Dikatakan bahwa perayaan Hari Ibu di Indonesia merujuk pada Kongres Perempuan Pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1928 silam. Presiden Soekarno kemudian mengabadikan kongres tersebut sebagai salah satu hari nasional Indonesia kerena dinilai sebagai tonggak dari kemajuan kaum perempuan di Indonesia. Kongres perempuan 1928 dihelat dengan berlandaskan semangat perjuangan emansipasi yang “progresif”. Namun belakangan banyak kalangan feminis di Indonesia mengkritik bahwasanya nuansa perayaan Hari Ibu saat ini justru “mendomestifikasi” semangat emansipasi itu sendiri. Suatu pandangan yang bertentangan dengan spirit “progresifitas” yang dibawa oleh Kongres Perempuan tentunya.
Jika kita menghadap-hadapkan sosok ibu –yang dekat dengan ruang privat– yang terdapat dalam frasa “Hari Ibu” dengan spirit emansipasi perempuan yang diperjuangkan dalam Kongres Perempuan Pertama –yang visinya keluar dari ruang privat menuju ruang publik– maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada upaya “pembajakan” Hari Ibu sehingga nuansa asli yang seharusnya dihadirkan dengan peringatan Hari Ibu setiap tahun menjadi hilang.
***
Sekilas jika kita menggunakan lensa perbandingan maka kita dengan cepat meng-iya-kan kesimpulan di atas. Tetapi jika kita mengganti lensa dengan lensa lain maka hasil pembacaan terhadap realitas Hari Ibu akan berbeda.
Konsep “Ibu” mungkin benar masih terkait dengan ruang privat, tetapi apakah “menjadi ibu” sama artinya dengan tidak berkiprah di ruang publik? Lebih jauh mengapa keterkaitan perempuan dengan ruang privat dipandang sebagai “anti progresivitas?” Bila menggunakan paradigma “khas” feminisme generasi I dan II yang memandang emansipasi adalah gerak meninggalkan ruang privat yang dianggap sebagai ruang patriarkal menuju ruang publik yang dianggap sebagai ruang “pembebasan”, maka jawabannya pasti mudah dilacak dan dipetakan. Karena pasti mengarah pada jargon:
Meninggalkan “tradisi lama” –segala bentuk tradisi yang melingkupinya– sama sekali menuju “tradisi baru” –yang dibayangkan akan dibangun perempuan sendiri pasca perceraian dengan tradisi lama– karena “tradisi lama” dipandang sepenuhnya menindas karena dibangun diatas fondasi patriarki.
Logika biner ini mungkin aplikatif apabila digeneralisasikan dalam kerangka terminologi gerakan Feminisme mainstream, namun di beberapa kasus yang kadang tidak dimungkinkan untuk menggeneralisasikannya, sangat dibutuhkan suatu pendekatan feminisme yang lebih kontekstual. Hal inilah yang sempat disampaikan oleh Risa Permanadeli dalam bukunya “Dadi Wong Wadon”. Dalam penelitian tersebut, Risa menemukan momen ketika logika biner tidak berlaku untuk konteks yang spesifik, misalnya pada objek penelitian yang ia teliti yaitu “perempuan Jawa” yang selama ini sering dijadikan analogi utama oleh kalangan feminis di Indonesia tentang “tradisi lama” yang menindas. Dalam narasi mainstream teori feminisme yang berkembang di Indonesia, narasi tentang perempuan di Jawa sering dijadikan satu contoh kasus untuk menggambarkan subordinasi ruang privat dari perempuan dalam tatanan masyarakat yang masih mengimani patriarki, dimana perempuan merasa dipenjarakan dan terekespoitasi secara keseluruhan oleh kekangan sistem nilai tradisi. Namun, faktanya –berdasar telaahnya– Risa sampai pada kesimpulan bahwa ruang privat tidaklah bisa dipandang “sekaku” itu. Ia mendapati momen-momen dimana justru Perempuan Jawa mampu bernegosiasi dalam ruang privatnya. Perempuan Jawa juga mampu “berdialog” dengan tradisi, alih-alih membuang, Risa justru menemukan fakta bahwa Perempuan Jawa hidup dalam paradigma feminisme-nya sendiri yang harmonis bersandingan dengan tradisi.
Cara pandang non dikotomis ala Risa tersebut seharusnya mampu membuat kita untuk merefleksikan kembali tradisi, dan bertanya siapakah perempuan itu? Seperti apa mereka mengaktualisasikan perannya dalam sistem sosial di masyarakat? Apakah benar dalam pandangan tradisional perempuan ditempatkan dalam konotasi “domestik” (rumah tangga)?
Satu temuan menarik dari telaah Risa Permanadeli adalah ternyata paradigma feminisme yang dipahami secara “awam” oleh perempuan-perempuan di Timur justru mampu memediasi tegangan maknawi antara ruang privat dan ruang publik dari perempuan itu sendiri, dibandangkan dengan perspektif feminisme Barat yang kini menjadi tradisi mainstream. Paradigma tersebut bahkan mampu melahirkan nilai-nilai ke-perempuan-an yang “otentik” dan harmonis bersanding dengan tradisi ke-Timur-annya.
Bila Risa Permanadeli mengangkatnya dalam narasi antropologis yang sistematis sebagai suatu tawaran alternatif untuk mendefinisikan paradigma feminisme yang alternatif, maka izinkan saya untuk mendekatinya melalui sebuah kajian mengenai pemikiran tokoh, sebagai salah satu jalan untuk memetakan perkembangan ide dari paradigma feminisme di Indonesia. Tokoh yang menjadi pintu masuk saya adalah: Siti Munjiyah. Beliau adalah salah satu tokoh perempuan di Muhammadiyah yang kebetulan merupakan saudari dari dua tokoh besar Muhammadiyah yakni H. Fachroddin dan Ki Bagus Hadikusumo (Suratmin: 1991). Mungkin kedua tokoh laki-laki tersebut di atas lebih terkenal daripada Siti Munjiyah, karena termasuk “generasi awal” yang mengembangkan persyarikatan pasca meninggalnya Ahmad Dahlan. Nama Ki Bagus bisa jadai lebih terkenal lagi sebab ia merupakan tokoh nasional yang ikut merumuskan Pancasila. Tapi mari kita berfokus kepada sosok Siti Munjiyah terlebih dahulu, siapakah beliau? Dan, apa peranan beliau bagi perempuan di Indonesia?
Siti Munjiyah adalah anak dari seorang abdi dalem keraton di bagian keagamaan atau penghulu (Suratmin: 1991). Beliau memperoleh pendidikan keagamaan langsung dari Ahmad dahlan yang notabene merupakan “kyai khos” di kalangan Muhammadiyah (Suratmin: 1991). Dengan kata lain Siti Munjiyah hidup dan “mengakrabi” tradisi Jawa dan juga tradisi Islam sepanjang hidupnya. Beliau adalah seorang perempuan Jawa, yang beragama Islam, dan salah satu perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik dimasanya. Jelas, beliau adalah seorang perempuan modern generasi awal di Negara ini.
Siti Munjiyah “akrab” dengan tradisi –yang dikesankan oleh logika feminisme “mainstream” sebagai sepenuhnya menindas– namun kehidupan Siti Munjiyah tidak menunjukkan ketertindasan tersebut. Di “ruang privat” Munjiyah merupakan seorang ibu biasa, namun di “ruang publik” beliau adalah salah satu tokoh pendiri Aisyiah yang aktif. Dirinya juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita saat itu (seperti Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai wakil dari Asiyiyah (Suratmin: 1991). Realitas ini meunjukkan bahwa Muniah dapat hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi yang melingkupinya. Karena, apa yang terus ia lakukan adalah melakukan “dialog” dengan realitas disekelilingnya.
Dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, Siti Munjiyah adalah salah satu perwakilan Kongres, beliau merupakan perwakilan dari Organisasi Aisiyah. Dalam kongres tersebut Siti Munjiyah berkesempatan menjadi salah satu pembicara kongres. Pidato Siti Munjiyah diberinya judul “Derajat Perempuan”.[i] Salah satu poin menarik dari pidato Siti Munjiyah terkait dengan himbauannya pada peserta kongres tersebut untuk bersama-sama merancang proyek emansipasi yang “berkepribadian dan khas”. Emansipasi yang “berkepribadian dan khas” ini merujuk pada upaya untuk terbuka terhadap Barat yang diakuinya memang menjadi inspirasi penting bagi gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Akan tetapi keterbukaan ini janganlah kemudian membuat perempuan di Indonesia “menelannya secara bulat-bulat”. Siti Munjiyah menekankan bahwa sejatinya perempuan Indonesia memiliki “kepribadian” yang “khas” yang tidak semestinya dirubah mengikuti pula Barat yang berkembang saat itu.
Dalam pidatonya, Munjiyah memaparkan lebih detail mengenai alasan perlunya dilakukan emansipasi. Beliau mahfum dan sangat paham wacana mengenai gerakan emansipasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan beliau tidak memungkiri bila banyak tradisi “lama” yang menindas perempuan. Munjiyah memaparkan secara rigid dalam pidatonya sejarah di wilayah Asia, Eropa, dan Timur Tengah terkhusus penindasan yang dialami kaum perempuan –terutama di Eropa modern– yang akhirnya menghasilkan resistensi dari kalangan perempuan untuk menuntut emansipasi dan kesetaraan Gender. Akan tetapi menurut Munjiyah, ada gejala “tidak sehat” dari emansipsi yang terjadi di Eropa –saat itu– di mana kaum perempuan di Eropa berupaya membuang identitas dan tradisi “lama” mereka (yang disimbolkan dengan rumah dan identitas feminin dan keibuannya) serta berupaya untuk membentuk “identitas baru” yang diklaim membebaskan.
Bagi Munjiyah apa yang diklaim sebagai identitas dan kultur baru itu problematik. Bagaimana tidak, di mata Munjiyah ada kecenderungan para perempuan Eropa atas nama emansipasi kemudian semakin menyerupai laki-laki. Cara berpakaian sama dengan laki-laki, potongan rambut sama dnegan laki-laki, bahkan dalam bentuk tubuh saja ingin menyerupai laki-laki (dalam istilah Munjiyah “ototnya pun melotot dengan sendirinya”).
Kekhawatiran Munjiyah cukup beralasan, sebab dengan mengubah dirinya menjadi (seperti) laki-laki pada hakikatnya spirit emansipasi semacam itu justru memiliki kecenderungan “anti-perempuan” karena hanya ketika perempuan menjadi laki-laki maka dia dapat dikatakan terbebaskan. Mirip dengan logika rasisme, di mana orang kulit hitam harus menjadi kulit putih terlebih dahulu (termasuk tentunya budaya mereka) baru mereka dianggap menjadi manusia yang setara.
Munjiyah kemudian berupaya menggarisbawahi bahwa sangat dimungkinkan untuk merancang emansipasi yang lebih “pas” dengan kondisi di Indonesia. Munjiyah misalnya, berkeyakinan bahwa budaya “lama” (dalam hal ini budaya lokal nusantra) tidak sepenuhnya jelek dan harus ditolak, tetapi justru harus menjadi identitas tersendiri dibanggakan oleh kaum perempuan Indonesia. Termasuk juga bagi Munjiyah yaitu identitas perempuan di ruang domestik (baca: sebagai seorang Ibu), ia menegaskan agar tidak dipandang dengan kejijikan, tetapi menjadi sesuatu harus dihargai dan diterima dengan penuh “kebanggaan”.
Disinilah kemudian Munjiyah menggarisbawahi Islam, di mana Islam mampu merombak budaya lama di Timur Tengah yang menindas perempuan menjadi budaya baru yang menempatkan perempuan di tempat yang paling suci dan terkasihi. Pemarapan Munjiyah tentang Islam sebenarnya dapat dibaca bahwasanya kebudayaan non Barat itu juga tidak statis dan menyimpan potensi emansipasi perempuan yang sangat besar. Berlandaskan beberapa pandangan tersebut, dengan keyakinan yang teramat sangat, Munjiyah memberanikan diri untuk mengutarakan pemikirannya mengenai fondasi emansipasi di Indonesia yang seharunya mampu “mensintesiskan” beraneka ragam nilai-nilai luhur, diantaranya: apa yang terjadi di Barat; kultur nusantara yang adiluhung (tidak mengopresi tetapi justru membanggakan perempuan Indonesia); dan juga ajaran agama yang diimani oleh rakyat Indonesia (secara khusus Islam, karena Munjiyah berasal dari organisasi Islam).
Berkaitan dengan beberapa ihwal dalam Islam yang menurut Munjiyah sering dipandang oleh kaum feminis sebagai suatu ajaran yang patriarkis, yang salah satunya adalah poligami, Munjiyah memiliki pertimbangan yang cenderung kompromis, yang sama seperti perempuan-perempuan Jawa terdidik generasi awal lainnya, yang kesannya masih gamang memandang ihwal tersebut. Berlandaskan beberapa pertimbangan yang ia ketahui, secara “tersirat” beliau menolak poligami. Beliau meletakan pandangannya pada sisi yang lebih kompromis dengan alasan agama dan lain sebagainya. Khusus untuk poligami dalam pidatonya beliau menggarisbawahi bahwasannya poligami dalam Islam harus dipandang secara kontekstual. Disinilah Munjiyah menunjukan posisi tawarnya, bagi dirinya poligami adalah pilihan kontekstual yang diwariskan agama, namun juga terbuka untuk ditawar, bahkan doktrin agama pun melegitimasi sikap kompromi tersebut. Merujuk pada legitimasi itu, Munjiyah membangun posisi tawarnya secara tegas dalam memandang poligami. Dalam ceramahnya beliau menganalogikannya dengan logika fikih bagi “orang yang sedang bepergian jauh untuk berbuka puasa”, orang yang sedang bepergian jauh diperkenankan untuk berbuka, dan hal tersebut dilegitimasi oleh fikih (baca: diperbolehkan). Namun, bila orang tersebut tidak berkenan untuk berbuka dan tetap ingin melanjutkan puasanya juga diperbolehkan. Dan, banyak aturan fikih yang bersifat kompromis seperti itu, bukan hanya untuk kasus berbuka puasa saja, demikian halnya dengan fikih poligami. Di titik inilah beliau mengajukan posisi tawarnya yang “otentik yang khas Timur” sebagai seorang perempuan Jawa, yang Islam, dan berpendidikan.
Pembelaan terhadap tradisi dan agama “lokal” yang dilakukan Munjiyah pun harus dikembalikan pada narasi bahwasannya perempuan di negeri ini yang ternyata memiliki mekanisme tersendiri dalam mendefinisikan “peran” sekaligus hak dan kewajibannya dalam sistem sosial kemasyarakat. Sebuah definisi yang jelas berbeda bila dikomparasikan dengan pandangan mainstream Barat tentang feminisme dan definisi mengenai Gender dan kesetaraan Gender. Di mata Munjiyah –khususnya– keterlepasan perempuan terhadap peran privatnya yang dinarasikan menindas oleh doktrin feminisme gelombang I dan II di Barat justru dikatakannya anti terhadap perempuan itu sendiri, karena identitas dan tradisi “baru” yang hendak dibangun perempuan barat –setidaknya saat itu– melalui gerakan emansipasi justru mengandung nuansa ingin mengubah perempuan Barat menjadi persis sama dengan laki-laki.
***
Mungkin bila pidato Munjiyah ini dibaca dengan perspektif pasca-kolonial dapat dikategorikan sebagai pemikiran alternatif yang “otentik”; yang disuarakan oleh wanita lokal (non Barat) yang berupaya untuk mendobrak logika feminisme mainstream yang cenderung memandang nengatif semua kultur non Barat sebagai tradisi yang primitif dan tertinggal; yang memiliki pandangan tersendiri ketika mendefinisikan dirinya dalam satu pandangan yang mengedepankan “harmoni”: berdamai dengan kultur “lokal” dan memiliki posisi tawar yang jelas. Perlu digarisbawahi di sini, “berdamai” artinya bukan pasrah, sebab Munjiyah sendiri mendukung dinamisasi kultur dengan cara adopsi pengetahuan dari Barat, tetapi tetap memiliki sikap dan pandangan yang mandiri, yang berakar dari agama, budaya dan tradisi yang telah membesarkannya.
Sebagai kesimpulan, berbeda dengan kritik yang disampaikan oleh beberapa kalangan feminisme terhadap perayaan Hari Ibu tertanggal 22 Desember yang dirasa tidak sejalan lagi dengan spirit Kongres Perempuan tahun 1928. Jika boleh mengutip pidato Siti Munjiyah di Kongres tersebut, maka ada baiknya tanggal 22 Desember juga kita peringati sebagai Hari Perempuan Indonesia, karena pada hari itu pengorganisasian ide tentang feminisme awal di Indonesia mulai dilakukan, oleh kaum perempuan, dan, untuk kaum perempuan di Indonesia.
[i] Pidato ini salah satunya tercetak dalam lampiran publikasi akademik yang ditulis oleh Ayu Ina Karomatika berjudul “Peran Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Pertama tahun 1928” (Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Yogyakarta tahun 2018),hlm. 71-83.