DONASI

Wayang Menak: Upaya Manusia Sasak Menggali Hakikat Kediriannya

Jika ditanya, tradisi atau budaya apa yang paling tepat untuk menyampaikan koreksi atas jalannya suatu kepemimpinan, menyampaikan nilai-nilai luhur suatu suku bangsa, petuah-petuah atau pelajaran...

ESAI | THURSDAY, 19 JUNE 2025 | 10:13 WIB

Lamuh Syamsuar

Penyair dan Ketua Lesbumi PCNU Lombok Tengah. Buku puisinya, Topeng Labuapi, terbit di Rua-aksara, Yogyakarta, 2022.

Jika ditanya, tradisi atau budaya apa yang paling tepat untuk menyampaikan koreksi atas jalannya suatu kepemimpinan, menyampaikan nilai-nilai luhur suatu suku bangsa, petuah-petuah atau pelajaran hidup yang berbasis kesenian dan hiburan masyarakat Sasak? Tanpa ragu-ragu saya akan menjawab, “Pementasan wayang.” Sebab wayang merupakan salah satu hiburan yang mampu menjangkau nyaris seluruh lapisan masyarakat. Mulai kalangan anak-anak hingga dewasa. Baik golongan awam maupun golongan serius, seperti kalangan cerdik pandai maupun para bijak bestari.

Anak-anak misalnya. Mereka tidak hanya dapat menikmati suguhan gerak dari pendar bayangan wayang yang menari-nari dari balik kelir. Tetapi juga dapat menikmati sajian kisah-kisah kepahlawanan (wiracarita) yang bersifat heroik dari tokoh-tokoh pewayangan yang dipentaskan.

Sementara itu, kalangan remaja yang sedang dalam masa-masa “pubertas” menikmati sajian kisah roman picisan yang romantis, ironis atau bahkan dramatis dari lakon-lakon yang dimainkan. Tak terkecuali bagi masyarakat awam, mereka juga dapat menikmati banyolan atau lawakan segar yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh lokal semisal Amaq Keseq, Alek Perjek, Beko, Amaq Baok, Inaq Itet dan lainnya.

Sedangkan kalangan cerdik pandai atau para bijak bestari yang sudah dapat berpikir mendalam dapat menjadikan pertunjukan wayang sebagai medium untuk memetik hikmah atau pelajaran hidup. Sebab, menonton pertunjukan wayang, bagi mereka, sejatinya bukan hanya sekadar menyaksikan gerak gerik bayangan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang dari balik kelir belaka, seperti anak kecil tadi.

Bagi mereka (orang arif), menikmati pertunjukan wayang bak menyaksikan sketsa  perjalanan hidup mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa lakon-lakon dan atau bayangan wayang yang diproyeksikan itu, pada hakikatnya, merupakan pendar bayangan atau citraan dari pergulatan ruhani mereka (manusia) sendiri di atas panggung kehidupan. Maka tak ayal mereka dapat memaknai pertunjukan wayang sebagai bentuk refleksi, pengenalan jati diri, serta jalan kembali (pulang) menuju Tuhan.

Dengan pemaknaan yang cukup mendalam seperti inilah, menonton pertunjukkan wayang menjadi sebuah aktivitas yang amat luhur, berbudaya, dan memiliki nilai seni tinggi. Wayang tidak hanya dinilai sebagai hiburan semata, namun, wayang juga dianggap dapat menghadirkan perenungan yang mendasar dan mendalam, mengenai hakikat diri, dari mana, dan hendak kemana “diri” itu akan kembali pulang.

Ngaji Wayang Sasak

Berangkat dari pandangan di atas, maka tidak mengherankan, jika masyarakat Jawa, kerap mensejajarkan arti menonton wayang dengan istilah “Ngaji Wayang” dimana “ngaji” dimaknai sebagai, “ngangsu kawruh marang Kang Sawiji” kurang lebih berarti, “menggali pengetahuan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa”. Sedangkan istilah “wayang” dimaknai sebagai “wewayanganing agesang” yang artinya, “pagelaran lakon kehidupan secara utuh”.

Jadi secara singkat istilah ngaji wayang dapat dimaknai sebagai bagian dari aktivitas manusia untuk mengenali jati diri kemanusiaanya dan secara bersamaan bertujuan untuk mengenal Tuhannya, dengan cara memetik setiap hikmah yang lahir dari sasmita (perlambang), yang ditampilkan oleh permainan gerak bayangan wayang.

Wayang Purwa di Jawa menggunakan pakem Epos Ramayana dan Mahabarata. Ini berbeda dengan Wayang Sasak yang menggunakan pakem atau babon dari Serat Menak. Tokoh utama Jayengrana dinilai sebagai perlambang manusia utama (Janma Utama) dalam wayang sasak. Ia adalah manusia yang selaras perkataan dan perbuatannya. Manusia yang mampu memenangkan banyak pertempuran dalam perjalanan hidupnya, terutama pertempuran melawan diri sendiri (baca: nafsu). Oleh sebab itu kendati Jayengrana merupakan seorang sultan atau raja (Sultan Kuparman Hamidil Alam), ia masih dapat tampil sederhana (tidak berlebihan) dalam segala hal, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Tipologi kepemimpinan Jayengrana juga kerap dirujuk oleh sebagian penikmat Wayang Sasak sebagai tipe pemimpin yang paling ideal. Hingga pemberian legitimasi kepada Jayengrana ini, secara tidak langsung dapat berlaku sebagai koreksi atau kritik terhadap penguasa daerah, apabila sang penguasa bertindak dan berlaku menyimpang dari tugas kepemimpinan yang telah diamanatkan kepadanya.

Selain itu, pada wayang Jawa, panakawan merupakan pamomong bagi Pandawa atau Kurawa. Pamomong berarti pengasuh sekaligus pembimbing para kesatria, yang setia mendampingi mereka dari sejak kecil hingga dewasa. Contohnya seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong di pihak Pandawa. Serta Togok di pihak Kurawa.

Pada Wayang Sasak, sosok panakawan, cenderung ‘agak’ sedikit berbeda. Panakawan dalam konteks Wayang Sasak adalah sahabat-sahabat terdekat Jayengrana (kira-kira usia mereka sebaya dengan Jayengrana), bukan pamomong atau pengasuh seperti dalam pewayangan Jawa. Mereka senantiasa mendampingi Jayengrana berjuang (berperang) untuk mengalahkan musuh-musuhnya.

Panakawan yang paling utama dalam Wayang Sasak adalah Umar Maya, Arya Maktal, Umar Madi, Saptanus, Taptanus dan Selandir (Alam Daur) di sisi Jayengrana, serta Pendeta Betaljemur di sisi Prabu Nusirwan. Tokoh-tokoh tersebut, boleh dibilang merupakan perlambang dari unsur-unsur terpenting yang melekat dalam diri seseorang, dan selalu menyertai perjalanan hidup manusia.

Umar Maya misalnya, putra dari Tembi Jumarim (seorang kelana dari India dan menetap di Makkah, setelah menikahi seorang putri dari Bani Hasyim) ini memiliki karakter cerdik, jenaka dan sangat kuat. Umar Maya boleh jadi merupakan unsur yang mewakili kecerdasan pikiran yang dapat menuntun manusia agar bisa mengatasi setiap persoalan dalam hidupnya dengan cara yang paling arif.

Kemudian ada Arya Maktal, merupakan tokoh Panakawan dalam Wayang Sasak yang digambarkan dengan sifat ketenangan dan memiliki wajah yang tampan (mirip dengan Jayengrana). Boleh jadi ia merupakan perlambang dari wibawa atau karisma manusia yang berjalan di atas kebenaran. Sebab, manusia sejati yang mampu menjernihkan pikirannya dan berjalan di atas kebenaran tidak perlu takut atau ragu dalam mengambil keputusan apapun.

Sementara Umar Madi adalah salah satu panakawan, yang digambarkan sebagai sosok yang berbadan besar, perut buncit dan memiliki sifat rakus dengan makanan. Kendati, ia dicitrakan negatif (sebagai perlambang hawa nafsu atau ambisi) akan tetapi nafsu tetap menjadi bagian inheren dari diri manusia. Nafsu atau ambisi manusia tidak boleh dimatikan, tetapi ia harus bisa dikendalikan dan diarahkan ke hal-hal yang positif. Dan upaya pengendalian nafsu (diri) manusia ini adalah seruan jihad paling besar, setidaknya dalam perspektif Islam.

Sama halnya dengan Selandir atau Alam Daur, tokoh Panakawan yang satu ini merupakan sosok yang digambarkan bertubuh besar, kuat dan gampang marah. Selandir boleh jadi merupakan prototipe manusia yang memiliki kekuatan besar dan gampang meluapkan emosinya atau amarahnya. Layaknya Umar Madi dengan sifat rakusnya, nafsu amarah juga mestinya dapat dikendalikan atau diolah menjadi semacam sikap tegas dalam mengambil setiap keputusan, berpendirian kuat dan jelas arah tujuan hidupnya.

Kemudian ada Saptanus dan Taptanus merupakan, kesatria kembar yang juga sangat setia kepada Jayengrana. Kesatria kembar ini boleh jadi merupakan simbol dari entitas yang saling berpasang-pasangan satu sama lain, dan simbol dari keharmonisan hidup.  Simbol atau representasi dari dwi-tunggal, kesatuan gerak hati dan pikiran manusia, kesatuan lahir dan batin manusia, serta simbol keselarasan perbuatan manusia dengan kehendak alam.

Sementara itu, dari pihak yang berseberangan (antagonis) terdapat tokoh bernama Prabu Nusirwan (mertua Jayengrana) yang digambarkan dengan sosok raja yang paling berkuasa namun tidak memiliki pendirian yang kuat sehingga mudah dipengaruhi oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan.

Saya membayangkan bahwa Prabu Nusirwan ini adalah gambaran dari hati manusia. Hati, boleh dibilang merupakan simbol dari raja yang paling berpengaruh dalam “kerajaan diri”.

Seperti sebuah dalil yang menyebutkan bahwa “baik buruknya seseorang ditentukan oleh hati nuraninya atau kalbunya”. Oleh sebab itu ia selalu disertai oleh dua potensi, yakni energi baik dan energi jahat (perusak) di sampingnya.

Energi baik itu dalam Wayang Sasak disimbolkan dengan Pendeta Betaljemur, Pendeta Betaljemur selalu diidentikkan sebagai sosok penasehat raja yang arif dan bijaksana. Ia selalu berusaha menuntun Prabu Nusirwan ke jalan yang benar dengan nasehat-nasehatnya. Sedangkan Patih Bestak/Baktak mewakili sisi sebaliknya. Ia selalu memberi saran-saran yang menjerumuskan Prabu Nusirwan ke arah kesesatan, seperti hasutan-hasutan liciknya kepada Prabu untuk mencelakakan Jayengrana.

Sayangnya, dalam cerita Pewayangan Sasak, Prabu Nusirwan digambarkan sebagai raja yang lebih cenderung mengikuti bisikan-bisikan dari Patih Bestak ketimbang Pendeta Betaljemur. Sehingga perjalanan hidupnya selalu dirundung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kendati demikian, dari kisah Prabu Nusirwan inilah kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kesengsaraan hidup yang dialami manusia terkadang disebabkan oleh kecenderungan manusia itu sendiri, yang suka menuruti bisikan hati yang kurang baik.

Akhirnya, lebih dari sekedar interpretasi singkat mengenai tokoh-tokoh pewayangan, dalam pementasan Wayang Sasak, sekiranya, dari tulisan ini juga kita dapat memahami bahwa, masyarakat Sasak telah mampu mengolah sistem nilai dan falsafah hidup mereka melalui simbolisasi karakter tokoh-tokoh pewayangan. Sehingga kehadiran tokoh-tokoh tersebut, bukan hanya memperkaya cerita, tetapi juga menjadi ruang reflektif untuk menilai dan memahami diri mereka sendiri. Dengan demikian, pementasan Wayang Sasak, tidak hanya bermanfaat sebagai tontonan belaka, tetapi juga sebagai tuntunan batin. Simbol spiritualitas untuk menyelami makna kehidupan, sekaligus sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Wallahua’alam!

Bahan Bacaan:

Maula, M. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.

Mulyono, I. (1978). Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung .

Qodri, M. S. (2018). Konsep Kesempurnaan Tokoh Wong Menak dalam Wayang Sasak. Panggung, 317-330.

Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantra.

Wijanarko. (1991). Selayang Pandang Wayang Menak. Solo: Amigo.