Akademi Barat: Pengalaman Meneliti Islam Jawa | Verena Meyer

Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Irfan sebagai penulis buku dan juga panitia pelaksana kegiatan ini karena sudah mengajak saya untuk diskusi buku ini di ruangan teatrikal perpus UIN Sunan Kalijaga ini (24 April 2019). Buku mas Irfan Afifi ini berjudul: “Saya, Jawa, dan Islam”. Jujur, saya tertarik dengan tema Islam di Jawa sejak saya S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara, dan waktu itu kemudian saya datang ke Indonesia dan mengambil kuliah di STF Driyarkara di Jakarta selama satu tahun. STF Driyarkara itu institusi Katolik, tapi kebetulan banyak teman saya di STF itu orang Jawa NU, dan oleh karena itu waktu itu saya sering berdiskusi terkait hubungan antara filsafat Barat dan warisan intelektual Islam dan Jawa.

Kemudian, saya kebetulan juga sedang melakukan penelitian untuk disertasi saya di Columbia University yang secara umum tentang tradisionalisme dan modernisme dalam Islam di Jawa. Dalam proses itu saya tersambungkan dengan Mas Irfan sebagai interlocutor (narasumber) dalam riset saya. Saya senang sekali membaca buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya mas Irfan Afifi ini karena sangat penting untuk saya dan secara personal saya belajar banyak sekali darinya, tidak hanya tentang tradisi dan modernitas, tetapi juga — dan ini penting sekali untuk saya sebagai peneliti asing — tentang efek penelitian yang tidak baik dan tidak benar.

Saya seorang dari luar, seorang yang berasal dari akademi Barat yang mempelajari Islam di Jawa. Oleh karena itu, pengalaman saya dan kepentingan saya sendiri memang agak berbeda dari pengalaman-pengalaman yang digambarkan oleh Mas Irfan dalam buku ini. Tapi sebenarnya juga ada beberapa hal yang cukup mirip, pengalaman yang diceritakan dalam buku ini yang juga terasa dalam perkembangan saya sebagai seorang peneliti asing.

Saya tadi sudah bercerita tentang waktu saya saat S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara. Lalu saya mulai belajar bahasa Indonesia dan saya dibiasakan dengan karya-karya yang masih disebut sebagai karya klasik dalam Studi Asia Tenggara dan Studi Agama Islam.

Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah.

Saya masih ingat saat semester satu, waktu itu saya baru pertama kali belajar sedikit tentang Jawa, yakni Jawa itu tempatnya di mana, terkait geografinya dan sejarahnya, dan hal-hal yang paling dasar. Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah. Apa yang dimaksudkan dengan “religion of Java”, apa pengandainnya hanya terdapat satu agama di Jawa, karena di bahasa Inggris ‘religion’ itu singular? Lebih aneh lagi, ‘religion’ yang dimaksudkan sepertinya bukan Islam tapi… apa, ya?

Jadi, waktu itu, sebagai anak S1 yang baru belajar sedikit tentang Jawa, saya mulai tahu bahwa sebenarnya tidak hanya ada satu agama di Jawa, tapi terdapat tiga agama yang namanya abangan, santri, dan priyayi (seperti digambarkan Geertz). Dan saya segera mempercayai ini, karena profesor saya bilang bahwa Geertz adalah seorang antropolog yang besar, dan saya waktu itu belum tahu banyak tentang Jawa maupun Islam. Jadi saya percaya, waktu itu, bahwa di Jawa ada agama abangan dan agama priyayi, agama yang “asli”, “Jawa”, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama Islam.

Gambar : Acara Bedah Buku “Saya, Jawa dan Islam” di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga bersama Verena Meyer (Kiri), Irfan Afifi (Tengah) dan Muhammad Ali Usman (Kanan).

Lalu, saya ke Jakarta, saya berteman dengan beberapa orang Jawa NU, dan saya makin merasa bahwa saya tidak bisa membayangkan apa itu budaya Jawa, yang terlepas dari Islam? Itu apa? Budaya Jawa dari zaman Majapahit? Saya merasa tidak hanya bahwa Islam dan Jawa tidak berlawanan, tetapi juga bahwa budaya Jawa itu sangat dibentuk oleh Islam. Dan waktu itu, saya merasa bahwa kalau saya ingin faham budaya Jawa, saya juga harus faham Islam. Jadi saya pindah jurusan dan saya mulai kuliah studi agama Islam.

Saya merasa bahwa akademi Barat sudah lebih sadar bahwa karya Pak Geertz itu bermasalah. Trikotomi abangansantripriyayi memang sudah sering dikritik. Pertama-tama, “priyayi” itu bukan agama tapi status sosial. Dan bagaimana dengan dikotomi “santri” dan “abangan” — sepertinya yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz itu bahwa ada dua pilihan: Jawa atau Islam, dan dua-duanya berlawanan. Kaum Jawa yang otentik harus menolak Islam, dan kaum Muslim yang otentik harus menolak kebudayaan Jawa. Jelasnya itu sungguh tidak benar. Mas Irfan menulis (h. 13), dengan nada tegas menyatakan: “saya Jawa, saya Islam”. Kenapa Clifford Geertz tidak bisa menerima itu? Lebih aneh lagi, Clifford Geertz seorang antropolog yang tinggal di Jawa selama beberapa tahun. Dia mengalami Islam di Jawa secara langsung, bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?

Bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?

Riwayat hidup Geertz sebenarnya cukup menarik untuk melihat relasi keterlibatan akademi (pengetahuan) dan politik. Ketika Clifford Geertz mendarat di Jawa, dia sudah punya beberapa keyakinan tentang Jawa yang berdasarkan iklim politik pada zaman itu, dan kalau sudah ada keyakinan yang kuat seperti itu, kita memang cenderung hanya mencari konfirmasi saja.

Ada beberapa hal yang cukup mencurigakan mengenai pendidikan dan perjalanan Clifford Geertz. Yang pertama, Clifford Geertz dipengaruhi oleh peneliti Belanda dari zaman kolonial. Mas Irfan menulis tentang agenda politik dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti kolonial. Orang Belanda punya kepentingan sendiri untuk menggambarkan Islam di Jawa sebagai “lapisan tipis”. Misionaris Kristen mau percaya bahwa Islam hanya lapisan tipis saja karena mereka berharap bahwa agama Kristen bisa diterima oleh orang Jawa. Lalu, orang Belanda juga takut gerakan Islam politik dan mereka merasa bahwa Islam sebagai sesuatu yang tidak mendalam, dan yang diresapi oleh budaya lokal, tidak begitu berbahaya. Lalu, ketika Clifford Geertz berangkat dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di Jawa, dia tidak langsung ke sini (Indonesia), dia mampir ke Belanda dulu. Di Belanda, dia bertemu dengan peneliti-peneliti senior kolonial Belanda yang menjelaskan anggapan mereka mengenai Islam di Jawa dan konsep “lapisan tipis” yang dulu muncul dari kepentingan kolonialisme. Dan sepertinya Geertz percaya juga, dia menerima anggapan peneliti yang dianggap lebih senior dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Jadi Geertz sudah punya ide yang jelas apa yang dia akan temukan di Jawa.

Apalagi, pada tahun 1950an suasana akademik di Amerika Serikat juga dibentuk oleh situasi perang dingin, dan banyak peneliti berpikir bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang lebih kompatibel dengan kapitalisme dan agenda negara Barat. Jadi agenda penelitian postkolonial tidak begitu berbeda dari agenda kolonial. Alias itu mungkin masih sama.

Sekarang banyak orang sudah faham bahwa karya Clifford Geertz sangat bermasalah. Tapi yang penting untuk saya, saya tidak mau menjelekkan Geertz sebagai individu. Jelas bahwa Clifford Geertz seorang yang cukup pintar, dan walaupun pintar dia juga tidak mungkin faham atau menyadari keterlibatan politik dalam karya akademiknya. Dia pasti tidak faham bahwa karya akademik itu mengakibatkan banyak masalah seperti yang digambarkan oleh Mas Irfan.

Secara personal, saya merasa ini agak menakutkan. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya saya tidak sepandai Clifford Geertz. Sebagai peneliti dari akademi Barat saya juga terlibat dalam agenda politik yang saya sendiri tidak faham. Apa akibat penelitian saya? Apakah penelitian saya juga akan menimbulkan masalah, seperti penelitian yang dilakukan Clifford Geertz?

Mas Irfan bercerita tentang rasa kegelisahan yang ditimbulkan oleh karya akademis yang tidak baik dan tidak benar. Secara pribadi, saya juga pernah mengalami rasa kegelisahan semacam itu, tapi dari sisi yang lain: Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?

Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?

Apalagi, dalam akademi Barat sampai sekarang masih ada banyak masalah struktural yang menghindar dan menjauhi pengertian yang lebih produktif mengenai Jawa dan Islam. Di akademi Barat masih ada kecenderungan yang kuat untuk memisah studi agama Islam dari studi Asia Tenggara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayu belum begitu diterima sebagai bahasa Islam di jurusan-jurusan Studi Agama. Itu tidak masuk akal — banyak sekali Muslim yang menulis dan membahas pikiran Islam dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kalau seorang murid mau membaca teks-teks klasik Jawa Islam, itu sulit sekali.

Pertama-tama, hampir sama sekali tidak ada ahli di akademi Barat. Kalau ada, mereka biasanya tidak ada di jurusan studi agama Islam, tapi hanya di jurusan “area studies”, seperti jurusan studi Asia Tenggara. Di jurusan Area Studies mereka akan belajar bersama dengan orang yang, misalnya, berfokus pada teknik hidrolik di Cambodia atau pendidikan di Filipina, jarang sekali ada orang yang juga berfokus pada Islam, dan oleh karenanya sastra Jawa dipelajari secara terlepas dari bahasa Arab dan konsep-konsep Islam. Jadi ada kecenderungan menganggap sastra Jawa sebagai sastra lokal yang harus difahami dalam konteks budaya lokal saja.

Gambar: Suasana Ruang Seminar Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga saat diselenggarakannya agenda bedah buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi.

Tapi sastra Jawa tidak hanya berisi kebudayaan Jawa melulu, apa lagi kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh Hinduisme atau Buddhisme, tetapi juga teks-teks yang banyak berisi ajaran Islam yang sama sekali tidak lokal, tapi global, yang ada di seluruh dunia Islam. Jadi, ini salah satu masalah politik struktural yang masih sangat nyata di akademi Barat, yakni menghindari pelajaran Islam di Jawa sebagai Islam. Jadi apa yang harus berubah? Pertama-tama, saya sangat berharap bahwa jurusan studi agama Islam di akademi Barat lebih menerima Jawa sebagai mata kuliah yang sangat penting. Tadi saya bilang, kalau ingin faham budaya Jawa, juga harus faham Islam. Kami harus lebih sadar di jurusan Islam di universitas Barat, tidak saja, jika mau memahami Jawa harus faham Islam, tetapi juga, kalau mau faham Islam harus faham Jawa.

Lalu, dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini ada beberapa hal yang saya rasa harus diperhatikan oleh akademi Barat. Yang pertama, mau tidak mau, masalah struktural politik pasti membentuk epistemologi dan konsep-konsep kita, dan kita tahu dari Michel Foucault bahwa epistemologi itu salah satu cara untuk menguasai orang lain. Misalnya, dalam buku ini Mas Irfan berbicara tentang istilah “filsafat” yang tidak begitu tepat untuk membaca ilmu pengetahuan Jawa. Sebagai mahasiswa S1 saya sering berdiskusi dengan teman-teman saya apakah pikiran-pikiran orang Jawa bisa disebut sebagai filsafat atau tidak. Waktu itu saya masih kurang sadar bahwa “filsafat” itu konsep yang sangat etnosentris, seperti banyak konsep lain yang kelihatan netral, tapi sebenarnya selalu menunjuk keterlibatan epistemologi dan politik.

Dalam pengertian banyak orang di akademi Barat, filsafat yang baik dan benar itu filsafat yang sama atau setidaknya semirip mungkin dengan filsafat Barat. Perbedaan dari perspektif Barat dianggap sebagai kekurangan. Kalau tidak cukup mirip dengan filsafat Barat, artinya itu bukan filsafat tapi… apa, ya?  Tradisi rakyat, atau hikmah lokal, dan pikiran dianggap kurang sistematis, karena epistemologi Barat tidak mampu memahami sistematisasi yang berbeda. Dan dalam diskursus akademik, kita dimungkinkan mengkritik dan mendekonstruksi epistemologi Barat, tapi kalau mau ikut diskursus normatif itu, masih harus memakai metodologi Barat yang berdasarkan epistemologi yang sudah dikritik. Ini dilema dasar teori postkolonial, dan solusinya mungkin tidak ada, kecuali menyadari dilema ini dan memahami implikasi dilemanya.

Seperti Mas Irfan, Ia membahas persoalan istilah “filsafat” yang kurang pas untuk Jawa karena ada dimensi epistemologi-politik seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih cocok menurut Mas Irfan untuk menyodorkan konsep “ngelmu”, yakni sebuah istilah yang ada di diskursus Jawa sendiri. Saya mengutip (h. 42): “Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.” Tapi ngelmu juga bukan hanya “kearifan lokal” atau “penyatu identitas kejawaan” semata. Melainkan ngelmu itu juga merupakan sebuah konsep yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Alquran yang tidak bisa terpisah dari konteks itu. Dan selain itu, konsep ngelmu dalam manifestasinya yang sekarang ini mungkin juga tidak bisa terpisah dari modernitas karena, dalam buku ini, diucapkan dalam suatu diskursus akademik. Jadi, dalam buku ini dimensi-dimensi tersebut disadari, dan saya merasa bahwa kesadaran itu sangat penting, apa lagi untuk kami, orang dari luar.

Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.

Yang kedua, ngelmu atau konsep lain yang ada di pikiran Jawa juga bukan konsep yang primordial yang selalu ada dalam bentuk yang sama dan tidak pernah berubah. Ini juga keyakinan yang dulu sangat populer dalam penelitian-penelitian: ada “esensi” pikiran Jawa yang selalu sama, tidak hanya terhadap Islam saja tapi juga modernitas yang juga dianggap hanya merupakan lapisan tipis saja. Ini juga sesuatu yang sering muncul dalam karya Clifford Geertz.

Gambar: Buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi

Di sini, Mas Irfan juga membahas keterlibatan tradisionalisme dan modernitas, yang sebenarnya tidak berlawanan. Jadi Mas Irfan juga membahas pertanyaan, apa yang terjadi dengan tradisi dalam zaman modern? Tradisi memang tidak hilang; tapi kita juga tidak bisa lepas dari modernitas karena modernitas sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak, modernitas juga tidak pernah berarti modernitas yang mutlak, karena modernisme tetap diucapkan melalui tradisi. Misalnya, di sini Mas Irfan membahas pemikir Suryomentaram dari awal abad ke-20, dan Mas Irfan menulis bahwa Pak Suryomentaram mengalami “godaan” atau “pilihan” antara tradisi dan modernitas. Tapi Suryomentaram dan Mas Irfan dua-duanya melihat bahwa itu bukan pilihan yang total, bukan satu yang diadopsi dan yang kedua ditolak, karena tradisi dan modernitas dua-duanya selalu maujud dalam pikiran kita. Apa lagi, karya Suryomentaram juga menjadi contoh bagaimana bisa menggunakan modernitas rasional untuk menjelaskan tema-tema pengetahuan lama.

Yang ketiga, saya belajar dari dua-duanya, Pak Suryomentaram dan Mas Irfan, bahwa pengetahuan tentang warisan Jawa itu tidak hanya untuk tujuan pengetahuan saja, alias untuk dirinya sendiri. Bagi keduanya, pengetahuan itu juga ada tujuan yang sangat praktis. Kalau mengenai Suryomentaram, Mas Irfan menulis, (mengutip dari halaman 96), “Warisan pengetahuan Jawa lama, baginya, semakin tak tersentuh, alih-alih menjadi solusi praktis atas kesengsaraan dan penderitaan rakyat sebagai bangsa terjajah”. Dan (h. 97), “Melalui corak pengetahuan seperti ini bukan hanya masyarakat dapat mengambil manfaat pengetahuan yang ia munculkan secara lebih pragmatis, melainkan juga bisa menjadi pengetahuan baru yang ‘responsif’ dengan tuntutan rasionalisme zaman yang pada saat bersamaan memiliki niat yang kukuh menyelesaikan problem masyarakat kebanyakan tanpa menanggalkan alur pokok kesinambungan akar pemikiran yang ada dalam masyarakatnya.”

Dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini Mas Irfan juga tidak mencari “otentisitas” dalam arti sebuah warisan yang tidak terkontaminasi oleh pikiran yang kurang “otentis”, yakni suatu “otentisitas” yang tidak ada kecuali dalam pembayangan dan “khayalan” kolonial. Tapi pertanyaan utama dari keduanya Suryomentaram dan Mas Irfan itu sangat eksistensial: Apa yang bermanfaat? Atau, secara lebih umum, apa akibat karya kita? Apa yang bisa membantu, apa yang bisa menimbulkan masalah? Saya berharap bahwa kami, di akademi Barat, juga lebih memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karya akademik tidak netral, tapi bisa bermanfaat ataupun bisa menyakiti juga. Semoga semakin banyak bermanfaat.

 

***

Tulisan ini dipresentasikan pada acara bedah buku, “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi (Tanda Baca; 2019) yang bertempat di Ruang Teatrikal Perpus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pukul 09.00-12.00, 24 April 2019. Diselenggarakan oleh American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lakpesdam PWNU DIY, dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.


 

Verena Meyer
Merupakan antropolog yang concern mendalami studi Indonesia, khususnya Jawa. Ia adalah kandidat Ph.D di Columbia University, Manhattan, Amerika Serikat. Verena, demikian Ia minta dipanggil, sedang mengkaji Islam Jawa terutama konsep ziarah dan silsilah dalam spektrum kalangan Islam tradisionalis dan modernis di Jawa, untuk kepentingan disertasinya. Tesis masternya yang berjudul “Why Shinta had to Die: Human Rights and Javanese Ethics” tuntas pada 2012 di jurusan Study of Religion, Oxford University, Inggris.