DONASI

Khotbah Kang Chairil 2

Masjid baru terisi separuh ketika takmir melaporkan penggunaan keuangan dan pengumuman kegiatan masjid dan bahwa: "...hari ini yang akan memberikan khotbah adalah Kang Chairil..." Kang...

LEMBAR | FRIDAY, 4 JANUARY 2019 | 14:28 WIB

Hairus Salim

Antropolog, Penulis Lepas, dan Ketua Yayasan LKIS

Masjid baru terisi separuh ketika takmir melaporkan penggunaan keuangan dan pengumuman kegiatan masjid dan bahwa: “…hari ini yang akan memberikan khotbah adalah Kang Chairil…”

Kang Chairil memang bukan kiai, bukan ustadz. Ia hanya seorang pedagang buku bekas dan barang antik. Siang menjelang sore ia akan mendatangi para pengepul barang rongsokan untuk melihat kalau ada buku bekas atau barang lawas yang menarik dan membelinya untuk dijual kembali ke para pedagang eceran atau dijual secara online. Lalu sesudah itu ia akan duduk santai di warung angkringan langganannya, ngobrol dengan para koleganya barisan sektor informal hingga magrib tiba.

Karena itu ketika diminta memberikan khotbah di masjid tetangga kampung, ia tertawa dan langsung menolak.

Sampeyan ini bercanda mas, lha wong saya ini ngerti apa?”

“Kemarin itu nyatanya bisa.”

“Kemarin itu darurat. Nggak ada yang mau menggantikan. Masa nggak ada Jumatan. Jadi ya saya terpaksa memberanikan diri.”

“Tapi khotbah jenengan cakep. Banyak yang suka. Saya nggak mengada-ada. Kemarin di acara Yasinan semua senang dan memuji khotbah jenengan.”

“Iya syukurlah, tapi saya tetap nggak bisa. Sampeyan ngerti sendiri sehari-hari saya ya begini. Lebih banyak jalan daripada di masjid. Sehari-hari senang memakai kaos oblong dan celana pendek. Kalau sore sering menghabiskan waktu ngobrol di angkringan. Bayangkan saja mas. Pokoknya saya tidak elok jadi tukang khotbah. Nggak punya muru’ah. Apa nanti kata jamaah kalau yang khotbah seperti saya ini.”

Bagi Kang Chairil, memberikan khotbah memang bukan semata soal keterampilan teknis. Lebih dari itu, ia juga sebuah komitmen moral. Seorang pengkhotbah adalah cermin berjalan yang senantiasa dipakai oleh umat untuk berkaca. Ia benar-benar tidak siap untuk menjadi pribadi demikian. Atau kalau tidak sanggup menjalani komitmen moral itu, harus pandai mengkreasi citra. Citra seorang yang saleh dan teladan.

Tapi bapak kampung tetangga sebelah itu terus mendesaknya. Ketika Kang Chairil tetap pada pendiriannya, si bapak kemudian mengeluarkan jurus andalannya.

Lha saya minta jenengan itu karena rekomendasi mbah Yai Suyuti. Jadi kalau begitu nanti saya balik ke beliau saja minta nama lain.”

“Mbah Suyuti? Masya Allah, lama saya nggak sowan beliau…”

Mendengar nama Mbah Suyuti, Kang Chairil jadi terkejut dan sekaligus tidak berkutik. Mbah Suyuti adalah guru mengajinya dan keluarganya. Bagaimanapun ia tidak bisa menolak kalau itu rekomendasi beliau karena guru baginya orang kedua setelah ibu-bapaknya. Mbah Suyuti sangat ia hormati. Sosok seorang kiai kampung: sederhana, ramah, halus, dan alim. Ia sangat sungkan, terutama karena ia tak berpenampilan sebagaimana umumnya santri-santrinya. Namun di balik itu, ia juga senang, karena ternyata gurunya percaya kepadanya.

“Baiklah kalau begitu. Saya bersedia, dengan syarat nanti nama saya cukup disebut “Kang” saja atau kalau perlu nama saja. Nggak usah pakai embel macam-macam.”

“Alhamdulillah, syukran…”

Mereka bersalaman, dan sang bapak puas karena misinya sukses.

***

Kang Chairil tampil memberikan khotbah dengan busana celana dan batik lengan panjang serta berpeci hitam. Beda lazimnya khatib, tapi mirip dengan penampilan para pejabat kementerian agama.

Ia mengajak jamaah untuk merenungkan makna Kematian yang terjadi entah karena sakit, kecelakaan, atau karena rentetan peristiwa bencana yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Ia mendoakan mereka yang menjadi korban, yang ia sebut dicintai Allah karena itulah mereka Dia panggil lebih cepat.

“Cukuplah kematian sebagai nasihat,” ia mengutip hadits Nabi yang terkenal, setelah sebelumnya menyitir Quran tentang datangnya kematian yang tak pernah diduga dan tak bisa ditunda atau pun dimajukan.

Tapi yang menarik tentu adalah ketika dia mengutip sebuah Puisi dan memberikan tafsirnya:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta.

Dalam puisi ini, demikian penjelasan Kang Chairil, si penyair memandang kehidupan sebagai sebuah perjalanan yang jauh dan dekatnya, panjang dan pendeknya, tak pernah bisa dikira. Yang jelas harus terus berjalan.

Perjalanan akan sampai, “tiba” pada tujuan, ketika kematian menjemput. Jadi kita semua pada saatnya nanti pasti akan “tiba” dari perjalanan ini, selesai dengan kehidupan ini.

Ketika kita “tiba”, atau siapapun yang telah “tiba”, tidak usah sedih. Tidak perlu merasa tertusuk kalbu. Kita atau siapapun harus memiliki “kerelaan” untuk tiba. Dengan cara itulah kematian menjadi hal yang harus dihadapi dengan sabar dan tabah. Didekap dengan pasrah.

Di hadapan kematian, kita adalah sebutir debu. Sirna segala kehebatan, musnah segala kesombongan, hancur segala kemegahan.

Tapi masalahnya, kita sering lupa, pada kematian. Kita merasa akan terus berjalan dan seolah tidak akan pernah “tiba” atau “sampai.” Hari-hari kita, jam demi jam, menit ke menit, detik ke detik, diisi dengan segala aktivitas yang melupakan kematian. Tapi kita butuh interupsi. Itulah kabar kematian.

Kang Chairil menutup khotbah singkatnya dengan menyerukan jamaah untuk tak mengabaikan takziah kepada tetangga, saudara, atau teman yang meninggal dan juga ziarah kubur.

Itulah cara sederhana untuk mengingat kematian, katanya.