Menu

Akademi Barat: Pengalaman Meneliti Islam Jawa | Verena Meyer

Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Irfan sebagai penulis buku dan juga panitia pelaksana kegiatan ini karena sudah mengajak Saya untuk diskusi buku ini di ruangan teatrikal perpus UIN Sunan Kalijaga ini (24 April 2019). Buku mas Irfan Afifi ini berjudul: “Saya, Jawa, dan Islam”. Jujur, saya tertarik dengan tema Islam di Jawa sejak saya S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara, dan waktu itu kemudian saya datang ke Indonesia dan mengambil kuliah di STF Driyarkara di Jakarta selama satu tahun. STF Driyarkara itu institusi Katolik, tapi kebetulan banyak teman saya di STF itu orang Jawa NU, dan oleh karena itu waktu itu saya sering berdiskusi terkait hubungan antara filsafat Barat dan warisan intelektual Islam dan Jawa.

Kemudian, saya kebetulan juga sedang melakukan penelitian untuk disertasi saya di Columbia University yang secara umum tentang tradisionalisme dan modernisme dalam Islam di Jawa. Dalam proses itu saya tersambungkan dengan Mas Irfan sebagai interlocutor (narasumber) dalam riset saya. Saya senang sekali membaca buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya mas Irfan Afifi ini karena sangat penting untuk saya dan secara personal saya belajar banyak sekali darinya, tidak hanya tentang tradisi dan modernitas, tetapi juga — dan ini penting sekali untuk saya sebagai peneliti asing — tentang efek penelitian yang tidak baik dan tidak benar.

Saya seorang dari luar, seorang yang berasal dari akademi Barat yang mempelajari Islam di Jawa. Oleh karena itu, pengalaman saya dan kepentingan saya sendiri memang agak berbeda dari pengalaman-pengalaman yang digambarkan oleh Mas Irfan dalam buku ini. Tapi sebenarnya juga ada beberapa hal yang cukup mirip, pengalaman yang diceritakan dalam buku ini yang juga terasa dalam perkembangan saya sebagai seorang peneliti asing.

Saya tadi sudah bercerita tentang waktu saya saat S1 di bidang filsafat dan Studi Asia Tenggara. Lalu saya mulai belajar bahasa Indonesia dan saya dibiasakan dengan karya-karya yang masih disebut sebagai karya klasik dalam Studi Asia Tenggara dan Studi Agama Islam.

Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah.

Saya masih ingat saat semester satu, waktu itu saya baru pertama kali belajar sedikit tentang Jawa, yakni Jawa itu tempatnya di mana, terkait geografinya dan sejarahnya, dan hal-hal yang paling dasar. Salah satu buku yang saya baca waktu itu adalah Clifford Geertz, “The Religion of Java”, Agama Jawa. Agama Jawa —- sekarang, dalam retrospeksi, saya secara langsung melihat bahwa judul itu, “The Religion of Java”, sangat problematik sebenarnya, sangat bermasalah. Apa yang dimaksudkan dengan “religion of Java”, apa pengandainnya hanya terdapat satu agama di Jawa, karena di bahasa Inggris ‘religion’ itu singular? Lebih aneh lagi, ‘religion’ yang dimaksudkan sepertinya bukan Islam tapi… apa, ya?

Jadi, waktu itu, sebagai anak S1 yang baru belajar sedikit tentang Jawa, saya mulai tahu bahwa sebenarnya tidak hanya ada satu agama di Jawa, tapi terdapat tiga agama yang namanya abangan, santri, dan priyayi (seperti digambarkan Geertz). Dan saya segera mempercayai ini, karena profesor saya bilang bahwa Geertz adalah seorang antropolog yang besar, dan saya waktu itu belum tahu banyak tentang Jawa maupun Islam. Jadi saya percaya, waktu itu, bahwa di Jawa ada agama abangan dan agama priyayi, agama yang “asli”, “Jawa”, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama Islam.

Gambar : Acara Bedah Buku “Saya, Jawa dan Islam” di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga bersama verena meyer (Kiri), Irfan Afifi (Tengah) dan Muhammad Ali Usman (Kanan).

Lalu, saya ke Jakarta, saya berteman dengan beberapa orang Jawa NU, dan saya makin merasa bahwa saya tidak bisa membayangkan apa itu budaya Jawa, yang terlepas dari Islam? Itu apa? Budaya Jawa dari zaman Majapahit? Saya merasa tidak hanya bahwa Islam dan Jawa tidak berlawanan, tetapi juga bahwa budaya Jawa itu sangat dibentuk oleh Islam. Dan waktu itu, saya merasa bahwa kalau saya ingin faham budaya Jawa, saya juga harus faham Islam. Jadi saya pindah jurusan dan saya mulai kuliah studi agama Islam.

Saya merasa bahwa akademi Barat sudah lebih sadar bahwa karya Pak Geertz itu bermasalah. Trikotomi abangansantripriyayi memang sudah sering dikritik. Pertama-tama, “priyayi” itu bukan agama tapi status sosial. Dan bagaimana dengan dikotomi “santri” dan “abangan” — sepertinya yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz itu bahwa ada dua pilihan: Jawa atau Islam, dan dua-duanya berlawanan. Kaum Jawa yang otentik harus menolak Islam, dan kaum Muslim yang otentik harus menolak kebudayaan Jawa. Jelasnya itu sungguh tidak benar. Mas Irfan menulis (h. 13), dengan nada tegas menyatakan: “saya Jawa, saya Islam”. Kenapa Clifford Geertz tidak bisa menerima itu? Lebih aneh lagi, Clifford Geertz seorang antropolog yang tinggal di Jawa selama beberapa tahun. Dia mengalami Islam di Jawa secara langsung, bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?

Bagaimana mungkin bahwa Geertz merasa bahwa Islam dan Jawa itu dikotomi atau dua identitas yang berlawanan?

Riwayat hidup Geertz sebenarnya cukup menarik untuk melihat relasi keterlibatan akademi (pengetahuan) dan politik. Ketika Clifford Geertz mendarat di Jawa, dia sudah punya beberapa keyakinan tentang Jawa yang berdasarkan iklim politik pada zaman itu, dan kalau sudah ada keyakinan yang kuat seperti itu, kita memang cenderung hanya mencari konfirmasi saja.

Ada beberapa hal yang cukup mencurigakan mengenai pendidikan dan perjalanan Clifford Geertz. Yang pertama, Clifford Geertz dipengaruhi oleh peneliti Belanda dari zaman kolonial. Mas Irfan menulis tentang agenda politik dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti kolonial. Orang Belanda punya kepentingan sendiri untuk menggambarkan Islam di Jawa sebagai “lapisan tipis”. Misionaris Kristen mau percaya bahwa Islam hanya lapisan tipis saja karena mereka berharap bahwa agama Kristen bisa diterima oleh orang Jawa. Lalu, orang Belanda juga takut gerakan Islam politik dan mereka merasa bahwa Islam sebagai sesuatu yang tidak mendalam, dan yang diresapi oleh budaya lokal, tidak begitu berbahaya. Lalu, ketika Clifford Geertz berangkat dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di Jawa, dia tidak langsung ke sini (Indonesia), dia mampir ke Belanda dulu. Di Belanda, dia bertemu dengan peneliti-peneliti senior kolonial Belanda yang menjelaskan anggapan mereka mengenai Islam di Jawa dan konsep “lapisan tipis” yang dulu muncul dari kepentingan kolonialisme. Dan sepertinya Geertz percaya juga, dia menerima anggapan peneliti yang dianggap lebih senior dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Jadi Geertz sudah punya ide yang jelas apa yang dia akan temukan di Jawa.

Apalagi, pada tahun 1950an suasana akademik di Amerika Serikat juga dibentuk oleh situasi perang dingin, dan banyak peneliti berpikir bahwa Islam hanya merupakan “lapisan tipis” yang lebih kompatibel dengan kapitalisme dan agenda negara Barat. Jadi agenda penelitian postkolonial tidak begitu berbeda dari agenda kolonial. Alias itu mungkin masih sama.

Sekarang banyak orang sudah faham bahwa karya Clifford Geertz sangat bermasalah. Tapi yang penting untuk saya, saya tidak mau menjelekkan Geertz sebagai individu. Jelas bahwa Clifford Geertz seorang yang cukup pintar, dan walaupun pintar dia juga tidak mungkin faham atau menyadari keterlibatan politik dalam karya akademiknya. Dia pasti tidak faham bahwa karya akademik itu mengakibatkan banyak masalah seperti yang digambarkan oleh Mas Irfan.

Secara personal, saya merasa ini agak menakutkan. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya saya tidak sepandai Clifford Geertz. Sebagai peneliti dari akademi Barat saya juga terlibat dalam agenda politik yang saya sendiri tidak faham. Apa akibat penelitian saya? Apakah penelitian saya juga akan menimbulkan masalah, seperti penelitian yang dilakukan Clifford Geertz?

Mas Irfan bercerita tentang rasa kegelisahan yang ditimbulkan oleh karya akademis yang tidak baik dan tidak benar. Secara pribadi, saya juga pernah mengalami rasa kegelisahan semacam itu, tapi dari sisi yang lain: Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?

Yang saya gelisahkan itu bagaimana saya bisa menghindari karya akademis saya dari jebakan seperti di atas, jika Geertz yang sangat pintar saja tidak bisa menghindari keterlibatan politik dalam karyanya?

Apalagi, dalam akademi Barat sampai sekarang masih ada banyak masalah struktural yang menghindar dan menjauhi pengertian yang lebih produktif mengenai Jawa dan Islam. Di akademi Barat masih ada kecenderungan yang kuat untuk memisah studi agama Islam dari studi Asia Tenggara. Bahasa Jawa dan bahasa Melayu belum begitu diterima sebagai bahasa Islam di jurusan-jurusan Studi Agama. Itu tidak masuk akal — banyak sekali Muslim yang menulis dan membahas pikiran Islam dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kalau seorang murid mau membaca teks-teks klasik Jawa Islam, itu sulit sekali.

Pertama-tama, hampir sama sekali tidak ada ahli di akademi Barat. Kalau ada, mereka biasanya tidak ada di jurusan studi agama Islam, tapi hanya di jurusan “area studies”, seperti jurusan studi Asia Tenggara. Di jurusan Area Studies mereka akan belajar bersama dengan orang yang, misalnya, berfokus pada teknik hidrolik di Cambodia atau pendidikan di Filipina, jarang sekali ada orang yang juga berfokus pada Islam, dan oleh karenanya sastra Jawa dipelajari secara terlepas dari bahasa Arab dan konsep-konsep Islam. Jadi ada kecenderungan menganggap sastra Jawa sebagai sastra lokal yang harus difahami dalam konteks budaya lokal saja.

Gambar: Suasana Ruang Seminar Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga saat diselenggarakannya agenda bedah buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi.

Tapi sastra Jawa tidak hanya berisi kebudayaan Jawa melulu, apa lagi kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh Hinduisme atau Buddhisme, tetapi juga teks-teks yang banyak berisi ajaran Islam yang sama sekali tidak lokal, tapi global, yang ada di seluruh dunia Islam. Jadi, ini salah satu masalah politik struktural yang masih sangat nyata di akademi Barat, yakni menghindari pelajaran Islam di Jawa sebagai Islam. Jadi apa yang harus berubah? Pertama-tama, saya sangat berharap bahwa jurusan studi agama Islam di akademi Barat lebih menerima Jawa sebagai mata kuliah yang sangat penting. Tadi saya bilang, kalau ingin faham budaya Jawa, juga harus faham Islam. Kami harus lebih sadar di jurusan Islam di universitas Barat, tidak saja, jika mau memahami Jawa harus faham Islam, tetapi juga, kalau mau faham Islam harus faham Jawa.

Lalu, dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini ada beberapa hal yang saya rasa harus diperhatikan oleh akademi Barat. Yang pertama, mau tidak mau, masalah struktural politik pasti membentuk epistemologi dan konsep-konsep kita, dan kita tahu dari Michel Foucault bahwa epistemologi itu salah satu cara untuk menguasai orang lain. Misalnya, dalam buku ini Mas Irfan berbicara tentang istilah “filsafat” yang tidak begitu tepat untuk membaca ilmu pengetahuan Jawa. Sebagai mahasiswa S1 saya sering berdiskusi dengan teman-teman saya apakah pikiran-pikiran orang Jawa bisa disebut sebagai filsafat atau tidak. Waktu itu saya masih kurang sadar bahwa “filsafat” itu konsep yang sangat etnosentris, seperti banyak konsep lain yang kelihatan netral, tapi sebenarnya selalu menunjuk keterlibatan epistemologi dan politik.

Dalam pengertian banyak orang di akademi Barat, filsafat yang baik dan benar itu filsafat yang sama atau setidaknya semirip mungkin dengan filsafat Barat. Perbedaan dari perspektif Barat dianggap sebagai kekurangan. Kalau tidak cukup mirip dengan filsafat Barat, artinya itu bukan filsafat tapi… apa, ya?  Tradisi rakyat, atau hikmah lokal, dan pikiran dianggap kurang sistematis, karena epistemologi Barat tidak mampu memahami sistematisasi yang berbeda. Dan dalam diskursus akademik, kita dimungkinkan mengkritik dan mendekonstruksi epistemologi Barat, tapi kalau mau ikut diskursus normatif itu, masih harus memakai metodologi Barat yang berdasarkan epistemologi yang sudah dikritik. Ini dilema dasar teori postkolonial, dan solusinya mungkin tidak ada, kecuali menyadari dilema ini dan memahami implikasi dilemanya.

Seperti Mas Irfan, Ia membahas persoalan istilah “filsafat” yang kurang pas untuk Jawa karena ada dimensi epistemologi-politik seperti dijelaskan sebelumnya. Lebih cocok menurut Mas Irfan untuk menyodorkan konsep “ngelmu”, yakni sebuah istilah yang ada di diskursus Jawa sendiri. Saya mengutip (h. 42): “Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.” Tapi ngelmu juga bukan hanya “kearifan lokal” atau “penyatu identitas kejawaan” semata. Melainkan ngelmu itu juga merupakan sebuah konsep yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Alquran yang tidak bisa terpisah dari konteks itu. Dan selain itu, konsep ngelmu dalam manifestasinya yang sekarang ini mungkin juga tidak bisa terpisah dari modernitas karena, dalam buku ini, diucapkan dalam suatu diskursus akademik. Jadi, dalam buku ini dimensi-dimensi tersebut disadari, dan saya merasa bahwa kesadaran itu sangat penting, apa lagi untuk kami, orang dari luar.

Konsep ngelmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati.

Yang kedua, ngelmu atau konsep lain yang ada di pikiran Jawa juga bukan konsep yang primordial yang selalu ada dalam bentuk yang sama dan tidak pernah berubah. Ini juga keyakinan yang dulu sangat populer dalam penelitian-penelitian: ada “esensi” pikiran Jawa yang selalu sama, tidak hanya terhadap Islam saja tapi juga modernitas yang juga dianggap hanya merupakan lapisan tipis saja. Ini juga sesuatu yang sering muncul dalam karya Clifford Geertz.

Gambar: Buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi

Di sini, Mas Irfan juga membahas keterlibatan tradisionalisme dan modernitas, yang sebenarnya tidak berlawanan. Jadi Mas Irfan juga membahas pertanyaan, apa yang terjadi dengan tradisi dalam zaman modern? Tradisi memang tidak hilang; tapi kita juga tidak bisa lepas dari modernitas karena modernitas sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak, modernitas juga tidak pernah berarti modernitas yang mutlak, karena modernisme tetap diucapkan melalui tradisi. Misalnya, di sini Mas Irfan membahas pemikir Suryomentaram dari awal abad ke-20, dan Mas Irfan menulis bahwa Pak Suryomentaram mengalami “godaan” atau “pilihan” antara tradisi dan modernitas. Tapi Suryomentaram dan Mas Irfan dua-duanya melihat bahwa itu bukan pilihan yang total, bukan satu yang diadopsi dan yang kedua ditolak, karena tradisi dan modernitas dua-duanya selalu maujud dalam pikiran kita. Apa lagi, karya Suryomentaram juga menjadi contoh bagaimana bisa menggunakan modernitas rasional untuk menjelaskan tema-tema pengetahuan lama.

Yang ketiga, saya belajar dari dua-duanya, Pak Suryomentaram dan Mas Irfan, bahwa pengetahuan tentang warisan Jawa itu tidak hanya untuk tujuan pengetahuan saja, alias untuk dirinya sendiri. Bagi keduanya, pengetahuan itu juga ada tujuan yang sangat praktis. Kalau mengenai Suryomentaram, Mas Irfan menulis, (mengutip dari halaman 96), “Warisan pengetahuan Jawa lama, baginya, semakin tak tersentuh, alih-alih menjadi solusi praktis atas kesengsaraan dan penderitaan rakyat sebagai bangsa terjajah”. Dan (h. 97), “Melalui corak pengetahuan seperti ini bukan hanya masyarakat dapat mengambil manfaat pengetahuan yang ia munculkan secara lebih pragmatis, melainkan juga bisa menjadi pengetahuan baru yang ‘responsif’ dengan tuntutan rasionalisme zaman yang pada saat bersamaan memiliki niat yang kukuh menyelesaikan problem masyarakat kebanyakan tanpa menanggalkan alur pokok kesinambungan akar pemikiran yang ada dalam masyarakatnya.”

Dalam buku “Saya, Jawa, dan Islam” ini Mas Irfan juga tidak mencari “otentisitas” dalam arti sebuah warisan yang tidak terkontaminasi oleh pikiran yang kurang “otentis”, yakni suatu “otentisitas” yang tidak ada kecuali dalam pembayangan dan “khayalan” kolonial. Tapi pertanyaan utama dari keduanya Suryomentaram dan Mas Irfan itu sangat eksistensial: Apa yang bermanfaat? Atau, secara lebih umum, apa akibat karya kita? Apa yang bisa membantu, apa yang bisa menimbulkan masalah? Saya berharap bahwa kami, di akademi Barat, juga lebih memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karya akademik tidak netral, tapi bisa bermanfaat ataupun bisa menyakiti juga. Semoga semakin banyak bermanfaat.

 

***

Tulisan ini dipresentasikan pada acara bedah buku, “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi (Tanda Baca; 2019) yang bertempat di Ruang Teatrikal Perpus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pukul 09.00-12.00, 24 April 2019. Diselenggarakan oleh American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lakpesdam PWNU DIY, dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga, serta Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.


 

0
226
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.