Menu

Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I)

Pengantar

Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah asumsi: Islam Jawa merupakan diskursus kolonial; yang artinya, sebagai suatu entitas eksperiental, Islam Jawa sebenarnya tidak pernah ada, kecuali bahwa ia sengaja diciptakan sebagai suatu paradigma akademis—untuk tidak mengatakan ‘streotipe’—yang digunakan dalam memahami Islam dan/atau Jawa secara universal. Dalam banyak kajian antropologi, sosiologi, maupun studi agama, Islam Jawa cenderung dipahami dalam dua definisi: (1) Islam lokal (local Islam) yang berarti bahwa Islam Jawa merupakan bentuk lain dari Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat tertentu dalam lokus tertentu, yakni Jawa atau (2) agama sinkretis (syncretic religion) yang berarti bahwa Islam Jawa pada awalnya merupakan perilaku keagamaan masyarakat Jawa yang dulunya menganut tradisi Animisme-Hindu-Budha, namun belakangan dianggap memiliki kesamaan dengan ajaran mistisisme Islam.

Masalah pertama pada definisi Islam Jawa sebagai Islam Lokal adalah kenyataan bahwa proses asimilasi kebudayaan pada hakikatnya sudah inheren dalam agama Islam, termasuk juga mungkin dalam agama-agama lainnya. Artinya, tidak ada Islam Jawa; yang ada adalah Islam yang memanifestasikan diri di dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dengan kata lain, Islam Jawa pada definisi pertama pada hakikatnya adalah Islam itu sendiri. Sementara itu, masalah kedua pada definisi Islam Jawa sebagai agama sinkretis adalah kenyataan bahwa definisi tersebut berasal dari tradisi teologi Protestan yang dibawa oleh para antropologis dan sosiologis Barat. Mereka, tanpa sadar, menggunakan perspektif teologi ketika berbicara tentang sinkretisme Agama Jawa.

Artinya, tidak ada Islam Jawa; yang ada adalah Islam yang memanifestasikan diri di dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dengan kata lain, Islam Jawa pada definisi pertama pada hakikatnya adalah Islam itu sendiri.

Formulasi masalah di atas kemudian akan membawa pada masalah lain yang perlu dirumuskan: Jika memang tidak ada agama Jawa yang disebut Islam Jawa, agama abangan, agama Jawi, dan seterusnya itu, lalu apa sebenarnya yang sedang digambarkan oleh para sarjana Barat selama ini? Tentu saja bukan ‘Islam’, karena para sarjana tersebut selalu menempatkan agama Jawa sebagai agama yang berbeda dari Islam pada umumnya, khususnya di Semenanjung Arabia. Ada dua kemungkinan yang bisa dilacak dari masalah ini. Pertama, Islam Jawa yang selama ini kita pelajari pada hakikatnya merupakan pengalaman eksperiental mereka; singkatnya, Islam Jawa merupakan cara berpikir Barat memahami dunia non-Barat (Timur). Sehingga, konsep mengenai Islam Jawa pada hakikatnya hanyalah berisi konstruk kebudayaan Jawa yang fragmenter. Kedua, sebagai konsekuensi dari poin pertama, pemahaman kita atas kebudayaan Jawa ternyata bersifat non-eksisten, tersembunyi, atau sengaja disembunyikan, karena hampir seluruhnya dari tradisi tersebut disalahartikan sebagai bagian dari agama Jawa, dan hal ini—ironisnya—telah terjadi sekian lama.

Situasi ini sekaligus juga akan membawa pada masalah ketiga yang lebih spesifik dan filosofis: Mengapa dalam perkembangan diskursus kesarjanaan Barat itu, Islam Jawa menjadi sedemikian ‘kolonial’? Pertanyaan ini melahirkan asumsi lanjutan bahwa salah satu penyebab suburnya konsepsi kolonial Islam Jawa adalah karena minimnya—untuk tidak mengatakan ‘absennya’—kajian Historiografi pascakolonial atas kerja-kerja kesarjanaan Barat yang menempatkan sumber-sumber Islam dan Jawa (baik manusia maupun teks-teksnya) dalam sudut pandang yang sama-sekali berbeda dari kajian-kajian akademis pada umumnya. Masalah ini tentu saja bukan tanpa alasan, karena naskah-naskah Jawa kuno (hikayat, babad, serat, dan sebagainya) cenderung diposisikan tak lebih sebagai sumber sekunder yang arbitrer, campuran fiksi dan fakta, mitologi dan aktualita, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan standar akademik dan dunia kesarjanaan Barat. Pun juga, akibat dari superioritas sumber akademik Barat di Jawa, manusia Jawa / Islam terus-menerus disubjuguasi dalam xenophobia akademis sebagai ‘yang-lain’ dan ‘yang-asing’ bagi mereka.

Baca: Akademi Barat: Pengalaman Meneliti Islam Jawa | Verena Meyer Baca juga: Tasawuf Jawa dan Pendekatan Cocokologi

Islam Jawa: Mengapa Perlu Kajian Genealogi?

 Ceramah Mark Woodward tentang “Sejarah Agama-Agama” memulai kegelisahan penulis untuk melakukan riset tentang Islam Jawa. Awal tahun 2014, ia mengajar penulis di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, sebuah program studi setara S2 yang fokus kajiannya adalah studi lintas agama, dialog agama-agama, dan tradisi agama lokal. Salah satu momen penting yang bisa diingat dari perjumpaan penulis dengan pengarang Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (1989) itu adalah ketika ketika ia menyebut ‘Mbah Maridjan mendalami tradisi Jawa meskipun ia seorang Muslim taat’ (2010: ). Istilah yang agak menganggu di sini adalah kata meskipun, karena ia justru memperlihatkan suatu ketegangan antara percaya pada tradisi pra-Islam di satu sisi dan penerimaan terhadap ajaran Islam di sisi lain. Pernyataan Woodward ini persis dengan yang ditulis oleh Robert Wessing (2010: 0: 60) bahwa sebagaimana di tempat-tempat lain di Indonesia … kepercayaan terhadap ilmu sihir ini mengakar kuat di Jawa Timur meskipun mereka memeluk Islam (Like elsewhere in Indonesia belief in sorcery is deeply ingrained in East Java, adherence to Islam not with standing) (garis bawah dari penulis). Apa sebenarnya yang sedang dibayangkan oleh Woodward ketika menyebut identitas ganda dari Mbah Maridjan itu? Apa pula yang dibayangkan oleh Wessing ketika ia—dengan nada yang tampaknya ‘agak terkejut’—menyebut kepercayaan terhadap ilmu sihir ternyata harus bersanding dengan keyakinan terhadap Islam?

Dalam artikelnya berjudul “Javanese Religion, Islam or Syncretism: Comparing Woordward’s Islam in Java and Beatty’s Varieties of Javanese Religion” (2013), Agus Salim memperlihatkan perdebatan teoretis antara Woordward dan Andrew Beatty yang menurutnya bahwa yang pertama lebih menekankan sinkretisme Islam, yang berarti bahwa Islam di Jawa adalah adopsi atas tradisi Hindu dan Buddha yang telah lama berkembang, sementara yang kedua menekankan tradisi mistisme Islam lokal, yang berarti bahwa Islam di Jawa adalah suatu praktik kejawen yang memiliki tradisi mistisisme tersendiri yang bersinggungan dengan tradisi mistis agama-agama lain, termasuk sufisme Islam. Woodward mencoba menelusuri lebih dalam mistisisme Jawa, sementara Beatty menggunakan perspektif antropologi murni yang menekankan singularitas dan partikularitas praktik kejawen sebagai salah satu elemen dari berbagai praktik mistisisme agama-agama formal pada umumnya, termasuk Islam itu sendiri. Di sini, alih-alih memperlihatkan heterodoksi atas Islam, penulis melihat Beatty justru menggunakan asumsi ortodoksi untuk memperlihatkan kuatnya pengaruh Islam di tanah Jawa hingga mampu mengakomodir praktik kejawan ke dalam tradisi sufisme, suatu penilaian yang khas ditemukan dalam berbagai riset di perguruan tinggi Islam pada umumnya. Pertanyaannya, benarkah heterodoksi dan ortodoksi Islam ini yang merepresentasikan Islam Jawa yang sebenarnya?

Persis di titik inilah, muncul sejenis pemakzulan betapa pendekatan terhadap Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Jawa, dipenuhi dengan ‘tradisi kepakaran ilmiah yang penuh streotipikal,’ sebuah streotipe akademik yang diwariskan secara turun termurun sejak triktomi Geertz ‘Santri-Abangan-Priyayi’ melalui tesisnya yang problematis tentang ketidakmungkinan ‘masyarakat Jawa untuk menjadi Muslim yang sebenarnya’….

Merenungkan pernyataan Woodward, Wessing, dan Beatty ini sekilas mengingatkan penulis pada buku Orientalism (1978) karya Edward W. Said yang pernah penulis terjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia empat tahun sebelumnya di Pustaka Pelajar. Dalam buku ini, Said memperlihatkan bagaimana diskursus kolonial, utamanya pada akhir abad ke-17, telah sedemikian masif mengkonstruksi pengetahuan kita atas fenomena ke-Timur-an (dalam hal ini, Islam). Persis di titik inilah, muncul sejenis pemakzulan betapa pendekatan terhadap Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Jawa, dipenuhi dengan ‘tradisi kepakaran ilmiah yang penuh streotipikal,’ sebuah streotipe akademik yang diwariskan secara turun termurun sejak triktomi Geertz ‘Santri-Abangan-Priyayi’ melalui tesisnya yang problematis tentang ketidakmungkinan ‘masyarakat Jawa untuk menjadi Muslim yang sebenarnya’ (it is very hard, given his tradition and his social structure, for a Javanese to be a ‘real Moslem’…) (Geertz, 1960: 160). Streotipe ini telah mengakar kuat, bahkan jauh sebelum tulisan Geertz itu menjadi bacaan wajib para mahasiswa antropologi, ketika Van Leur (1955) pernah membayangkan Islam di Jawa sebagai ‘glasir porselin yang tipis dan mudah pecah’ (… a thin, easily flaking glaze) (van Leur, 1955: 168).

Apa yang dilakukan oleh Salim, dan juga riset-riset lain yang sejenis dari para sarjana Indonesia selama 1 dekade terakhir (Sila, 2011; Jamhari, 2000; Jamhari, 2002; Prasetyo, 1994; Safriani, 2012) memperlihatkan bahwa ‘truisme’ ilmiah yang diperlihatkan oleh sebagian sarjana Barat selama ini memiliki implikasi tertentu terhadap konseptualisasi kita tentang agama dan kebudayaan, termasuk Islam Jawa itu sendiri. Ironisnya, truisme itu kini menjadi bagian dari cara kita berpikir tentang dan memperlakukan Islam Jawa dalam ranah akademia. Kritik terhadap truisme tersebut akan dilakukan dengan menampilkan genealogi konseptual dari Islam Jawa, lalu melacak sejarahnya dalam kerangka historiografis yang memosisikan sejarah sebagai sebuah narasi, dan karenanya konsep Islam Jawa tak pernah tunggal untuk didefinisikan. Dengan demikian, tulisan ini, pertama-tama, bersifat kritis karena ia berusaha memberikan kritik terhadap bangunan epistemologis atas asal-muasal (genealogi) Islam Jawa dalam penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia.

Kritik genealogis pertama-tama bisa dilakukan dengan melacak perkembangan diskursus Islam Jawa dalam sejarah studi-studi Jawa pada umumnya. Islam Jawa merupakan konsep utama yang sering digunakan dalam kajian tentang Jawa, baik secara etnografis maupun historis, selain juga bahwa Islam Jawalah yang turut membentuk kerangka berpikir para sarjana Barat tentang Jawa itu sendiri. Tanpa bermaksud berlebihan, bisa dikatakan bahwa tanpa Islam Jawa, kajian tentang Jawa (Javanese Studies) hampir mustahil dilakukan. Kritik genealogis ini ditempuh pertama-tama dengan menguji bagaimana para sarjana Javanese Studies menggunakan konsep Islam Jawa tersebut. Artinya, ia tidaklah berusaha mendeskripsikan Islam Jawa, melainkan mendeskripsikan bagaimana Islam Jawa itu dipahami. Kerja semacam ini diharapkan bukan hanya dapat menjelaskan bagaimana asal-muasal konsep tersebut lahir dan digunakan, melainkan juga dapat menyajikan problem-problem epistemologis yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut dalam sejarah perkembangan kajian Jawa selama ini.

Dengan demikian, Islam Jawa merupakan produk dari diskursus kolonial; singkatnya, penulis berusaha melihat asal-muasal munculnya diskursus tentang Islam Jawa selama ini dalam dunia kesarjanaan Barat. Asal-mula diskursus ini muncul dalam spektrum kesarjanaan Barat yang berusaha memahami dan menyingkap ‘misteri yang tersembunyi’ dari kebudayaan Timur. Dengan demikian, secara historis, konsep ‘Islam Jawa’ merupakan hasil dari persentuhan diskursif antara dua kebudayaan yang berbeda, suatu persentuhan di mana satu kebudayaan tertentu berusaha mendeskripsikan kebudayaan lainnya dalam cara pikir kebudayaan asal. Persentuhan diskursif ini menemukan relevansinya dalam kajian genealogis karena kajian ini berusaha memetakan konsep Islam Jawa dalam kerangka akar muasal epistemologisnya. Hanya dengan cara inilah, kita akan menyadari bahwa konsepsi kita tentang agama Jawa selama ini ternyata berasal dari para penjelajah Barat, dan demikianlah—sebagaimana yang sudah lama disinggung Edward W. Said—kajian terhadap Timur selalu berasal dari keinginan Barat untuk memahami sekaligus menguasai Timur ‘dari jauh’.

Dengan demikian, secara historis, konsep ‘Islam Jawa’ merupakan hasil dari persentuhan diskursif antara dua kebudayaan yang berbeda, suatu persentuhan di mana satu kebudayaan tertentu berusaha mendeskripsikan kebudayaan lainnya dalam cara pikir kebudayaan asal.

Genealogi juga memberi ruang bagi analisis lebih lanjut terhadap konsep-konsep yang digunakan oleh para sarjana Barat untuk mendeskripsikan agama di Jawa, konsep-konsep yang dengannya Islam Jawa didefinisikan sedemikian rupa. Kerangka konseptual yang membentuk bangunan epistemologis Islam Jawa—harus diakui—umumnya berasal dari tradisi Barat. Sebagai outsider, mereka yang berusaha memahami kebudayaan Jawa pada akhirnya terjebak pada berbagai representasi, jika bukan misinterpretasi, atas Islam Jawa. Kajian genealogi dapat menunjukkan bagaimana deskripsi atas Islam Jawa itu ternyata dipenuhi oleh deskripsi kolonial Barat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa baik sebagai agama sinkretis (syncretism) maupun Islam lokal (local Islam), Islam Jawa adalah produk kolonial yang implikasinya adalah mengharuskan penulis untuk menyajikan suatu perspektif alternatif, dari sudut pandang Pascakolonial, yang akan menempatkan konsep-konsep tersebut sebagai produk kuasa-pengetahuan kolonial.

Selanjutnya, konsep Islam Jawa secara genealogis mulai terlembagakan secara akademis dan ‘saintifik’ oleh para sarjana Barat pada abad 19. Pada periode ini, dimulailah kajian-kajian akademis terhadap kebudayaan dan agama Jawa. Pada abad ini pula muncul para sarjana Barat (Geertz, Steenbrink, Ricklefs, Laffan, dan sebagainya) dan sarjana Indonesia(is) yang berusaha mengkonseptualisasikan Islam Jawa dalam suatu kontestasi akademis yang tak berkesudahaan, dan setelah semua ini kita bisa melihat bagaimana Islam Jawa mulai dijadikan bahan kajian dan diskusi ilmiah dalam forum-forum akademis. Periode ini pula menandai munculnya istilah ‘sinkretisme’ atau ‘Islam lokal’ untuk mendeskripsikan Islam Jawa, suatu istilah yang familiar di kalangan para sarjana Javanese Studiesatau pengkaji mistisisme lokal saat itu.

Tahun 2015, dalam sebuah seminar internasional di Jakarta, penulis yang saat itu mempresentasikan paper berjudul “Contesting Double Genealogy: Representing Rebellion Ambiguity in Babad Tanah Jawi” seketika menyebut istilah ‘sinkretisme Jawa’ untuk memperlihatkan silsilah ganda Mataram yang berasal dari trah Majapahit (Batara Guru) dan Demak (Nabi Adam).Spontan, Annabel Teh Gallop dari British Library yang ketika itu menjadi reviewer berkomentar dengan nada ‘terguran’, “Kita perlu berhati-hati menyebut istilah sinkretisme untuk mendefinisikan agama Jawa, karena istilah ini agak problematik” (We have to be really careful of mentioning ‘syncretism’, because this term is quite problematic). Penulis pun menyadari bahwa, pada tahap tertentu, diskursus kolonial tentang sinkretisme Islam Jawa ternyata telah sedemikian jauh tertanam dalam ke(tidak)sadaran penulis selama ini.

Penulis pun menyadari bahwa, pada tahap tertentu, diskursus kolonial tentang sinkretisme Islam Jawa ternyata telah sedemikian jauh tertanam dalam ke(tidak)sadaran penulis selama ini.

Selain itu, artikel-artikel yang terbit di berbagai jurnal akademis Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, juga tak mau kalah dalam upayanya mendefinisikan Islam Jawa dalam konteks mistisisme. Asumsi yang mereka bangun umumnya adalah kedekatan praktik kejawen dengan praktik sufisme dalam Islam, dan karenanya mereka mencari bukti-bukti spesifik yang dapat menghubungkan kedua praktik tersebut dalam satu istilah terkenal yang sebagian berbunyi: Islam lokal (local Islam). Sehingga muncullah konsep-konsep, seperti Islam lokal Mandar, Islam lokal Gorontalo, Islam lokal Madura, dan seterusnya. Bahkan, sebagian prodi keislaman di Perguruan Tinggi Islam juga sudah mulai mengajarkan dan menawarkan matakuliah “Islam dan Budaya Lokal”, yang di dalamnya menawarkan kurikulum tentang Islam lokal, lokalitas Islam, Islam dan tradisi setempat, dan seterusnya. Singkatnya, ada upaya diskursif untuk mendefinisikan Islam Jawa sebagai suatu ‘agama lokal’ tertentu yang berjalin kelindan dengan tradisi agama Islam.

Fenomena di atas tentu memunculkan satu masalah filosofis lain yang perlu diajukan: dari mana dan mengapa muncul istilah “Islam Jawa”? Pertanyaan ini, sayangnya, belum banyak dieksplorasi sebagai suatu kajian genealogis dan historiografis yang serius. Istilah “Islam Jawa” sudah cenderung diterima secara taken for granted, sedikitnya, dalam dua aspek: a) sebagai agama Jawa (Javanese religion) yang cenderung diposisikan sebagai Islam lokal dan turunan dari agama Islam formal di satu sisi, dan b) sebagai agama sinkretis (syncretist religion) yang cenderung diposisikan sebagai adopsi atas tradisi Animisme-Hindu-Budha di sisi yang lain. Masalahnya, baik sebagai agama Jawa maupun sebagai sinkretisme, Islam Jawa tetaplah merupakan istilah yang problematik untuk mendeskripsikan masyarakat Jawa yang beragama Islam atau Muslim yang hidup dalam kultur Jawa itu sendiri.

Pertanyaan pun muncul: Apakah Islam Jawa benar-benar Islam, katakanlah sebagai Islam lokal (local Islam), atau ia adalah sistem keyakinan animisme atau Hindu-Buddha yang hanya berwajah Islam (syncretist Islam)? Diskursus Islam Jawa dalam perspektif yang pertama berasal antara lain dari pendapat Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis asal Belanda, yang lama tinggal di Aceh. Menurut Hurgronje, yang berbeda dari pendapat para orientalis lain yang menekankan pada sinkretisme, Islam Jawa tidak bisa dipahami kecuali melalui pemikiran teologis Islam itu sendiri. Sayangnya, analisis ini problematik karena bukan hanya ia memiliki masalah epistemologis tersendiri suntuk menjelaskan Islam Jawa, melainkan juga karena ia gagal menjembatani Islam Sinkretis dan Islam lokal sebab kedua istilah ini merujuk pada dua hal yang berbeda.

Sementara itu, diskursus Islam Jawa dalam perspektif kedua bisa dilacak antara lain melalui pandangan M.C. Rickleffs (2006, 2007, 2012) tentang mystic synthesis yang merujuk pada proses Islamisasi di pulau Jawa pada abad ke-14 sampai abad ke-19 Masehi. Ricklefs berusaha keras melacak sejarah Islamisasi di Jawa pada periode tersebut, salah satunya, dengan mengasosiasikan Islam Jawa dengan tradisi Hindu Buddha dan mistisisme Islam dari Timur Tengah (Hadramaut), suatu usaha rekonsiliasi identitas yang menemukan bentuknya pada awal abad ke-17 pada masa Sultan Agung Mataram. Sebagaimana upaya Hurgronje, usaha Rickleffs ini juga bermasalah karena sinkretisme—sebagaimana kritik yang pernah disinggung Annabel Teh Gallop—tak pernah benar-benar mampu mendeskripsikan agama Jawa sebagai sebagai suatu pengalaman objektif. Lalu, jika benar bahwa mereka—sebagaimana penulis—tidak pernah benar-benar mampu mendeskripsikan apa itu Islam Jawa, lalu apa sebenarnya yang sedang mereka gambarkan selama ini? Apakah Islam Jawa benar-benar ada?

Pertanyaan di atas juga membawa penulis pada tesis lainnya bahwa Islam Jawa merupakan entitas eksperiental yang subjektif, dan hanya orang-orang yang mengalamilah yang paling mungkin mendeskripsikan secara personal apa itu Islam Jawa. Sayangnya, dalam sejarah genealogi Islam Jawa selama ini, belum ada satu riset komprehensif yang berusaha menghubungkan bukti teoretis dan pengalaman empiris tentang adanya agama Jawa yang sinkretis atau mistis itu. Absennya studi yang menjembatani dua hal tersebut membuat penulis menyadari bahwa saintifikasi Islam Jawa sebagai suatu konsep diskursif merupakan hasil dari pengalaman eksperimental para sarjana Barat, sehingga apa yang dialami oleh Hurgronje, Woodward, Geertz, Rickleffs, dan sarjana-sarjana lain yang terepresentasi dalam konsep-konsep yang mereka bangun pada hakikatnya tak lebih sebagai suatu gubahan akademis yang dibuat untuk membantu mereka memahami Islam Jawa. Artinya, hanya dengan “Islam Jawa” atau “Islam sinkretis” atau “agama Jawa” atau “Islam lokal” dan sejenisnya, mereka bisa merepresentasikan pengalamannya bersentuhan dengan sebagian kecil realitas Jawa itu sendiri secara teoretis dan membangunnya dalam suatu kerja kepakaran akademis.

Artinya, hanya dengan “Islam Jawa” atau “Islam sinkretis” atau “agama Jawa” atau “Islam lokal” dan sejenisnya, mereka bisa merepresentasikan pengalamannya bersentuhan dengan sebagian kecil realitas Jawa itu sendiri secara teoretis dan membangunnya dalam suatu kerja kepakaran akademis.

Baca: Rumusan Islam Politiek Snouck Hurgronje Baca juga: Tarekat Akmaliyah dan Malamatiyah di Jawa

Islam Jawa: Mengapa Perlu Kajian Historiografis?

Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan adalah menempuh jalan memutar dengan pertama-tama melacak asal-usul (origins) diskursus Islam Jawa dalam perkembangan studi-studi kesarjanaan Barat, lalu kemudian menawarkan suatu perspektif alternatif berupa historiografi pascakolonial untuk menjelaskan problem epistemologis dari sumber-sumber Barat itu secara historis sekaligus mengilustrasikan beberapa kemungkinan narasi historis yang sengaja (di)hilang(kan) dari cerita besar tentang Islam Jawa. Strategi kedua digunakan karena penulis melihat, sebagaimana yang telah diuraikan sejak awal, bahwa diskursus Islam Jawa umumnya hanya muncul dalam kajian antropologi kebudayaan (cultural anthropology) dan studi agama (religious studies). Pada pendekatan pertama, Islam diperlakukan sebagai hasil dari proses negosiasi kultural dan stratifikasi sosial di antara para anggota masyarakat Jawa. Sementara itu, pendekatan kedua memosisikan Islam sebagai suatu praktik ritual keagamaan yang sangat terkait dengan konsep-konsep teologis di dalamnya.

Sayangnya, memisahkan kedua pendekatan tersebut dan—dengan demikian—mengabaikan pendekatan lain (historiografi) berarti melupakan kontribusi peran filolog dan sejarahwan dalam mengkonstruksi konsep Islam Jawa melalui berbagai naskah klasik. Masih jarang upaya historiografis yang dilakukan secara serius untuk mempertanyakan perkembangan diskursif konsep Islam Jawa dalam kerangka sejarah. Jika pun ada, kajian-kajian tersebut umumnya masih berusaha membuktikan sumber asali dari peristiwa tertentu, misalnya, kapan persisnya Islam muncul di tanah Jawa, apa saja peristiwa-peristiwa yang luput dari penulisan sejarah Islam di tanah Jawa, tetapimasih belum ditemukan suatu upaya sistematis untuk melacak asal-muasal (genealogi) diskursus Islam Jawa melalui kajian atas penulisan sejarah (historiografi) atas Islam Jawa itu sendiri, dan tulisan ini adalalah satu satu upaya menuju ke sana. Jika pun ada, historiografi tersebut umumnya tetap berkiblat dan—meskipun berusaha keluar—terjebak pada paradigma Eropa / Neerlando-sentris.

Tahun 2014, Studia Islamika, sebuah jurnal internasional berbasis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan konferensi bertema “Southeast Asian Islam: Legacy and Interpretation”, sebuah tema yang dalam kontekstulisan initampaknya sangat relevan. Konferensi yang dilaksanakan untuk memperingati hari jadi Studia Islamika yang ke-20 itu menawarkan satu rekomendasi penting, antara lain, tentang pentingnya melakukan kajian Jawa dalam perspektif warisan masa lalu (legacy). Rekomendasi tersebut relevan bagi tulisan ini karena sebagian riset genealogis yang telah disebutkan di awal tidak benar-benar memadai untuk memberikan jalan keluar dari jebakan orientalis atau universalitas agama, tidak pula ia menawarkan satu interpretasi baru bagi kita untuk melihat masa depan studi Jawa.

Dalam satu esainya, “Mencari Historiografi Islam yang Mandiri” (2018), Ahmad Nasih Luthfi, sejarahwan dan editor Etnohistori, pernah mengajukan dua pertanyaan penting yang kira-kira bunyinya seperti berikut: “Pertama, bisakah kita membuat periodeisasi sejarah Islam Indonesia yang mandiri (yang non-kolonial sentris)? Jika memang bisa (membuat historiografi tanpa melibatkan realitas makro kolonial), realitas macam apa yang dapat kita peroleh?” Pertanyaan Luthfi ini, yang senada dengan perdebatan mutakhir di kalangan sejarahwan lain (seperti, Purwanto & Adam [2013]; Purwanto[2006]; Margana, dkk. [2017]), penting karena ia membuka arah baru bagi penulisan sejarah alternatif, suatu penulisan sejarah yang tidak hanya berusaha keluar dari jebakan diskursus kolonial, melainkan juga menawarkan suatu perspektif historiografi yang ideal, yang menjadikan sumber-sumber arkaik Jawa sebagai data primernya atau—setidaknya—memosisikan penulis Jawa sebagai subjek yang menulis ‘Islam’nya sendiri.

Yang dilakukan oleh Geertz, Woodward, Hurgronje, serta para pengkritiknya, mulai dari para sarjana Barat, seperti Steenbrink, Laffan, Asad, dan Boogert hingga sarjana Indonesia, seperti Azra, Salim, Jamhari, Ali, Prasetyo, Burhanuddin, serta para Indonesianis lainnya jelas memberi peta tersendiri bagi perkembangan kajian Islam Jawa, namun—sejauh pengamatan penulis—kajian mereka pada umumnya berbasis pada antropologi murni atau sejarah agama, yang meskipun menggunakan literatur sejarah, umumnya hanya mengutip karya sastra Jawa sebagai ilustrasi atau sumber sekunder semata, bukan sebagai titik pijak bagi pengembangan analisis selanjutnya.

Tidak hanya itu, sebagian kajian antropologis dan historis mereka  masih menjadikan sumber-sumber akademik dari para sarjana Barat atau—paling banter—arsip-arsip VOC sebagai pilihan utama, suatu pilihan yang tentu saja dilematis: di satu sisi sumber-sumber tersebut bukanlah sumber arkais atas Jawa karena merupakan produk dari representasi dan interpretasi penulisnya atas Jawa, sementara sumber-sumber sejarah tentang Jawa sendiri yang berasal dari babad, hikayat, atau pun serat dianggap tidak memenuhi standar ‘kepakaran ilmiah-akademis’ (penuh mitos dan fiksi) yang disebabkan justru antara lain oleh berbagai streotipe yang berasal dari sumber-sumber yang pertama disebutkan itu.

Dengan demikian, dibutuhkan suatu disiplin tertentu yang mampu menghubungkan kajian genealogis dengan kerja historiografis, suatu disiplin yang akan membantu kita memahami bagaimana masa lalu seringkali dibentuk oleh pengalaman masa kini. Kerja historiografis semacam ini juga akan menjelaskan munculnya berbagai streotipe yang tampaknya cukup berbahaya bagi pandangan kita saat ini tentang Islam (dan) Jawa, dan karena itulah riset untuk menguji streotipe-streotipe itu mutlak dibutuhkan. Kerja semacam ini, tentu saja, bukanlah tugas yang mudah, namun jauh lebih tidak mudah lagi jika streotipe-streotipe itu mengakar jauh hingga masuk ke dalam narasi besar sejarah kita saat ini.

Dalam konteks historiografis, representasi atas Islam Jawa tidak cukup hanya dilihat dari bagaimana para sarjana Barat mengkonstruksi Islam Jawa pada saat ini, melainkan juga dari cara mereka mengkonstruksi Islam Jawa pada masa lalu. Dalam artikelnya berjudul “De-colonising Indonesian Historiography” (2004), Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa it is not enough to look at these narratives [narratives on national ethnic or religious identities] in terms of representations only; we also need to uncover the genealogies which have constructed and [re]produced these texts (Tidak cukup bagi kita untuk melihat narasi-narasi besar tentang identitas religius dan etnik hanya dalam kerangka representasi; kita perlu menyingkap genealogi yang mengkonstruksi dan mereproduksi teks-teks semacam ini dalam sejarah). Mengutip apa yang dikatakan oleh Bernard Cohn (1987), kajian genealogis (tentang bagaimana sejarah dimediasi oleh kebudayaan) dan kajian historiografis (tentang bagaimana kebudayaan dimediasi oleh sejarah) bisa memberi pijakan kuat untuk mengenalisis bagaimana streotipe, pandangan, dan asumsi orang dalam mengkonseptualisasikan masa lalu, serta kategori-kategori apa saja yang mereka gunakan untuk mengklasifikasikan dunia. ‘Islam Jawa’, harus diakui, merupakan hasil dari dualisme proses semacam ini.

Selain itu, narasi besar atas Islam Jawa umumnya diproduksi oleh literatur-literatur yang ditulis oleh para sarjana Barat, literatur-literatur yang—sebagaimana telah disinggung di awal—semata menghasilkan metanarasi yang penuh bias dan streotipikal, sehingga dibutuhkan suatu produk narasi lokal yang berasal dari literatur Jawa sendiri atas sejarah masa lalunya, dan historiografidalam hal inimenjadi perspektif penting untuk mengurai kompleksitas narasi lokal tersebut dengan menawarkan—meminjam istilah J.J. Ras (1987)—testimoni internal dari teks-teks lokal itu. Sumber-sumber sejarah yang berasal dari dan ditulis oleh para pujangga Nusantara sebaiknya perlu ditempatkan sebagai literatur yang secara struktural menjelaskan Islam Jawa menurut pandangan hidup orang Jawa itu sendiri. Meskipun sebagian kalangan berasumsi bahwa naskah-naskah, seperti Babad, Hikayat, atau Serat, dipenuhi oleh berbagai unsur mitos, naskah-naskah itu bisa menjadi catatan historis atas Islam Jawa yang bisa digunakan oleh para sejarahwan untuk menulis tentang sejarah Islam Jawa.

Akan tetapi, masalah ini pada akhirnya harus beradapan dengan suatu kenyataan: historiografi tetaplah sebuah representasi atas sejarah; dan sebagaimana sebuah representasi, ia tak akan pernah benar-benar mampu menampilkan narasi yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Untuk itulah dibutuhkan suatu perspektif Historiografi alternatif yang mampu mempertanyakan representasi para sejarahwan atas narasi yang ia bangun, baik yang bersumber dari literatur-literatur sarjana Barat maupun dari teks-teks sastra itu sendiri. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa kajian historiografi pascakolonial, yang menurut Prakash (1992: 8) berusaha mempertanyakan secara radikal segala bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang telah didominasi oleh dominasi sarjana Barat (…to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and western domination), menjadi satu keniscayaan tesendiri.

Historiografi pascakolonial berusaha mengungkap narasi-narasi kecil yang sengaja dihilangkan dalam narasi panjang sejarah penulisan Islam Jawa oleh para sarjana Barat. Historiografi semacam ini tentu relevan dihubungkan dengan kajian genealogis, karena kajian ini dapat membantu kita melacak perkembangan epistemologis dari konsep-konsep yang turut membentuk penafsiran kita atas Islam Jawa.

Dengan demikian, perlu adanya kajian historiografi pascakolonial yang menjadi fondasi teoretis untuk menganalisis Islam Jawa, sementara kajian genealogis menjadi kanopi metodologis untuk melacak miskonsepsi atas Islam Jawa yang selama ini dibangun oleh para sarjana Barat, baik mereka yang menjadikan literatur Jawa sebagai sumber primer maupun mereka yang nyaris sama sekali tidak mengutip literatur Jawa untuk membangun konsepnya tentang Islam Jawa. Ringkasnya, tanpa kajian genealogis, mustahil historiografi bisa melakukan otokritik terhadap narasi sejarah alternatif yang ditawarkannya; begitu pula, tanpa kajian historiografis, genealogi ibaratnya tubuh tanpa kaki, yang tidak mempertanyakan dimensi masa lalu dari teks-teks akademis yang dikritiknya.

Asumsi-asumsi inilah yang menuntun penulis untuk melacak genealogi Islam Jawa, pertama-tama sebagai suatu konsep yang definisinya tidak tunggal, penuh dengan miskonsepsi dan logika yang inkosisten, dan cacat epistemologis dalam berbagai karya-karya antropologi sarjana Barat, untuk kemudian membandingkannya dengan karya-karya historiografis para sarjana Barat dan Indonesia yang menjadikan karya-karya sastra arkaik Jawa, seperti Babad Jaka Tingkir, Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, Serat Cabolek, dan sebagainya sebagai sumber utama mereka. Singkatnya, tulisan ini ingin mempertanyakan asal-muasal (genealogi) konsep ‘Islam Jawa’ yang banyak ditemukan dalam teks-teks akademis sarjana Barat di satu sisi, sekaligus menunjukkan bagaimana genealogi tersebut dipertanyakan dalam teks-teks akademikorang Jawa sendiri yang notabene merujuk pada sumber-sumber arkaik utama dalam tradisi penulisan sejarah Islam Jawa di sisi yang lain.

Bersambung….

0
871
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.