MENANAM PUISI kutanam puisi semoga jadi peneduh hati di taman rohani Denpasar, 13/2023 POHON DI TEPI KOLAM daun yang gugur ke kolam subuh tadi kujadikan perahu samadi berlayar ke bandar-bandar hari seekor anggang memintal sunyi mengukur jeram luka hati rasa sayang beri angin pulang waktu tak bermimpi ruang menawarkan sengketa keturunan adam-hawa di tanah luka hutan khuldi belantara duniawi pohon merindangkan daun mengokohkan akarnya Denpasar, 98/2018 POHON DI HALAMAN RUMAHLEBAH mohon maaf kepada penjaga alam pohon di halaman rumahlebah kami tebang karena banyak orang merinding ketakutan ketika lewat di jalan kecil di depan rumah yang sudah lama kami tinggal orang sekitar bilang tiap malam mencium wewangian seperti aroma kembang kuburan “Mungkin ada penjaganya,” bisik mereka meyakinkan bahwa pohon di halaman itu sarang mahluk halus numpang tinggal rumah suwung itu memang dijaga roh para tua jiwa pujangga yang bersemayam di buku sastra dulu mereka sering berjumpa bersulang rasa bicara tentang kesejatian hidup dan cinta sekarang mereka menjadi wali semesta mengembara ke seantero jagatraya menyampaikan firman jiwa mengharumkan dunia Yogyakarta, 16 Agustus 2018 DONGENG TENTANG PENYIHIR HUTAN (1) “Biarkan rohani mengurus dirinya sendiri kita gemukkan cinta agar bertahan di hati,” pesan singkat sahabat di kampung tempo hari Orang-orang di sekelilingnya sibuk hilir-mudik membabat-menjarah hutan menyulap pohon menjadi meja-kursi-almari-sova-buvet-dipan “Pestapora orang-orang kemaruk ingin kaya mendadak Mereka sedang dibuai mimpi hingga abai dan lupa diri menjadi orang kaya baru seperti kere munggah balai,” ceritanya lagi Lain hari, ketika pulang kampung kusaksikan orang-orang di sekeliling berlomba-lomba mengejar uang bersaing menumpuk kekayaan dengan menyulap pohon dan hutan jadi barang dagangan Aku tercengang, kelimpungan seperti monyet kehilangan sarang gela dan ngeri hingga pergi lagi Lari ke pangasingan. menjadi penari kendang babad-babad penopengan babak-babak rupiah yang bikin lelah sebagai monyet tak mungkin aku diam duduk di kursi goyang bekas pohon hutan sarangku yang dibabat orang (2) di pengasingan kudengar kabar anak-anak di kampung tak khusuk belajar di sekolah tak peduli pada pelajaran juga tak menghiraukan guru ngaji mengajarkan Alqur’an dan santapan rohani sebab hati-pikirannya dikebiri duniawi dan dubuai mimpi seperti orangtuanya asyik menikmati kemewahan hasil menyulap hutan dan pohonan menjadi harta berlimpah rumah gedung magrong-magrong mobil banyak yang kinclong sehari-hari bergaya hidup kelas tinggi petetang-petenteng berlagak selebriti “Selamat tinggal hutan rindu, pohon cintaku di pengasingan waktu pesanggrahan kalbu aku monyet hanya bisa mengenangmu!” gumamku tersedu (3) “Akhirnya waktu memberi jawaban seperti yang dulu kau ramalkan,” pesan singkat dari sahabat tersebut kemarin Ia menceritakan: setelah tak ada lagi hutan yang bisa diganyang dan pohon habis ditebang untuk diuangkan orang-orang kelimpungan, bahkan ada yang stress dan linglung karena terjerat utang mereka yang tempo hari berlomba-lomba menjadi orang kaya baru seperti kere munggah balai sekarang turun kembali ke lantai seperti dulu lagi! “Pulanglah monyet rupawan jangan lalai dan keasyikan jadi penari kendang di perantauan telah kubuatkan rumah pohon belantara jiwa di kampung kita untuk menyiapkan hari tua rumah cinta yang baka!” tuturnya Denpasar, 2009 - 2019 CERITA DARI PARANGTRITIS di semak rumpun perdu pesisir itu aku tersengat putri malu seorang penyair madu mengajakku menguak segara waktu dengan doa mahabbah jiwa “jangankan si anu, ombak pun akan takluk padamu,” bisiknya menghiburku saat hendak berangkat ke rantau sengatan putri malu masih terasa ngilu “zikir bisa mengusir ngilu dan malu ikuti saja arus cintamu jangan lupa kembali saudaraku Jogja rumah puisimu!” ya, pada saatnya nanti aku pasti ke Jogja lagi siapa tahu ada melati memberi harum-wangi atau worawari bersalam sepanjang hari Jogja/Denpasar, 10/23 JEMBATAN CINTA KALI WISA jembatan cinta lintasan segala yang melaju dari masa lalu sepanjang waktu di muara sungai itu, tanjung kalbu kularung cinta mengusung rindu aku jukung takberdayung perahu takberlayar terapung murung di ujung tanjung titipkan sauh sandarkan letih tambatkan cinta dan harapan kenangan yang hilang masa lalu menjadi indah setelah terlupakan setelah ditinggalkan masa sekarang dan esok yang kelak jadi kenangan aku tak sedang melacak jejak yang hilang sebab setiap jejak telah menjadi sejarah yang tak terhapus jejak lain kota ini menjadi sesak hirukpikuk, rupek dan sumpek semenanjung utara sejarah maritim jawa yang telah berubah perangainya menjadi pelimbahan hutan dan bangkai pohonan tanah sawah menjelma rama-rama beton dan pabrik penangkaran keserakahan “kau telah lama enyah ke entah tak berhak meminta kenangan mencari masa lalu yang hilang!” hardik jembatan jembatan cinta di atas sungai kota yang membara jiwa-jiwa buas-gerah-panas aku hanya boleh melintas numpang lewat sesaat dengan perasaan gamang pikiran ciut, hati bergolak dan jantung berdetak-detak Jepara - Denpasar, 15/23 PURNAMA DI TENSUT BEDAHULU sampai kapan terjaga purnama hati orang-orang datang dan pergi mengusung gelisah mengantar sunyi ibu-ibu menyunggi sesaji ke pura di tepi kali dan pohon besar berdaun warnawarni akarnya menjulur ke kedung kali di bawahnya ikan-ikan sembunyi bidadari-bidadari belia hingga nini-nini mandi di bantaran kali malam nanti purnama membumbung tinggi bayangannya ngambang di kedung angin membimbing malam menuruni rindu kasmaran daun-daun menari bunga berguguran ke kali memberkati putri bulan yang kau intip malam-malam “bidadari, bidadari, aku naksir kamu bidadari perawan bulan berbodi bali cantik nian harum melati bidadari, bidadari aku gandrung kamu bidadari dewi impian dari langit surgawi berkendara angin menuruni hati!” dadanya yang ranum mengingatkanmu pada ibu yang menyusui dan menggendongmu pada masa kanak dulu. ”O, lemparkanlah selendang kasih agar aku digendong ke langit!” dewa-dewa tertawa mendengar doamu bumi lindu kau terjatuh dari pohon jambu di halaman rumah Tensut Bedahulu tempatmu ngintip perempuan mandi sambil memetik dan makan buah jambu yang ranum dan montog kau bayangkan puting susu bidadari molek itu purnama naik sempurna wangi dupa mengharumi semesta asap membumbung ke angkasa mengiringi menerangi dunia melukis malam rupawarna purnama jiwa cinta Denpasar, 98/23
Pohon di Halaman Rumah Lebah: Puisi Nuryana Asmaudi SA
MENANAM PUISI kutanam puisi semoga jadi peneduh hati di taman rohani Denpasar, 13/2023 POHON DI TEPI KOLAM daun yang gugur ke kolam subuh tadi kujadikan...
731