Sewulan dan Lahirnya Raja: Sebuah Kisah yang Terlupakan
Selama bertahun-tahun, beredar sebuah narasi yang diyakini sebagai asal-usul Perdikan Desa Sewulan. Cerita yang diwariskan secara lisan ini menyebut bahwa tanah perdikan diberikan oleh Pakubuwono...
Penulis Buku Babad Sewulan: Jejak dan Ajaran Bagus Harun
Selama bertahun-tahun, beredar sebuah narasi yang diyakini sebagai asal-usul Perdikan Desa Sewulan. Cerita yang diwariskan secara lisan ini menyebut bahwa tanah perdikan diberikan oleh Pakubuwono II sebagai bentuk balas jasa atas partisipasi Raden Mas Bagus Harun yang ikut nderekne, atau mengantarkan Pakubuwono II menuju Kartasura. Bahkan, menurut versi yang beredar, ia bersama santri Tegalsari juga turut membantu mengusir gerombolan Sunan Kuning dari Istana Kartasura. Cerita tutur ini kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan—mulai dari naskah stensil lokal, buku sejarah populer, hingga karya ilmiah berupa skripsi. Salah satu yang meyakini cerita itu adalah saya sendiri, hingga saya menulis buku Babad Sewulan: Jejak dan Ajaran Bagus Harun pada tahun 2021 lalu.
Meski kisah tersebut telah mengakar kuat dalam ingatan kolektif masyarakat di sana—dan pernah pula saya yakini secara pribadi—keraguan mulai muncul saat saya menelusuri sumber-sumber sejarah yang lebih awal dan mendalam. Pengalaman itu membuka mata saya bahwa apa yang kita anggap sebagai kebenaran sejarah kadang perlu diuji kembali. Kita sering merasa sudah mengerti segalanya tentang tempat asal kita—dalam hal ini Sewulan, sebuah desa yang selama ini dibanggakan lewat berbagai cerita heroiknya, termasuk kisah tentang Ki Ageng Basyariyah yang diwariskan turun-temurun. Tapi bagaimana jika sebagian dari yang kita yakini itu tak sepenuhnya benar? Bagaimana jika sumber-sumber sejarah primer justru menyimpan cerita yang sedikit berbeda, dan Sewulan ternyata menyimpan jejak sejarah yang lebih dalam daripada yang selama ini diketahui?
Pertanyaan itu membawa saya pada salah satu fragmen sejarah yang kerap luput dari perhatian: kisah perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap kakaknya sendiri, Sunan Pakubuwono II. Perlawanan ini memaksanya menjadi pelarian berbulan-bulan di pedalaman Monconegoro Timur, termasuk wilayah Sukowati dan Madiun. Sejumlah sumber, baik naskah babad maupun catatan kolonial abad ke-18, menyebut bahwa Mangkubumi sempat bergerak di kawasan timur Mataram—dari Grobogan, Ngawi, hingga Madiun—untuk mencari dukungan dan menyusun kekuatan. Jejak peristiwa ini memperlihatkan bagaimana sejarah lokal seperti Sewulan selalu terselip di antara narasi besar yang selama ini dianggap sebagai kebenaran tunggal.
Dalam masa pelariannya, Sewulan menjadi tempat penting yang kerap terlupakan. Di sana, Mangkubumi berguru kepada seorang ulama kharismatik bernama Kyai Muhammad Santri. Tak banyak catatan sejarah tentang Kyai Muhammad Santri ini, namun menurut sumber lokal, ia pernah menjabat sebagai Tumenggung Alap-alap. Ia mendalami ajaran-ajaran agama: memahami makna puasa sebagai laku pengendalian diri, memperdalam ilmu tauhid dan adab, serta merenungi keutamaan malam Lailatul Qadar. Salah satu pengalaman spiritual yang paling membekas adalah saat Mangkubumi menjalani ibadah secara khusyuk pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya malam-malam ganjil seperti malam selikur, malam telu likur, malam selawe, malam pitu likur, dan malam songo likur. Dalam suasana sunyi pesantren dan kesederhanaan Desa Sewulan, ia menemukan ketenangan yang tak ia dapatkan di istana yang penuh gejolak—ketenangan yang kemudian membentuk dasar batin seorang raja.
Akhirnya, pengembaraan panjang itu mencapai puncaknya ketika pada tahun 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Menariknya, yang membedakan Mangkubumi dari penguasa lain bukan saja kemenangan politik yang diraihnya, melainkan pengalaman spiritual yang ia dapat di Sewulan kemudian ia bawa dalam memimpin Kesultanan Yogyakarta. Pengalaman spiritual selama di Sewulan tidak berlalu begitu saja; nilai-nilai yang ia serap selama nyantri pada masa perlawanan menjiwai langkah-langkahnya dalam membentuk karakter Kesultanan Yogyakarta yang berakar pada budaya Jawa dan berjiwa Islam.
Salah satu warisan rohani yang dibawanya ke dalam keraton adalah tradisi maleman—malam-malam menjelang Lailatul Qadar yang diisi dengan doa, tirakat, dan laku batin. Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna. Maleman bukan sekadar ritual malam ganjil, tetapi penanda bahwa kekuasaan pun membutuhkan keheningan dan ketundukan kepada Allah Sang Maha Kuasa.
Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna.
Oleh karena Mangkubumi merasa bahwa ia mendapatkan kekayaan spiritual dari gurunya, maka sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada Kyai Muhammad Santri, Sultan Hamengkubuwono I menghadiahkan tanah perdikan Sewulan—wilayah yang dibebaskan dari kewajiban pajak dan diberi hak otonom untuk mengembangkan pendidikan dan kehidupan keagamaan. Dengan itu, Sewulan diabadikan bukan hanya sebagai tempat persinggahan seorang pangeran yang terusir, melainkan sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Islam yang diwariskan hingga generasi kini—sebuah pengingat bahwa sejarah besar sering berakar dari tempat-tempat yang tak dikenal.
Ironisnya, tradisi spiritual yang baik itu kini perlahan mulai memudar di wilayah Yogyakarta—tergerus zaman, ditinggalkan generasi muda, dan hanya bertahan di beberapa lingkungan tertentu. Jejak yang dulu begitu kuat kini nyaris menjadi kenangan. Namun di tempat asalnya, di Sewulan, tradisi maleman atau tirakat sewu wulan yang kini menyebar di seluruh penjuru Jawa, masih dijalankan dengan semarak hingga kini.