Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).
Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.
Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.
Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):
Bener luput ala becik lawan begja
Cilaka apan saking
Ing badan priyangga
Dudu saka wong liya
Pramila den ngati-ati
(pupuh VII, durma 3)
Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan
Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan
Dalam tiap-tiap diri kita
Dan bukan dalam diri orang lain
Maka dari itu kita mesti berhati-hati
Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.
Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).
Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.
Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.
Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).
Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan
Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.
1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.
2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).
KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.
(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).
KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).
Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).
KAS, Kawruh pamomong.
KAS, Djiwa persatuan.
KAS, Djiwa buruh.
KAS, Ilmu djiwa.
KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).
KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.
KAS, Pandangan keadaan dunia.
KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).
KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.
KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).
(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).
KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.
KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.
KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.
KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).
KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.
KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.
KAS, Tata negara.
KAS, Djiwa Ngajogjakarta.
KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.
KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.
KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
1) Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;
2) Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.
Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.
Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.
Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.
Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.
Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 137–39.
Habis…
Monggo dibaca lagi:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III
Catatan Kaki:
1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.
2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).
3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.
Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.
Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.
4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.
5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.
6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.
7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.
8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).