana ia coba kita pahami? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa kodrat biologis manusia adalah memiliki pengalaman puncak yang transenden. Ini adalah bagian dari hakikatnya. Manusia merupakan proyek bagi dirinya sekaligus yang menciptakannya. Proyek yang dimaksud adalah menjadikan manusia lebih berkualitas, yang memiliki pengetahuan humanis, pluralis, transpersonal, dan transmanusia.[1] Kodrat biologis untuk mendapat pengalaman puncak ini membawa manusia pada pencarian diri yang otentik, yaitu diri yang menemukan transendensi absolut itu. 

Selain itu, jika ditinjau dari fitrahnya, manusia bisa dikatakan sebagai makhluk agama­—atau dalam istilah Karen Armstrong disebut sebagai homo religiosus. Manusia selalu memiliki alasan kuat akan kodrat religiusnya. Sejak dahulu manusia selalu mencari kekuasaan yang mengendalikannya.[2]

Naluri alamiah manusia adalah menyembah atau mengabdi kepada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi daripada dirinya sendiri atau yang menguasai dirinya. Dorongan ini mengakar hingga ke level alam bawah sadarnya, sebuah gerak kembali kepada Tuhan—dalam bahasa agama—sebagai akibat dari adanya perjanjian primordial manusia dengan Penciptanya di alam ruhani.[3] Dalam Al-Qur’an Surat al-Hadid misalnya, Allah berfirman: “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerumu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang yang beriman.”

Ayat tersebut adalah janji manusia kepada Allah yang telah mereka katakan di alam arwah, yaitu janji tentang penyaksian manusia atas Tuhannya yang telah diterangkan pada ayat sebelumnya (Q.S. Al-A’raf ayat 172).[4] Perjanjian tersebut tiada lain adalah suatu perjanjian atau keimanan manusia kepada Allah. Persaksian ini terus manusia bawa dengan sifat lupa dan pengetahuan yang terbatas—juga dengan godaan-godaan duniawi yang semu. 

Ki Ageng Suryomentaram menguraikan, motif manusia melakukan dorongan tersebut didasari oleh analogi bahwa keberadaan alam semesta dan seisinya tentu ada yang menciptakannya. Sama dengan rumah juga ada yang menciptakannya, yaitu manusia. Namun, di saat bersamaan, orang juga menyadari bahwa pengandaian ini tidak sepadan, karena pada kenyataannya dia tidak sanggup menciptakan apa saja yang dia kehendaki, lalu menduga bahwa hanya kekuatan Maha Kuasa yang sanggup melakukannya. Orang kemudian merasa kecil dan menganggap kehidupannya juga karena pemberian Yang Maha Kuasa.[5]  

Analogi Ki Ageng tersebut adalah bukti bahwa manusia menghamba pada sesuatu di atasnya, juga sebagai bagian dari usaha menemukan eksistensi Tuhan yang bergerak terus menerus hingga memunculkan motif-motif beragam yang memiliki akar yang sama: pencarian eksistensi diri sekaligus eksistensi penciptanya. Itu artinya, agama sebenarnya hadir sebagai respon dari kegelisahan tersebut; ia sebagai pemenuh hasrat kodrat biologis manusia, sekaligus menjadi tujuan utama dari semua dominasi gerak keinginan manusia yang-tak-terbatas.[6]

Di dalam motto kearifan Sokratik, ada sebuah ungkapan, “Kenalilah dirimu” yang kemudian diinterpretasikan dalam pengertian Neo-Platonik sebagai proses mengenali diri sejati hingga terberkati nalar ilahiah. Oleh kaum Muslim, ungkapan senada dianggap berasal dari sabda Nabi Muhammad: Ia yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya.[7] Dua ungkapan tadi sebenarnya adalah sebuah seruan untuk mengenali otentisitas diri. Pengenalan otentisitas dirilah yang akan menyibak hijab seorang hamba di hadapan Tuhannya.    

Namun, dalam beberapa fenomena, manusia seringkali terjebak pada pemahaman yang salah atas pengetahuan tentang dirinya. Manusia seringkali terjebak pada selubung-selubung diri yang penuh egosentris. Lalu, seringkali manusia menjadikan agama sebagai tameng dari keadaan tidak menguntungkan—dalam istilah Kawruh Jiwa, Ki Ageng menyebutnya sebagai motif apes. Lantas seperti apa menyembah yang benar menurut Ki Ageng? 

Kawruh Manembah Ki Ageng Suryomentaram

Marcel Bonneff memberi penjelasan retoris dan kritis atas landasan ontologis mengapa Ki Ageng merumuskan pengetahuan menyembah (baca: kawruh manembah). Apa yang Ki Ageng renungkan dalam pemikiran-pemikiran terkait pengetahuan menyembah sebenarnya bersumber dari pencarian jawaban atas kebingungan yang hebat, atau sasaran dari kecemasan dasar (fundemental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis (atau sebuah kondisi kekosongan) dapat dicapai.[8]

Hal tersebut adalah pendekatan yang sepenuhnya individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan berbeda. Masing-masing tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan. Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” yang tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul dan kebenaran itu adalah­—sebagaimana yang disebut Ki Ageng Suryomentaram sebagai Aku—pengalaman mistik tentang kehadiran ilahiah.[9]  

Penafsiran Bonneff tersebut adalah pembacaan ontologis dari pengetahuan menyembah yang benar, yang akan penulis uraikan pada pembahasan berikutnya. Namun sebelum berbicara banyak tentang menyembah yang benar, Ki Ageng terlebih dahulu mengkritisi praktik-konseptual menyembah yang terjadi di masyarakat. Misalnya, beberapa orang cenderung tidak sanggup mendamaikan dan mencari penjelasan yang benar tentang metafisika ketuhanan, lalu menggagas sendiri dengan memanipulasi kebingungannya melalui usaha meyakini bahwa pemberian terbaik sang maha kuasa untuknya adalah kelak setelah dia mati dalam bentuk kehidupan yang abadi ketika selama hidup di dunia dia sungguh-sungguh menyembah kepadanya. Di sini kemudian muncul pertentangan: jika orang merasakan dan sakitnya itu sekarang di dunia namun mengharapkan kemuliaan setelah meninggal, apa dia seterusnya sabar menunggu?[10]

Padahal, jika orang tersebut mau mawas diri, keadaan tidak enak tersebut lahir karena kurangnya pengetahuan untuk mengelola keinginan-keinginan secara tepat. Menurut Ki Ageng kondisi sulit terjadi ketika orang tidak mampu mengenali secara benar apa itu kondisi sulit dan apa yang menyebabkannya. Kondisi sulit pada hakikatnya selalu ada: dulu ada, sekarang ada, dan kelak pun ada. Setelah orang tahu hakikat kesulitan, dia pun akan mudah mengenali penyebab-penyebabnya. Penyebab kesulitan, lanjut Ki Ageng, bukanlah kesulitan itu sendiri, melainkan penolakan orang bahwa kesulitan adalah suatu kepastian. Dengan demikian penyebabnya ada di dalam pikirannya sendiri. Jadi, kondisi yang menyebabkan kesulitan adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi-kondsi yang menimbulkan kesulitan.[11]

Manusia yang tidak mampu mengendalikan karep (hasrat), akan terombang-ambing dalam menghadapi catatan-catatan hidupnya. Sebab sifat karep selalu ingin dipenuhi. Padahal wilayah kerja karep adalah mengejar semat(kecenderungan umum terhadap kenikmatan material), drajat (posisi orang dalam hierarki sosial), dan kramat (kekuatan magis). Inilah yang dinamai aliran kebendaan. Aliran kebendaan menyatakan bahwa benda adalah dasar segala-galanya. Aliran ini sangat dekat dengan catatan-catatan sematdrajatkramat. Seseorang yang selalu menghidupkan ketiga catatan-catatan itu adalah orang yang hanya dapat menghargai orang lain maupun benda-benda di sekitar sejauh bermanfaat bagi dirinya saja.[12] 

Dalam hal menyembah kepada Yang Maha Kuasa, jerat karep ini sering menyelubungi seseorang ketika sedang menghamba. Keinginan untuk mengenakkan diri sendiri tanpa peduli kepada hal lain (egosentrisme) inilah yang kemudian direspons oleh Ki Ageng Suryomentaram dalam kawruh manembah sebagai hal yang harus disibakkan karena bisa menjadikan pengetahuan menyembah yang salah.

Jika diringkas dalam sebuah pernyataan, kebingungan yang ditimbulkan dari ketidaksanggupan untuk mendamaikan pertentangan dari cara menyembah yang salah adalah sebagai berikut: (1) Menyembah atau manembah yang didasari oleh alasan untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada yang maha kuasa adalah menyesatkan, karena jika orang sedang mengalami penderitaan atau sakit tentu tidak berpikir untuk menyampaikan terima kasih; (2) Menyembah atau menghamba karena keinginan untuk mendapatkan kemuliaan atau kehidupan yang langgeng kelak setelah mati juga menyesatkan, karena orang tentu tidak sabar menunggu hasil jerih payahnya di dunia; (3) Menyembah atau menghamba sebagai sarana untuk meminta-minta kepada yang maha kuasa juga menyesatkan, sebab tentu tidak terlaksana.[13]

Pemikiran Ki Ageng yang menjangkar panjang dalam kebudayaan Jawa di abad ke-20 awal merupakan refleksi atas fenomena-fenomena di sekitarnya. Pemikiran-pemikirannya mencoba menjadi antitesis dari berbagai kesalahpahaman spiritual yang menjangkiti masyarakat yang ditemuinya—berupa kepercayaan pada takhayul—yang menjebak mereka pada kecemasan atau ketidakbahagiaan. Kritik Ki Ageng ditujukan terutama pada aliran kebatinan, meskipun tidak berlaku secara general.[14] Ia hanya tidak sepakat dengan guru-guru kebatinan yang mempraktikkan lelaku takhayul, yang tidak bisa dinalar secara rasional. Ki Ageng mencoba mengkritik lelaku menyembah yang masih terjebak pada menuhankan egosentrisme yang ilusif dan menjebak alam pikir manusia serta menjauhkannya dari pencarian diri sejati, di mana muaranya adalah pengalaman puncak yang transenden.

Dari Kawruh Manembah ke Sufisme al-Hallaj

Ki Ageng menyebut seseorang yang terbebas dari jerat keakuan dalam menyembah yang maha kuasa, akan mencapai kemanunggalan dengan yang disembah, sirna kawula gustine (lenyap perbedaan antara hamba dan tuannya)[15]. Pemikiran Ki Ageng berupa kritik atas pengetahuan menyembah yang salah dan konsep menyembah yang benar memiliki kesamaan dengan pemikiran dalam khazanah sufisme al-Hallaj. Dalam konsep hulul-nya, al-Hallaj terkenal dengan ungkapan Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran): sebuah ungkapan yang mengisyaratkan tersibaknya hijab antara hamba dan Tuhannya—yang dalam istilah Ki Ageng disebut sirna kawula gustine

Konsep sirna kawula gustine ini memiliki kesamaan dengan bentuk dan penerapan konsep al-hulul, yaitu manusia punya perangkat kesamaan dengan Tuhan atau manusia memiliki sifat ke-Tuhanan. Jika menyembah yang benar menurut Ki Ageng adalah dengan menyibakkan egosentrisme agar pengetahuan ilahiah terberkati ke dalam akal, maka  dalam pemikiran al-Hallaj penyibakkan ini memiliki tiga tingkatan. Pertama, yaitu tajridul aqli atau mem-fana-kan semua pikiran, khalayan, perasaan, dan perbuatan hingga tersimpul sifat yang dalam eksponennya ditujukan kepada Allah semata. Kedua adalah menihilkan semua nafsu. Ketiga menghilangkan semua kekuatan pikir dan kesadaran.[16]

Lebih jelasnya, setidaknya ada tiga kesamaan nalar sufisme al-Hallaj dengan Ki Ageng. Pertama, al-Hallaj dan Ki Ageng sama-sama memberi saran seorang penghamba hendaknya menanggalkan jubah keakuan yang dapat menghalangi proses penghambaan kepada Tuhan. Cara ini sebenarnya sudah lazim sebagaimana terdapat pada tradisi tasawuf berupada tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa dari kerak-kerak jiwa akibat mengejar kepuasan ilusif). Kedua, jika Ki Ageng menyebut bahwa manusia mampu mencapai derajat “suci” melalui penanggalan karep yang ilusif, artinya Ki Ageng secara tidak langsung mengarahkan agar penghamba haruslah suci di hadapan yang Maha Suci. Suatu yang suci (Tuhan) harus dicapai oleh (hamba) yang suci pula. Dengan demikian, ada proses peleburan seorang hamba dari jiwa ilusifnya untuk mencapai jiwa sejati atau diri sejati, yaitu diri yang transenden, agar mampu mencapai derajat loro-lorone atunggal. Kemanunggalan ini adalah hasil dari proses fana’ atau meleburkan jiwa nafs hingga tersisa kesadaran akan Tuhan semata. Dalam terminologi sufi Al-Hallaj, ia menyebutnya sebagai hulul.

Ketiga, al-Hallaj meyatakan ada eksistensi realitas yang bersifat dualis: selain memiliki unsur lahut (ketuhanan), Tuhan juga memiliki unsur nasut (kemanusiaan). Begitupula manusia juga memiliki kedua unsur tersebut dalam dirinya. Dengan demikian, seorang hamba melalui imanensinya mampu menuju Tuhannya (yang transenden).[17]

Ki Ageng, dalam kasus yang berbeda, menyebut bahwa manusia pada dasarnya adalah apes, celaka. Ia menyebut apes sebagai wateg atau sifat. Setelah mengetahui bahwa apes ini sifat, maka seseorang tidak lagi mencari kesempurnaan karena bagaimanapun, sebisa mungkin manusia mencari kesempurnaan, pada akhirnya ia akan apes. Lantas pertanyaannya, bagaimana untuk mencapai penyatuan seorang hamba dengan Tuhan jika sifat apes ini melekat? 

Ki Ageng mula-mula menjelaskan bahwa rasa kuasa (sempurna) itu justru adalah rasa yang “tidak butuh”. Maksudnya adalah ketika orang menyadari bahwa dirinya apes maka tidak akan lagi mencari kuasa, kondisi ini justru menciptakan rasa kuasa. Ki Ageng menganggap bahwa rasa apes itu muncul karena orang merasa butuh, sementara sifat dasar rasa butuh adalah apes. Setiap butuh pasti apes. Jadi, menurut Ki Ageng, rasa kuasa itu tidak membutuhkan apa-apa, dan ketika orang tidak membutuhkan kuasa apa-apa dia justru akan memiliki kuasa. Dan rasa kuasa ini enak dan melegakan. Di titik ini, antara yang menyembah dan yang disembah menjadi lebur, hilang perbedaan antara yang menyembah dan yang disembah: sirna kawula gustine. Lenyap perbedaan antara hamba dan tuannya.[18]

Dengan demikian, proses imanensi menuju transendensi menurut Ki Ageng adalah dengan tahapan mengontrol rasa kuasa agar menjadi kuasa. Rasa kuasa ini memiliki korelasi dengan pandangan al-Hallaj yaitu adanya kesadaran total akan Tuhan (kuasa) hingga di tahap ekspresinya muncul ungkapan: Ana al-Haq.

Meskipun pemikiran Ki Ageng cenderung bersifat aksiologis, artinya merespon bahkan mengkritik fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakatnya lalu mencari formulasi untuk dijadikan alternatif tersendiri, tetapi bukankah sesuatu yang axios (nilai guna dari sesuatu) adalah tangan panjang dari yang ontos (hakikat abstraktif dari sesuatu yang “ada”)? Tanpa adanya yang “Ada” (dengan “A” besar) maka akan sia-sia jika mencari nilai guna. 

Dalam kapastitas pembacaan inilah keragaman arsitektur pemikiran Ki Ageng dalam Kawruh Manembah, sebenarnya adalah cara nalar dalam bentuk lain dari pemikiran sufisme al-Hallaj. Hal ini bisa dijadikan landasan nalar sufistik khas kawruh manembah Ki Ageng Suryomentaram yang belum banyak dikaji. 


[1] Abraham Maslow, Psikologi tentang Pengalaman Religius, (Bantul: Basabasi, 2019), hal. 41. 

[2] Karen Armstrong, A History of God, (New York: Ballantine, 1993), hal. 113.

[3] Nurcholish Madjid, “Ayat Asas”, dalam Cendekiawan dan Religiositas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 92.

[4] Al-Mahalli & As-Suyuthi, Tafsir Jalalain

[5] Terjemahan Sri Teddy Rusdy  dari Bab Manembah Dhateng Ingkang Maha Kuwasa dalam Rasio Sebagai Pedoman, Rasa Sebagai Acuan (Konseptualisasi dan Aktualisasi Filsafat Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram). (Bantul: IRciSod, 2019), hal. 191.

[6] Karen Armstrong, hlm. 1.

[7] T.J. De Boer, History of Philosophy in Islam (Sejarah Filsafat dalam Islam), terj. Ruslani (Yogyakarta: Forum), hal.31.

[8] Marcel Bonnef, Ki Ageng Suryomentaram: Javanese Prince and Philoshoper (1892-1962), dalam Indonesia 57, 1994.

[9] Marcel Bonnef, hal. 7.

[10] Ki Ageng Suryomentaram, diambil dari terjemah Sri Teddy, hal 174.

[11] Ki Ageng Suryomentaram, Kawruh Jiwa Jilid 5, (Jakarta: Panitia Kawruh Jiwa Jakarta, 2010), hal 134.

[12] Ryan Sugiarto, Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram (Sleman: Pustaka Ifada, 2015), hal. 118-119.

[13] Sri Teddy Rusdy, hal 175.

[14] M. Endy Saputro, “Kawruh Jiwa dalam Jagat Spiritualitas Jawa” dalam Rasio Sebagai Pedoman, Rasa Sebagai Acuan (Konseptualisasi dan Aktualisasi Filsafat Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram), (Bantul: IRciSod), hal. 60.

[15] Ki Ageng Suryomentaram, hal 101.

[16] Louis Massignon, Al-Hallaj: Sang Sufi Syahid. (Yogyakarta: Fajar Pustaka) hal. 55. 

[17] Simuh, Tasawwuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 93.

[18] Afthonul Afif, Psikologi Suryomentaraman: Pedoman Bahagia ala Jawa (Bantul: Ircisod, 2020) hal 142. 

1060

Muhammad Faizul Kamal

Mahasiswa Aqidah & Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Tertarik pada sufisme, filsafat, kuburan, sastra, bulu tangkis, dan sepak bola.

Comments are closed.