Di balairung istana itu, dengan rambut acak-acakan, ketika Dursasana bersiap merenggutkan kain bajunya di depan semua orang. Drupadi memejamkan mata, mulai berdoa –di kemudian hari, banyak orang di India, kala puja, menggemakan kembali doa Drupadi ini:
Govinda, Govinda, Govinda
Penguasa Dwaraka, Basudewa
Kesayangan para Gopi, Kresna
Tidakkah Engkau tahu Kurawa telah berlaku hina
Tuhan, Engkau adalah Laksmi, pelindung Vraja
Yang bebas dari semua derita
Janardana, lindungi aku dari malu
Yang dibuat musuh-musuhku –anak-anak Kuru
Keshava, Engkau Mahayogi
Jiwa pelindung jagat ini
Bebaskan aku dari ketidakberdayaan ini
Hamba mohon padamu, sekali lagi
Govinda, Govinda, Govinda…
Drupadi, perempuan yang lahir dari api suci, tahu tiada yang bisa menolongnya dari kehinaan yang begitu besar di istana itu, dipertaruhkan dalam adu dadu. Dan Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam permainan, membisu. Juga Bhima. Juga Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Melindunginya sudah diluar batas kemampuan anak-anak Pandu.
Dalam diam, dengan napas sesak oleh kesedihan, Panchali, putri Raja Panchala meratap seorang diri.
Govinda dimanakah Kau?
Aku minta kepadamu
Biarlah Kau yang melindungiku
Aku tak berdaya
Aku diperlakukan tak sepatutnya
Layaknya binatang saja
Penghinaan ini lebih kejam dari kematian
Narayan
Satu, dua, tujuh… Kain terlepas dari tubuh perempuan yang dimenangkan Arjuna dalam sayembara itu. Tapi entah mengapa, tiap Dursasana menarik kain yang dikenakan Drupadi, tiap itu pula muncul bentangan panjang baru menutupi tubuh lembut seperti bunga teratai itu. Begitu terus. Tak putus-putus.
Tubuh yang gemetar itu berputar, terus berputar, di antara suara kasar, antara tawa menggelegar. Ia tetap tegar. Tak gentar. Dan Dursasana, pada akhirnya, terkapar. Bingung. Kehabisan tenaga. Ia tak pernah mengira itu semua: keajaiban dari langit. Kresna menutupi kulit mulus Drupadi dengan berlapis-lapis jarit.
Setelah itu, Drupadi yang sedih bangkit, diusap wajahnya yang pucat, dan berseru:
Aku menantu garis keturunan Kuru
Aku kebanggaan anak-anak Pandu
Tapi aku dibawa kesini tak ubahnya budak
Di seret-seret dan rambutku dijambak
Kejahatan macam apa ini
Kenapa aku diperlakukan keji seperti ini
Kenapa. Ada yang bisa menjawabnya?
Tuanku Bhisma. Menteri Widura. Guru Drona dan Kripa.
Kenapa kalian diam. Kenapa tak ada yang bicara
Juga kau yang mulia Raja Astina
Kenapa kau tak hentikan mereka
Anak-anakmu melakukan begitu banyak dosa
Di istana ini. Aku ternodai
Sekarang aku tak bersuami
Tanpa nama dan dinasti
Apakah aku aib bagi kalian
Sebab itu dihinakan
*
Semua diam. Tetap bungkam. Seluruh penghuni istana tenggelam. Termenung antara sedih dendam. Di luar, angin dingin bertiup. Bulan yang memancar, kian lama kian redup. Dan, putri dari Cempala itu kembali meratap pilu.
Semua. Semua melihat kejahatan ini?
Penghinaan terhadap Panchali
Tapi tak ada yang peduli
Aku Panchali
Lahir dari api suci Agni
Dan akan selalu suci
Di hari kelahiranku
Tiga dunia memberkatiku
Aku akan jadi penyebab kehancuran wangsa Kuru
Yang angkuh
Dan kini tiba saatnya itu
Murkaku
Amarahku
Dan inilah kutuk dariku
Saat ini
Detik ini
Yang hanya diam akan mati
Juga semua yang hadir di ruangan ini
Mulai sekarang aku tak akan mengikat rambutku lagi
Sebelum membasuhnya dengan darah Dursasana
Duryudhana akan dihukum untuk semua kegilaannya
Juga Raja Gandhara
Juga Raja Angga dan para Kurawa lainnya
Kelak akan ada pertumpahan darah
Kerajaanmu akan hancur yang mulia Drestarata
Anak-anakmu tak bersisa
Dan aku yang membakarnya
Sebab aku bukan lagi manusia
Aku adalah api menyala-nyala
Tiba-tiba kilat menyambar. Guruh menggelegar. Dan Bhima berdiri mengeraskan suaranya. Marah.
“Hai kalian, dengarlah sumpahku. Kelak dalam perang yang menentukan, di padang Kuru, akan kurobek dada Si Dursasana, lalu kureguk darahnya, kureguk! Dan, Duryudhana akan kuremuk pahanya, kuremuk!”
Juga Arjuna berdiri dan berkata:
“Dan ini janjiku: Panchali, rambutmu yang tergerai akan selalu mengingatkan kami pada tujuan akhir: Bharatayudha. Kelak, sungai berubah merah darah, ada gunung-gunung tercipta dari kepala!”
Yudhistira, Raja Dharma. Raja yang tak pernah murka. Masih tak bersuara. Baginya dendam itu sia-sia.
Drupadi yang menganggap suami-suaminya adalah dewa dan yang baktinya pada mereka tak berbatas, berkata:
Baiklah, kami pergi
Tapi di tahun ketiga belas, kami akan kembali
Wrekodara akan datang sebagai kematian
Ia tak bisa dihentikan
Tak satu pun dari kalian sanggup menghindarinya
Dan kulakukan apa yang harus kulakukan: mandi darah Dursasana!
Begitulah Vyasa menuliskan Drupadi. Ia api dendam yang abadi. Barangkali tanpa derita dan frustasi hebat yang dialami putri Drupada, tak akan ada perang Bharatayudha. Mahabharata hanya akan menjadi kisah membosankan antar-dua saudara yang berebut tahta. Tapi Drupadi –apakah seorang wanita seperti ini pernah ada atau tidak– mampu mengubah jalannya sejarah dan berhasil mengukir namanya dalam wiracarita ini.
Baginya: perang menjadi perkara benar atau salah. Dan hidup tidak melulu soal memaafkan. Tidak. Tapi ada hal lain: keberanian untuk melawan.
Memang perang membawa dukanya sendiri pada akhirnya, atau seperti kata Yudhistira, “sia-sia belaka.” Di akhir pertempuran, di antara tubuh berserakan. Drupadi menjadi yang paling sedih. Ia melihat kelima putranya mati, dan itu berarti akhir garis keturunan, tak satu pun yang naik tahta, dan ia membenci itu. Katanya…
Aku ingin meninggalkan dunia ini dengan tenang
Tapi aku hanya bisa melihat kegelapan di sekeliling