Ketika mendengar kata pembangunan, ikon yang muncul dalam pikiran biasanya gedung-gedung pencakar langit, tronton, atau alat konstruksi ukuran besar. Kita juga terbiasa merasa bahwa pembangunan adalah istilah bagi proyek berskala besar—terutama lahan basah untuk para konglomerat dan pejabat. Tapi, pembangunan yang berdampak buruk bagi masyarakat tempatan tak hanya pabrik-pabrik besar dan proyek strategis saja.
Pembangunan yang terjadi di ruang sehari-hari, pada lingkup yang kecil, adalah juga bagian dari gerak zaman yang sama, bisa jadi terhubung dengan perusakan lingkungan hidup yang lebih besar. Istilah pembangunan dan membangun sudah menjadi moda dari gerak zaman kini—yang serba cepat, serba canggih, dan serba profit.
Sayangnya, kita seringkali tak menyadari bahwa gerak zaman yang berhasrat untuk terus membangun seakan sudah jadi norma dan cara bagi manusia menata hidup. Hasrat membangun itu sering membius dan membuat lupa, apalagi dengan hitungan profit yang akan datang dari perputaran uang setelah pembangunan selesai.
Hal yang paling mendasar, hasrat membangun itu membuat kita lupa bahwa alam, tanah, pohon, hutan, dan entitas di sekitar kita juga adalah makhluk yang hidup. Entitas hidup di sekitar itu sering diabaikan akibat hasrat pembangunan—pohon yang ditebang padahal ia rumah bagi para burung, tanah yang dijadikan beton padahal ia ruang hidup bagi mikroorganisme, hingga sungai kecil yang ditimbun padahal ia rumah bagi belut dan ikan kecil.
Pada momen inilah, saya ingin mengantar percakapan soal lingkungan hidup dan hasrat pembangunan, lewat karya berbasis audio spasial dari Aristyakuver, seniman yang terbiasa melakukan eksperimentasi dalam seni teater dan bunyi. Karya ini mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana pembangunan hunian di desa, kos-kosan, serta proses perubahan skala desa telah memengaruhi lingkungan hidup.
Mendengar Jerit Hidup, Ingatan, dan Bebunyian
Ruang studio Sakatoya malam itu tak seperti biasanya. Seluruh dindingnya diselimuti kain hitam. Orang-orang di dalam ruangan duduk membentuk lingkaran di belakang garis-garis kuning. Lampu dimatikan. Sedikit sekali celah bagi indera penglihatan untuk memandang sekitar. Hanya ada satu sorot cahaya yang memantik penglihatan, datangnya dari sebuah layar dekat tembok. Itulah cahaya dari visual interface yang biasa dioperasikan seniman untuk mengeluarkan komposisi bebunyiannya. Tak lama usai layar bersinar, bunyi-bunyi mesin besi yang berputar, entah gerinda atau bor segera menyusul datang. Komposisi bunyi itu menghadirkan sebuah imaji spasial tentang situs proyek pembangunan, seakan bunyi telah memantik imaji ruang dalam kepala.
Bunyi-bunyi mesin besi itu masih berulang, sementara suara-suara lain seperti ketukan palu atau benda besi lainnya ikut menyahut. Saya duduk bersila di satu lokasi yang cukup dekat dengan titik tengah ruangan. Namun, terdengar sekali bunyi-bunyi itu seakan bergerak mengelilingi saya. Dinding-dinding di sekitar seolah bergantian mengeluarkan bunyi dentuman besi yang beruntun. Bunyi-bunyi itu keluar seperti alat-alat untuk membangun yang bergerak kompak, berbaris dan bergerak satu per satu, menyusul gerak sebelumnya. Dalam konteks peristiwa ini, bunyi dentuman besi satu disusul dentum berikutnya.
Meski rasanya bising sekali seperti sedang melalui sebuah situs pembangunan, tetapi ada momen di mana bunyi-bunyi itu memiliki pola musikal. Dentuman besi itu diberi effect dan diubah temponya hingga terjalin pola harmoni yang ritmis. Catatan ini hanyalah fragmen kecil peristiwa yang saya alami ketika mendengar karya audio spasial yang diberi tajuk Ditanduri Kos-kosan. Dalam proses kreatifnya, seniman menghimpun suara-suara dari lingkungan Kelurahan Panggungharjo dengan perspektif warga yang ia temui. Ditanduri Kos-kosan bukan sebuah tajuk dari dalam diri senimannya saja, tetapi rupanya adalah frasa yang keluar dari pengalaman sehari-hari warga Panggungharjo. Ketika Aristyakuver bertemu seorang warga untuk diajak bercerita tentang desa itu, frasa tersebut ternyata keluar dari warga yang ia ajak bercakap-cakap. Ditanduri dalam bahasa Indonesia berarti ditanam, kata itu menjadi metafora yang memperlihatkan situasi desa penuh dengan pembangunan kos-kosan.
Saya sendiri cukup sering melewati Desa Panggungharjo karena silih bergantinya peristiwa seni yang berlangsung, seperti pameran dan pertunjukan. Bahkan, salah satu wilayah favorit untuk bertukar gagasan dengan kawan-kawan seniman muda lainnya karena memang tempat tersebut dihuni banyak mahasiswa seni ISI Yogyakarta.
Namun, komposisi bunyi Aristyakuver ini memberi imaji lain dari Panggungharjo. Desa yang selama ini bagi saya identik dengan kemeriahan peristiwa seni, ternyata juga dihimpit isu sosial dan ekonomi yang tak teraba penglihatan langsung, tetapi hal itu terjadi setiap hari dan berdampak terhadap kehidupan para warga: pembangunan kos-kosan.
Ada beberapa riset artistik dalam program Relasi Bunyi: Spatial Awareness to Natural Turbulence yang diselenggarakan Komunitas Sakatoya. Riset artistik Aristyakuver adalah salah satu yang menarik, sebab ia menghubungkan ingatan warga, ruang sehari-hari, dan isu pembangunan melalui praktik seni bunyi.
Karya Ditanduri Kos-kosan ini memang sebuah karya komposisi musikal, dengan adanya corak harmoni dan olahan bebunyian dengan pola nada dan ritmik tertentu. Tetapi, dalam riset artistiknya ini, Aristya menemukan suara warga yang dikepung suara benda-benda, suara bising mesin konstruksi, dan rekaman soal lanskap alam yang berubah. Dalam pola bunyi karya Ditanduri Kos-kosan, bunyi-bunyi alat konstruksi hunian itu terus berulang, seperti bebunyian alam yang juga berulang, lanskap bunyi yang diimajinasikan kemudian seperti melempar jauh tubuh para pendengar dalam realita bentang alam yang terus berubah menjadi kebun beton.
Bahkan, komposisi bunyi yang dihasilkan sempat memberi kejutan yang ngeri. Dentuman besi yang awalnya keluar dalam volume pelan, perlahan naik hingga terdengar seperti jeritan raksasa. Barangkali, ini juga salah satu cara Aristya mengaitkan imaji pembangunan dengan rasa kengerian.
Dokumentasi Ruang Hidup: Seni Bunyi sebagai Praktik Pendokumentasian
Ketika kita tak mendengar lagi kicauan burung, gerak angin yang membuat bulir padi bergesekan, kita tidak lagi mendengar suara bentang alam—yang kita dengar kemudian hanyalah kegilaan pembangunan. Namun, kegilaan itu bukan hanya soal hilangnya suara alam, melainkan juga tentang terputusnya ikatan emosional dan spiritual antara manusia dengan tanah, udara, dan makhluk hidup lain yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Setiap nyaring bunyi bor, setiap getaran mesin, adalah pengingat betapa mudahnya kita melupakan bahwa kita adalah bagian dari suatu ekosistem yang lebih besar, dari semesta raya ini. Dalam kesenyapan yang dipenuhi deru mesin, kita kehilangan lebih dari sekadar ketenangan—kita kehilangan perspektif yang memungkinkan untuk hidup selaras, bukan membangun atau bahkan menaklukkan. Kerja kreatif Aristyakuver bisa dilihat sebagai praktik pendokumentasian, terutama jika bunyi diposisikan sebagai rekaman fakta sosial tentang bagaimana sebuah ruang hidup berubah.
Pada proses kreatif yang berlapis inilah, kerja-kerja seni bunyi mampu meleburkan apa yang estetis dengan yang politis, antara yang sosial dan ritmikal, antara bunyi dan ingatan warga soal tanahnya. Melalui karya ini, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan dan refleksi: apa yang membuat sebuah praktik seni bunyi menjadi nyaring sebagai corong bagi suara warga? Bagaimana praktik seni bunyi melampaui bunyi semata-mata sebagai medium dan art-form?
Saya kira kita perlu menimbang posisi material bunyi sebagai dokumen hidup yang bergerak dalam ruang keseharian. Alih-alih merakit bunyi semata-mata sebagai material untuk dirayakan dalam pesta bunyi, di mana pendengar larut bergoyang dan asyik sendiri dalam party nan penuh katarsis. Material bunyi pada dirinya sendiri memiliki lapisan sosial-politik yang tebal, sebab ia dokumen hidup yang bersumber dari realitas spasial dan realitas ekologis.
Karya Aristyakuver mengingatkan kita bahwa di balik setiap tembok beton yang berdiri, ada cerita tentang sesuatu yang dikubur—entah itu memori, mikroorganisme, kehidupan, atau hubungan kita dengan bumi. Bagian ini mengingatkan kita pada sebuah baris dari puisi Wiji Thukul:
Baris puisi ini ditulis dalam periode Orde Baru, ketika pembangunan menjadi norma politik yang tunggal untuk mengarahkan tubuh warga secara serentak. Bahkan, puluhan tahun setelahnya, norma politik itu meresap dalam mentalitas kolektif dan dalam hasrat untuk membangun—bahkan dalam ruang-ruang yang paling kecil dan kultur keseharian. Jika kita melepaskan konteks historis ketika puisi itu dibuat, maka metafora “bunga” dan “tembok” adalah juga realitas yang kini kita alami.
“Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya. Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi. Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokkan di Bumi kami sendiri.”
Pembangunan yang tanpa henti, dengan segala kebisingannya, pada akhirnya bukan hanya mengubah lanskap fisik. Akan tetapi, juga kehidupan entitas non-manusia yang seringkali tak diperhitungkan. Jika kita tidak berhenti sejenak untuk mendengarkan bunyi sebagai dokumen hidup, mungkin suatu hari nanti ampas-ampas sejarah yang tersisa hanyalah gema dari kehidupan yang berhenti akibat hasrat pembangunan—ruang dan ingatan yang hilang bergema di antara dinding-dinding kosong yang manusia bangun.