Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta selalu ramai oleh mahasiswa. Makin tahun, jalanan kota Yogya nampak makin penuh kendaraan plat luar kota. Salah satunya disebabkan oleh lonjakan penghuni universitas. Apalagi menjelang akhir tahun. Tingkat kepadatannya bisa naik hingga dua kali lipat, atau bahkan lebih dari itu. Di sela-sela hamparan mobil yang memenuhi jalan raya, saya berusaha menembus kemacetan itu. Menuju Universitas Islam Indonesia (UII), salah satu kampus yang ada di bilangan utara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada hari ketika LPM HIMMAH UII menghelat pameran fotografi bertajuk “Melihat Sekolahku”.
Jalanan yang sesak dengan kendaraan membuat saya harus berlarut-larut di jalan. Untungnya, saya datang tepat 30 menit sebelum pameran tutup di hari itu. Tak pikir panjang, saya langsung melangkah menuju tempat pameran digelar: Gedung Mohammad Hatta atau perpustakaan UII.
Memasuki pintu sebelah utara, tampak dua orang penjaga perempuan yang sedang bertugas. Dengan wajah yang sudah tak karuan, mereka seketika bersiap menyambut tamu yang datangnya kelewat sore ini. Senyum yang tak berhasil menyembunyikan rasa lelah itu menyapa saya, memberikan zine, dan lalu dia berdiri memandu saya berkeliling pameran.
Pameran fotografi bertajuk “Melihat Sekolahku” menghadirkan lima sekolah dasar dari lima kota/kabupaten di DIY, yakni SDN Gunung Agung (Kulon Progo), SDN Nglarang (Sleman), SDN Ngenep (Gunungkidul), SDN Jatimulyo (Bantul), dan SDN Sosrowijayan (Kota Yogyakarta).
Ketika memasuki lorong eksibisi, saya seolah merasa kembali ke sekolah dasar. Kursi-kursi kecil, tumpukan kertas origami, pemilihan font dengan bentuk besar dan warna mencolok. Mencipta ilusi bahwa saya tidak sedang berada di universitas, tapi sekolah dasar, tempat saya berlari-lari tatkala dikejar oleh om dan tante pembawa jarum suntik untuk imunisasi. Bayangan itu kini tampak lucu, dan seolah hadir di depan mata.

Tak jauh dari situ, tampak deretan foto yang berjajar rapi disertai dukungan pencahayaan. Lokus foto pertama yang tersaji adalah SDN Gunung Agung. Sekolah itu terletak di perbatasan antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Purworejo. Kompilasi foto ini menampilkan lanskap dataran tinggi dengan pepohonan di kanan kiri dan jalanan tak beraspal. Tampak pada gambar, guru, murid, dan orang tua dalam perjalanan menuju sekolah.
Melihat kelokan jalan dan bentuknya yang tampak tak terawat membuat saya dapat mensyukuri bahwa akses Jalan Kaliurang masih sangat enak. Meski kadang dibuat jengkel oleh macet, tapi kondisi ini lebih baik daripada harus berjalan pelan agar tak terperosok oleh lumut yang licin, atau menghindari batuan agar ban tak selip.
Namun, begitulah kenampakan jalanan di SDN Gunung Agung. Jalanan itu yang mereka tempuh sehari-hari. Tanpa macet, tanpa pemotor ugal-ugalan, juga tanpa aspal dan tanpa fasilitas yang layak. “Di sinilah setiap hari dimulai, bukan di kelas, tetapi di perjalanan yang menuntut keberanian,” tulis Livia Syafiq Amiena. Rintangan menuntut ilmu tidak bermula di bangku sekolah, melainkan dalam perjalanan menuju ke sana.
Kini giliran foto-foto SDN Nglarang, Kabupaten Sleman. Jika kondisi jalan di SDN Gunung Agung tampak memprihatinkan, SDN Nglarang justeru berdampingan dengan proyek Jalan Tol Jogja–Solo yang belum rampung. Sebuah foto menampilkan seorang anak perempuan tengah berjalan pulang. Di belakangnya berdiri papan bertuliskan “Dilarang bermain di area proyek”.
Proses belajar terganggu suara mesin. Gedung sekolah pun terancam digusur tanpa kepastian soal relokasi. Tarik ulur dari pemerintah ini menyulut protes dari wali murid. Spanduk kuning bertuliskan “Jangan gusur sekolah kami sebelum kami mendapatkan gedung yang baru!” terhampar tegas di pagar sekolah. Kompilasi foto ini berhasil memotret kasus proyek pembangunan yang justru menghancurkan.

Berjalan lurus, SDN Ngenep yang berada di Kabupaten Gunungkidul hadir selanjutnya. Sekolah ini mempunyai sekitar 70 murid, tetapi lahan yang dimilikinya tergolong sempit. Selain itu, SDN Ngenep berhadapan dengan bangunan tanpa tembok yang berfungsi sebagai pasar di pagi hari. Saat jam istirahat sekolah, murid-murid bermain dan membeli jajan di bangunan tersebut, sebagaimana tampak. Isu mengenai tempat bermain dan ruang publik menjadi pertanyaan di sekolah ini.
Berjalan beberapa tapak kemudian, terdapat potret SDN Jatimulyo, Kabupaten Bantul. Pada posisi ini, mata saya terbelalak. Deretan gambar itu menampilkan bangunan yang cukup ringkih. Delapan murid dan dua guru berkegiatan di ruang kelas yang atap-atapnya bolong. Cat temboknya bahkan mulai terkelupas. Halaman sekolah mereka juga tampak tak terawat, juga arena bermain yang besi-besinya mulai berkarat. Salah satu foto berjudul “Resiliensi” menunjukkan ironi yang mendalam. Senyum tulus seorang siswi sembari memegang es krim berlatar gedung sekolahnya yang lebih layak disebut gudang terbengkalai.
Sesi terakhir terletak di seberang tembok SDN Jatimulyo, yaitu potret SDN Sosrowijayan. Berada di Kota Yogyakarta, ia terletak di Gang Sosrowijayan, Malioboro, lokasi yang cukup berada di tengah kota. Sekolah ini merupakan sekolah negeri inklusif yang memfasilitasi delapan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keberadaan SDN Sosrowijayan menunjukkan spektrum sekolah yang ada di Kota Pendidikan ini.
Sepanjang tur singkat ini, kedua awak LPM Himmah ini terus menemani saya. Meski dihujani pertanyaan yang bertubi-tubi, tubuh lelah mereka tetap bertahan. Tak lupa juga dengan senyum manis mereka. Sesekali saya juga mengeluh, tidak ada tulisan besar yang menjadi klasterisasi galeri antar SDN. Tapi, dengan pengawalan ini, saya cukup terbantu.
Jika diurutkan, kelima SD ini memang memiliki problemnya masing-masing. Tentang akses jalan, ancaman penggusuran, fasilitas yang tak memadai, gedung sekolah yang tak layak, serta sekolah inklusif. Tapi, tunggu dulu! Ketika berbicara mengenai Yogya sebagai kota pendidikan, tentunya yang terbayang di benak kita adalah keberadaan universitas yang berjamuran itu. Lalu kenapa LPM Himmah justeru memotret kondisi sekolah dasarnya?

Kembali ke Dasar
Di balik pameran “Melihat Sekolahku” yang tertata apik, LPM HIMMAH berproses selama kurang lebih satu bulan mempersiapkan pameran. Ide konsep pameran mula-mula dimasak di dapur Redaksi. Abraham Kindi, Pemimpin Redaksi LPM HIMMAH, menjelaskan bahwa seringkali ketika membicarakan DIY sebagai Kota Pendidikan, hanya perguruan tinggi yang mendapat sorotan. Mereka kemudian berusaha untuk melihat ke arah lain.
Dari sekian opsi jenjang pendidikan, meja Redaksi bersepakat untuk fokus ke salah satu jenjang pendidikan di DIY saja sebagai subjek pameran. Melalui pencarian data awal, mereka menemukan bahwa sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan dengan jumlah lembaga terbanyak di DIY. Kindi menggambarkan jenjang pendidikan di DIY seperti piramida; makin ke bawah, makin banyak sementara makin ke atas, makin sedikit.
Sempat terjadi perdebatan untuk memilih antara SD, SMP, maupun SMA. Namun keputusan untuk memotret sekolah dasar diperkuat oleh alasan bahwa pada jenjang inilah siswa-siswi belajar fondasi yang kuat untuk membaca dunia.
“TK itu kan kita belajar sambil bermain. Sementara di SD itu mulai belajar membaca, belajar menghitung, belajar yang kelak akan digunakan di jenjang selanjutnya,” terang Kindi.
Dari hasil observasi awal melalui internet dan portal berita, mereka menghasilkan daftar lebih dari 20 sekolah yang potensial untuk diangkat menjadi subjek pameran. Setelah melakukan survei ke sekolah-sekolah, tim observasi mempresentasikan hasil temuan mereka untuk kemudian dikurasi.
“Proses pengkurasian sekolahnya adalah kita mencari salah satu narasi unik dari setiap sekolahnya,” jelas Kindi.
Daftar lebih dari 20 SD tersebut kemudian meruncing menjadi 5 SD yang mewakili setidaknya lima isu pendidikan yang ada di DIY. SDN Gunung Agung (Kulon Progo) menyoroti persoalan akses pendidikan, SDN Nglarang (Sleman) menggambarkan ketegangan yang muncul akibat proyek pemerintah, SDN Ngenep (Gunungkidul) mengangkat isu mengenai ruang, SDN Jatimulyo (Bantul) memotret sekolah yang tak terawat, dan sebagai pamungkas, SDN Sosrowijayan (Kota Yogyakarta) tampil mendekati ideal.
Potret realita Kota Pendidikan ini dipamerkan di Gedung Mohammad Hatta UII. Gedung ini dipilih terutama karena arsitekturnya yang berbentuk lorong sehingga menciptakan jalur yang cocok untuk menempatkan eksibisi. Lorong ini pula yang tidak mungkin tidak dilewati oleh mahasiswa yang hendak menuju perpustakaan. Dengan sendirinya, ia strategis untuk menarik banyak pengunjung. Alasan selanjutnya adalah karena alasan simbolik, yakni “Mohammad Hatta” yang menjadi penamaan gedung.
“UII salah satu pendirinya adalah Mohammad Hatta. Dia juga menjadi simbol dari pendidikan. Kami ingin menyampaikan ‘Hei, Bung Hatta. Ini Yogyakarta, Kota Pendidikan yang terkenal seantero negeri, tetapi tidak merata [kualitas pendidikannya]!’” jelas Kindi.
Siasat pemilihan tempat ini membuahkan hasil. Beberapa pengunjung pameran adalah mahasiswa internasional yang berkuliah di UII. Selain mereka menjadi tahu bahwa DIY merupakan Kota Pendidikan, mereka juga berinteraksi dengan penjaga pameran mendiskusikan isu yang diangkat. Pengunjung dari kalangan pelajar SMA pun hadir dalam salah satu kesempatan kunjungan mereka ke UII, menambah lanskap pemikiran mereka mengenai isu soal pendidikan.

Marsyalina Dwi Putri Aminarti, Koordinator Dekorasi Pameran, bercerita bahwa selama proses menggarap pameran ini, ia merasa dekat dengan persoalan yang dibincangkan. Pasalnya, sekolah dasarnya di Bojonegoro saat ini tutup akibat kekurangan siswa.
“SD saya yang dulu, tuh, sekarang sudah tutup,” tutur Ersa, “Karena kekurangan infrastruktur. Muridnya, tuh, paling banyak di angkatan saya. Di bawahnya, tuh, berkurang, kurang, [kemudian] tutup.”
Pertanyaan dasar pameran ini, Bagaimana sebenarnya wajah Kota Pendidikan itu?, membawa awak HIMMAH menyusuri berbagai sekolah dasar yang ada di DIY berikut beragam isu yang melingkupinya. Ia menjadi pemantik untuk memikirkan ulang apa arti pendidikan, inklusivitas, akses, dan kelayakan. Sebuah pantikan yang sepatutnya menyulut bara api di benak para pembuat kebijakan dan aktivis pendidikan.
Dalam prakata pameran ini, Agil Hafiz, Pemimpin Umum LPM HIMMAH, juga menuliskan bahwa pameran ini berangkat dari obrolan awak HIMMAH mengenai DIY sebagai Kota Pendidikan. Mereka kembali mempertanyakan: Bagaimana sebenarnya wajah Kota Pendidikan itu? Agil dan seluruh awak LPM Himmah mengajak kita untuk kembali menilik dan membaca ulang label “Kota Pendidikan” itu.
“Apa sebenarnya manfaat dari Kota Pendidikan dan kenapa bisa dibilang demikian? Kalau hanya berkisar pada kampus-kampus, mungkin masih relevan, masih banyak. Tapi kalau pendidikan dilihat dengan lebih luas, dengan segala jenjangnya, dengan fasilitas dan lain-lain, mungkin bisa diperdebatkan,” pungkas Agil.