Gus Dur dan Kaum Wujudi-Syuhudi di Pesantren

Gus Dur, selain seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu sosial, juga mahaguru Sarkub (Sarjana Kuburan–ed), dan sufi sekaligus. Salah satu ungkapannya soal tasawuf, berkaitan dengan fenomena kaum Wujudi (juga Syuhudi-Hululi) di kalangan pesantren, beliau menulis begini:

“Penulis beranggapan bahwa ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran wihdatul wujûd itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syari`at yang dalam hal ini berbentuk fiqh. Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran wihdatul wujûd di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup” (“Tasawuf dan kebatinan /Kejawen”, dalam Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, hlm. 103).

Bagi Gus Dur, kalangan ulama pesantren itu menerima wihdatul wujûd untuk diri mereka sendiri, dan tidak diajarkan secara gegabah terhadap orang awam. Penafsiran Gus Dur tentang Syaikh Siti Jenar, juga berangkat dari sini, yang menurutnya, kesalahan Syaikh Siti Jenar bagi Wali Songo bukan soal wihdatul wujûd, tetapi soal pengajarannya kepada orang awam. Gus Dur kemudian memberikan penegasan bahwa mereka yang menerima wihdatul wujûd, pada dasarnya mereka orang yang telah bersyari`at terlebih dahulu. Gus Dur mengutip ungkapan yang berkembang di pesantren: man yatahaqqaq walam yatasyarra’ fahuwa zindîqun (barang siapa yang menempuh haqîqat dan tidak bersyari`at maka dia dianggap zindiq). Dalam  salah satu tulisan, saya pernah menulis juga ungkapan ini, dan penjelasannya.

Gus Dur, sebagaimana para mahaguru sufi di kalangan Sunni, menginginkan adanya keselarasan antara fiqh dan tasawuf. Ini menegaskan pentingnya melihat, ada  sebagian umat Islam, yang tidak mau menerima tasawuf, dan menganggapnya sesat, dan kalangan Sunni di kalangan Madzhab Syafii di Indonesia, memilih meneruskan para pendahulu mereka dalam berhubungan dengan tasawuf, daripada pikiran-pikiran salafi yang menolak tasawuf.

Meski begitu Gus Dur menekankan bahwa kaum tasawuf, dan utamanya disebut olehnya sebagai kaum syara’, dengan kaum kebatinan (Kejawen) memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Perbedaan bisa dilihat dengan jelas sekali, terutama karena ulama-ulama pesantren mendasarkan pada referensi fiqh sebelum mereka bertasawuf, karena memang tradisi yang dimiliki di pesantren demikian; dan orang Kejawen mengambil intinya diharmoniskan dengan kearifan Jawa. Persamaannya, mereka sama-sama menerima wihdatul wujûd: bagi sebagian ulama pesantren, digunakan untuk mereka sendiri, dan tidak diajarkan secara gegabah.

Penyelarasan antara fiqh dan tasawuf ini, di kalangan pesantren sebenarnya mengacu pada  ungkapan imam asy-Syafi`i dalam Diwan-nya: “Jadilah ahli fiqh dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang ini (yang hanya mempelajari ilmu fiqh tetapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya takwa. Sebaliknya, orang itu (yang hanya menjalani tasawuf tetapi tidak mau mempelajari fiqh), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi benar?” (Diwan al-Imam asy-Syafi`i, hlm. 34, versi ditahqiq Muhammad Afif az-Za’bi).

Begitulah, karena ulama-ulama pesantren, termasuk Gus Dur memiliki tradisi Syafi`iyah dan menghormati imam Syafi`i, pandangannya tentang kaum sufi dan fiqh meresap ke dalam tradisi pesantren. Yang lebih penting lagi, pandangan itu, juga bisa merekonsiliasi dengan mereka yang terlalu menekankan aspek literal syariat. Ungkapan di atas, menegaskan perlunya kesinambungan antara keduanya: seorang sufi harus terlebih dahulu tahu tentang kewajiban-kewajiban syari`at dan seorang ahli fiqh harus berani menyeberang untuk menekuni dunia tasawuf. Kedua hal itu tampak sekali berjalan beriringan di banyak pesantren, meskipun dari sudut tasawuf mereka berafiliasi ke dalam banyak tarekat. Tentu saja, mereka yang menekuni dunia sufi di pesantren ini, sebagian menerima wihdatul wujûd yang diambil dari Ibnu `Arabi, sebagian menggunakan referensi al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ dan kitab-kitab akhlaknya, dan juga tokoh-tokoh lain termasuk Imam Junaid al-Baghdadi.

Karena penyebaran gagasan wihdatul wujûd atau pengungkapan pengalaman ekstatik ke publik tidak dilakukan dengan gegabah, maka tidak terjadi pertentangan hebat di kalangan ulama-ulama pesantren. Saya sendiri menerima tradisi Wujudiyah, melalui teoretisasi yang dilakukan dalam tradisi Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah, yang di dalam dzikir Qodiriyahnya, menggunakan penerjamahan batin dalam 17 makna, yang semuanya bermuara pada “Mboten wonten Dzat ingkang maujud anging panjenengan Gusti Alloh,” bersama-sama dzikir lahir tahlil. Dan, pandangan seperti ini, di pesantren Nahdliyin, tetap terus bisa bergerak dengan cara mereka sendiri.

Selain wihdatul wujûd, Gus Dur juga mengungkapkan soal tahallul (atau al-hulûl), yang juga muncul di kalangan sebagian kiai-kiai pesantren, tetapi pada saat yang sama mereka bertasawuf yang mengedepankan moralitas dan akhlak-akhlaknya (yang oleh Alwi Shihab disebut tasawuf sunni). Bahkan Gus Dur menunjukkan contoh Mbah Hasyim Asy`ari, dengan ungkapan:

“Kesimpulan bahwa umpamanya, K.H. Hasyim Asy`ari adalah orang yang mengikuti tasawuf Sunni, dengan melihat pada keputusan-keputusan beliau yang terdapat dalam dua belas kitab yang beliau karang semasa hidup, tentu tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan beliau karena seseorang jauh lebih besar daripada tulisan-tulisan yang dibuatnya semasa hidup. Sebagai contoh, baru-baru ini jelas sekali tampak bahwa KH. Hasyim Asy`ari adalah salah scorang yang secara umum menerima tasawuf Sunni, tetapi secara pribadi, beliau mengikuti doktrin tahallul (penempatan diri pada makhluk lain). Hal ini terbetik dari ungkapan-ungkapan para ahli atau para pengikut tasawuf falsafi, yang bergerak masih tetap dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU)”  (Gus Dur, “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi”, dalam Alwi Sihab, Islam Sufistik, hlm. xx).

Jadi, menurut Gus Dur tidaklah tepat menganggap bahwa para ulama NU adalah orang-orang yang menerima tasawuf, yang oleh sebagian orang disebut dengan tasawuf Sunni dengan meninggalkan tasawuf falsafi; atau memusuhi pandangan tasawuf falsafi. Meski saya tidak setuju dan menggunakan pembagian ini, tetapi ada bagian-bagian dari pengalaman sufi yang diungkapkan secara filosofis melalui filosofi al-Wujud yang mereka ambil, termasuk di antaranya doktrin al-hulûl itu, tetapi pada saat yang sama mereka tetap kokoh dalam bersyariat, karena itu adalah bagian mutlak dalam tarekat dan tasawuf.

Dalam hal ini, ada dua hal penting dari kutipan Gus Dur di atas, yang perlu dijelaskan: al-hulûl dan wihdatul wujûd. Doktrin al-hulûl merujuk pada sufi besar al-Hallaj. Doktrin ini menyebutkan bahwa Tuhan (maksudnya adalah Cahaya-Nya, bukan Dzat-Nya) mengambil tempat atau berada dalam diri manusia, setelah manusia itu mampu membersihkan diri lewat disiplin diri sehingga hilanglah ke-aku-annya. Ini bisa terjadi karena  manusia memiliki dua unsur, yaitu lâhût (unsur-unsur ketuhanan) dan nâsût (unsur-unsur kemanusiaan/materi). Jadi, di sini yang dimaksud bersemayam ke dalam diri manusia bukan Dzat Tuhan (karena Dzat Tuhan tidak terbagi), tetapi cahaya dan sifat-sifat Tuhan yang bisa muncul dari diri manusia, manakala manusia telah mampu membersihkan hatinya, yaitu setelah melewati keterleburan (fanâ’).

Dalam keterleburan itu, tubuh manusia juga tidak sirna, karena yang dimaksud di situ adalah keterserapan batin, mata rohani. Konsep al-hulûl ini, merupakan perkembangan setelah adanya ittihâd, yaitu setelah terjadi keterserapan dan peleburan (fanâ’) sang sâlik ke dalam Cahaya Allah lalu muncul kesatuan rohani, karena pada dasarnya Cahaya-Nya itu menjadi sumber dari cahaya hatinya: cahaya Tuhan menjadi asal dari cahaya hatinya.

Ekstase spiritual terjadi karena keterserapan ke dalam energi spiritual ilahi yang memungkinkan cahaya spiritual seorang sâlik terpendar ke dalam asal Cahaya-Nya. Bila tidak muncul cahaya ilahi yang menghubungkan dengan cahaya sang sâlik, maka sang penempuh, belum memperoleh rahmat dan kemurahan Tuhan, karena masih dikuasai oleh nafsu sehingga menutup diri-Nya.

Sedangkan wihdatul wujûd adalah pendalaman lebih lanjut dari konsep al-hulûl. Konsep ini dihubungkan dengan Ibnu `Arabi. Dalam konsep wihdatul wujûd konsep lâhût dan nâsût dalam penyaksian al-Hallaj dinamakan dengan al-Haqq dan al-khalq dalam penyaksian Ibnu `Arabi. Meski ada dua aspek dalam diri manusia, tetapi aspek yang paling penting dari keduanya adalah al-Haqq, karena tanpa al-Haqq tidak ada wujud-wujud lain, termasuk alam. Karenanya, meskipun banyak makhluk dan berbagai alam, tetapi esensi dari alam itu sendiri, ada Dzat yang menghidupkan, yaitu al-Haqq, karena tanpa al-Haqq, al-khalq tidak akan ada. Dari sini “kesatuan wujud” kemudian bermakna bahwa alam dan makhluk yang tampak bervariasi itu pada dasarnya satu, yaitu al-Haqq sebagai Wujud Haqîqî. Wujud lain adalah wujud semu, karena pada akhirnya juga akan binasa, keberadaannya tergantung dari al-Haqq, satu-satunya Wujud Haqîqî.

Selain al-hulûl dan wihdatul wujûd, ada juga konsep yang juga dikutip Gus Dur yaitu wihdatusy syuhûd. Konsep ini ada yang menyebut mirip dengan wihdatul wujûd. Wihdatusy syuhûd ini diungkapkan di antaranya oleh Ibnul Farid yang disebut sebagai sulthan al-`âsyiqîn. Dalam konsep wihdatusy syuhûd, muncul kesatuan penyaksian bahwa yang disaksikan di mana-mana hanya Allah. Pluralitas alam dan atribut-atribut dunia menjadi lenyap, dan yang dilihat semata wujud Tuhan, sebagai Wujud Haqîqî. Tentu saja, yang dimaksud di sini bukan kesatuan Dzat Tuhan dengan dzat manusia, karena Dzat Tuhan tidak terbagi-bagi: yang dimaksud adalah Wujud Haqîqî pada dasarnya adalah al-Haqq (yaitu Allah), dan wujud-wujud lain dalam alam yang berwarna-warni adalah semu; dan yang terlihat adalah cahaya-Nya semata meliputi semua alam.

Gus Dur menyebut kaitan itu di kalangan sebagian pesantren demikian: “Ajaran wihdatul wujûd yang digunakan itu adalah wihdatusy syuhûd” (hlm. 105). Maksudnya, orang-orang di kalangan pesantren, menurut Gus Dur ada yang memiliki kemampuan weruh sakdurunge winarah, karena mereka telah mengalami wihdatusy syuhûd. Selain Gus Dur gigih membela konsep wihdatul wujûd, al-hulûl, dan wihdatusy syuhûd, yang paling penting maksudnya adalah banyak kiai pesantren, di mana Gus Dur termasuk salah satu di antaranya, memakai pemahaman itu untuk dirinya sendiri, tidak disebarkan secara gegabah.

Tidak semua salik yang sampai memiliki pengalaman yang sama dalam hubungannya dengan Cahaya Allah, meskipun mereka sama-sama mengalami fanâ’, keterleburan, dan keterserapan ke dalam al-Haqq. Situasi dan kondisi penyaksian, ittihâd, dan penyatuan pasca al-fanâ’ adalah penganugrahan, dia tidak bisa didekati dengan pemahaman rasional dan mengandalkan hafalan buku-buku teks sosiologi atau hitungan Matematika. Anugrah itu muncul setelah salik mengalami keterserapan dan lebur rohaninya ke dalam kekuasaan al-Haqq setelah terjadinya ekstase mendalam, atas bimbingan dan kuasa Allah, yang kemudian Dia ini memancarkan lewat  Cahaya-Nya; atau atas jadzbah dari Alloh. Formula kesaksian itu bisa melalui, formula kalam-kalam yang didengar oleh pendengaran batin dan melalui penglihatan batin.

Dalam kondisi ini, dengan sendirinya, sang sâlik menyaksikan adanya kesatuan rohani sesuai pengalaman yang dialaminya, sehingga ketika mendefinisikannya ke dalam ungkapan dan tulisan menjadi berbeda, meskipun kesaksiannya berasal dari cahaya yang sama: sebagian mengalaminya kemudian menyebutnya ittihâd, wihdatul wujûd, wihdatusy syuhûd, al-hulûl, dan lain-lain. Bahkan tokoh-tokoh sejenis imam sufi yang dijadikan panutan di kalangan NU, seperti imam Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, menggambarkan orang yang mengalami ini sebagai orang yang telah mengalami esensi kebenaran menunggalkan Allah, bukan lagi dengan kata-kata, tetapi dengan penyaksian. Orang yang demikian memperoleh tauhidnya secara kokoh, pembenaran, lalu pelayanan.

Dalam hal ini, Imam Junaid al-Baghdadi mengemukakan: “Ketahuilah bahwa permulaan ibadah Allah adalah mengenal Dia (ma’rîfatullâh). Sedangkan pangkal mengenal Allah adalah bertauhid kepada-Nya. Sedangkan tatanan bertauhid adalah menafikan segala sifat dari diri-Nya. Dan dengan penafian itulah diperoleh dalil ke-Esa-an-Nya, dan sebab berdalil seperti itu adalah taufiq-Nya, lalu dengan taufiq Allah terjadi tauhid kepada-Nya. Dari tauhid lahirlah tashdîq, dari tashdîq terjadilah tahqîq dan berproseslah jadi ma’rîfah. Dari ma’rîfah muncullah isjtijâbah kemudian ijâbah. Dari sini terjadilah ittishâl. Dari ittishâl timbullah bayân. Dari bayân timbullah kebingungan. Dari kebingungan hilanglah bayân, dan dari hilangnya bayân terputuslah penyifatan terhadap-Nya dan dari keterputusan ini diperoleh hakikat wujûd. Dari hakikat wujud diperoleh hakikat syuhûd, karena kehilangan wujudnya, dan dari kehilangan tersebut jernihlah wujudnya, dan dengan kejernihan tersebut terlepaslah dari sifat-Nya. Dari keterlepasan hadirlah dengan segala totalitas-Nya… (Risâlah fî at-Tauhîd dalam Majmû’aah Rasâ’il al-Junaid, tahqiq Ali Hasan Abdul Qadir, Kairo, hlm. 58).

Imam al-Junaid kemudian membagi tauhid menjadi bagian: (1) tauhid `awam; (2) tauhid ahli haqâiq bi `ilmi zhâhir; (3) tauhid al-khâsh min ahli ma’rîfah. Bagian yang ketiga ada dua macam: pertama, pengakuan terhadap ke-Esa-an Tuhan bersamaan dengan hilangnya perhatian terhadap segala hal disertai dengan penegakan perintah, baik secara zahir maupun batin dengan menjalankan pertentangan rasa suka dan tidak suka yang datang dari selain Allah; kedua, persamaan yang konstan di hadapan Allah sehingga tidak ada orang ketiga antara dia dengan Tuhan, yang berarti adalah kesatuan.

Sementara Imam al-Ghazali membagi tauhid dalam empat tingkatan: pertama, isi (lub), mengucapkan lâ ilâha illallâh, sementara hatinya ingkar kepada Allah; kedua, isi dari isi (lubb al-lubb), yaitu membenarkan makna lafazhiyyah tersebut dalam hati sebagaimana berlaku di sebagian kaum muslimin, yang ini disebut tauhid awam; ketiga, qasyar (kulit), yaitu kesaksiaan akan hal tersebut secara intuitif dengan perantaraan nûr al-haqq, dan ini maqam al-muqarrabîn yang akan terimplementasikan bahwa keragaman adalah bersumber dari satu titik; keempat, kulit dari kulit (qasyar al-qasyar, tidak melihat dalam wujud kecuali al-wâhid. Apabila ia tidak melihat dirinya sendiri, karena tenggelam dengan tauhidnya, niscaya ia lenyap dari dirinya sendiri ke dalam tauhidnya, dengan arti bahwa ia telah lenyap dari melihat dirinya dan makhluk, atau disebut al-fanâ’ (Ihyâ’ `Ulûmuddîn, juz IV, hlm. 245, Beirut: Dar al-Ma’rifah).

Di bagian lain al-Ghazali juga menyebutkan:

“Setelah orang-orang yang ma’rîfah naik ke puncak hakikat, mereka sepakat bahwa tiada wujud yang tampak selain wujûd al-wâhid al-haqq. Tetapi sebagian mereka memiliki kondisi ini dalam bentuk ma’rîfat al-mi’ah, ada yang dalam rasa (kesadaran rohani-pen.). Dan hilanglah bagi mereka semua keanekaragaman. Mereka larut dalam kesendirian yang murni, dan dalam kesendirian tersebut akal mereka menjadi pasif, sehingga ia layaknya orang-orang yang terheran-heran dalam dzatnya, tiada cukup kesempatan  bagi mereka mengingat selain Allah, sekalipun terhadap diri mereka sendiri. Tak satu pun di sisi mereka kecuali Allah. Mereka mabuk kepayang yang mengalahkan fungsi rasionalitas akalnya, sehingga terucaplah anâ al-haqq, subhanî, mâ `azhama sya’nî. Kondisi ini jika dialami seseorang maka ia masuk maqam fanâ’, karena ia musnah dari dirinya, bahkan juga dinamakan fanâ’ al-fanâ’, karena ia fanâ’ dalam kefana’annya. Kondisi ini jika dikaitkan dengan orang yang mengalaminya, secara metafora disebut ittihâd dan secara definitif disebut tauhîd.” (Misykât al-Anwâr, hlm. 57-58.).

Jadi, kondisi ekstase spiritual setelah mengalami keterserapan dan lebur kesadaran rohaninya mengalama fanâ’ dan tinggal  kesatuan dengan cahaya-Nya, menurut al-Ghazali, secara definitif itulah yang disebut tauhid, dan secara metafora disebut ittihâd: adanya kesatuan dimana mereka yang mengalaminya telah menunggalkan semata hanya untuk dan kepada Allah, sebagai yang Ada, cahaya yang meneranginya, dan sumber segala cahaya dan kekuatan rohani alam semesta.

Untuk mengetahui seseorang telah mengalami fanâ’ dan keterleburan sehingga ekstase, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam Sirr as-Asrâr menyebutkan 10 macam tanda: beberapa di antaranya tersembunyi dan hanya sang sufi dan Allah saja yang mengetahui; dan beberapa di antaranya bisa dilihat oleh orang lain. Bila seorang sâlik pernah mengalami ekstase, di antara yang terlihat cirinya adalah munculnya kesadaran batin yang kuat dan berdzikir kepada Allah secara diam terus menerus, membaca al-Qur’an  secara diam terus menerus, meneteskan air mata tatkala berdzikir, takut akan siksa Allah, rindu dan terharu kepada Allah karena ingat masa-masa kealpaan, kadang wajahnya pucat pasi atau merona karena senang mengalami peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya yang orang lain tidak tahu, dan lain-lain. Ini menimbulkan perubahan dalam diri, baik dalam gerak fisik atau spiritual, karena mengalami ekstase spiritual (Sirr as-Asrâr wa Mathhar al-Anwâr, hlm. 75, pada Fashal 19 fî Bayâni al-Wajd wa ash-Shafâ).

Ekstase spiritual terjadi karena keterserapan ke dalam energi spiritual ilahi yang memungkinkan cahaya spiritual seorang sâlik terpendar ke dalam asal Cahaya-Nya. Bila tidak muncul cahaya ilahi yang menghubungkan dengan cahaya sang sâlik, maka sang penempuh, belum memperoleh rahmat dan kemurahan Tuhan, karena masih dikuasai oleh nafsu sehingga menutup diri-Nya. Batin sang salik belum waktunya dan belum bisa mendapatkan Cahaya-Nya, dan soal ini bukan karena Allah tidak sanggup membuka tabir yang menyelubungi sang sâlik, sama sekali bukan. Karena teramat agung dan tak bisa dijangkau, sehingga  Allah harus ditemukan lewat pembersihan hati sampai bisa mengalami keterserapan diri yang membuka mata batinnya sehingga ada penyaksian yang gemilang.

Al-Ghazali menyebutkan dalam Minhajul Abidin: “Ada yang mendapatkan itu setelah 50 tahun, 10 tahun, ada yang hanya dalam tempo 1 hari, dan ada juga yang hanya 1 jam, dan bahkan ada yang hanya sekejap, satu kali kedipan mata. Sudah barang tentu semua (limpahan cahaya itu-pen.) karena inâyah dan hidâyah-Nya. Namun begitu Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mencarinya secara sungguh-sungguh. Bagaimana urusan dan hasilnya hanyalah Allah yang mengetahui” (Minhajul Abidin, hlm. 377).

Orang yang telah mengalami fanâ’ dan kemudian ittihâd (dan seterusnya itu) atau ekstase spiritual, dalam kehidupan kesehariannya akan mengalami keistiqamahan dalam laku, kesabaran, keberanian, ridha, dan lain-lain akhlak yang layak sesuai dengan posisi dan tempat anugrah yang diberikan kepada Tuhan. Begitulah, orang seperti Gus Dur, dia ditempatkan dalam posisi yang Allah dan Dia sendiri yang tahu: pembelaannya terhadap pluralitas, komitmennya terhadap pembebasan, kesabarannya dalam menghadapi persoalan, dan berbagai karakter lain, adalah tanda-tanda yang terlihat dari kondisi seorang yang telah mengalami ekstase spiritual ini; dan tanda-tanda lain yang gemilang, kata Syaikh Abdul Qadir al-Jilani di atas, hanya Allah dan sang sufi sendiri yang tahu.

Dengan melakukan pembelaan yang gigih terhadap wihdatul wujûd, dengan catatan tidak boleh disebarkan secara gegabah dan hanya boleh digunakan untuk diri sendiri, pada dasarnya Gus Dur membela kiai-kiai pesantren yang mengambil faham itu untuk diri mereka, dan terutama pembelaan atas Mbah Hasyim Asy`ari. Dia adalah seorang kakek dan sekaligus guru spiritualnya yang sering hadir dalam mimpi-mimpinya. Apa yang ingin dibela Gus Dur, pada dasarnya menegaskan hal penting, yaitu diterimanya tasawuf falsafi bergandengan dengan tasawuf sunni di kalangan pesantren, bahkan dalam diri seseorang pun hal itu bisa terjadi. []


Tulisan ini, diperbaiki dari salah satu tulisan yang ada dalam Suluk Gus Dur.

Nur Kholik Ridwan
Pernah menjadi anggota PP. RMI NU dan Peneliti di ISAIS UIN Sunan Kalijaga. Karya yang pernah diterbitkan : Suluk Gus Dur : Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa (2013); Negara Bukan - Bukan : Prisma Pemikiran Gus Dur Tentang Negara Pancasila (2018); dan NU dan Neoliberalisme ; Tantangan dan Harapan Menyongsong Satu Abad (2014).