Mahardika

Tujuh belas Agustus tahun 2019, sekali lagi bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan. Mahardika….

Di kampung kami pada tanggal enam belas malam diadakan tirakatan di halaman sesepuh RT: semua berjaga, tidak tidur untuk menyambut saat-saat penting lahirnya negara Indonesia.

Acara tirakatan dimulai jam sembilan malam. Sambutan dibacakan berturut-turut dari Pak RT dan Pak Lurah. Lalu kami tahlilan bersama: mendoakan semua pahlawan yang sudah berkorban untuk lahirnya Indonesia. Gelas-gelas teh hangat dihidangkan di depan semua orang, bersama dengan kacang godog, pisang rebus, bakwan jagung, ceriping balado, dan bakpia di piring-piring.

Selesai tahlilan, dirembug dan disepakati bahwa untuk pawai se-desa maka kami akan menampilkan kesenian gedrug: kostum dan topeng siap disewa, beberapa pemuda akan dilatih untuk tariannya. Teh diseruput. Cemilan paling laris adalah kacang godog. Tetapi lama-kelamaan bakwan, bakpia, ceriping, dan seterusnya menipis pula. Minuman yang habis digelas bisa diisi ulang dengan teh hangat, atau jahe hangat atau kopi panas di termos-termos berkeran.

Acara selanjutnya adalah menonton live-streaming wayang semalam suntuk lakon Semar Mantu, dalang Ki Seno Nugroho. TV LED besar sudah dipasang di atas meja. Pada adegan pasewakan sitihinggil keraton Dwarawati, Prabu Kresna sedang berbincang dengan kakaknya yakni Prabu Baladewa yang melamar putri angkat Prabu Kresna yang bernama Rara Temon untuk Raden Lesmana Mandrakumara putra Prabu Duryudana Raja Astina. Belum ada keputusan dari Prabu Kresna, datanglah Petruk dan Bagong melamar gadis yang sama untuk adik mereka yakni Bambang Senet: terjadi benturan kepentingan antara Petruk dan Prabu Baladewa. Akhirnya Prabu Baladewa dan Bagong beradu mulut: akhirnya perselisihan dirampungi di alun-alun dengan adu gelut.

Di tengah wayangan itu, tongseng angsa campur ayam dihidangkan.

Di tengah wayangan itu, tongseng angsa campur ayam dihidangkan. Betapa nikmatnya tirakat kemerdekaan: tongseng pedas gurih sedap. Selepas tongseng, kami pun undur dari acara. Tetapi paginya,pada acara ngopi pagi muncul pertanyaan: Indonesia merdeka, apa artinya?

Berurusan dengan arti, maka kita bisa mencari-cari asal-usul kata merdeka dalam bahasa Indonesia itu dalam bahasa yang lebih tua. Salah satunya bahasa Jawa kuna.

Maka kita bukalah Kamus Jawa Kuna Indonesia hasil kerja keras P. J. Zoetmulder et al. Ditemukan di situ kata mahardhika, yang artinya berkwalitas istimewa, luar biasa, khas, unggul sempurna, bijaksana, berbudi luhur, orang bijaksana; orang suci. Kata mahardhika berasal dari kata Sanskerta maharddhi yang artinya kemakmuran atau kekuasaan atau kesempurnaan besar; sangat makmur atau kuasa.

Jika memang kata merdeka berasal dari mahardhika, maka sudah terjadi pergeseran arti.

Jika memang kata merdeka berasal dari mahardhika, maka sudah terjadi pergeseran arti. Merdeka dalam benak saya tidak ada sambungannya dengan kualitas istimewa, luar biasa, khas, unggul sempurna, bijaksana, berbudi luhur, orang bijaksana. Entah berapa orang di Indonesia yang mulai berpikir bahwa merdeka artinya berkualitas istimewa: Indonesia merdeka adalah Indonesia yang berkualitas istimewa. Saya saja baru kali ini membayangkan bahwa merdeka artinya berkuallitas istimewa: kalau demikian, maka kenyataannya Indonesia tidak merdeka, sebab nampaknya belum berkualitas istimewa.

Mulai banyak disepakati juga bahwa merdeka sama dengan independent. Kemerdekaan adalah independence. Sementara dependent artinya bergantung. Sedangkan in-dependent artinya tidak bergantung. Kalau memang demikian bisa dikatakan bahwa Indonesia merdeka adalah Indonesia yang tidak bergantung.

Tetapi gagasan kita tentang kemerdekaan sepertinya tidak ada hubungannya dengan ketergantungan, melainkan mengacu pada keadaan bebas, lepas, lolos, dari penjajahan. Penjajahan adalah penindasan. Indonesia merdeka adalah Indonesia yang lepas dari penjajahan, penindasan (yang kebetulan dilakukan oleh orang Belanda dan Jepang, sejarahnya). Tetapi anehnya, susah dibayangkan bahwa rakyat Nusantara yang dijajah Belanda itu bergantung kepada Belanda, bahwa lalu setelah 17 Agustus 1945 kita tidak lagi bergantung pada Belanda. Malah, kalau kita persoalkan siapa menghidupi siapa, siapa menanggung siapa: maka jelas bahwa Belanda bergantung kepada Nusantara, dan Nusantara menanggung hidup Belanda. Merdeka-nya Indonesia lebih seperti ayam yang sudah sembuh dari sejumlah tengu (kutu unggas): Indonesia bebas dari beberapa parasit, tidak lagi dihisap oleh satu bangsa penindas.

Merdeka-nya Indonesia lebih seperti ayam yang sudah sembuh dari sejumlah tengu (kutu unggas): Indonesia bebas dari beberapa parasit, tidak lagi dihisap oleh satu bangsa penindas.

Indonesia merdeka sebagai kenyataan seperti hadir berupa tidak laginya ada orang asing yang menguasai secara langsung politik Indonesia: tidak lagi kita tunduk kepada Gubernur Jenderal VOC atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda, atau kepada Jenderal Jepang. Semua pemimpin politik kita secara kasat mata adalah orang-orang Indonesia: mulai dari Presiden, Menteri, Anggota DPR, dan seluruh jajaran pemerintahan hingga RT.

Namun Indonesia merdeka bisa juga merupakan gagasan yang belum nyata jika kita mempertanyakan adakah memang Indonesia tidak lagi dihisap, adakah semua tengu sudah dipindahkan ke ayam lain atau telah ditumpas? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlulah kita menengok dan membandingkan 1) seberapa banyak sumber daya alam, sumber daya manusia Indonesia yang dikirim ke negara luar sedemikian rupa sehingga kita kekurangan, dan seberapa banyak kita menghisap sumber-sumber daya bangsa lain dan 2) seberapa banyak uang orang Indonesia yang mengalir ke negara-negara industri karena kita menjadi pasar melulu produk mereka, dan seberapa besar bangsa lain setor duit ke kita karena menjadi pasar bagi barang buatan kita. Kita defisit, Indonesia dihisap, kita kalah rakus dalam menghisap, demikianlah. Indonesia tekor.  Seluruh dunia barangkali bergantung kepada Indonesia: mereka tidak independen terhadap Indonesia. Negara-negara yang meraup untung besar dari penghisapan Indonesia adalah bayi-bayi dunia yang disusui ibu agung Nusantara yang sedemikian baik hati, sehingga kita anak-anaknya sendiri di sini selalu dan semakin merosot dalam keadaan melarat.

Entahlah.

Adakah memang para pendiri negara Indonesia tidak tahu bahwa tanah air dan bangsa Indonesia harus berhadapan dengan negara-negara, saudagar-saudagar raksasa yang gemar menghisap, meng-aking-kan siapa pun dan apa pun? Kalau mereka tidak tahu maka kita tidak bisa menyalahkan mereka atas nasib kita sebagai bangsa yang kebetulan menjadi korban parasitisme parah. Kalau mereka sadar akan penghisapan itu, maka barangkali memang mereka tahu betul dharma bangsa agung Nusantara sebagai Ibu penyayang yang membiarkan dirinya dihisap, dikeringkan oleh semua bangsa rakus di seluruh bumi.

Kalau dipikir betul-betul: betapa bodohnya kita, membiarkan diri dirampok sampai kere. Kita memperkaya semua bangsa rakus, sampai kita harus hidup semiskin-miskinnya. Entahlah ini bodoh atau pintar. Jangan-jangan memang nalar Keibuan itu memang sedang kita jalankan entah sadar atau tidak.

Kita memperkaya semua bangsa rakus, sampai kita harus hidup semiskin-miskinnya.

Dulu di jaman Majapahit konon bangsa kita pernah menjalankan peran bukan sebagai negeri kaya yang membiarkan diri dirampok bangsa lain. Tetapi saya tidak tahu apakah dulu kita pernah menjadi bangsa yang menghisap kekayaan bangsa lain, jangan-jangan pernah. Penghisapan memindahkan sumber daya yang ada di sebuah negeri ke negeri lain. Seperti ada semacam sirkulasi materi dari suatu tempat ke tempat lain, seolah kekayaan dunia seperti darah yang mengaliri seluruh bumi. Tempat-tempat yang kaya mengalirkan kekayaannya ke seluruh dunia. Salah satu caranya adalah dengan adanya penghisapan dari negara miskin ke negara yang kaya sumber daya: bisa dengan penaklukan militer, penaklukan ekonomi, penaklukan politik, penaklukan budaya. Penghisapan itu seperti akan terhenti sendiri ketika negara kaya yang dihisap itu sudah kering, dan negara penghisap tidak bisa lagi bergerak seperti lintah yang sudah gembung tubuhnya karena terlalu banyak menghisap darah. Lalu negeri miskin yang dulu pernah kaya itu pun pada gilirannya juga menghisap kekayaan yang dulu sudah dikumpulkan di negeri kaya yang dulunya miskin. Adakah demikian hukumnya?

Entahlah.

Tetapi sejak rampungnya perang Diponegoro, entah ke mana semua orang yang dulu pernah membuat Nusantara jaya itu, mana kebudayaan yang menghasilkan orang seperti Gajah Mada? Adakah sudah waktunya mereka lenyap? Atau mereka sengaja menghilang? Atau mereka memang tahu bahwa sudah waktunya Nusantara menjadi ibu yang menghidupi seluruh dunia, untuk jangka waktu tertentu, hingga nanti peran Nusantara akan berganti lagi entah sebagai apa di panggung besar bumi ini?

Atau jangan-jangan negeri ini dibangun oleh orang-orang yang beranggapan bahwa wilayah Indonesia adalah seluruh dunia: sehingga kita bertanggung jawab untuk menghidupi seluruh dunia? Ah itu seperti pembenaran yang dicari-cari belaka untuk kemiskinan dan kebodohan yang sedang kita derita. Kita kalah melulu: itu nyata. Secara ekonomi kita dihisap. Secara kebudayaan: kita menjadi bangsa peniru, kurikulun pendidikan tidak kita bikin sendiri tetapi didiktekan dari luar, semua budaya yang tumbuh dan menang di negeri ini adalah semua bibit budaya yang diambil dari luar sana, tanaman lokal semakin punah saja. Secara politik: apa yang kita putuskan tidak berpengaruh terhadap nasib negara lain, dan semua pihak yang berkepentingan untuk mengendalikan Indonesia sudah memasang semua pion dalam politik ekonomi kita.

Kita kalah melulu: itu nyata. Secara ekonomi kita dihisap.  

Tetapi bagaimana ini? Adakah kita menderita karena kemiskinan politik ekonomi kebudayaan ini? Lho, rasa-rasanya kita tidak. Kita sebagai bangsa sangat pintar dalam menghadapi kemiskinan: kita masih bisa tertawa-tawa dalam kemiskinan. Entah bagaimana ceritanya hingga kiita menjadi seperti itu. Jangan-jangan kita sudah diajari jurus rahasia oleh para leluhur kepada kita sejak bayi: teknik batin yang membuat kita tidak mampu menderita ketika, dalam ukuran orang lumrah, kita ini dalam keadaan semiskin-miskinnya. Barangkali kita diajari untuk memandang kemiskinan total itu sebagai non-masalah. Penelitian empiris mereka mungkin juga membuktikan bahwa 1) keadaan paling bangsat bisa terjadi kepada siapa pun, dan 2) siapa pun bisa tiba-tiba terjebak dalam keadaan tidak berdaya di hadapan kemelaratan yang mengelilinginya, 3) ternyata pikiran bisa diotak-atik agar kesengsaraan maksimal dari luar itu tidak mampu membuat kita bersedih. Dan sepertinya, entah sadar atau tidak, manusia yang tahan derita sejenis itulah yang kita anggap sebagai manusia unggul di Nusantara: bukan orang kaya, bukan orang pintar, bukan orang yang menguasai seluruh dunia, melainkan orang yang masih bisa ketawa ketika seluruh penderitaan dunia ditimpakan ke atas kepalanya.

Jangan-jangan kita sudah diajari jurus rahasia oleh para leluhur kepada kita sejak bayi: teknik batin yang membuat kita tidak mampu menderita ketika, dalam ukuran orang lumrah, kita ini dalam keadaan semiskin-miskinnya.

Kalau dalam urusan ini Indonesia jelas betul-betul sungguh-sungguh merdeka: kita istimewa sempurna unggul khas dalam hal cengar-cengir menertawakan derita sengsara kemelaratan kemiskinan kebodohan kita sendiri.

Asem…

Merdeka!

Kualitas Istimewa!