Mbah Mutamakkin: Laku Jalan Kesalehan Eksistensial

Bagi masyarakat umum, mbah Mutamakkin merupakan waliyyullah  atau kinasihnya Allah. Kepercayaan yang telah tumbuh dan terjaga di masyarakat ini, lengkap dengan peninggalan-peninggalan bersejarah si mbah yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. Mulai dari Masjid dengan ornamen-ornamen (petuah) simbolik yang terpahat di beberapa bagian masjid, sampai cerita-cerita ajaib tentang kiprah mbah Mutamakkin semasa hidupnya. Bahkan tak kurang cerita, ‘kehadiran’ mbah Mutamakkin—sebagai sosok hidup dalam arti sebenarnya—masih beberapa kali dijumpai oleh satu-dua orang tertentu, di saat kini.

Bagi saya sendiri—sebagai santri Kajen—mbah Mutamakkin adalah ‘mbah’ dalam arti sebenarnya. Kendati demikian, mbah Mutamakkin adalah ‘jarak niscaya’. Karena manusia perlu melepaskan diri dari ‘yang lain’ agar dia bertemu dirinya sendiri (seutuhnya).

Mbah Mutamakkin adalah mbah Mutamakkin. Maka sebenarnya sudah cukup. Tidak perlu sedikit atau banyak pembahasan dilakukan. Sebagai sosok, mbah Mutamakkin tentu yang paling mengerti dirinya sendiri. Pada titik ini, setiap pembahasan yang mengihwal dirinya, dari yang ‘bukan dirinya’ hanyalah ilusi semata: kesan rekaan dan kekaburan hakiki.

Pada sisi lain, karena mbah Mutamakkin adalah mbah Mutamakkin, maka pewicaraan, pengkajian tentangnya akan terus merentang zaman. Kehadiran mbah Mutamakkin sebagai bagian dari ‘sejarah’ kiprahnya yang nyata, butuh ditelaah tanpa ‘titik’. Terus menerus sampai tlesih. Karena sudah jadi kesemestian, bila kita tidak bisa lepas dari kemewaktuan yang tanpa ‘koma’. Yang Lalu, Yang Kini, Yang Nanti adalah kita: manusia. Sedemikian, mbah Mutamakkin selazimnya terus dipelajari dan diperwicarakan karena dia adalah juga Yang Lalu, Yang Kini, Yang Nanti.

Karena sudah jadi kesemestian, bila kita tidak bisa lepas dari kemewaktuan yang tanpa ‘koma’. Yang Lalu, Yang Kini, Yang Nanti adalah kita: manusia. Sedemikian, mbah Mutamakkin selazimnya terus dipelajari dan diperwicarakan karena dia adalah juga Yang Lalu, Yang Kini, Yang Nanti.

Tulisan ini membatasi diri pada wilayah kesadaran, yang tertinggal dari pribadi dan kesosialan mbah Mutamakkin. Saya menyebutnya kesadaran eksistensial. Tentu istilah ini (mungkin) hanya numpang wah biar sedikit agak ilmiah saja. Terlepas dari itu, beberapa poin penting tulisan ini berkisar pada: tipologi keberislaman, model laku, dan corak kesosialan mbah Mutamakkin.

Laku Eksistensi Pertama: Menemukan dan Mengukuhi Kesejatian

Dalam banyak data, mbah Mutamakkin sering dikenal sebagai penutur Serat Dewa Ruci. Sebuah lakon wayang yang menceritakan usaha seseorang dalam proses mendapatkan ‘hakikat’ kesejatian hidup (Zainul Milal Bizawie, 2017: 162). Ihwal ini bisa menjadi pintu masuk generasi pasca masa hidup mbah Mutamakkin untuk memahami konsep spiritualitas yang dipilih dan dikukuhi oleh mbah Mutamakkin.

Jika dirunut pada khazanah keberislaman, aspek kesejatian—intinya inti—dari ajaran Islam, maka disiplin keilmuan yang menjadi wadahnya adalah disiplin ilmu tasawuf atau kesufian. Tasawuf adalah bagian dari dimensi keberislaman yang memiliki ciri khasnya sendiri. Sebagai kajian, tasawuf telah menjadi satu disiplin tersendiri dari khazanah tradisi keilmuan dan studi Islam. Sebagai praktik berislam, tasawuf memiliki pengaruhnya yang khas. Tetapi menilik posisinya, ia adalah bagian yang sebangun dengan keberadaan agama Islam secara umum, baik secara historis maupun praktiknya.

Sebuah penjelasan menarik tentang kesufian, dijelaskan oleh Yunus Masrukin sebagai: “Gampang-gampang susah. Di satu sisi diskursus kesufian begitu dekat dalam contoh keseharian kita. Sehingga memahaminya, tidak sesulit mencerna teori-teori tinggi. Namun, di saat yang sama pula ada kemungkinan untuk tak terselami, karena tema dan pembahasan sebenarnya dari wacana sufi adalah perkara paling abstrak dalam kajian mana pun, yaitu: tentang hakikat (kesejatian) segala sesuatu” (Mohammad Yunus Masrukin, 2015: xi).

Definisi umum mengenai tasawuf adalah kesadaran melakukan ibadah kepada Allah (Tuhannya) tanpa terikat dengan otoritas imperatif (perintah-larangan) yang bersifat formal dan berkeharusan. Artinya, seorang sufi—dalam hal ini mbah Mutamakkin—tidak lagi menyoal wajib-tidaknya sebuah ibadah, akan tetapi lebih pada penekanan ‘kebutuhan dan kesemestian’ yang wajar dan alamiah. Secara analogis, model beribadah semacam ini merupakan perjumpaan dan komunikasi terus menerus antara manusia dengan Tuhannya. Jumpa komunikatif ini adalah perwujudan dari rasa cinta terhadap sang Maha Cinta (Simuh, 2019: 206). Maka, orang yang telah berhasil sampai batas ini lazim dikenal dengan sebutan Waliyyullah atau kinasihnya Allah.

Artinya, seorang sufi—dalam hal ini mbah Mutamakkin—tidak lagi menyoal wajib-tidaknya sebuah ibadah, akan tetapi lebih pada penekanan ‘kebutuhan dan kesemestian’ yang wajar dan alamiah.

Menurut Hujwiri, salah seorang tokoh kenamaan sufi di abad 210 H, bahwa dasar dari tasawuf dan pengetahuan tentang Tuhan adalah konsep ‘kewalian’ (Annemarie Schimmel, 1986: 203). Kewalian dipercaya sebagai posisi tertinggi umat Islam ketika sudah luruh dalam damba cinta kepada Allah. Tema ini (kewalian) adalah salah satu pandangan terpenting para sufi (Fazlur Rahman, 1992: 215-216). Tepat pada maqom ini, mbah Mutamakkin menjadi terpahami. Karena secara permufakatan publik—termasuk tokoh-tokoh otoritatif kesufian—dia telah teraklamasi sebagai seorang wali.

Faktanya, kewalian seorang muslim, bukanlah derajat dan pencapaian yang mudah dan kaprah. Seorang semacam ini, memiliki kualitas laku yang sudah mbalung sumsum dengan agama. Agama bukan lagi sebatas ‘ilmu’ yang terpisah dengan subyeknya. Keimanan akan Allah berikut seluruh kesemestian (sunnah) pola kehadiran-Nya, telah luruh sebagai pengetahuan tersaksikan dan terbuktikan secara langsung. Bukan lagi spekulasi atau perkiraan yang berdasar pada hafalan berbilang-bilang dalil naqli (Alquran, hadis dan khazanah keilmuan tertulis).

Ki Ageng Suryomentaram, memiliki bahasa tersendiri untuk menjelaskan pengetahuan khas para ‘penyaksi kesejatian’ ini. Pengetahuan yang ada pada orang semacam ini, adalah sebentuk pengetahuan yang telah kokoh (haqqul yaqin), karena tidak lagi berada pada area dugaan spekulatif semata. Pengetahuan semacam ini bisa disebut dengan ‘ilmu laku’. Ilmu yang didapatkan karena pengalaman senyatanya. Bukan dari informasi ‘di luar dirinya’. Termasuk segala penjelasan dari kitab-kitab atau hasil kajian orang lain.

“Jen toekipun saking kawroeh, poenika kawroeh njata, tegesipoen, tijang poenika saged kraos pijambak, saged ngertos pijambak, saged weroeh pijambak. Jen toekipun saking ngira weroeh, poenika kawroeh kajakinan, tegesipoen, tijang poenika boten saged kraos pijambak, boten saget ngertos pijambak, boten saget weroeh pijambak. Dene kawroeh kajakinan poenika printjen-printjenipoen dados kawroeh djare-djarene, kawroeh patoet-patoete, kawroeh doega-doega” (Ki Ageng Suryomentaram, 1940: 10-11).

Artinya: Muara dari pengetahuan (sejati) adalah pengetahuan yang nyata (terhadap yang diketahui). Seseorang dapat merasakan sendiri, menyaksikan sendiri, sampai terbentuk (jenis) pengetahuannya sendiri. Adapun muara dari pengetahuan spekulatif (perkiraan) adalah keyakinan (yang diyakin-yakinkan). Seseorang (di level ini) tidak bisa merasakan sendiri, menyaksikan sendiri, dan mengetahui sendiri (terhadap yang diketahui). Sehingga melahirkan pengetahuan yang bersifat katanya, dicocok-cocokkan, diduga-duga (saja).

Penyelarasan Kehendak Tubuh dan Eksistensi Ruhaniah

Dalam hal ini, mbah Mutamakkin secara pribadi, telah melalui serangkaian proses laku yang mengangkatnya pada derajat kewalian. Sebuah posisi yang tidak mengenal kata ‘cukup’ ketika telah tercapai. Dalam tradisi kesufian, setiap capaian (maqom) selalu memiliki tahapan-tahapan lanjutan yang harus terus dijaga dan dilanggengkan.

Ibnu ‘Atha’illah, dalam Al-Hikam menjelaskan kondisi ini: “Tak seorang salik pun (orang yang melakukan perjalanan menuju Tuhan) yang merasa puas dengan pemahaman tertentu yang disingkapkan kepadanya, kecuali pada momen seperti itu akan ada kebenaran yang memanggil-manggil: “jangan berhenti, yang engkau cari sudah di depanmu!” Tak ada rahasia Tuhan yang tersingkap kepada seseorang kecuali ada suara kesejatian yang juga akan memanggil-manggil: “Aku ini hanyalah ujian, jangan terkecoh!” (Ulil Abshar Abdalla, 2019: 103).

Pencapaian seorang hamba Allah pada satu derajat tertentu—termasuk kewalian—tidak lantas melepaskan kemanusiawiannya. Dirinya sebagai manusia tidak berubah. Hanya saja, kesadaran ruhaniah atau sisi dalamnya telah tersambung dengan ‘pengetahuan’ murni. Sebentuk pengetahuan (sejati) yang terpahami melalui laku senyatanya.

Dirinya sebagai manusia tidak berubah. Hanya saja, kesadaran ruhaniah atau sisi dalamnya telah tersambung dengan ‘pengetahuan’ murni. Sebentuk pengetahuan (sejati) yang terpahami melalui laku senyatanya.

Salah satu tanda kemanusiawian seorang manusia adalah keberadaan kehendak ketubuhan (nafsu) yang tidak bisa terbuang. Sekalipun telah mendapatkan pencerahan pengetahuan (sejati), seseorang tetap terlekati dengan kehendak ketubuhan manusianya. Sebentuk kehendak yang ditandai dengan nuansa rasa senang dan susah. Senang ketika keinginannya terpenuhi, sebaliknya susah saat tidak terpenuhi.

Jadi, proses penyelarasan antara kesadaran ruhaniah yang telah didapatkan bersanding dengan kehendak ketubuhannya terjadi terus-menerus. Perbedaannya dengan orang yang belum memiliki ‘pencapaian ruhaniah’ berada pada aspek kesadaran. Seorang semacam (sekelas) mbah Mutamakkin, memiliki kontrol kesadaran dengan presisi dan keselarasan tinggi antara ruhani dan lahiriahnya. Sehingga setiap laku yang diambil, berdasar pada nuansa kesemestian ketetapan Allah. Bukan seturut nafsu ketubuhan yang dangkal dan permukaan.

Ki Ageng Suryomentaram, misalnya, menjelaskan bahwa nafsu atau keinginan adalah sisi lain yang selalu lekat dengan manusia. Manusia tidak bisa menghindar dan melepaskan diri, tetapi dia dapat menyadari dan mengelola nasfu tersebut. Dikelola sedemikian presisi sampai bisa berjarak dengan rasa ‘senang dan susah’. Ketika kesadaran telah sampai di kondisi ini, tutur Ki Ageng, maka orang tersebut akan terbebas dari kegelisahan penyesalan dan kekhawatiran hidup.

“Karep punika tiyang. Mila tiyang punika langgeng gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Yen mengertos yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng luwar saking naraka getun sumelang. Getun punika ajrih dhateng lelampahan ingkang sampun kalampahan. Sumelang punika ajrih dhateng lelampahan ingkang dereng kalampahan” (Ki Ageng Suryomentaram, 1989: 23). Manusia adalah makhluk berkehendak-berkeinginan. Maka, selamanya manusia terlekati dengan kualitas rasa senang dan susah secara terus menerus (tanpa akhir). Kalau seseorang dapat menyadari pola (keterlekatan) ini, dia akan dapat keluar dari lingkaran (dua jenis) kegelisahan: sesal dan khawatir. Penyesalan adalah kondisi tergelisahkan oleh sesuatu yang telah terjadi. Sedangkan kekhawatiran adalah kondisi tergelisahkan oleh sesuatu yang belum terjadi.

Dalam ihwal mbah Mutamakkin, proses pengelolaan atas kehendak ketubuhan ini disimbolkan dengan wujud dua ekor ‘anjing’. Terlepas dari apakah anjing tersebut berupa anjing sebenarnya, atau simbol belaka, tetapi satu hal yang pasti adalah adanya upaya angon nafsu tersebut.

Mbah Mutamakkin tidak menampik nafsu yang melekat pada dirinya, tetapi mengambil jarak yang jelas sampai bisa mengelola secara persis kehendak tubuh dengan eksistensi ruhaniahnya. Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa mbah Mutamakkin membunuh dan mengubur dua anjing tersebut. Malah banyak riwayat beredar kalau anjing-anjing itu (konon) masih ada sampai kini.

Sosio-Eksistensial Mbah Mutamakkin: Menata Liyan dengan Sih Kesejatian

Pola ketat dalam menempa laku sampai mendapatkan ‘ilmu sejati’ sebagaimana yang dilakukan oleh mbah Mutamakkin, merupakan kelaziman belaka. Kelaziman yang lumprah dilakonkan oleh para sufi berkelas, sehingga persoalan mendasar tentang (pengelolaan) diri sendiri rampung. Lalu, dilanjutkan dengan laku kesosialan. Sebentuk praktik pemberdayaan masyarakat melalui jalur pendidikan (aktivasi) kesadaran. Kesadaran bahwa semestinya manusia menjadi keberadaan yang rindu dan menggerakkan diri menuju kesejatian. Dimulai dari kenal dan memahami dirinya sendiri.

Kesadaran bahwa semestinya manusia menjadi keberadaan yang rindu dan menggerakkan diri menuju kesejatian. Dimulai dari kenal dan memahami dirinya sendiri.

Laku kesosialan khas orang yang sudah tercerahkan bersifat alami. Muncul dengan sendirinya untuk berwelas asih kepada orang lain di sekitarnya. Tidak bisa dihalang-halangi dan tidak perlu diperintah. Kesadaran ini berlaku sebagai wujud rasa “bahagia ketika orang lain turut mengalami kebahagiaan yang dirasakan”. Rasa bahagia (bungah-begja) terhadap kebahagiaan liyan ini bisa disebut sih sejati: kasih sayang murni.

Sedemikian, mbah Mutamakkin menjadi guru atau pendidik masyarakat dengan keluruhan dan totalitas, yang khas para wali: mendidik dengan sih sejati. Pendidikan semacam ini sangat menumpukan pada orientasi keselarasan antara ilmu dan laku hidup. Hasilnya, jejak dari pendidikan tersebut tertancap kuat, mengakar pada tradisi dan budaya tempat pendidikan ini berlangsung. Peradaban keilmuan Kajen dapat menjadi simbol keberhasilan dari angon kasihnya mbah Mutamakkin.

Etos pendidikan mbah Mutamakkin tersebut sangat khas. Sebagaimana tradisi para guru pembimbing (mursyid) kesadaran ruhaniah, etos pendidikan ini bercirikan: kasih sayang kepada murid bagaikan anak-cucunya sendiri, telaten mengajar tanpa disertai kemalasan dan keengganan, tidak berpamrih apapun terhadap muridnya, tanggap akan isyarat-kepribadian murid, tidak berlaku yang bisa membingungkan muridnya, tidak mempersulit murid dengan pertanyaan-pertanyaan artifisial, tidak meremehkan kemampuan murid, tidak mengejar pujian dan mengunggulkan kepintaran sendiri (Damar Shashangka, 2016: 36). Dengan model pendidikan yang semacam ini, menjadikan bukan ihwal musykil bila hasilnya mengabadi sampai kini. Singkatnya, ketokohan dan pengaruh seorang mbah Mutamakkin di Kajen dan sekitarnya bukan perkara samar dan musykil.

Di desa Kajen, tempat mbah Mutamakkin tinggal, berkarya dan memparipurnakan bakti sosialnya, kini terdapat pesantren yang banyak sekali. Puluhan jumlahnya. Madrasah (sekolahan) dari tingkat paling rendah sampai jenjang tertinggi (Ma’had ‘Aliyy), ada di sini. Mulai pesantren yang mengajarkan literatur keilmuan Islam klasik (kitab-kitab kuning), sampai pesantren hafalan Alquran, tersebar di sudut-sudut desa. Sedemikian, porosnya memuara pada satu sosok: mbah Mutamakkin. Manusia yang dipercaya sebagai pathok atau pusat peradaban desa Kajen.

Sedemikian, fragmen sosio-eksistensial (baca: diri aktif yang mengaktivasi) adalah salah satu alasan mengapa mbah Mutamakkin terasa masih selalu hadir. Satu bentuk kualitas kehadiran yang timeless, abadi. Nuansa semacam ini hanya bisa terjadi saat seseorang telah paripurna dengan kemanusiawiannya: insan kamil. Dan sebagaimana jamak diketahui kesempurnaan (kamil) lekat dengan sisi lainnya, yaitu keabadian.

Kini, mbah Mutamakkin seperti sedang melihat hasil jerih payahnya dalam mendidik-memberdayakan masyarakat Kajen dan masyarakat luas pada umumnya. Keberadaan mbah Mutamakkin adalah sosok yang menjadikan dirinya sebagai ‘tunas peradaban’. Iqbal mengabadikan sosok semacam ini dalam bait Ghazal-nya (Muhammad Iqbal, 1986: 103):

Walau peristiwa-peristiwaku terikat rantai

Serupa tunas, aku tumbuh

Dengan kesiapan tunas

Menyaksikan kemegahan matahari.

Wallahu a’lam. []


Kepustakaan:

Zainul Milal Bizawie. 2017. Syekh Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat, (Tangerang Selatan: Pustaka Compass).

Mohammad Yunus Masrukin. 2015. Biografi Ibn Arabi: Perjalanan Spiritual Mencari Tuhan Bersama Para Sufi, (Depok: Kheira Publishing).

Simuh. 2019. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Ircisod).

Annemarie Schimmel. 1986. Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus).

Fazlur Rahman. 1992. Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara).

Ki Ageng Suryomentaram. 1940. Sosorah Djoenggringsalaka: Bab Kawroeh, (Soerakarta: CPWKO).

Ulil Abshar Abdalla. 2019. Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam, (Bekasi: Alifbook dan el-Bukhari Institute).

Ki Ageng Suryomentaram. 1989. Kawruh Jiwa Jilid I, (Jakarta: Haji Masagung).

Damar Shashangka. 2016. Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, (Jakarta Selatan: Dolphin).

Muhammad Iqbal. 1986. Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi WM, (Bandung: Pustaka).

Akhmad Faozi
Penulis adalah peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Momong anak lanang dan penikmat literasi. Lahir di Pati, nyantri di Kajen, tinggal di Bantul.