Setiap kali seorang santri mencium tangan kiainya, ada saja yang sinis. “Itu sisa feodalisme,” kata sebagian kalangan yang mengaku rasional. Tuduhan itu sering muncul di ruang publik, terutama dari mereka yang menilai segala relasi sosial melalui kacamata modern dan sekuler. Cara pandang yang menafsirkan penghormatan hanya sebagai bentuk legitimasi kekuasaan.
Dalam perspektif mereka, segala sesuatu harus diukur dengan logika horizontal: semua manusia setara secara sosial dan tak ada yang pantas dihormati secara berlebihan. Maka, ketika melihat santri menunduk di hadapan kiai atau berbicara dengan penuh tata krama, mereka segera membaca itu sebagai bentuk hierarki sosial. Padahal, pesantren tak pernah mendidik santri untuk tunduk pada manusia, melainkan untuk menundukkan ego di hadapan ilmu.
Sekularisme dan Krisis Makna Hormat
Pandangan sekuler lahir dari sejarah panjang perlawanan terhadap dominasi gereja di Eropa. Pada abad pertengahan, otoritas agama begitu kuat hingga mencampuri urusan ilmu, politik, dan bahkan hidup pribadi warga. Para pemikir Pencerahan seperti Descartes, Voltaire, dan Kant kemudian menggugat kekuasaan itu, dengan seruan agar manusia berpikir secara otonom tanpa tunduk pada dogma. Maka lahirlah apa yang disebut sekularisme: pandangan yang memisahkan ranah dunia dari ranah ketuhanan. Pada mulanya, ia adalah proyek pembebasan. Namun dalam perjalanannya, ia juga menggeser posisi nilai-nilai spiritual dari pusat kehidupan manusia.
Di bawah naungan rasionalitas modern, manusia kemudian diajarkan untuk percaya hanya kepada yang dapat diukur, diuji, dan disepakati secara logis. Segala yang bersifat batiniah, seperti rasa hormat, cinta, atau adab, dipandang sebagai residu tradisional yang tidak ilmiah. Di titik inilah, krisis makna hormat bermula.
Sekularisme menilai bahwa manusia yang merunduk pada yang lain telah kehilangan kebebasan dirinya. Maka, ketika santri mencium tangan kiainya, atau ketika seorang murid bersimpuh di hadapan guru, pandangan sekuler membaca itu sebagai bentuk perendahan, bukan penghormatan.
Padahal, dalam pandangan etika spiritual, penghormatan bukanlah bentuk penaklukan. Ia adalah pengakuan terhadap adanya sesuatu yang lebih tinggi, bukan dalam arti sosial, tetapi moral dan intelektual.
Dalam Islam, penghormatan kepada guru adalah cara menjaga rantai cahaya ilmu agar tidak terputus. Santri menunduk bukan karena takut, melainkan karena ia sadar bahwa cahaya pengetahuan tidak akan singgah di hati yang sombong. Inilah yang hilang dalam nalar sekuler: kesadaran bahwa manusia bisa belajar justru dengan menempatkan diri di bawah, bukan selalu di atas.
Ketika nilai hormat kehilangan makna spiritualnya, dunia modern menggantikannya dengan etika formal dan kontrak sosial. Kita diajarkan sopan santun karena norma, bukan karena cinta. Kita menunduk karena aturan, bukan karena kesadaran. Relasi antar manusia berubah menjadi hubungan transaksional: guru menjadi penyedia jasa, murid menjadi pelanggan. Dalam sistem seperti ini, ilmu kehilangan barakah-nya, dan pendidikan kehilangan ruhnya.
Sekularisme berhasil menegakkan kebebasan, tetapi gagal menjaga kehalusan jiwa manusia. Maka tak mengherankan jika masyarakat modern sering gagal memahami dunia pesantren.
Feodalisme: Antara Tanah, Kekuasaan, dan Ketakutan
Kata feodalisme sering dilontarkan dengan nada sinis, seolah menjadi simbol keterbelakangan dan penindasan. Padahal, banyak yang menggunakannya tanpa memahami akar sejarahnya.
Feodalisme bukan sekadar soal kaya-miskin atau atasan-bawahan; ia adalah sistem sosial yang berakar pada kepemilikan tanah, ketaatan paksa, dan hierarki yang sulit ditembus. Menyebut pesantren feodal tanpa memahami ini sama seperti menuduh petani sebagai penjajah karena ia memiliki sawah.
Secara historis, feodalisme berkembang di Eropa pada abad pertengahan. Tanah menjadi sumber kekuasaan dan kehidupan: bangsawan menguasai wilayah luas, rakyat bekerja sebagai petani penggarap, dan sebagian besar hasil panen diserahkan kepada tuan tanah. Ketaatan lahir dari ketakutan, bukan penghormatan; jarak sosial dijaga melalui simbol, dan manusia dianggap terlahir tidak setara. Sistem ini melahirkan dominasi yang mengekang kebebasan berpikir dan berdialog.
Ketika bangsa Eropa menjajah Asia dan Afrika, warisan feodal ini terbawa dalam bentuk kolonialisme. Di Hindia Belanda, struktur kekuasaan diterapkan melalui tanam paksa, birokrasi rasis, dan stratifikasi sosial yang memisahkan Eropa, priyayi, dan pribumi. Warisan mental kolonial ini membuat sebagian orang Indonesia menuduh pesantren feodal, karena menilai dengan ukuran kolonial: yang menunduk dianggap terbelakang, yang duduk di atas dianggap penguasa. Padahal, dalam konteks sejarah Indonesia, tunduk di hadapan kiai lahir dari kesadaran kolektif: ilmu sebagai jalan pembebasan, bukan alat kekuasaan.
Ironisnya, banyak orang modern yang menuduh pesantren feodal justru hidup dalam feodalisme gaya baru. Mereka tunduk bukan pada kiai, tetapi pada algoritma, pasar, atau korporasi; menghormati bukan karena rasa takzim, tetapi karena gaji. Kapitalisme modern, dalam arti tertentu, menciptakan feodalisme tanpa istana: manusia tetap tunduk, namun dalam bentuk yang lebih tersembunyi dan canggih.
Pesantren: Ruang Anti-Feodal yang Lahir dari Rakyat
Di tengah tuduhan bahwa pesantren berwatak feodal, sejarah justru menyuguhkan paradoks: pesantren-lah yang pertama kali menolak tunduk kepada feodalisme, baik dalam bentuk kolonialisme maupun kekuasaan lokal yang menindas rakyat. Mereka membangun lembaga pendidikan yang lahir dari rakyat, bukan dari kekuasaan. Di pesantren, wibawa tidak diwariskan, tetapi dipelihara melalui ilmu, adab, dan pengabdian.
Sejak abad ke-18, pesantren telah menjadi benteng rakyat dari penjajahan dan ketimpangan sosial. Sayyid Sulaiman mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri pada tahun 1745, menjadikannya pesantren tertua di Indonesia yang mandiri secara ekonomi dan teguh menjaga tradisi keilmuan Islam. Lima tahun kemudian, sekitar 1750, KH Muqoyyim bin Abdul Hadi, seorang Mufti Keraton Cirebon, mendirikan Pondok Pesantren Buntet sebagai pusat dakwah sekaligus basis perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Menjelang abad ke-19, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang pada tahun 1899, membuka era baru pendidikan Islam yang menggabungkan sistem tradisional dan pembaruan intelektual. Dari Tebuireng pula lahir Resolusi Jihad, yang menggerakkan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Di pesisir Tuban, Hadratussyekh KH Muhammad Nur mendirikan Pondok Pesantren Langitan, yang kelak menjadi mercusuar ilmu dan melahirkan banyak ulama pejuang. Sementara di Kediri, KH Sholeh Banjarmelati merintis Pesantren Lirboyo yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya, KH Abdul Karim (Mbah Manab), menjadi pusat pendidikan akhlak dan perjuangan rakyat. Di tangan Mbah Manab, pesantren menjadi simbol kemandirian dan keteguhan: menolak tunduk pada raja maupun penjajah.
Sementara itu, di Yogyakarta, KH Muhammad Munawwir mendirikan Pondok Pesantren Krapyak pada tahun 1911. Ia dikenal sebagai ahli qira’at dan pelopor tahfiz Al-Qur’an di Indonesia. Tradisi keilmuan yang dibangunnya kemudian dilanjutkan oleh KH Ali Maksum, menjadikan Krapyak sebagai pesantren moderat dan berpengaruh luas dalam membentuk wajah Islam Nusantara.
Dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan, pesantren menjadi pusat gerakan rakyat. Resolusi Jihad 1945 yang dikeluarkan oleh para ulama Nahdlatul Ulama membuktikan bahwa spiritualitas dan nasionalisme tidaklah bertentangan. Justru karena dasar ruhani itulah semangat kebangsaan menjadi kuat. Bagi para santri, membela tanah air adalah bagian dari membela agama: hubbul wathan minal iman.
Jejak para kiai ini menegaskan satu hal: pesantren tidak pernah menjadi alat kekuasaan, melainkan ruh perjuangan rakyat. Dari Sidogiri hingga Krapyak, dari Buntet hingga Langitan, pesantren berdiri bukan di atas tanah feodal, tetapi di atas tanah keikhlasan. Ia menolak tunduk kepada raja, namun juga tidak kehilangan hormat kepada nilai-nilai moral yang menjaga tatanan masyarakat.
Selain itu, otoritas seorang kiai bukanlah bentuk dominasi, tetapi amanah. Karena itu, pesantren menjadi ruang yang otentik sebagai tempat ketaatan dan penghormatan, tetapi tidak membunuh kebebasan dan tidak menindas kemanusiaan.
Egalitarianisme di Dalam Pesantren
Kiai tidak hidup di menara gading, terpisah dari para santri. Ia menganggap para santri sebagai anak-anaknya dan bahkan sering menanggung beban operasional pesantren tanpa diketahui orang lain. Kepemimpinannya lahir bukan dari kekuasaan atau posisi sosial, melainkan dari dedikasi dan komitmen terhadap regenerasi. Dalam struktur ini, otoritas bukan alat dominasi, melainkan amanah yang dijalankan dengan transparansi, kesederhanaan, dan rasa tanggung jawab yang substansial.
Jika feodalisme ditandai oleh jarak sosial yang kaku, pesantren justru membongkar sekat-sekat itu. Semua santri hidup dalam kesederhanaan yang sama: makan bersama dalam satu wadah, mencuci pakaian sendiri, dan bekerja tanpa pamrih. Tak ada pembedaan antara anak pejabat dan anak petani. Bahkan, di Pondok Pesantren Lirboyo, santri aktif bergotong royong membangun dan memelihara fasilitas pesantren, dari pengecatan, perbaikan gedung, hingga pemeliharaan masjid. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepemilikan bukan monopoli pengurus, melainkan usaha kolektif.
Di dunia modern yang sering lantang berbicara tentang kesetaraan, justru pesantren yang berhasil mengamalkannya. Egalitarianisme di pesantren bukan sekadar retorika, melainkan disiplin moral. Satu-satunya hierarki yang diakui adalah hierarki ilmu dan akhlak—sesuatu yang bahkan teori demokrasi modern masih gagap menerapkannya.
Kritik Sekuler dan Kekosongan Spiritualitas
Mereka yang menuduh pesantren feodal sering lupa bahwa kebebasan sekuler pun bisa melahirkan feodalisme baru: feodalisme ego, ketika manusia hanya tunduk kepada dirinya sendiri. Dalam sistem nilai seperti ini, yang paling tinggi bukan lagi kiai, melainkan “aku.” Setiap orang menjadi pusat semesta, dan semua bentuk penghormatan dianggap mengancam otonomi diri.
Sekularisme modern sering mengira bahwa dengan memisahkan agama dari kehidupan, manusia akan menjadi lebih bebas dan rasional. Namun yang terjadi justru sebaliknya: ketika nilai-nilai spiritual dihapus, manusia kehilangan arah moral. Kebebasan tanpa bingkai transendensi berubah menjadi kebingungan, dan kritik terhadap otoritas berubah menjadi kultus terhadap diri sendiri. Dalam lanskap semacam itu, penghormatan dianggap kuno, padahal ia adalah pondasi dari peradaban.
Kritik sekuler terhadap pesantren kerap lahir dari paradigma yang menolak adanya nilai yang lebih tinggi dari manusia. Ia memandang setiap bentuk kepatuhan sebagai ancaman bagi kebebasan individu.
Kekosongan spiritual masyarakat sekuler tampak dalam cara mereka memandang ilmu: sesuatu yang harus cepat, instan, dan menghasilkan keuntungan material. Mereka melupakan bahwa ilmu sejati memerlukan tazkiyah atau penyucian jiwa. Tanpa adab, ilmu hanya menjadi alat untuk memperbesar ego, bukan untuk menyingkap kebenaran.
Pesantren, dengan seluruh tradisinya yang sederhana, justru menjaga keseimbangan antara akal dan hati, antara kebebasan berpikir dan keberserahan kepada Yang Maha Pemilik Ilmu. Karena itu, tuduhan bahwa pesantren feodal sebenarnya adalah cermin dari ketidakmampuan masyarakat sekuler memahami kebebasan dalam bingkai spiritual. Mereka mengira tunduk berarti kalah, padahal dalam dunia ruhani, menunduk justru berarti menang, sebab di sanalah ego dikalahkan, dan kebijaksanaan mulai tumbuh.
Pesantren tidak sedang mempertahankan sistem lama, tetapi sedang menjaga manusia agar tidak kehilangan dirinya sendiri di tengah gemuruh dunia yang memuja kebebasan tanpa arah.
Adab Sebagai Antitesis Feodalisme
Tuduhan feodalisme terhadap pesantren mencerminkan krisis epistemik masyarakat modern, yang terlalu sibuk memuja kesetaraan hingga lupa bahwa menunduk kadang adalah cara paling bijak menjaga ilmu. Pendidikan yang berubah menjadi industri, ilmu menjadi komoditas, dan penghormatan dianggap usang membuat adab terasa asing.
Seorang santri menaruh hormat kepada kiai sebagaimana musafir menaruh hormat kepada penunjuk jalan di padang luas; tanpa bimbingan itu, langkahnya mudah tersesat sebelum sampai ke sumber ilmu.
Pesantren bukan menara kekuasaan, melainkan halaqah yaitu lingkaran ilmu tempat semua duduk sejajar di hadapan kebenaran. Imam Malik berdiri dengan hormat di hadapan makam Nabi Muhammad SAW, Imam Syafi‘i menunduk di depan Imam Malik bukan karena takut, tetapi karena kesadaran batin terhadap guru. Inilah ruh pesantren: penghormatan bukan kepada pribadi, melainkan pada nilai dan ilmu yang diwakilinya.
Di era serba cepat ini, adab sering disalahpahami sebagai pengekangan, padahal ia melindungi manusia dari kesombongan intelektual dan kebebasan tanpa arah. Masyarakat modern menilai segalanya berdasarkan popularitas atau keberanian menentang otoritas, bukan kebijaksanaan, sehingga tradisi pesantren kerap dianggap kolot hanya karena menjaga hierarki moral guru-murid.
Di sinilah pesantren menjadi antitesis dunia sekuler. Pesantren mengajarkan bahwa manusia merdeka justru ketika mampu menundukkan egonya, bukan ketika menolak semua bentuk otoritas. Adab adalah seni menempatkan diri: bukan sekadar sopan santun, tetapi kemampuan mengenali derajat sesuatu dan memberi haknya sebagaimana mestinya.
Jika feodalisme mematikan nalar dengan paksaan, adab justru menghidupkannya melalui ketenangan dan kerendahan hati, menegaskan bahwa ilmu lahir dari disiplin dan pengabdian, bukan ego. Pesantren memelihara adab bukan untuk mempertahankan kuasa, melainkan untuk menjaga kesucian ilmu, sehingga hormat menjadi mekanisme yang membebaskan, bukan mengekang, dan memastikan institusi ini tak pernah jatuh ke dalam feodalisme.
Sudah saatnya kita menengok kembali pesantren bukan sebagai institusi masa lalu, tetapi sebagai penanda masa depan: tempat pengetahuan dan penghormatan berdamai, saat kegagalan memahami adab bukan sekadar kesalahan intelektual, tetapi kemiskinan etika spiritual.
Biodata singkat:Eka Nusa Pertiwi adalah aktris, sutradara, pelatih akting, dan produser teater asal Indonesia yang lahir di Jakarta pada 1 November 1990. Ia memulai karier teater sejak 2006 dan menempuh pendidikan S-1 Seni Teater dalam bidang keaktoran di Institut Seni Indonesia Yogyakarta sejak 2008, kemudian melanjutkan studi S-2 Penciptaan dan Pengkajian Seni di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung dengan tesis berjudul “Penciptaan Post-Teater: Pengembangan Bentuk Teater Post-dramatik di Era Post-Truth.” Selain aktif sebagai aktris di panggung teater, film, dan serial web, ia juga terlibat dalam pengembangan pendidikan akting dan produksi pertunjukan independen. Karya-karyanya kerap mengangkat isu identitas dalam lanskap budaya kontemporer, dengan pendekatan realis dan eksperimental. Ekanusa mendirikan Laboratory of Acting, menjabat sebagai Direktur Asian Performance Study, serta menjadi Ketua Umum Asosiasi Suara Teater Nusantara. Ia juga aktif dalam kolaborasi lintas negara dan lintas disiplin, baik dalam konteks pertunjukan, riset seni, maupun forum pertukaran budaya.