DONASI

Membantah Pembacaan Sulak atas SGA

I Esai kritis A.S. Laksana—atau Sulak, "Hantu Pohon Seno Gumira dan Sastra yang Bersuara” di akun FB-nya (13/06) jika kita baca sekilas tampak elegan dan...

ESAI | THURSDAY, 3 JULY 2025 | 15:51 WIB

Ranang Aji SP

menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021),

I

Esai kritis A.S. Laksana—atau Sulak, “Hantu Pohon Seno Gumira dan Sastra yang Bersuara” di akun FB-nya (13/06) jika kita baca sekilas tampak elegan dan memikat. Esainya detail, nyaris terkesan teliti, dan logis. Namun, bila kita perhatikan dengan seksama, argumennya menunjukkan dua kelemahan serius. Pertama, terlalu menyederhanakan, dan kedua, detail dari pendekatan kritisnya tidak relevan. Dan akibatnya, kesimpulan Sulak bahwa kredo Seno Gumira Ajidarma “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus berbicara” sebagai distorsi nilai-nilai sastra, seolah-olah sastra yang membahas realitas politik atau sosial secara otomatis mengkhianati esensi artistiknya—adalah tidak tepat.

Di sinilah inti kesalahan Sulak. Sulak membangun dikotomi palsu antara jurnalisme dan sastra, dan memperlakukan keduanya sebagai hal yang secara historis dan estetis tidak kompatibel. Apa yang mestinya kita sadari adalah sastra tidak pernah terpisah begitu jelas dari laporan jurnalistik. Faktanya, penggabungan narasi faktual dengan teknik sastra telah melahirkan beberapa karya paling kuat abad ke-20. Sebut saja Truman Capote yang menulis In Cold Blood, Norman Mailer dengan The Executioner’s Song, atau Louis Begley’s Wartime Lies—bahkan Tom Wolfe dengan “Jurnalisme Baru” yang kemudian digunakan Tempo. Setiap karya itu, masing-masing menunjukkan bagaimana bahan jurnalistik, ketika diolah dengan imajinasi sastra, dapat menghasilkan bentuk naratif baru—hibrida yang melampaui baik pelaporan konvensional maupun fiksi konvensional. Karya-karya ini tidak mengkhianati sastra; mereka justru memperluas kemungkinannya. Menolak hibriditas semacam itu atas dasar estetika bukan hanya ahistoris—itu adalah mengabaikan vitalitas yang terus berkembang dari bentuk sastra itu sendiri.

Secara adil, penolakan Sulak terhadap gagasan kredo “sastra harus berbicara” dapat dibaca sebagai sikap estetis—sebagai pembelaan terhadap otonomi sastra, fiksi yang terbebas dari beban pesan politik. Namun, sikap semacam itu, meskipun secara teoritis valid, menjadi problematis ketika mengabsolutkan entitas awalnya sebagai satu-satunya bentuk kemurnian estetis. Argumen Sulak mengutamakan bentuk di atas konteks, seolah-olah gaya eksis secara independen dari substansi, seolah-olah kekerasan dan kehancuran dunia sudah tak tertanam dalam bahasa itu sendiri.

Purisme estetika ini mengabaikan bahwa beberapa karya sastra yang paling abadi justru adalah karya yang berani berbicara—karya yang berbicara bukan sebagai propaganda, tetapi sebagai saksi. Posisi Seno, ketimbang mendistorsi sastra, justru memulihkan dimensinya yang etis. Ia menegaskan bahwa gaya dan ucapan bukanlah musuh. Ketika sastra berbicara, ia tidak berhenti menjadi sastra—ia menjadi lebih mendesak, dan lebih diperlukan. Ia menjadi apa yang Camus pernah sebut sebagai “tindakan solidaritas.” Penolakan Sulak, meskipun tampak elegan, pada akhirnya mundur ke dalam konsepsi sastra yang aman dan tertutup—sedangkan kredo Seno membukanya menuju risiko, menuju sejarah, dan menuju kemanusiaan. 

Sulak menyalahpahami fungsi kredo tersebut. “Sastra harus bicara” bukan berarti sastra harus menjadi selebaran, brosur. Ini bukan retorika agitasi, melainkan posisi etis seperti gagasan Sartre bahwa sastra harus terlibat. Seno tidak memaksa sastra mengabdi pada pidato politik, tetapi mengingatkan bahwa ketika ruang kebenaran ditutup, fiksi bisa menjadi satu-satunya lorong untuk menyampaikan realitas yang tak terkatakan. Kredonya bukan perintah dogmatis, melainkan deklarasi tanggung jawab dalam zaman represif. Itulah sebabnya “Saksi Mata” tidak hanya kuat secara tema, tetapi juga karena bentuknya yang menggabungkan kesaksian dan absurditas dengan logika naratif yang padat.

II

Sulak mencemooh gaya repetitif dan deskripsi pohon dalam cerpen “Hantu Pohon” sebagai arbitrer. Tapi kritik ini menyelisihi logika postmodern, yang memang menolak konsistensi linear atau koherensi Aristotelian, di mana Seno sendiri adalah seorang posmodernis seperti pengakuannya dan karyanya.

Dalam dunia Kafkaesque dan fiksi posmodern, hal yang tampak tidak logis secara realistik justru punya logika internal sendiri: logika dari ketakstabilan, logika dari ketakmenentuan eksistensi, logika dari trauma kolektif. Pohon dalam cerpen itu bukan karakter realis; ia adalah entitas metaforis yang mencerminkan trauma sejarah yang tak bisa ditebang begitu saja.

Cara pembacaan Sulak ini, seperti cara membaca bayang-bayang di dinding gua Plato yang menjadi sia-sia ketika kita mengira itu adalah wujud yang asli, membaca “Hantu Pohon” dengan pandangan modernis adalah cara membaca yang salah dari awal. Sulak, dengan bahasa yang memikat dan tersesat, mencoba memasukkan cerita ini ke dalam kotak struktur, logika, dan karakter modernis—namun membawa jeda yang berlawanan, kekacauan, dan absensi koherensi sebagai cacat. Padahal, cacat itu bukan cacat sama sekali—melainkan potensi yang kuat dan berisi .

Modernisme dan postmodernisme bukan dua gaya yang saling tumpang tindih, tetapi dua paradigma membaca yang berbeda. Modernisme, seperti dalam karya Kafka atau Budi Darma, menempatkan struktur di atas kekacauan. Karakter tetap konsisten, perubahan hanya satu kali, dan absurditas dipicu oleh satu kejadian melampaui nalar tapi tetap beroperasi di bawah aturan.

Postmodernisme yang mesti dipahami menolak pencarian harmoni. Ia menemani pembaca keluar dari retorika presisi: simbol boleh tak tentu, narasi boleh tumpang tindih, nada boleh bertabrakan. Dan “Hantu Pohon” adalah teks seperti itu: bayangan, suara, celetukan, sulur – semuanya hadir sebagai tanda bahwa dunia ini tidak bisa dikurasi. Membacanya dengan alat yang salah sama seperti menggunakan obeng sebagai kunci inggris.

Sulak menyatakan bahwa cerita tersebut gagal karena ketidakhadiran logika internal dan konsistensi naratif. Namun, kesimpulan ini mengasumsikan kerangka kerja, bahwa sebuah cerita pendek atau fiksi harus mematuhi ekspektasi struktural tertentu—jenis yang kita warisi dari fiksi tradisionil dan modernis, terutama varian yang muncul dari Kafka dan diteruskan kepada penulis Indonesia seperti Iwan Simatupang atau Budi Darma. Meskipun asumsinya pada dasarnya tidak salah. Hanya saja menerapkan lensa tradisionil atau modernis pada karya postmodernis seperti mengukur bayangan dengan penggaris. Akibatnya, kita mengkritik bayangan karena tidak lurus.

“Hantu Pohon” bukanlah modernis dalam bentuk atau semangatnya. Ia adalah postmodern—teks yang menari dengan dekonstruksinya sendiri, yang memecah suara dan gambar bukan untuk menciptakan kekacauan, melainkan untuk mencerminkan kondisi dunia yang sudah terpecah-pecah. Keluhan Sulak bahwa pohon itu mengubah makna, bahwa horornya menjadi komedi, bahwa alegorinya menolak kejelasan, bukanlah kegagalan cerita. Namun, itu adalah penolakan Sulak sendiri untuk membaca cerita sesuai dengan syaratnya sendiri.

III

Ketika Sulak membandingkan “Hantu Pohon” dengan Metamorfosis, ia justru memperlihatkan salah kaprah yang mendasar. Absurditasnya bukan berarti absurditas yang masuk akal secara formal. Dan semua itu nyaris ada dalam karya Kafka—hingga kemudian melahirkan istilah Kafkaesque. Kafkaesque adalah atmosfer—rasa gentar, absurditas eksistensial, alienasi, dan absurditas birokratik yang tak bisa dijelaskan secara nalar. Dalam cerita Kafka, absurditas tidak harus masuk akal. Bahkan, justru absurditas yang paling efektif adalah yang tidak menjelaskan dirinya sendiri. Jadi, menyalahkan “Hantu Pohon” karena tidak memiliki konsistensi metaforis adalah kegagalan memahami gaya atau teknik yang dipakainya.

Sulak mengacu pada Kafka sebagai parameter, dan mengatakan bahwa Metamorfosis berhasil karena Gregor Samsa tetap serangga, fokus dan karakternya tetap terjaga, dan absurditasnya disiplin. Namun, di tempat itu, ia melewatkan inti bahwa “Kafkaesque” bukan tentang kualitas internal absurditas, tapi tentang dunia yang tampak beraturan tapi sesungguhnya kacau.

Gregor Samsa jatuh dari satu paradoks menuju paradoks berikutnya; pembaca tidak menemukan aturan absurditas, tetapi tembok kegelisahan yang berulang. Konsistensi Plot tidak pernah tenang—tapi bergolak. Sama halnya Joseph K dalam The Trial, siapa tahu apa sistem itu, atau bagian mana yang nyata atau bagian mana yang mimpi.

Apa yang dicerca Sulak sebagai “tidak disiplin” dalam narasi Seno sebenarnya adalah hal yang sama dengan yang dilakukan Kafka: menciptakan ruang kegilaan yang tidak bisa dijelaskan. Jika Sulak mencela narasi “Hantu Pohon” karena tidak cukup modernis, maka ia sebenarnya seperti menuntut Seno untuk menjadi apa yang tidak sedang ia bangun—yaitu, meniru Kafka, tapi tanpa mengerti keberadaan Kafka yang asli.

Postmodernisme bukan paradoks; ia adalah perayaan paradoks. Ia meletakkan fragmen-fragmen tanpa jembatan, mengundang pembaca menyatukan sendiri, jika sanggup. “Hantu Pohon” adalah contoh bagaimana narasi bisa bekerja dengan suara yang paralel—orang kampung, rumor sarat ironi, gagasan sesajen, dan dialog-detail yang banal. Maka dalam pendekatan posmodernis ini, memungkinkan kita mendapatakan, misalnya dalam “Pohon Hantu”:

1. Polifoni ala Bakhtin

Jangankan suatu narasi tunggal yang mengikat, kita menyimak banyak suara—tertawa, tertarik, mengabaikan, dan syok. Ini bukan gangguan, melainkan cara kerja. Di dalam keriuhan itu, terselip rasa takut, rasa sejarah, kecemasan yang bukan retorika, melainkan ‘dar’ suara rakyat.

2. Intertekstualitas dan Parodi

“Ajaib seperti dangdut.” Ini bukan sinisme – ini penghormatan ironis, sebuah pastiche—mengembang, konyol, lucu. Tetapi kemunculannya mengejutkan dan membuat teks tidak bisa dikontrol. Ini wajar dalam postmodern: bentuk mengaburkan makna, makna melawan bentuk. Seperti dalam teks Ketoprak, lawakan bahkan tragedi.

3. Distraksi sebagai Kritik

Sulak menyebut celetukan sebagai “gangguan,” namun postmodern tidak percaya bahwa pembaca ingin duduk tenang. Ia seperti nova—pecah berfilamen, dan lewat pada kita bentuk-bentuk yang berubah. Di era yang penuh iklan, retorika, propaganda, dan suara viral, Seno menggunakan sesuatu yang sama. yaitu kebisingan sebagai tanda kesaksian.

IV

Sulak juga menuding bahwa pohon itu jadi “sirkus,” tidak tersistem. Tetapi di konteks postmodern, ini valid: pohon bukan tokoh, tapi geografi kekuasaan—geografi yang membahayakan, menyamar, bergeming, dan mati-matian menolak ditebang. Ia mati, namun tumbuh lagi. Ia bukan benda, tapi aksi dan suara: dahan cabang kemresek, bergetar, menyulam ulang sejarah banyak suara.

Dus, menuntut agar pohon tetap sama adalah memaksa simbol untuk setia pada tafsir. Kritikus sastra yang baik tahu bahwa simbol dalam postmodern bisa tak menetap. Tak setia menetap. Ia bisa meledak menjadi banyak hal, menular ke mana pun, bahkan menjadi anti-simbol. Ia lebih tepat disebut hyper-simbol, sebuah bentuk gelombang makna, bukan kepastian.

Demikian juga soal trivia dan celetukan. Dalam retorika Sulak, celetukan adalah cacat. Tapi ini mengabaikan tradisi cerita lisan dan sastra Indonesia yang justru bisa hidup dari celetukan dan ironi. Celetukan bukan kelemahan; ia adalah strategi naratif. Ia mengganggu keseriusan dan menghindarkan cerita dari dogma. Ia bukan “sampiran”, melainkan bagian dari orkestrasi suara. Gaya ini sangat dekat dengan puitika ‘Pasar Malam’—di mana berbagai genre, nada, dan wacana bertabrakan dalam satu teks.

Sulak juga menyimpulkan bahwa cerita absurd Indonesia lahir karena “kredo” untuk bersuara, seolah-olah absurditas dalam cerita hanya alat untuk menyampaikan pesan. Ini adalah cara pandang sempit.

Cerita absurd di tangan Seno, Agus Noor, atau bahkan Indra Tranggono bukan pidato, melainkan pengalaman estetis tentang keterpecahan realitas. Dalam posmodernisme, tidak ada pusat yang stabil. Tidak ada “pesan” tunggal. Yang ada adalah pembacaan, pergeseran makna, dan pengalaman ketakpastian.

Dengan demikian, esai Sulak ini lebih menyerupai kritik konservatif terhadap bentuk dan cara bertutur yang tak dikenalnya. Ia menghendaki sastra yang “teratur” seperti arsitektur klasik, padahal Seno sedang membangun labirin: tempat di mana makna berputar, di mana bahasa tidak mencari solusi tetapi menyingkap luka. Kritik Sulak dengan demikian juga gagal membaca ironi Seno, justru karena ingin menundukkan semua bentuk pada satu paham estetika yang telah selesai.

Seno benar. Sastra memang harus bicara—tapi bukan sebagai corong, melainkan sebagai ruang pantulan. Suara dalam sastra bukan hanya satu nada; ia polifonik, berdialog, ia absurd, ia menyimpang, ia membingungkan, ia menggoda, ia mengejek. Dan di situlah keberaniannya. Karena ketika negara menjadi satu suara yang menindas, sastra adalah kekacauan yang membebaskan.

Dan seperti pohon yang batangnya megal-megol dan tidak bisa ditebang itu, fiksi Seno menolak ditebang oleh kritik yang ingin merapikannya. Sebab pohon itu bukan sirkus. Pohon itu adalah sejarah kita, trauma kita, dan absurditas kita—yang tak bisa dijelaskan hanya dengan satu logika tunggal. []