Dieng dan Jiwo-jiwo Ngendong

Catatan Acara Pembukaan Presentasi Residensi Kecil Tani Jiwo

Siapa yang tidak mengenal dataran tinggi Dieng? Daerah yang terletak di perbatasan Wonosobo dan Bajarnegara tersebut, sering kali dikenal banyak menawarkan panorama keindahan alam dengan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sejumlah kolektif anak muda yang tergabung dalam Yayasan Desa Akar Karsa dan Tani Jiwo, melihat Dieng secara berbeda. Melalui program residensi yang dirancang, mereka ingin melihat Dieng dari segala kompleksitas persoalan seperti kerusakan lingkungan, sistem sosial, budaya, ekonomi yang tidak berimbang. Medium residensi mereka pilih, untuk mencoba mengakrabi dan belajar kembali pada alam Dieng yang mereka cintai.

***

Pagi saat langit Yogyakarta masih tampak sendu tertutup mendung (27/01/23), saya berangkat ke Dieng. Sebelum berangkat saya sempat melihat google map yang menunjukkan jarak tempuh dari Yogya sampai Dieng membutuhkan waktu 3 jam 20 menit. Pikir saya, itu waktu yang singkat saat di mana saya terbiasa naik motor 6 jam non stop. Tanpa pikir panjang––dan tentu tidak ada persiapan khusus kecuali jaket dan sarung untuk mengantisipasi cuaca dingin yang katanya tidak ketulungan––saya berangkat sambil membayangkan indahnya pemandangan alam yang akan saya lewati di sepanjang jalan.

Benar saja, baru satu jam perjalanan, kira-kira baru sampai Muntilan Magelang, motor yang saya kendarai tiba-tiba bermasalah. Entah kenapa, saya tidak benar-benar paham. Ada suara keras dari balik mesin pengikat roda belakang. Saya kemudian turun, melihat keseluruhan bagian motor masih utuh tidak hilang sedikitpun. Tetapi saat pedal gas saya putar, motor tetap tidak bisa berjalan. Dengan berat hati, akhirnya mau tidak mau saya mesti dorong motor hingga kira-kira 200  meter. Kebetulan ada orang yang berbaik hati, seorang tukang ojek online mendorong motor saya dan motor ke bengkel tujuan. Tidak begitu lama, 30 menit saya menunggu motor sudah selesai diperbaiki.

Fanbel e pedot mas, dan reng lakernya remok. Piye arep diganti boten,” ucap Mas Bengkal.

“Gak popo mas, ganti mawon seng penting aman,” tegas saya, sambil melihat uang di dompet yang masih aman.

Selepas semuanya diganti dan motor selesai diperbaiki, perjalanan saya lanjutkan. Sepeda montor terasa lebih enteng dan meyakinkan untuk menembus kabut Dieng. Selepas daerah Temanggung melewati perkebunan teh daerah Tembi, saya mulai sadar peristiwa rusaknya montor saya barusan, bisa jadi bukan suatu yang patut untuk disesalkan. Bahkan dalam kasus yang satu ini, hal itu adalah keberkahan. Pasalnya, dengan medan yang menanjak ekstrem dengan jumlah kelokan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ditambah lebatnya hujan dan minimnya jarak penglihatan karena kabut yang sudah mulai turun, performa motor tampaknya menjadi hal yang utama. Karena tanpa motor yang sehat dan mumpuni, mungkin cerita perjalanan ini tidak akan sampai di hadapan pembaca.

Siang sepanjang perjalanan melintasi pegunungan Sindoro menuju Dieng, saya disambut kabut putih dengan sedikit hujan tipis. Motor saya kendarai pelan, sambil mengamati lebih dekat jajaran gunung dan perbukitan yang dari kejauhan tampak indah, tetapi ketika saya semakin dekat gunung dan bukit itu seperti tidak bernyawa. Warna hijau pucat mungkin tepat untuk menggambarkan jajaran gunung yang tak lagi dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang menjadi jantungnya. Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah. 

Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.

Sesampainya di lokasi, acara pembukaan “Presentasi Akhir Residensi Kecil Tani Jiwo” acara ternyata sudah dimulai. Terdengar suara alunan musik gamelan yang mengalun halus nan syahdu dengan syair-syair bernuansa Jawa Islam, saat saya baru saja menginjakkan kaki di Hostel Tani Jiwo di daerah Dieng Kulon (Barat) masuk daerah Banjarnegara. Tetapi saya salah, alunan musik yang saya kira adalah alunan satu set gamelan ternyata tak terlihat di ruang terbuka di lantai tiga tersebut. Rasa penasaran saya semakin bertambah, ketika saya hanya melihat dua orang duduk bersila, satu orang terlihat membaca naskah tembang, satu lainnya tampak membelakangi penonton, entah apa yang dimainkan. Rasa penasaran membuat saya bertanya kepada peserta lainnya. “itu bundengan mas” tutur teman di sebelah saya.

Selepas acara pembukaan selesai, peserta menunggu diarahkan untuk mengikuti tour untuk melihat presentasi 10 karya dari 13 peserta residensi. Namun, tiga peserta diantaranya tidak menampilkan karya di pameran, tetapi mereka membuat acara-acara dalam rangkaian program . Sambil menunggu giliran, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan Said pemain bundengan yang sempat membuat saya penasaran tersebut. Said menceritakan bahwa bundengan adalah satu jenis alat musik traditional yang berasal dari Wonosobo. Biasanya musik ini dimainkan ketika berada di ladang di sela-sela mereka bertani. Elemen dan bentuk alat musik ini sangat menarik, terbuat dari bilah bambu yang di rakit melengkung hampir setengah lingkaran. Sekilas alat musik ini mirip seperti tudung atau penutup kepala petani di ladang. Anggapan tersebut tidaklah salah, menurut Said yang juga meneliti alat musik ini, ia menyatakan bahwa alat musik ini awalnya difungsikan sebagai tudung. Warga Diang biasanya menyebutnya kowangan, banyak petani biasa mengenakannya untuk melindungi kepala dari terik dan hujan. Alat musik ini dibuat dengan kerangka berbahan bambu, dan dilapisi pelepah bambu yang sudah kering atau biasa disebut clumpring. Di tengah bagian dalam kemudian ada beberapa senar raket dan beberapa bilah bambu kecil yang diselipkan disela-sela ruas anyaman. Melalui senar dan bilah bambu kecil itulah suara yang menyerupai gamelan ternyata bisa muncul menggema.

Foto dokumentasi Pribadi Tani Jiwo

Seperti di utarakan Said musik bundengan ini sekarang sudah tidak begitu populer lagi di daerah Dieng. Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih bisa memainkan jenis kesenian ini. Dari hal itulah Said sebagai generasi muda yang mencintai kesenian ini, dan juga kebetulan berkesempatan kuliah di ISI Surakarta jurusan etnomusikologi, ia merasa seperti mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan berusaha mengilmui kembali kesenian ini agar tidak hilang.

Udara sore dengan hawa dingin Dieng semakin menusuk tulang. Selepas diskusi banyak dengan Said, giliran saya untuk mengikuti tour hasil residensi Tani Jiwa dimulai.

Di Balik Keindahan Alam Dieng

Sebelum mengikuti tour, saya berhenti sejenak. Mencoba membaca catatan kuratorial yang di tulis Rahma Azizah sebagai salah satu fasilitator dalam program residensi ini. Setelah membaca, saya baru bisa memahami bahwa acara pameran hasil residensi ini, ternayata bukanlah hasil yang sehari jadi. Program residensi yang sudah dimulai sejak tahun 2022 ini merupakan usaha dari teman-teman Yayasan Akar Karsa yang diseponsori oleh Tani Jiwo untuk menciptakan ruang dialog dan transfer pengetahuan sekaligus suatu usaha untuk mereproduksi pengetahuan tentang Dieng yang dilakukan oleh 13 residen yang terpilih. Seperti yang di ungkapkan Rahma dalam catatan kuratorialnya, bahwa program ini diperuntukkan untuk mengajak peserta untuk bersama belajar melihat suatu tempat tanpa perlu menggunakan oposisi biner, “the I and the others,” saya dan mereka. Karena kaca mata melihat sesuatu sebagai yang lian, justru menjadikan (masyarakat lokal) hanya menjadi obyek eksotisme belaka. Disebutkan juga bahwa memang selama ini Dieng yang terletak di kawasan dataran tinggi, sering kali dijadikan ruang eskapisme belaka. Dengan hawa sejuk dan pemandangan alam mempesona, tidak jarang menjebak seorang pada satu pemahaman pada “nature is healing.” Tentu pandangan tersebut tidak bisa benar-benar bisa dihindarkan. Sehingga dalam tulisan doni untuk memilah peserta residensi ia juga harus lebih selektif untuk mengantisipasi pandangan eksotisasidesa yang ia tidak harapkan dari program ini.

Doni juga menyebutkan bahwa melalui program residensi ini, diharapkan juga bisa menjadi praktik baru untuk membuka kemungkinan akses pengetahuan lokal yang telah menubuh dari masyarakat Dieng. Karena menurutnya selama ini seperti terbenam dalam hingar-bingar pembangunan pariwisata kawasan Dieng yang semakin pesat. Tidak hanya itu, melalui program ini, Tani Jiwo juga ingin mencoba masuk dalam arena seni kontemporer yang selama ini hanya bergaung di pusat-pusat kota.

Masih dalam catatan Rahma, tema besar “Jiwo-Jiwo Ngendong” dipilih untuk menjadi pengikat narasi dari proses panjang yang dilakukan oleh para peserta residen yang dilakukan hampir selama satu tahun ini di Dieng. Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng. Tema ini kemudian menjadi metafora dari ke-13 residen yang telah datang dan tinggal di Dieng. Merekalah, ungkap Rahma, sebagai jiwa-jiwa yang dipertemukan oleh Dieng. Dari proses ngendong ini juga, pada akhirnya mereka (peserta residen) tidak hanya melihat Dieng hanya sebagai ruang stereotipikal yang selalu berkorelasi dengan eksotisasi sebagai kawasan wisata, tetapi lebih jauh dari itu Dieng dapat dilihat sebagai subjek utuh yang mengalami dinamika sosiokultural dan ekologis untuk terus dihidupi dan dimaknai ulang terus menerus. Melalui hal itu juga, dari hasil ngendong yang dilakukan oleh peserta mereka menyaksikan dan menemukan secara langsung persoalan-persoalan mendasar terkait kapitalisasi pertanian yang tidak berkeadilan, eksploitasi penggunaan lahan, dan komersialisasi pariwisata yang menggusur kearifan-kearifan lokal.

Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng.

Setelah membaca apa yang di tulis Rahma, kepala saya seperti penuh dengan rasa penasaran, tidak sabar untuk melihat satu persatu hasil dari karya teman-teman peserta residensi ini. Dari lantai tiga kami di ajak ke lantai dua, ada sekitar 6 orang yang tergabung dalam kelompok saya. Doni salah satu panitia dalam acara ini yang berperan sendiri untuk menghantarkan kami untuk melihat satu persatu karya dari peserta.

Ada 9 karya yang dipamerkan dari sembilan individu ataupun kelompok kolektif yang mengikuti residensi dalam presentasi ini. Mereka berasal dari banyak tempat seperti dari Yogyakarta, Bandung, Padang, Surabaya dan beberapa dari daerah sekitar seperti  Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut penuturan Rahma Azizah salah satu fasilitator dari program residensi ini, ketika program ini di buka awalnya ia tidak mengira ternyata yang mendaftar membludak hingga sampai 90 peserta. Hingga akhirnya, mengingat resource penyelenggara yang tidak besar hanya di pilih 13 peserta saja.

“Waktu pembukaan program ini, saya sempat kaget ternyata peminatnya luar biasa. Tetapi karena panitia dari tim Tani Jiwo kecil, akhirnya kami mengurasi hingga terpilihlah 13 peserta yang sampai tahap akhir di presentasi ini,” ucap perempuan yang berasal dari Solo tersebut.

Rahma juga menambahkan, bentuk program residensi ini merupakan program yang pertama dilakukan. Sebelumnya di tahun 2020, dengan bentuk yang agak berbeda, mereka membuka lokakarya dalam bentuk workshop kepenulisan yang berhasil mengeluarkan buku kompilasi dari beberapa anak muda di sana yang menuliskan kampung halamannya, Dieng Sebelum Matahari Terbit judul bukunya . Dari program itulah kemudian berkembang, mereka membuat Yayasan Desa Akar karsa yang akhirnya di tahun 2022 berkembang membuat program residensi ini.

Soal bagaimana karya 13 peserta tersebut, tentu tidak akan semuanya saya akan ulas dalam catatan pendek ini. Masih ditemani Doni yang dengan sabar menuntun kami menyelami satu persatu karya peserta. Saat tour berlangsung tiba-tiba fokus saya tertuju pada karya salah satu kolektif Bakar Tanah Leb yang menyuguhkan hasil riset mereka terkait tanah-tanah di dataran Dieng. Seperti yang saya pahami saat mereka menjelaskan, bahwa di daerah Dieng ada beberapa jenis tanah yang di dalamnya mempunyai fungsi dan latar historis yang beraneka ragam. Karakteristik jenis tanah tersebut bisa menunjukkan latar peradaban yang ada di Dieng sebelumnya.

Karya dari Gilang Mustofa juga tidak kalah menarik, selama program berlangsung Gilang dengan tekun berusaha mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan yang bisa di konsumsi atau yang biasa disebut ramban dari kawasan Dieng. Gilang menemukan banyak jenis tumbuhan yang selama ini pengetahuan atas jenis-jenis tumbuhan tersebut, sudah tidak banyak dimiliki oleh masyarakat setempat. Menariknya beberapa jenis tumbuhan kemudian dibuat sampel yang diawetkan dalam kaca yang di display indah. Selain itu juga disediakan beberapa jenis tumbuhan yang baru saja di petik. Dari berbagai jenis tumbuhan tersebut, kami kemudian dipersilakan untuk mencoba merasakan dengan memakannya.

Foto Dokumetasi Pribadi Tani Jiwo

Proyek Benggala dari Yogyakarta juga menampilkan karya yang tidak kalah atraktif, mereka berusaha menggambarkan fenomena ekologis dari karya instalasi yang mereka tampilkan. Melalui bentuk kendi tembikar yang di isi air, pengunjung dipersilahkan untuk menyiram salah satu wadah yang di sana ada tumbuhan. Menariknya, ketika kita menyiram tumbuhan tersebut kemudian akan muncul efek suara yang menyerupai suara angin dan kegaduhan. Melalui karya tersebut, tangkapan pendek saya, mereka ingin mengingatkan kita soal kekeringan air di daerah Sikunang dan sekaligus untuk merawat alam Dieng yang menurut mereka tidak sedang baik-baik saja.

Tidak terasa tour melihat karya 13 seniman yang terlibat di pameran ini selesai. Kami kemudian dipersilakan untuk naik lagi di lantai tiga. Saya mencoba untuk menyulut rokok barang sebatang, sambil memandang jalinan gunung yang memanjang. Belum genap setengah batang, hawa dingin sudah menembus jaket saya yang tidak terlalu tebal. Saya masuk ke dalam ruangan yang sudah berjajar banyak orang. Salah satu peserta resideni menggelar diskusi menarik menyoal tanaman kentang. Reza Maulana sebagai akademisi jebolan UGM menyatakan bahwa hampir sama seperti yang terjadi di Kabupaten Temanggung dengan persoalan tembakau yang tak kunjung membuat petani sejahtera. Dieng yang terkenal sebagai penghasil kentang terbaik se-pulau Jawa, juga mengalami nasib yang sama. Usaha dengan modal pertanian kentang dengan segala risikonya ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan petani di lapangan. Reza juga jelaskan bahwa alih fungsi lahan besar-besaran di Dieng yang awalnya untuk memacu produktivitas kentang ternyata tidak selaras dengan hasil yang di dapatkan petani. Harga jual kentang di pasaran semakin rendah, dan keuntungan terbanyak bukan di dapatkan oleh petani, tetapi para tengkulak yang sesuka hatinya memainkan harga. Kondisi tersebut memaksa generasi muda dari anak petani untuk beralih ke sektor pariwisata yang hari-hari ini di poles sedemikian rupa di Dieng. Munculnya homestay dan berbagai event pariwisata menjadi fase baru Dieng menuju laju pembangunan yang kencang.

Kondisi seperti itu semakin memperumit persoalan sosial dan ekonomi yang ada di Dieng. Laju modal yang besar ternyata tidak sejalan dengan tumbuhnya pengetahuan atas pentingnya menjaga lingkungan. Sehingga ancaman terhadap krisis lingkungan mulai dari penggundulan hutan yang berakibat longsor dan hilangnya sumber mata air ke depan juga tidak bisa dihindarkan. Seketika perhatian saya tertuju pada bukit tinggi yang dapat saya lihat dari ruangan diskusi di balik jendela-jendela besar di ruangan itu. Saya melihat bukit yang tampak hijau ranum itu, tidak secuilpun ada pohon-pohon besar.

foto Dokumentasi Pribadi Tani Jiwo

Setelah diskusi, pertunjukan Lengger di malam hari menjadi penutup acara pada hari itu. Pertunjukan yang diadakan di depan, seberang Hostel Tani Jiwo tersebut disambut meriah dan dipadati oleh antusias warga sekitar. Saya tampak khusuk dengan seni tradisi yang baru saya dapati pertama kali ini. Tari yang ditampilkan hampir tidak ada cerita yang menyambungkannya, setidaknya itu yang saya lihat. Hanya ada dua penari Lengger perempuan yang bergantian menari di kelilingi penari laki-laki, yang bahkan ada anak-anak yang silih berganti menari melingkari sang Langger. Terlepas berbagai tantangan dan ancaman material yang ada di Dieng. Melihat antusias warga sekitar atas kesenian tradisi ini, ada sisi lain yang membuat segala persoalan yang dihadapi masyarakat Dieng terasa paradok, atau malah sebaliknya tradisi dengan segala kearifan kolektifnya yang justru membuat mereka bertahan dari ancaman.

Sambil melihat gerak lenggak-lenggok para penari Lengger, kemudian saya merenung panjang bahwa apa yang dilakukan oleh Doni, Rahma, dan segenap tim di belakangnya ternyata tidak hanya sekedar inisiatif eventual belaka. Tetapi lebih dalam dari hal itu, upaya kecil yang mereka dengungkan ternyata adalah wujud kecintaan mereka terhadap alam Dieng dengan segala persoalan dan tantangannya. Dan melalui acara ini, mereka berhasil memantik keresahan untuk menyemai hal baik untuk Dieng ke depan. Semoga.  

Doel Rohim
Redaktur langgar.co, bergelut di PP Budaya Kaliopak. Bisa disapa via Twiter @doelrohim961 Ig: Doel_96