Sore menjelang malam dan toko wallpaper saya di Gading Serpong menjadi sepi. Di luar gelap gulita: angin kenceng dan hujan lebat. Pikir pulang pada sore hari yang tidak bersahabat ini membuat saya resah. Langganan tidak ada. Rupanya sore ini akan saya tutup awal supaya anak buah saya bisa pulang tidak terlalu malam. Tapi Takdir tidak menghendak demikian! Baru pikir mau tutup awal, tiba-tiba datang seorang laki-laki berambut cepak memakai moto-cross (trail bike) yang 250 cc. “Kok aneh!” pikirku, Si lelaki bermotor gede ini tidak berminat membeli apa-apa! Ia tidak tertarik memilih wallpaper buatan Korea atau tegel buatan Italia, tapi datang untuk nongkrong saja di bawah bagian atap depan toko saya. Di sana ia cari tempat teduh untuk berlindung dari hujan yang semakin deras. Siapa sosok yang misterius ini?
Anak buah saya, Jaenal, menegor saya: “Ayo! Mr Peter, ajak masuk dong! Kasihan kalau dia tetap di luar! Pasti kehujanan dan terguyur basah!”
“OK, Jaenal, suruhlah masuk! Cepatlah!” Lelaki setengah baya masuk dengan kesan kikuk seperti sama sekali tidak merasa nyaman.
Waktu saya menatap muka dan cari tahu siapa tamu baru ini, Jaenal berbisik keras di telinga saya: “Mr Peter! Awas! Lihatlah di paha sang tamu ada pistol semi-otomatis!” Mata saya langsung bergeser kepada Glock 17 9x19mm buatan Austria isi standar untuk Pasukan Gegana yang diikat kepada kaki atas sang lelaki. Saya merinding! Mau memberi pelindungan, datang seorang polisi anti-teror! Seketika Gading Serpong beralih menjadi zona amat tidak nyaman di benih otak saya!
Apa yang sedang terjadi? Saya langsung membuka suara: “Maaf, Pak, tapi siapa dirimu? Mengapa berkeliaran dengan pistol begini?” Saya menoleh kepada Glock 17 yang bersandar di paha sang tamu. “Mungkin bagi orang Indonesia melihat polisi bersenjata lengkap masuk toko hal biasa-biasa saja tapi untuk seorang Inggris seperti saya amat tidak normal!” Saya panasaran sambil was-was. Lelaki dengan amat lelah menjawab: “Ya, begini, Pak, sekarang sudah dua hari dua malam saya tidak bisa tidur! Beronda terus untuk menjaga Polres Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, dan melindung 100 vihara Budhis dari serangan teroris yang mau membela penderitaan bangsa Rohingya di Rakhine! Sungguh situasi yang gawat nih!”
Rohingya? Rakhine? Myanmar? Daerah perbatasan barat Myanmar yang dihuni keturunan orang Arab Islam sejak abad ke-7 yang disebut warga Rohingya? Apakah daerah ini yang dibela teroris Tangsel ini, yang menjadi biang keladi sang tamu bersenjata ini? Langsung saya merenung. Apakah semua ini tidak melibatkan temanku dari Oxford, Daw Aung San Suu Kyi, yang sejak 6 April 2016 menjadi State Counsellor (Penasihat Negara) Myanmar? Apakah nasib saya kena imbas teror Tangsel terkait langsung dengan penolakan Daw [Tante] Suu untuk membicara Truth to Power (Kebenaran kepada Kekuasaan)? Setiap langkah ada akibatnya! Tapi mana bisa seorang Daw Suu, yang telah saya kenal baik sejak tahun 1980-an, bertindak demikian?
**
Waktu saya kenal beliau dan keluarganya ia begitu gagah berani melawan Angkatan Bersenjata Myanmar – Tatmadaw – yang brutal itu! Ia sosok yang mengalami tahanan rumah berkepanjangan! Selama 16 tahun, ia hidup terkurung di rumahnya, 54 University Avenue, Yangon, jauh dari keluarga. Begitu kuat batin hingga ia memilih panggilan sebagai pembela masa depan bangsa daripada mendampingi suaminya – juga teman baikku – Michael Aris (1946-1999) – waktu ia menderita kanker prostat sampai meninggal tepat pada Hari Ulang Tahun ke-53 pada 27 Maret 1999!
Ini pejuang demokrasi yang mengumumkan bahwa perjuangannya adalah “perang kemerdekaan kedua” (Burma’s Second Struggle for Independence), yang pertama melawan kolonialis Inggris, yang kedua melawan tentara Myanmar! Ialah putri pendiri Myanmar, Bogyoke (Jenderal) Aung San (1915-1947), yang sempat membuat perjanjian Panglong (12 Februari 1947) yang dirayakan setiap tahun sebagai Union Day – Hari Berserikatan Myanmar. Hari itu tiga minoritas terkemuka Myanmar (Shan, Kachin dan Chin) diberi janji oleh pemerintah bahwa mereka akan meraih “otonomi daerah penuh dalam administrasi intern sebagai daerah perbatasan” dan serangkaian ‘state’ (pemerintah daerah yang otonom) direncanakan akan disahkan oleh Konstituante (Constitutional Assembly).
Sejak mendirikan partai pro-demokrasi, National League for Democracy (NLD), pada 27 September 1988, Daw Suu menjadi searah dengan mantan Perdana Menteri U Nu (1907-1995; menjabat, 1948-1956/1957-58/1960-1962), pendiri League for Democracy and Peace (LDP), yang telah mengumumkan pada tahun 1948 – tahun kelahiran saya di Yangon (30 April) – bahwa Rohingya mempunyai hak penuh sebagai warga Myanmar dan bisa meraih otonomi daerah sama seperti etnis lain dalam Perserikatan Myanmar (Union of Burma). Demi menjaga bahwa daerah Myanmar yang dihuni mayoritas Islam selalu diwakili di Dewan Perwakilan Rakyat – sang perdana Menteri, yang terkenal seorang Budhis saleh, mengharuskan bahwa selalu ada paling sedikit dua anggota Muslim di Parlemen Myanmar. Kebijakan politik yang tercerah ini bertahan sampai Maret 1962 waktu terjadi coup d’etat oleh Jenderal Ne Win (menjabat 1962-1987) dan sebuah resim fasis militer mulai menindas semua minoritas di Myanmar, sampai Rohingya dan warga Myanmar Muslim yang lainnya dicabut kewarganegaraannya pada 1982!
Kalau perjuangan kedua Myanmar yang dipimpin Daw Suu adalah melawan tentara Myanmar yang bengis itu mengapa ia sekarang bisa sejoli dengan jenderal-jenderal? Apalagi, mengapa ia bisa membiarkan genosida di Rakhine yang dilancarkan dengan operasi bumi-hangus dan pembantaian besar-besaran sesudah 25 Agustus 2017 sebagai tindak balik kepada serangan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)? Menurut laporan PBB operasi ini telah mengakibatkan lebih dari 7.000 anak dipaksa menyaksikan orang tua disembelih di muka mata mereka, 17.000 lebih perempuan diperkosa saling bergantian (gang rape), 34.000 warga dilempar ke api puing-puing rumahnya dan 750.000 terpaksa melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazaar di Bangladesh.
Kejahatan ini mirip yang dilakukan pemerintah Turki Ottoman pada bangsa Armenia pada Perang Dunia pertama (1914-1918) waktu selama dua tahun (1915-1917) 1.5 juta warga minoritas imperium Ottoman dibantai secara sistematis oleh tentara Turki. Layak benar dijuluk genosida oleh komisi khusus PBB – yang salah satu anggota adalah mantan jaksa agung Indonesia, Marzuki Darusman (menjabat 1999-2001). Layak benar juga bahwa mantan Komisaris Tinggi (High Commissioner) Komisi Hak Azasi Manusia PBB, Pangeran Zeid bin Ra’ad al-Hussein (menjabat 2014-2018), seorang diplomat kawakan Jordania, mengarisbawahi bahwa Daw Suu juga terlibat dalam genosida tersebut berkat statusnya sebagai kepala pemerintah sipil Myanmar. Dan tanggung jawab tidak behenti di sana, menurut Sang Komisaris Tinggi, sebab ada tindakan kejahatan pribadi dari pihak Daw Suu yang telah menggelapkan secara sistematis bukti pemerintah yang terkait genosida dan membiarkan ‘hate speech’ disebarkan di medsos dan internet tentang partai NLD, yang nota bene sekarang menjadi partai yang tidak ada satu pun perwakilan bangsa Muslim Myanmar di barisnya. Betapa beda situasi di bawah Perdana Menteri U Nu pra-1962!
Tugas seorang Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, dengan status sebagai pemimpin bangsa dan pemenang Hadiah Nobel (1991) adalah memberi teladan kepada bangsa. Seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), yang selalu konsisten dalam perjuangan untuk persahabatan Hindu-Muslim dan hak dalit (orang yang di luar kasta) sehingga ia dengan senang hati mengumumkan akan menggulung bendera dan mengungsi ke pegunungan Himalaya kalau tidak ada warga yang mau mengindahkannya! Kalau contoh Gandhi terlalu tinggi bagi Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, paling minim yang bisa dilakukan sang pemenang Hadiah Nobel Myanmar adalah untuk mengundurkan diri dari pemerintah dan kembali kepada tahanan rumah. Dengan demikian dia akan menjadi sebuah mercusuar (moral example) untuk bangsa.
Tapi kenyataan tidak demikian! Mengapa?
**
Kalau saya bisa panggil Daw Suu dan secara “ghaib” menatap muka dengan dia – apa yang kita bisa sharing? Dari pihak Daw Suu pasti dia akan bilang – “Tapi kamu, Peter, tidak pernah kenal saya dengan sesungguhnya! Saya bukan seorang Jeanne d’Arc versi Myanmar, atau seorang Mahatma Gandhi, Mandela, Martin Luther King atau pun seorang Gus Dur yang membela hak minoritas di negaramu pada zaman Reformasi! Saya sama sekali tidak hidup di cakrawala besar itu. Dunia saya kecil dan sangat terbatas! Bukan pejuang hak azasi manusia atau pemimpin moral dunia, cakrawala saya adalah Birma Budhis (Burman Buddhist)! Yang lain saya sama sekali tidak peduli! Saya boleh dikatakan “katak di bawah tempurung” versi Birma! Isu refoulement (bergeser kembali ke luar negara) orang-orang Benggala yang telah datang ke negaraku akibat kebijakan bangsamu, Inggris, pada zaman kolonial (1826-1948), menurutku layak! Dan gembar-gembor pembantaian massal oleh PBB, Amnesty Internasional dan Human Rights Watch itulah hoax news doang! Dua negara yang penting bagi kita (orang Myanmar) sekarang adalah India dan Tiongkok!
Yang lain kita tidak peduli – apalagi negara tetangga ASEAN beragama mayoritas Islam seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka sama sekali tidak penting bagi kita! Saya tidak heran sama sekali bahwa Mas Peter berhadapan dengan tamu bersenjata di toko – itulah ciri khas negaramu baru-baru ini! Dan ingat benar, Peter, saya anak tangsi! Bapak saya adalah seorang jenderal yang dengan tangan dingin pernah membunuh seorang kepala desa berkebangsaan India waktu Burma Independence Army (BIA) masuk Myanmar dengan tentara kekaisaran Jepang pada bulan Februari-Maret 1942 dan lempar mayat ke kandang babi! Jadi insting saya adalah nasionalis Birma! Pun saya masih mewakili dapil yang sama dengan ayahku di parlemen Myanmar (Pyithu Hluttaw)– kacang ora ninggal lanjaran!
Dan jawaban saya?
“Daw Suu, setiap pagi saya bangun jam lima pagi untuk merenung sejam dan melatih meditasi. Setiap pagi saya memakai selimut Chin yang kamu telah memberi kepada saya waktu saya berkunjung ke rumahmu di Yangon pada 19 Juni 1996 untuk merayakan HUT ke-61 anda. Bagi saya, apa yang terjadi adalah kenyataan yang tidak akan merobah memori dari persahabatan kita berdua pada tahun-tahun penuh harapan di Oxford. Ini romantisisme-ku!
“Tapi dari sisi lain saya merasa anda telah memilih jalan yang serba salah! Dengan sengaja anda telah memberi pelindungan dan justifikasi untuk tindakan kejahatan tentaramu yang sama sekali tidak bisa diterima. Keselamatan dari begitu banyak orang ada di tanganmu dan anda telah menyia-nyiakan mereka. Alih-alih memberi pelindungan, anda dengan aktif telah menolong pihak militer dengan tindakan yang iblis itu. Semua keluhuran moralmu sudah menjadi berkeping-keping! Sirna seperti salju di siang bolong! Dan ingatlah, walaupun anda dan sekutu anda di Tatmadaw (tentara Myanmar) mengakui mau melindungi Perserikatan Myanmar dan kedaulatan negaramu dari wong liyan, pada kenyataan tindakan anda telah merugikan negaramu dan menyerahkan Myanmar terikat kaki dan tangan kepada Tiongkok. Dari sekarang, Beijing akan menjadi pelindung utamamu! Dalam waktu singkat anda akan mengalami nasib sama dengan negara-negara Baltik di zaman Uni Soviet (1922-1991), dan negaramu akan menjadi jaringan kecil dalam proyek “One Belt, One Road” Tiongkok. Semua kedaulatanmu akan hilang! Inilah karmamu. Yang menyebar angin akan menuai topan! Adieu!”