Menu

Dieng dan Jiwo-jiwo Ngendong

Catatan Acara Pembukaan Presentasi Residensi Kecil Tani Jiwo

Siapa yang tidak mengenal dataran tinggi Dieng? Daerah yang terletak di perbatasan Wonosobo dan Bajarnegara tersebut, sering kali dikenal banyak menawarkan panorama keindahan alam dengan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sejumlah kolektif anak muda yang tergabung dalam Yayasan Desa Akar Karsa dan Tani Jiwo, melihat Dieng secara berbeda. Melalui program residensi yang dirancang, mereka ingin melihat Dieng dari segala kompleksitas persoalan seperti kerusakan lingkungan, sistem sosial, budaya, ekonomi yang tidak berimbang. Medium residensi mereka pilih, untuk mencoba mengakrabi dan belajar kembali pada alam Dieng yang mereka cintai.

***

Pagi saat langit Yogyakarta masih tampak sendu tertutup mendung (27/01/23), saya berangkat ke Dieng. Sebelum berangkat saya sempat melihat google map yang menunjukkan jarak tempuh dari Yogya sampai Dieng membutuhkan waktu 3 jam 20 menit. Pikir saya, itu waktu yang singkat saat di mana saya terbiasa naik motor 6 jam non stop. Tanpa pikir panjang––dan tentu tidak ada persiapan khusus kecuali jaket dan sarung untuk mengantisipasi cuaca dingin yang katanya tidak ketulungan––saya berangkat sambil membayangkan indahnya pemandangan alam yang akan saya lewati di sepanjang jalan.

Benar saja, baru satu jam perjalanan, kira-kira baru sampai Muntilan Magelang, motor yang saya kendarai tiba-tiba bermasalah. Entah kenapa, saya tidak benar-benar paham. Ada suara keras dari balik mesin pengikat roda belakang. Saya kemudian turun, melihat keseluruhan bagian motor masih utuh tidak hilang sedikitpun. Tetapi saat pedal gas saya putar, motor tetap tidak bisa berjalan. Dengan berat hati, akhirnya mau tidak mau saya mesti dorong motor hingga kira-kira 200  meter. Kebetulan ada orang yang berbaik hati, seorang tukang ojek online mendorong motor saya dan motor ke bengkel tujuan. Tidak begitu lama, 30 menit saya menunggu motor sudah selesai diperbaiki.

Fanbel e pedot mas, dan reng lakernya remok. Piye arep diganti boten,” ucap Mas Bengkal.

“Gak popo mas, ganti mawon seng penting aman,” tegas saya, sambil melihat uang di dompet yang masih aman.

Selepas semuanya diganti dan motor selesai diperbaiki, perjalanan saya lanjutkan. Sepeda montor terasa lebih enteng dan meyakinkan untuk menembus kabut Dieng. Selepas daerah Temanggung melewati perkebunan teh daerah Tembi, saya mulai sadar peristiwa rusaknya montor saya barusan, bisa jadi bukan suatu yang patut untuk disesalkan. Bahkan dalam kasus yang satu ini, hal itu adalah keberkahan. Pasalnya, dengan medan yang menanjak ekstrem dengan jumlah kelokan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ditambah lebatnya hujan dan minimnya jarak penglihatan karena kabut yang sudah mulai turun, performa motor tampaknya menjadi hal yang utama. Karena tanpa motor yang sehat dan mumpuni, mungkin cerita perjalanan ini tidak akan sampai di hadapan pembaca.

Siang sepanjang perjalanan melintasi pegunungan Sindoro menuju Dieng, saya disambut kabut putih dengan sedikit hujan tipis. Motor saya kendarai pelan, sambil mengamati lebih dekat jajaran gunung dan perbukitan yang dari kejauhan tampak indah, tetapi ketika saya semakin dekat gunung dan bukit itu seperti tidak bernyawa. Warna hijau pucat mungkin tepat untuk menggambarkan jajaran gunung yang tak lagi dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang menjadi jantungnya. Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah. 

Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.

Sesampainya di lokasi, acara pembukaan “Presentasi Akhir Residensi Kecil Tani Jiwo” acara ternyata sudah dimulai. Terdengar suara alunan musik gamelan yang mengalun halus nan syahdu dengan syair-syair bernuansa Jawa Islam, saat saya baru saja menginjakkan kaki di Hostel Tani Jiwo di daerah Dieng Kulon (Barat) masuk daerah Banjarnegara. Tetapi saya salah, alunan musik yang saya kira adalah alunan satu set gamelan ternyata tak terlihat di ruang terbuka di lantai tiga tersebut. Rasa penasaran saya semakin bertambah, ketika saya hanya melihat dua orang duduk bersila, satu orang terlihat membaca naskah tembang, satu lainnya tampak membelakangi penonton, entah apa yang dimainkan. Rasa penasaran membuat saya bertanya kepada peserta lainnya. “itu bundengan mas” tutur teman di sebelah saya.

Selepas acara pembukaan selesai, peserta menunggu diarahkan untuk mengikuti tour untuk melihat presentasi 10 karya dari 13 peserta residensi. Namun, tiga peserta diantaranya tidak menampilkan karya di pameran, tetapi mereka membuat acara-acara dalam rangkaian program . Sambil menunggu giliran, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan Said pemain bundengan yang sempat membuat saya penasaran tersebut. Said menceritakan bahwa bundengan adalah satu jenis alat musik traditional yang berasal dari Wonosobo. Biasanya musik ini dimainkan ketika berada di ladang di sela-sela mereka bertani. Elemen dan bentuk alat musik ini sangat menarik, terbuat dari bilah bambu yang di rakit melengkung hampir setengah lingkaran. Sekilas alat musik ini mirip seperti tudung atau penutup kepala petani di ladang. Anggapan tersebut tidaklah salah, menurut Said yang juga meneliti alat musik ini, ia menyatakan bahwa alat musik ini awalnya difungsikan sebagai tudung. Warga Diang biasanya menyebutnya kowangan, banyak petani biasa mengenakannya untuk melindungi kepala dari terik dan hujan. Alat musik ini dibuat dengan kerangka berbahan bambu, dan dilapisi pelepah bambu yang sudah kering atau biasa disebut clumpring. Di tengah bagian dalam kemudian ada beberapa senar raket dan beberapa bilah bambu kecil yang diselipkan disela-sela ruas anyaman. Melalui senar dan bilah bambu kecil itulah suara yang menyerupai gamelan ternyata bisa muncul menggema.

Foto dokumentasi Pribadi Tani Jiwo

Seperti di utarakan Said musik bundengan ini sekarang sudah tidak begitu populer lagi di daerah Dieng. Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih bisa memainkan jenis kesenian ini. Dari hal itulah Said sebagai generasi muda yang mencintai kesenian ini, dan juga kebetulan berkesempatan kuliah di ISI Surakarta jurusan etnomusikologi, ia merasa seperti mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan berusaha mengilmui kembali kesenian ini agar tidak hilang.

Udara sore dengan hawa dingin Dieng semakin menusuk tulang. Selepas diskusi banyak dengan Said, giliran saya untuk mengikuti tour hasil residensi Tani Jiwa dimulai.

Di Balik Keindahan Alam Dieng

Sebelum mengikuti tour, saya berhenti sejenak. Mencoba membaca catatan kuratorial yang di tulis Rahma Azizah sebagai salah satu fasilitator dalam program residensi ini. Setelah membaca, saya baru bisa memahami bahwa acara pameran hasil residensi ini, ternayata bukanlah hasil yang sehari jadi. Program residensi yang sudah dimulai sejak tahun 2022 ini merupakan usaha dari teman-teman Yayasan Akar Karsa yang diseponsori oleh Tani Jiwo untuk menciptakan ruang dialog dan transfer pengetahuan sekaligus suatu usaha untuk mereproduksi pengetahuan tentang Dieng yang dilakukan oleh 13 residen yang terpilih. Seperti yang di ungkapkan Rahma dalam catatan kuratorialnya, bahwa program ini diperuntukkan untuk mengajak peserta untuk bersama belajar melihat suatu tempat tanpa perlu menggunakan oposisi biner, “the I and the others,” saya dan mereka. Karena kaca mata melihat sesuatu sebagai yang lian, justru menjadikan (masyarakat lokal) hanya menjadi obyek eksotisme belaka. Disebutkan juga bahwa memang selama ini Dieng yang terletak di kawasan dataran tinggi, sering kali dijadikan ruang eskapisme belaka. Dengan hawa sejuk dan pemandangan alam mempesona, tidak jarang menjebak seorang pada satu pemahaman pada “nature is healing.” Tentu pandangan tersebut tidak bisa benar-benar bisa dihindarkan. Sehingga dalam tulisan doni untuk memilah peserta residensi ia juga harus lebih selektif untuk mengantisipasi pandangan eksotisasidesa yang ia tidak harapkan dari program ini.

Doni juga menyebutkan bahwa melalui program residensi ini, diharapkan juga bisa menjadi praktik baru untuk membuka kemungkinan akses pengetahuan lokal yang telah menubuh dari masyarakat Dieng. Karena menurutnya selama ini seperti terbenam dalam hingar-bingar pembangunan pariwisata kawasan Dieng yang semakin pesat. Tidak hanya itu, melalui program ini, Tani Jiwo juga ingin mencoba masuk dalam arena seni kontemporer yang selama ini hanya bergaung di pusat-pusat kota.

Masih dalam catatan Rahma, tema besar “Jiwo-Jiwo Ngendong” dipilih untuk menjadi pengikat narasi dari proses panjang yang dilakukan oleh para peserta residen yang dilakukan hampir selama satu tahun ini di Dieng. Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng. Tema ini kemudian menjadi metafora dari ke-13 residen yang telah datang dan tinggal di Dieng. Merekalah, ungkap Rahma, sebagai jiwa-jiwa yang dipertemukan oleh Dieng. Dari proses ngendong ini juga, pada akhirnya mereka (peserta residen) tidak hanya melihat Dieng hanya sebagai ruang stereotipikal yang selalu berkorelasi dengan eksotisasi sebagai kawasan wisata, tetapi lebih jauh dari itu Dieng dapat dilihat sebagai subjek utuh yang mengalami dinamika sosiokultural dan ekologis untuk terus dihidupi dan dimaknai ulang terus menerus. Melalui hal itu juga, dari hasil ngendong yang dilakukan oleh peserta mereka menyaksikan dan menemukan secara langsung persoalan-persoalan mendasar terkait kapitalisasi pertanian yang tidak berkeadilan, eksploitasi penggunaan lahan, dan komersialisasi pariwisata yang menggusur kearifan-kearifan lokal.

Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng.

Setelah membaca apa yang di tulis Rahma, kepala saya seperti penuh dengan rasa penasaran, tidak sabar untuk melihat satu persatu hasil dari karya teman-teman peserta residensi ini. Dari lantai tiga kami di ajak ke lantai dua, ada sekitar 6 orang yang tergabung dalam kelompok saya. Doni salah satu panitia dalam acara ini yang berperan sendiri untuk menghantarkan kami untuk melihat satu persatu karya dari peserta.

Ada 9 karya yang dipamerkan dari sembilan individu ataupun kelompok kolektif yang mengikuti residensi dalam presentasi ini. Mereka berasal dari banyak tempat seperti dari Yogyakarta, Bandung, Padang, Surabaya dan beberapa dari daerah sekitar seperti  Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut penuturan Rahma Azizah salah satu fasilitator dari program residensi ini, ketika program ini di buka awalnya ia tidak mengira ternyata yang mendaftar membludak hingga sampai 90 peserta. Hingga akhirnya, mengingat resource penyelenggara yang tidak besar hanya di pilih 13 peserta saja.

“Waktu pembukaan program ini, saya sempat kaget ternyata peminatnya luar biasa. Tetapi karena panitia dari tim Tani Jiwo kecil, akhirnya kami mengurasi hingga terpilihlah 13 peserta yang sampai tahap akhir di presentasi ini,” ucap perempuan yang berasal dari Solo tersebut.

Rahma juga menambahkan, bentuk program residensi ini merupakan program yang pertama dilakukan. Sebelumnya di tahun 2020, dengan bentuk yang agak berbeda, mereka membuka lokakarya dalam bentuk workshop kepenulisan yang berhasil mengeluarkan buku kompilasi dari beberapa anak muda di sana yang menuliskan kampung halamannya, Dieng Sebelum Matahari Terbit judul bukunya . Dari program itulah kemudian berkembang, mereka membuat Yayasan Desa Akar karsa yang akhirnya di tahun 2022 berkembang membuat program residensi ini.

Soal bagaimana karya 13 peserta tersebut, tentu tidak akan semuanya saya akan ulas dalam catatan pendek ini. Masih ditemani Doni yang dengan sabar menuntun kami menyelami satu persatu karya peserta. Saat tour berlangsung tiba-tiba fokus saya tertuju pada karya salah satu kolektif Bakar Tanah Leb yang menyuguhkan hasil riset mereka terkait tanah-tanah di dataran Dieng. Seperti yang saya pahami saat mereka menjelaskan, bahwa di daerah Dieng ada beberapa jenis tanah yang di dalamnya mempunyai fungsi dan latar historis yang beraneka ragam. Karakteristik jenis tanah tersebut bisa menunjukkan latar peradaban yang ada di Dieng sebelumnya.

Karya dari Gilang Mustofa juga tidak kalah menarik, selama program berlangsung Gilang dengan tekun berusaha mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan yang bisa di konsumsi atau yang biasa disebut ramban dari kawasan Dieng. Gilang menemukan banyak jenis tumbuhan yang selama ini pengetahuan atas jenis-jenis tumbuhan tersebut, sudah tidak banyak dimiliki oleh masyarakat setempat. Menariknya beberapa jenis tumbuhan kemudian dibuat sampel yang diawetkan dalam kaca yang di display indah. Selain itu juga disediakan beberapa jenis tumbuhan yang baru saja di petik. Dari berbagai jenis tumbuhan tersebut, kami kemudian dipersilakan untuk mencoba merasakan dengan memakannya.

Foto Dokumetasi Pribadi Tani Jiwo

Proyek Benggala dari Yogyakarta juga menampilkan karya yang tidak kalah atraktif, mereka berusaha menggambarkan fenomena ekologis dari karya instalasi yang mereka tampilkan. Melalui bentuk kendi tembikar yang di isi air, pengunjung dipersilahkan untuk menyiram salah satu wadah yang di sana ada tumbuhan. Menariknya, ketika kita menyiram tumbuhan tersebut kemudian akan muncul efek suara yang menyerupai suara angin dan kegaduhan. Melalui karya tersebut, tangkapan pendek saya, mereka ingin mengingatkan kita soal kekeringan air di daerah Sikunang dan sekaligus untuk merawat alam Dieng yang menurut mereka tidak sedang baik-baik saja.

Tidak terasa tour melihat karya 13 seniman yang terlibat di pameran ini selesai. Kami kemudian dipersilakan untuk naik lagi di lantai tiga. Saya mencoba untuk menyulut rokok barang sebatang, sambil memandang jalinan gunung yang memanjang. Belum genap setengah batang, hawa dingin sudah menembus jaket saya yang tidak terlalu tebal. Saya masuk ke dalam ruangan yang sudah berjajar banyak orang. Salah satu peserta resideni menggelar diskusi menarik menyoal tanaman kentang. Reza Maulana sebagai akademisi jebolan UGM menyatakan bahwa hampir sama seperti yang terjadi di Kabupaten Temanggung dengan persoalan tembakau yang tak kunjung membuat petani sejahtera. Dieng yang terkenal sebagai penghasil kentang terbaik se-pulau Jawa, juga mengalami nasib yang sama. Usaha dengan modal pertanian kentang dengan segala risikonya ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan petani di lapangan. Reza juga jelaskan bahwa alih fungsi lahan besar-besaran di Dieng yang awalnya untuk memacu produktivitas kentang ternyata tidak selaras dengan hasil yang di dapatkan petani. Harga jual kentang di pasaran semakin rendah, dan keuntungan terbanyak bukan di dapatkan oleh petani, tetapi para tengkulak yang sesuka hatinya memainkan harga. Kondisi tersebut memaksa generasi muda dari anak petani untuk beralih ke sektor pariwisata yang hari-hari ini di poles sedemikian rupa di Dieng. Munculnya homestay dan berbagai event pariwisata menjadi fase baru Dieng menuju laju pembangunan yang kencang.

Kondisi seperti itu semakin memperumit persoalan sosial dan ekonomi yang ada di Dieng. Laju modal yang besar ternyata tidak sejalan dengan tumbuhnya pengetahuan atas pentingnya menjaga lingkungan. Sehingga ancaman terhadap krisis lingkungan mulai dari penggundulan hutan yang berakibat longsor dan hilangnya sumber mata air ke depan juga tidak bisa dihindarkan. Seketika perhatian saya tertuju pada bukit tinggi yang dapat saya lihat dari ruangan diskusi di balik jendela-jendela besar di ruangan itu. Saya melihat bukit yang tampak hijau ranum itu, tidak secuilpun ada pohon-pohon besar.

foto Dokumentasi Pribadi Tani Jiwo

Setelah diskusi, pertunjukan Lengger di malam hari menjadi penutup acara pada hari itu. Pertunjukan yang diadakan di depan, seberang Hostel Tani Jiwo tersebut disambut meriah dan dipadati oleh antusias warga sekitar. Saya tampak khusuk dengan seni tradisi yang baru saya dapati pertama kali ini. Tari yang ditampilkan hampir tidak ada cerita yang menyambungkannya, setidaknya itu yang saya lihat. Hanya ada dua penari Lengger perempuan yang bergantian menari di kelilingi penari laki-laki, yang bahkan ada anak-anak yang silih berganti menari melingkari sang Langger. Terlepas berbagai tantangan dan ancaman material yang ada di Dieng. Melihat antusias warga sekitar atas kesenian tradisi ini, ada sisi lain yang membuat segala persoalan yang dihadapi masyarakat Dieng terasa paradok, atau malah sebaliknya tradisi dengan segala kearifan kolektifnya yang justru membuat mereka bertahan dari ancaman.

Sambil melihat gerak lenggak-lenggok para penari Lengger, kemudian saya merenung panjang bahwa apa yang dilakukan oleh Doni, Rahma, dan segenap tim di belakangnya ternyata tidak hanya sekedar inisiatif eventual belaka. Tetapi lebih dalam dari hal itu, upaya kecil yang mereka dengungkan ternyata adalah wujud kecintaan mereka terhadap alam Dieng dengan segala persoalan dan tantangannya. Dan melalui acara ini, mereka berhasil memantik keresahan untuk menyemai hal baik untuk Dieng ke depan. Semoga.  

0
420
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.