DONASI

Dhaup Alu

Pernikahan antara Nyi Ayem dan Ki Tentrem yang terjadi di Dusun Onggopatran, Piyungan Bantul pada (18/8), kemarin menjadi momentum yang bersejarah bagi masyarakat sekitar daerah...

LEMBAR | SATURDAY, 31 AUGUST 2019 | 18:58 WIB

Pernikahan antara Nyi Ayem dan Ki Tentrem yang terjadi di Dusun Onggopatran, Piyungan Bantul pada (18/8), kemarin menjadi momentum yang bersejarah bagi masyarakat sekitar daerah tersebut. Tidak seperti biasanya dusun yang hari-hari biasa hanya disibukkan dengan aktivitas pertanian di sawah, siang itu nampak berbeda dengan berkumpulnya warga dusun untuk mengikuti prosesi pernikahan Nyai Ayem dan Ki Tentrem. Dengan pakaian khas petani Jawa mereka keliling kampung dengan sorak gembira menabuh alat musik untuk menambah riuh suasana siang itu.

Pertanyaannya siapa Ki Tentrem dan Nyai Ayem tersebut? Kenapa warga dusun perlu untuk mengikuti acara ini. Tidak seperti bayangan pernikahan pada umumnya pernikahan Ki Tentrem dan Nyai Ayem merupakan simbolisasi dari pertemuan antara lumpang dan Alu yang merupakan sebuah alat yang sering digunakan oleh para petani Jawa zaman dahulu sebagai penumbuk padi (untuk memisahkan padi dari kulitnya). Pada perayaan bertajuk Festival Daup Alu inilah kedua alat itu dipertemukan sebagai media pembelajaran bagi generasi sekarang bahwa tradisi pertanian yang ada di tengah masyarakat kita tidak hanya membicarakan produksi dan distribusi kapital tapi lebih dalam dari itu semua adalah sebuah kearifan, tatanan budaya yang memiliki nilai estetis yang tinggi.

Seperti yang dinyatakan Dukuh Onggopatran Heni Nurwidiastuti, acara ini sebenarnya bukanlah tradisi yang sudah lama ada di dusun tersebut. Bahkan tradisi ini bisa dikatakan sangat baru karena baru dinisiasi satu bulan lalu. Berawal dari kegelisahan beberapa warga yang melihat lumpang yang diyakini warga setempat telah berumur ratusan tahun dan memiliki kekramatan (wingit), tergeletak di pinggir sungai tidak terawat, mereka berinisiatif untuk menjadikan lumpang tersebut sebagai monumen dusun. Kekramatan itu dibuktikan dari cerita masyarakat yang menyangsikan ketika lumpang itu mau digunakan untuk personal atau berusaha di pindah dari asalnya, lumpang itu secara tidak masuk akal kembali sendiri ke tempat semula. Padahal lumpang itu berukuran cukup besar dengan berat 500 kilogram. Maka daripada lumpang tersebut tidak terawat, masyarakat bersepakat untuk menempatkan lumpang itu di tempat yang layak, sekaligus nantinya dapat dijadikan sebagai media edukasi tradisi pertanian untuk warga masyarakat.

Berawal dari kegelisahan beberapa warga yang melihat lumpang yang diyakini warga setempat telah berumur ratusan tahun dan memiliki kekramatan (wingit), tergeletak di pinggir sungai tidak terawat, mereka berinisiatif untuk menjadikan lumpang tersebut sebagai monumen dusun.

Dari situlah tradisi baru diciptakan mulai dari boyong lumpang sampai pernikahan lumpang dan alu yang kemarin dilakukan. Hal ini menjadi menarik, ketika banyak tradisi pertanian mulai ditinggalkan bahkan tergerus oleh budaya pertanian konvensional yang mengarahkan ke industrialisasi pertanian. Masyarakat Dusun Onggopatran dengan semangat gotong royongnya dan sedikit sisa pengetahuan terkait tradisi pertanian yang masih melekat di ingatan kolektif mereka, berusaha menumbuhkan sekaligus mengkreasi ulang tradisi baru yang tetap berakar pada tradisi pertanian masyarakat yang selama ini ada.

Awalnya memang rencana menciptakan ritus dan tradisi baru ini tidak langsung serta merta diterima oleh semua masyarakat setempat. Banyak yang mempertanyakan kemudian mempertentangkan dengan ajaran agama yang sebenarnya tidak subtantif, mulai dari anggapan bahwa acara tersebut hanya untuk mengkultuskan suatu benda sebagai media sesaji untuk roh halus (kemusrikan), hingga menganggap acara tersebut tidak ada nilai kemanfaatannya untuk masyarakat setempat. Anggapan tersebut bisa dimaklumi karena belakangan ini banyak merebak faham keagamaan normatif bercorak fiqih yang cenderung menyerang berbagai tradisi lokal. Namun atas penggalian makna-makna terdalam dari tradisi yang ingin dilakukan dengan mencari jejak historis, epistimologis, hingga praktik yang memberi dampak positif terhadap masyarakat luas, argumen yang cenderung dangkal dapat disangkal.

Gambar: Prosesi Kegiatan Adat Dhaup Alu di Dusun Onggopatran, Piyungan, Bantul.

Seperti juga diungkapkan oleh Kiai Jadul Maula pada acara saresehan budaya Minggu Malam (18/8), bahwa memang acara ini jika ingin dikatakan bid’ah maka acara ini bisa menjadi “bid’ah se bid’ah-bid’ah-nya,” karena belum ada sebelumnya, apalagi jika ditarik jauh zaman Rasullah SAW. Jelas tidak bakalan ada, karena memang tidak ada. Namun jelas Kiai Jadul tentang pengertian bid’ah secara sederhana itu terbagi menjadi dua yaitu bidah khazanah (bidah yang baik dan boleh dilakukan) dan bid’ah dhalalah (bid’ah yang diharamkan.) Dalam hal ini, kegiatan ini tergolong pengertian yang pertama yaitu bid’ah khazanah, karena seperti yang dilihat dalam acara ini yang esensinya diniatkan untuk memanjatkan rasa syukur masyarakat kepada alam dan Tuhan, atas keberlimpahan panen dari hasil tanaman yang di tanam di sawah. Menurut Kiai Jadul ini yang membedakan cara mengekspresikanya, bagaimana pengungkapan rasa syukur itu tidak hanya diucapkan di lisan saja tapi ditunjukan dengan sedekah dengan membawa makanan (ambengan) kemudian dimakan bareng-bareng (kembulan) oleh seluruh warga desa dan seluruh masyarakat yang ada.

Perkawinan antara alu dan lumpang mengisyaratkan harapan dan kerja keras yang harus terus di pengangi masyarakat dalam melakukan aktifitas pertanianya.

Tidak hanya itu menurut kiai Jadul adanya lumpang dalam tradisi pertanian kita sebenarnya menyimbolkan (harapan) sedangkan alu menjadi simbol dari (kerja keras), maka perkawinan antara alu dan lumpang mengisyaratkan harapan dan kerja keras yang harus terus dipengangi masyarakat dalam melakukan aktivitas pertanianya. Dari sana bisa dilihat sebetulnya tradisi ini tidak hanya menciptakan sebuah kesadaran vertikal kepada Tuhan atas limpahan rahmatnya, tetapi juga menciptakan kesadaran horisontal relasi antar manusia, masyarakat yang saling gotong royong, tepa selira, welas asih, hingga munculnya kreativitas artistik. Serta yang tidak kalah penting menciptakan kesadaran untuk selalu menjaga lingkungan, sebagai bagian dari hidup manusia.

Sementara itu, Alim, yang merupakan inisiator acara Dhaup Alu mengungkapkan selain menyelamatkan situs purbakala rangkaian acara ini juga ditunjukan untuk memperteguh kembali budaya pertanian yang sekarang banyak ditinggalkan. Budaya pertanian yang mereka maksudkan bukan hanya melihat sisi produksi dan distribusi yang sudah berjalan selama ini, namun lebih jauh dari itu sisi kosmologi tentang bagaimana pertanian menjadi pintu masuk manusia bisa selaras dengan alam yang kemudian manunggal dengan Tuhan. Hal inilah yang sebenarnya ingin mereka capai, berkaca dari ajaran para leluhur yang sebenarnya sudah mencapai titik tersebut. Namun sayang hal tersebut sedikit demi sedikit tergerus oleh budaya pertanian baru yang digalakan pemerintah dengan semangat revolusi hijaunya untuk mengejar swasembada pangan, yang ternyata berdampak pada rusaknya ekosistem pengetahuan bahkan alam yang telah diwariskan oleh para leluhur kita.

Tradisi Pertaniannya Masyarakat Jawa

Seperti telah sedikit disingung di atas, bahwa tradisi pertanian di Jawa bahkan lebih luas Nusantara sebenarnya menjadi bagian penting dalam melihat sisi lain pertanian yang belakangan ini sebenarnya masuk keambang krisis yang cukup fundamental. Tergerusnya tradisi pertanian yang sebenarnya menyimpan berbagai tata nilai kearifan, pengetahuan, cita rasa, relasi sosial sampai hubungan dengan lingkungan, bisa dikatakan menjadi kebangkrutan tatanan sosial dari masyarakat kita jika hal ini benar-benar terjadi. Dan kita akan kehilangan prototipe bagaimana sistem pertanian yang telah menciptakan budaya di tengah masyarakat selama ini.

Tradisi pertanian masyarakat Jawa bisa dilihat dari bagaimana para petani mengultuskan sosok mitologi Dewi Sri atau Nyi Pochi sebagai sosok dewi padi penjaga sawah dari ancaman bencana alam. Sosok mitologi Dewi Sri ini bisa dikatakan dongeng yang sangat berpengaruh dalam tradisi agraris di Indonesia. Sosok ini dipercayai sebagai “ruh” yang menghadirkan kesukacitaan, kebahagian dan kemakmuran. Selain itu Dewi Sri sering digambarkan dengan seorang yang cantik jelita, anggun, sebagai simbol dari kecantikan alam. Sejarah Sosok mitologi ini sendiri dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak adanya tanaman padi, sejak 1000 tahun sebelum Masehi saat ditemukan buktinya pertama kali di Pulau Sulawesi. Menurut cerita, awal mulanya padi ditanam di alam oleh Roh Agung bernama Dewi Sri. Dari hal tersebut semua orang mempercayai bahwa Dewi Sri merupakan perpanjangan tangan dari Sah Hyang Widhi.

Tradisi pertanian masyarakat Jawa bisa dilihat dari bagaimana para petani mengkultuskan sosok mitologi Dewi Sri atau Nyi Pochi sebagai sosok dewi padi penjaga sawah dari ancaman bencana alam.

Banyak versi cerita terkait sosok Dewi Sri ini diberbagai daerah di Indonesia, tetapi yang bisa dilihat. Keberadaan sosok ini menjadi mitologi yang mampu membangun budaya pertanian yang arif serta kreatif. Kita bisa lihat tradisi wiwitan di Jawa Tengah dan DIY sebagai tradisi penghormatan dan ekspresi rasa syukur atas hasil panen yang dihasilkan. Biasanya tradisi ini dilakukan dengan memberi sesajen yang didoakan setelah seorang “dukun” mengelilingi petakan sawah sebelum panen dilakukan. Lain dengan masyarakat Sunda dengan upacara “pengemat dan angin angin” kemudian masyarakat Badui dengan “Seren Taun” yang semuanya esensinya sama seperti dijelaskan di atas dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari adanya sosok Dewi Sri itu sendiri. Termasuk tradisi Dhaup Alu yang sudah dibabar di atas.

Dalam hal itu krisis pertanian sebenarnya tidak hanya meliputi, kurangnya daya jual petani di pasaran, minimnya generasi penerus, krisis ekologi berdampak pada rusaknya lingkungan karena pengunaan pestisida yang berlebihan. Namun lebih penting dari itu adalah hilangnya tradisi pertanian yang mengandung nilai untuk menyatukan manusia dengan Tuhan, alam semesta, dan masyarakat. Karena dari tiga hal tersebut yang sebenarnya selama ini menjaga pertanian kita dari watak kapitalistik murni, yang hanya mengejar keuntungan kapital hingga menghilangkan kearifan yang menjadi bagian dari masyarakat kita.

Dalam hal ini tawaran untuk mengatasi krisis pertanian yang mengancam kita selama ini dapat kita temukan dengan mengembalikan berbagai kearifan tradisi sesuai dengan porsi yang tepat di zaman sekarang. Dengan pemahaman yang mendalam atas berbagai pengetahuan yang tersimpan di dalam tradisi yang ada, ditambah dengan sentuhan kreativitas agar mampu dipahami di zaman sekarang, maka tidak salah jika festival Dhaup Alu ini menjadi penting untuk terus dilakukan di tahun-tahun kedepanya.

***

825

Doel Rohim

Penikmat kajian seni dan budaya. Aktif di Pesantren Budaya Kaliopak dan langgar.co. Dan sekarang mengembangkan homeles media Skenu. Sambil tetap mencari teman dalam beberapa festival literasi di Yogyakarta. Ia Bisa disapa via Twiter @doelrohim961 Ig: Doel_96

Comments are closed.